Bab 6 Udang Di Balik Batu?
"Ya, pasti gak mungkin tau," kataku pada diriku sendiri.
Untuk lebih menyakinkan diriku lagi, aku pun mencoba menghubungi Mas Alvin dan berpura-pura akan menyusul ke rumah mamanya. Jika Mas Alvin menolak, artinya memang ia sedang berada di kampung tempat kelahiran mama nya yang memang terletak cukup jauh dari kota. Jika demikian aku pun bisa menanyakan perihal dugaan-dugaanku sebelumnya. Atau bisa jadi kecurigaanku memang benar adanya. Namun sebaliknya, jika Mas Alvin tidak menolak, mungkin saja Mas Bima salah melihat orang dan Mas Alvin sendiri memang tengah berada di rumah mama nya yang masih satu kompleks dengan rumah yang aku tempati sekarang.
Aku pun bergegas meraih ponselku dan segera menghubungi Mas Alvin.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif!"
Ah, sial! Baru satu kali melakukan panggilan, rupanya nomor suamiku sedang tidak aktif. Tentu saja hal ini malah membuatku curiga padanya. Alhasil aku pun melaporkan hal ini pada Mas Bima. Sayangnya, panggilan yang aku tujukan pada kakak sepupuku itu sama sekali tidak direspon. Nomor ponsel Mas Bima sama seperti milik suamiku, tidak aktif.
Karena merasa menemukan jalan buntu, aku pun memutuskan untuk bergegas dan berniat akan menyusul Mas Alvin ke rumah mama nya yang memang tak jauh dari tempat tinggalku sekarang ini.
"Ibu mau kemana, Bu?" Ku hentikan langkahku ketika mendengar suara Bi Inah. Asisten rumah tangga yang dipekerjakan Mas Alvin di rumah ini.
"Ke rumah mama. Tolong nanti kalau Mas Alvin pulang, bilang saya ke rumah mama nya," pesanku pada Bi Inah. Ia pun menurut dan aku melanjutkan langkahku.
***
Deg!
Seketika langkahku terhenti ketika melihat pintu utama terbuka. Dan yang membuatku lebih terkejut adalah ... Mas Alvin berdiri tepat di depan pintu dengan raut wajah datarnya.
"Mau kemana?" tanya Mas Alvin.
Entah mengapa, di momen itu aku mendadak gugup. Aku merasa suamiku masih bersikap dingin sama seperti yang ia tunjukkan sebelumnya. Over thingking pun tak bisa ku hindari. Aku takut kalau Mas Alvin mengetahui semua rencana yang sudah aku susun bersama Mas Bima.
Aku mematung sambil terus menatap ke arah Mas Alvin yang berdiri di depanku. "Mas Bima bilang, kalau orang yang dia lihat mirip suamiku itu beneran Mas Alvin. Tapi, pagi ini Mas Alvin ada di depanku. Rasanya gak mungkin kalau orang yang dimaksud Mas Bima itu beneran Mas Alvin. Jarak ke kota tempat masa kecil Bu Mirna ke rumah ini kan jauh," batinku. Tak percaya melihat keberadaan suamiku.
"Ikut aku!" tanpa menunggu jawaban dariku, Mas Alvin langsung menarik tanganku dan membawaku kembali masuk ke dalam rumah.
"Maafin aku, Mas," ucapku seraya terus mengingkuti langkah Mas Alvin. Sayangnya, ucapan maaf dariku sama sekali tak mendapat respon dari suamiku.
Sampai akhirnya pegangan tangan Mas Alvin dilepas di saat kami sampai di dalam kamar tidur kami. Tanpa banyak basa-basi suamiku itu lantas memintaku untuk segera bersiap dan mengenakan pakaian setelan gamis yang ia berikan beberapa hari yang lalu.
"Aku tunggu kamu di luar." Mas Alvin mengecup keningku lalu berlalu keluar kamar.
Aku yang kebingungan dengan sikap suamiku tersebut hanya bisa mematung. Ada apa dengan Mas Alvin? Baru saja ia memperlakukanku dengan agak kasar, namun sedetik kemudian ia malah mengecup keningku yang seolah hubungan kami baik-baik saja.
"Layla!"
Aku tersentak mendengar panggilan dari Mas Alvin yang rupanya masih berada di ambang pintu kamar.
Aku menoleh ke arah suamiku itu. Menelan ludahku dengan sedikit kasar. "I– iya, Mas," jawabku. Mas Alvin pergi dan aku bersegera melaksanakan perintahnya tadi. Walaupun sebenarnya aku masih diselimuti dengan rasa kebingungan atas sikapnya pagi ini.
***
"Kita mau kemana, Mas?" tanyaku sesaat setelah aku menemui Mas Alvin yang sedang duduk bersantai di ruang tengah.
Mas Alvin berdiri dan tersenyum padaku. "Maaf, ya, tadi agak kasar."
"Iya, gak pa-pa, Mas," jawabku.
Tak lagi berucap, Mas Alvin malah menatapku dari atas sampai bawah dan kembali ke atas. Lalu kembali mengulas senyum yang mana senyuman itu kerap kali membuatku jadi salah tingkah.
Di waktu itu aku betul-betul dibuat salah tingkah karena tatapan dan senyuman Mas Alvin yang berlangsung beberapa detik. Hingga akhirnya dan tak ingin berada di atas awan terlamu lama, aku pun mencoba menyadarkannya.
"Mas?" panggilku seraya melambaikan telapak tanganku di depan wajah Mas Alvin.
Mas Alvin tersadar dan melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. "Mama ngajak ketemu. Kita berangkat sekarang." Mas Alvin berjalan menuju ke luar rumah.
Di saat kaki ku hendak melangkah mengikuti kemana perginya suamiku itu, tiba-tiba saja ponselku berdering. Rupanya panggilan masuk dari Mas Bima. Akan tetapi, karena tak ingin membuat Mas Alvin curiga jika harus menunggu lebih lama, aku pun memutuskan untuk mematikan panggilan tersebut.
[Kirim pesan aja. Mas Alvin sudah di rumah dan sekarang aku diajak pergi ketemu Bu Mirna]
Aku mengirim pesan singkat pada Mas Bima sebagai alasan aku mematikan panggilan telepon darinya barusan. Tak lama setelah itu, Mas Bima pun membalas dengan hanya mengiyakan pesan dariku.
***Sesampainya di rumah Bu Mirna, aku dan Mas Alvin langsung diarahkan oleh salah satu asistem rumah tangga di sini untuk pergi ke meja makan. Dimana di sana sudah ada Bu Mirna yang sedang menunggu kehadiran kami. Tak sendirian, ibu mertuaku itu juga ditemani oleh tangan kanannya. Dewi.
Ya, Dewi. Wanita yang ku perkiraan usianya sekitar tiga tahun lebih tua dariku itu ikut menemani Bu Mirna yang rupanya mengajakku dan anak laki-lakinya itu untuk sarapan bersama. Awalnya, suasana di pagi itu terasa amat canggung untukku. Mengingat bagaimana Bu Mirna yang selama ini kerap secara terang-terangan memperlihatkan sikap ketidaksukaannya terhadapku.
Namun, seiring berjalannya waktu, Mas Alvin yang memang menyadari situasi tegang saat itu mencoba untuk mencairkan suasana. Dan tanpa aku duga sama sekali, ibu mertuaku itu malah memulai obrolan denganku dengan sikap yang amat ramah. Karena merasa disambut dengan baik, alhasil aku pun juga mencoba melawan perasaan benciku dan mulai bertanya atau berbasa-basi pada Bu Mirna.
Sampai akhirnya kami bisa kami berbincang-bincang biasa layaknya ibu mertua dengan anak menantunya yang tidak sedang tidak ada masalah. Tentu saja, di momen tersebut aku berusaha memanfaatkannya untuk bertanya kepada Bu Mirna mengenai ketidak pulangannya Mas Alvin tadi malam. Dan sama seperti sebelumnya, Bu Mirna tetap bersikap ramah dan berkata dengan kata-kata yang baik padaku.
"Alvin nginep di sini. Maafin dia, ya, kalau malah buat kamu khawatir. Besok lagi Mama suruh dia pulang sekalipun itu tengah malam, hujan deras lagi," kata Bu Mirna sambil terkekeh.
Aku tersenyum dan mengiyakan perkataan ibu mertuaku yang mana aku merasa janggal. Benar-benar terasa aneh pokoknya. Apalagi hal itu adalah sesuatu yang langka yang malah membuatku curiga dengan sikap Bu Mirna barusan. Namun, bukan hanya sikap Bu Mirna yang patut aku curigai, akan tetapi sikap dari Dewi yang juga ikut sarapan bersama saat itu, dimana ia sesekali menatapku dengan tatapan tak suka. Dimana karena hal tersebut lah lantas membuatku merasa ada udang di balik batu di acara keluarga pagi ini. Jika benar demikian, lalu apa tujuannya Bu Mirna yang secara tiba-tiba ini mengajakku untuk sarapan bersamanya?
Bab 7 Memulai Rencana"Alvin nginep di sini. Maafin dia, ya, kalau malah buat kamu khawatir. Besok lagi Mama suruh dia pulang sekalipun itu tengah malam, hujan deras lagi," kata Bu Mirna sambil terkekeh.Aku tersenyum dan mengiyakan perkataan ibu mertuaku yang mana aku merasa janggal. Benar-benar terasa aneh pokoknya. Apalagi hal itu adalah sesuatu yang langka yang malah membuatku curiga dengan sikap Bu Mirna barusan. Namun, bukan hanya sikap Bu Mirna yang patut aku curigai, akan tetapi sikap dari Dewi yang juga ikut sarapan bersama saat itu, dimana ia sesekali menatapku dengan tatapan tak suka. Dimana karena hal tersebut lah lantas membuatku merasa ada udang di balik batu di acara keluarga pagi ini. Jika benar demikian, lalu apa tujuannya Bu Mirna yang secara tiba-tiba ini mengajakku untuk sarapan bersamanya?Acara sarapan bersama pun usai. Tak ada hal apapun yang membuatku lebih curiga pada Bu Mirna. Sebab
Bab 8 Berita Yang Tersebar Di Media"Iya, Mbak. Saya mengerti."Setelah meraih flashdisk tersebut, Arga pun segera menyimpannya dan menyelesaikan pekerjaannya. Barulah beberapa saat kemudian Arga pamit dan pergi meninggalkanku."Saya permisi, Mbak," pamit Arga.Aku mengangguk kecil tanda mengiyakan kepergian Arga. Dan di saat Arga mulai melangkahkan kakinya, di momen itu lah aku tersenyum menyerigai dengan tatapan tajam ke depan. Membayangkan keberhasilanku dalam membalaskan rasa sakitku terhadap Bu Mirna.***Arga memang luar biasa. Wartawan kenalan Mas Bima itu sangatlah membuatku puas dengan pekerjaannya yang padahal baru kemarin aku memintanya. Dan hari ini aku sudah menuai hasilnya.
Bab 9 Percakapan Yang Didengar"Mas?" panggilku. Mas Alvin tersentak dan reflek kembali menoleh sebentar ke arahku. Mas Alvin menggelengkan pelan kepalanya dan berkata," aku gak tau sayang."Mendengar jawaban dari suamiku barusan tentu aku tak mempercayainya begitu saja. Aku yakin karena Mas ALvin adalah anak kandungnya Bu Mirna pasti ia akan ikut terlibat dalam kasus ini. Atau setidaknya dia tahu dan memilih merahasiakannya dari siapapun. Termasuk aku. Setelah menyelesaikan sarapannya, Mas Alvin lantas pamit untuk pergi ke kantor. Ia berniat berangkat lebih awal lantaran ingin memastikan keadaan tempat kerjanya baik-baik saja. Mengingat saat ini ibu nya masih menjadi pimpinan dari kantornya tersebut. Tentu saja sebelum meninggalkan rumah ibu nya, suamiku itu lebih dulu memulangkanku ke rumah kami. Tak lupa memberikan kecupan hangat di keningku dan memintaku mencium takzim tangan kanannya. Aktivitas pagi yang biasa kami lakukan sebelum
Bab 10 Menuduhku?"Ma–maaf, Bu," ucap Bi Inah terbata-bata seraya menundukkan wajahnya seolah tak berani menatapku."Bi Inah dengar semua yang saya obrolkan dengan Mas Bima tadi?" selidik ku.Mendengar pertanyaan ku barusan, saat itu Bi Inah tak langsung menjawabnya. Ia terdiam beberapa saat yang mana membuatku semakin penasaran. Ah, Bi Inah!"Bi!" tegur ku yang merasa tak sabaran."Wait, wait, wait!" Mas Bima berlari kecil mendekatiku dan Bu Inah."Ada apa, Mas?" tanyaku heran."Jangan terlalu kasar sama Bi Inah. Kasihan. Mungkin dia emang gak denger apa-apa," kata Mas Bima mencoba menengahi."Mas! Gak mungkin gak denger apa-apa. Bi Inah di sini, kita di sana," balasku seraya mengayunkan tangan menunjukkan jarak antara posisiku dan Mas Bima tadi dan Bi Inah yang hanya berjarak kurang dari sepuluh meter."Tapi Bibi emang gak denger apa-apa, Bu," sahut Bi Inah. Aku menoleh ke arahnya yang tampak masih ketakutan."Kalaupun emang Bibi denger apa-apa, tolong jaga rahasia ini, ya, Bi. Say
Bab 11 Ketika Perasaan Itu Muncul Kembali"Ma ...," ucap Mas Alvin seraya hendak menenangkan ibu nya kembali."Benar, Bu, tolong kendalikan emosi Ibu," ujar Dewi tenang. Membuatku dan lainnya menoleh ke arahnya sekaligus membuat Mas Alvin mengurungkan niatnya. Dewi pun sedikit melangkah lebih dekat dengan Bu Mirna. "Lebih baik sekarang kita fokus mencari siapa yang menyebarkan fitnah ini," ucap Dewi lagi seraya melirik sinis ke arahku seakan-akan ia menuduhku.Tak mau kalah. Aku pun menatap tajam ke arah Dewi sebagai tanda aku tidak takut dengan tuduhan yang secara tidak langsung ia layangkan padaku. Dan di momen ini lah aku mulai menyadari bahwa dari ucapan dan gerak gerik Dewi barusan menunjukkan kalau sekertaris ibu mertuaku itu amatlah berbahaya.Bu Mirna mengatur napasnya usai mendengar ucapan dari Dewi. Wanita paruh baya itu lantas mendudukkan tubuhnya ke sofa yang terletak tak jauh darinya. Melihat sikap Bu Mirna yang demikian sejujurnya membuatku sedikit merasa heran. Bu Mirna
Bab 12 Peristiwa Yang Tak Bisa Dihindari"Terima kasih, ya, sayang." Mas Alvin kembali mencium tanganku.Dan aku hanya bergeming mendapati perlakuan yang diberikan Mas Alvin seraya menatapnya dengan perasaan agak bersalah. Kebahagian yang ia tunjukkan malam ini sungguh membuat hatiku terasa perih. Perasaan tak tega lantaran telah membohonginya pun mulai muncul kembali. Apalagi ia menganggapku melakukan hal yang sama sekali aku tak menganggapnya serius. ***"Sayang?"Aku tercekat mendengar panggilan dari Mas Alvin yang tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar. Saking terkejutnya aku bahkan mendadak bingung dan tak tahu harus bersikap bagaimana. Sedangkan itu Mas Alvin kini telah melangkahkan kakinya guna mendatangiku yang masih berada di tempat aku melaksanakan sholat subuh belum lama ini."Sudah sholatnya?" tanya Mas Alvin yang saat ini berada di hadapanku."Sudah, Mas," jawabku sambil memalingkan tubuhku dan membelakangi suamiku. Lalu melepas mukena yang sejak tadi masih ku kenakan d
Bab 13 Daftar Nama Para Polisi Yang Terlibat"Tapi aku antar, ya," kata Mas Alvin lagi. Membuatku yang tadinya bernapas lega kini malah merasa panik. Sebab, tak mungkin Mas Alvin hanya akan mengantarku begitu saja. Karena bagaimana pun suamiku itu juga termasuk teman dari Mas Bima. Apalagi hari ini adalah hari libur. Yang mana pastilah mereka akan melakukan obrolan yang nantinya akan merusak tujuan pertemuanku dengan kakak sepupu ku itu.Namun di sisi lain, aku juga tak bisa menolaknya karena aku tidak memiliki alasan untuk mencegah suamiku itu guna tetap berada di rumahnya ini. Akan tetapi, jika aku mengiyakan perkataan Mas Alvin, itu sama saja aku hanya membuang-buang waktu ku. Sedangkan berita yang di angkat oleh Arga, sekarang ini masih ramai dibicarakan di media sosial. Terlebih, pihak Bu Mirna sendiri pun juga sudah mulai bergerak yang artinya aku pun juga harus bertindak lebih cepat.Ah, sial! "Sayang?" panggil Mas Alvin yang membuyarkan lamunanku. "Iya, Mas?" "Itu ditanya B
Bab 14 Kasus Yang Sudah Tertutup Lama Itu ..."Karena itu, Mas, aku butuh bantuan mu," kataku.Mas Bima menunjukkan ekspresi kebingungan mendengar perkataan ku barusan. Lalu tanpa diminta aku pun melanjutkan ucapan ku yang mana aku memilliki sebuah rencana supaya Dewi bisa lebih dikendalikan. Tentu saja dengan bantuan kakak sepupu ku yang pintar itu."Terus apa yang bisa aku bantu?" tanya Mas Bima serius.Aku tersenyum lebar menanggapi keseriusan yang diperlihatkan laki-laki berusia empat tahun di atasku itu. Lalu barulah kemudian aku menjawab pertanyaan dari Mas Bima."Deketin Dewi, dong," kataku sambil tersenyum nyengir. Berharap Mas Bima akan mengiyakannya tanpa banyak bertanya alasannya.Sayangnya, harapanku ternyata tak sesuai kenyataan. Mas Bima malah menunjukkan ekspresi terkejut setelah mendengarkan perkataan ku barusan."Yang bener aja kamu, Lay? Mas mu ini suruh deketin cewek yang senyum aja gak pernah," ujar Mas Bima tak terima.Mendapati respon yang tak sesuai ekspektasi t