Bab 7 Memulai Rencana
"Alvin nginep di sini. Maafin dia, ya, kalau malah buat kamu khawatir. Besok lagi Mama suruh dia pulang sekalipun itu tengah malam, hujan deras lagi," kata Bu Mirna sambil terkekeh.
Aku tersenyum dan mengiyakan perkataan ibu mertuaku yang mana aku merasa janggal. Benar-benar terasa aneh pokoknya. Apalagi hal itu adalah sesuatu yang langka yang malah membuatku curiga dengan sikap Bu Mirna barusan. Namun, bukan hanya sikap Bu Mirna yang patut aku curigai, akan tetapi sikap dari Dewi yang juga ikut sarapan bersama saat itu, dimana ia sesekali menatapku dengan tatapan tak suka. Dimana karena hal tersebut lah lantas membuatku merasa ada udang di balik batu di acara keluarga pagi ini. Jika benar demikian, lalu apa tujuannya Bu Mirna yang secara tiba-tiba ini mengajakku untuk sarapan bersamanya?
Acara sarapan bersama pun usai. Tak ada hal apapun yang membuatku lebih curiga pada Bu Mirna. Sebab, sepanjang aktivitas pagi itu berlangsung, ibu mertuaku itu hanya menanyakan hal-hal yang wajar. Sesuatu hal yang malah membuatku semakin akrab padanya. Yah, meski demikian tetap lah aku merasa aneh. Entahlah.
"Alhamdulullah, ya, mama udah mulai nerima kamu," kata Mas Alvin yang berjalan di sampingku.
"Iya, Mas," jawabku seraya sedikit mengulas senyum. Meski demikian aku akan tetap waspada pada Bu Mirna karena bagaimanapun dialah musuh utama yang membawaku ke dalam titik ini.
***
Sesaat sesampainya di rumah, aku masih saja kepikiran dengan sikap yang ditunjukkan Bu Mirna pagi ini. Entahlah, aku benar-benar merasa ada hal janggal dari ini semua. Tapi, di lain sisi aku sendiri juga tak tahu hal janggal apa itu. Sampai kemudian di tengah-tengah kebingunganku itu tiba-tiba ponselku berdering yang mana ternyata panggilan masuk dari Mas Bima.
Ku angkat panggilan tersebut dan tanpa basa-basi aku langsung menodongkan pertanyaan pada kakak sepupuku itu. "Iya, Mas? Gimana?"
"Kita ketemu sekarang. Di tempat biasa, ya," jawab Mas Bima yang terdengar serius.
Dengan perasaan agak ragu aku membalas jawaban dari Mas Bima ,"Mas Bima ... Kamu ... Udah dapet info soal status Mas Alvin dan bapakku ya?" tebakku.
"Iya. Makanya kita ketemu sekarang."
Mendengar jawaban dari Mas Bima barusan, entah mengapa aku merasa mulai ketakutkan. Takut kalau Mas Alvin adalah anak kandung dari Bu Mirna dengan bapak ku yang mana itu artinya aku dan suamiku itu adalah saudara sedarah. Jika demikian kebenarannya, tentu saja rencana yang bertahun-tahun aku rancang bersama Mas Bima akan hancur seketika.
***
Ku hela napas lega usai mendengar cerita dari Mas Bima barusan. Benar, pertemuanku dengan kakak sepupu ku itu kali ini lantaran ia ingin mengabarkan bahwa aku dan Mas Alvin bukanlah saudara sedarah. Meskipun pernikahan siri antara bapak dan Bu Mirna memang sebuah kebenaran.
Mengetahui fakta ini tentu membuatku cukup merasa tenang. Walau di lain sisi aku sendiri juga merasa marah dengan pernikahan siri antara bapak dan Bu Mirna. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Semuanya telah terjadi.
"Jadi, apa rencana kita selanjutnya?" tanyaku pada Mas Bima.
Ya, karena telah mendapati fakta hubungan antara aku dan Mas Alvin, itu artinya rencana untuk membuktikan Bu Mirna adalah dalang dari kecelakaan bapak sudah bisa dimulai. Sayangnya, keinginan tersebut tampaknya sulit untuk dilakukan. Pasalnya terlihat dari raut wajahnya Mas Bima yang merasa berat untuk mengatakan sesuatu. Yang mana hal tersebut malah membuatku bertanya-tanya dalam hati.
"Mas?" tegurku. Mas Bima terkesiap dan reflek mengulas senyum tipis.
"Gimana?" tanyaku lagi.
"O, ya." Mas Bima mengeluarkan sesuatu dari tas kecil yang ia bawa. Sebuah flashdisk yang kemudian ia berikan padaku.
"Itu rekaman cctv hari terakhir bapakmu di kantor. Tolong disimpan dan kamu bisa pelajari dari rekaman itu," kata Mas Bima.
Ku raih flashdisk tersebut dengan penuh tanda tanya. "Kamu dapet darimana, Mas, rekaman cctv ini? Kan, kejadiannya udah setahun lebih."
"Ada lah. Kamu gak perlu tau soal itu. Yang penting sekarang kita ada petunjuk untuk menguak apa yang sebenarnya terjadi di hari terakhir bapakmu di kantor," jawab Mas Bima.
Mendapati respon demikian aku hanya bisa tersenyum tipis. Benar apa yang dikatakan kakak sepupu ku itu. Siapapun yang memberikan rekaman cctv itu tak perlu aku memikirkannya terlalu serius. Toh, berkatnya aku bisa mendapatkan petunjuk atas masalahku kali ini.
***
"Saya ingin Anda membuat berita tentang kecelakaan ini," kataku seraya menyerahkan beberapan lembar yang berisikan artikel tentang kecelakaan yang terjadi pada bapakku beberapa tahun yang lalu.
Arga, wartawan muda yang berada di hadapanku itu meraih berkas-berkas yang barusan aku berikan. Ia membacanya dengan seksama yang kemudian mengangguk kecil tanda mengerti.
Sesaat setelah itu, aku sebagai anak korban dari kecelakaan tersebut akan menjadi saksi, tentunya dengan identitas yang dirahasiakan. Dimana kesaksianku ini nantinya akan dimuat di dalam berita yang dibuat oleh Arga.
Arga pun menyiapkan laptopnya dan bersiap untuk mengetik apa-apa yang akan ia muat dalam beritanya.
"Silakan, Mbak," kata Arga mempersilakanku.
Aku pun bercerita dari kronologi kejadiannya. Berawal dari kepergian bapak hingga kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan di saat olah TKP. Hingga pada akhirnya kasus kecelakaan bapak yang di tutup oleh pihak kepolisian yang padahal proses penyelidikan masih berjalan.
"Karena kasus kecelekaan itu ditutup sepihak oleh kepolisian, dari situ lah saya menaruh curiga kalau para polisi itu menerima suap dari seseorang," ucapku.
Arga mengerutkan kedua alisnya. Respon dimana ia tampak lebih ingin tahu ditunjukkannya padak ku. Di momen itu lah aku kembali menceritakan bahwa ada satu orang yang aku curigai lantaran memiliki masa lalu dengan bapak ku.
"Orang yang aku curigai itu pernah menikah siri dengan bapak saya. Entah karena apa kemudian mereka berpisah dan bertemu kembali di kantor tempat bapak saya bekerja. Dimana wanita itu menjadi atasan bapak saya selama beberapa tahun," ungakpku.
Dengan sangat cekatan Arga pun kembali membunyikan keyborad laptopnya. Kemudian mempersilakan aku melanjutkan ceritaku.
Dimana kemudian aku menjelaskan bahwa diriku dengan bantuan saudaraku telah mendapatkan kesaksian dari seseorang yang juga teman sekantor bapak. Pak Surya.
Benar, Pak Surya yang bukan hanya teman sekantor bapak. Beliau juga lah orang yang termasuk pegawai yang kala itu mengambil pesangon terakhirnya di hari yang sama dan waktu yang hampir bersamaan dengan bapakku.
Aku kembali menyodorkan flashdisk yang berisi salinan rekaman pertemuanku dengan Pak Surya kala itu. Rekaman video yang sudah di potong gambar bagian diriku sehingga hanya memperlihatkan sosok Pak Surya.
"Saya rasa Anda sudah tau apa yang saya inginkan," kataku pada Arga.
"Iya, Mbak. Saya mengerti."
Setelah meraih flashdisk tersebut, Arga pun segera menyimpannya dan menyelesaikan pekerjaannya. Barulah beberapa saat kemudian Arga pamit dan pergi meninggalkanku.
"Saya permisi, Mbak," pamit Arga.
Aku mengangguk kecil tanda mengiyakan kepergian Arga. Dan di saat Arga mulai melangkahkan kakinya, di momen itu lah aku tersenyum menyerigai dengan tatapan tajam ke depan. Membayangkan keberhasilanku dalam membalaskan rasa sakitku terhadap Bu Mirna.
Bab 34 TAMAT"Bu, ada kabar buruk," kata pembantu itu."Kabar apa? kenapa?" tanya Bu Mirna tak sabar.Pembantu itu pun terdiam sejenak, lalu mulai membuka suaranya yang mana kabar yang barusan ia terima datang dari sekertaris Bu Mirna. Yaitu Dewi."Mbak Dewi di kantor polisi."Seketika kami yang ada terkejut mendengar kabar barusan. Apa yang terjadi hingga membuat Dewi berada di kantor polisi?"Vin, tolong antar Mama ke kantor polisi sekarang," pinta Bu Mirna yang tampak syok dengan kabar barusan."Iya, Ma," balas Mas Alvin."Aku ikut!" sahutku.Mas Alvin menatapku sejenak. Lalu mengangguk kecil. ***Sesampainya aku, Mas Alvin dan Bu Mirna di kantor polisi, kami mendapati kenyataan bahwa Dewi sudah ditahan. Tentu hal itu membuatku bertanya-tanya. Terlebih Bu Mirna selaku ibu kandungnya yang merasa syok dengan keadaan ini."Maafkan Dewi, Bu. Dewi sudah mengakui semuanya dan ini adalah konsekuensi yang harus Dewi terima," jelas Dewi."Mengakui? kamu mengakui apa?" tanyaku penasaran.De
Bab 33 Pengakuan Bu MirnaDi saat itu rasa jengkelku semakin naik, tapi ... ah, mungkin suamiku itu juga merasa lapar dan memutuskan untuk membeli martabak yang memang jelas-jelas masih buka.Setelah beberapa menit Mas Alvin pun kembali dengan membawa satu bungkus martabak manis. Dan tepat ketika suamiku itu menutup pintu mobil, mendadak ia tampak terkejut dan pandangannya tak teralihkan dari arah depan. Ketika aku menulusuri arah yang dimaksud Mas Alvin, ternyata ... ada Dewi yang baru saja turun dari mobilnya."Itu Dewi, kan?" tanyaku memastikan, tanpa mengalihkan pandanganku."Iya," jawab Mas Alvin."Ada urusan apa dia ke sini tengah malah kayak gini?" aku terus memperhatikan pergerakan sekertaris Bu Mirna itu yang masih berjalan."Beli martabak kali," tebak Mas Alvin yang netranya juga mengikuti langkah Dewi berjalan.Sontak aku menghela napas kesal, lalu menolehkan pandanganku ke arah Mas Alvin.Mas Alvin pun menoleh ke arah ku dengan ekspresi keheranan. "Kenapa?" tanya suamiku i
Bab 32 Ngidam"Mas," panggilku. Mas Alvin tersentak lalu menoleh ke arahku. "Tapi apa?" ku ulangi pertanyaan yang cukup sederhana ini. Mas Alvin menatap ku dan bersiap untuk mengatakan sesuatu. Mengatakan di mana ia ternyata mengajukan sebuah permintaan padaku. "Permintaan apa, Mas?" tanya ku. Mas Alvin menghela napas berat. "Aku minta kali ini biar aku yang mengurus semuanya, tolong kamu fokus dengan kehamilanmu. Itu saja."Mendengar hal itu aku tak langsung meresponnya. Aku tahu apa yang diinginkan Mas Alvin terhadapku itu baik. Tapi, bagiku hal tersebut amatlah bertentangan dengan batinku. Aku tak bisa berdiam diri seperti batu yang hanya menunggu dan membiarkan orang lain menyelesaikan masalahku tanpa campur tanganku. "Tapi Mas—""Gak ada tapi-tapian," potong Mas Alvin. "Kamu turutin permintaanku atau selamanya kita gak akan bercerai."Aku tercengang dan seketika diam. Lalu mencoba menjernihkan pikiranku."Aku janji akan menyelesaikan masalah ini secepatnya. Begitu juga deng
Bab 31 Sebuah PetunjukAku menatap sedih ke arah di mana Mas Bima terbaring tak sadarkan diri. Air mata ku kembali terjatuh setelah tadinya sudah terkuras banyak usai melaksanakan salat subuh. Mas Bima ... siapa yang membuatmu seperti itu? Sungguh, aku merasa bersalah di situasi sekarang ini. Tak tega rasanya melihat kakak sepupu ku itu berada di atas ranjang pasien dengan kondisi yang demikian. Di tambah dengan keadaan Budhe saat ini. "Maafkan aku ... tolong maafkan aku." Satu air mata kembali membasahi pipiku. Teringat, jika apa yang menimpa Budhe dan Mas Bima pasti karena mereka berada di pihak ku. Cukup lama aku berdiri di depan ruangan tempat Mas Bima menjalani perawatan. Sampai-sampai tak terasa air mataku sudah mulai mengering. Ku usap-usap wajahku dengan sedikit kasar, mencoba menghilangkan bekas air mataku. Lalu aku juga berusaha menguatkan batinku. Aku pun berjalan menghampiri Mas Alvin yang duduk di kursi tunggu pasien yang berada tak jauh dariku. Aku akan meminta penj
Bab 30 Mas Bima DitemukanTanpa menyapa, tanpa menoleh, dan tanpa berniat untuk langsung pergi, aku duduk di samping Mas Alvin. "Ada yang ingin aku bicarakan serius sama kamu," ucap Mas Alvin, sesaat setelah aku menempatkan posisiku. "Hal serius apa?" tanyaku. "Kita ketemu Pakde dan Budhe dulu, ya. Setelah itu baru aku kasih tau," balas Mas Alvin. Lalu beranjak dari tempatnya dan berjalan lebih dulu tanpa berniat menunggu ku. Meski agak kesal karena sikapnya itu, namun karena merasa penasaran dengan hal apa yang akan disampaikan suamiku itu, aku pun ikut bergegas menyusulnya. Aku terus mengekor di belakang Mas Alvin hingga kami akhirnya sampai di ruang tempat Budhe dirawat. Di saat itu, sebetulnya aku dibuat keheranan lantaran Mas Alvin yang sudah tahu di mana letak bilik Budhe ku itu. Padahal aku sendiri sama sekali tak memberitahukan letaknya. Sedangkan kalau bertanya pada perawat penjaga, kapan ia melakukan itu? karena yang aku tahu, selama perjalanan dari masjid ke ruang inap
Bab 29 Menyusul"Astaghfirullah ... tega sekali mereka. Awas saja, kalau sampai aku tahu mereka siapa, akan ku buat mereka menyesali perbuatannya," kataku yang penuh dendam, yang padahal orangnya saja aku belum mengetahui siapa pastinya.Mendengar perkataan ku tersebut, Pakde Rudi dan Arga sama-sama memintaku untuk bersabar. Dan terpenting, aku tidak boleh bertindak gegabah. Sebab, dari kejadian ini menjadikan ku harus lebih waspada lantaran itu artinya pelakunya sudah mulai merasa ketar-ketir.***Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya Budhe pun tersadar. Di momen itu tentu lah membuatku merasa lega. Senang lah akhirnya kekhawatiran ku akan kondisi orang yang menggantikan peran ibuku sejak beberapa tahun ini pun kembali membaik."Layla ...," ucap Budhe lemah, ketika baru saja membuka matanya.Aku tersenyum manis ke arah Budhe, lalu lebih mendekatkan diriku padanya. "Iya, Budhe? Layla di sini," ucapku menatap dalam wanita yang sudah ku anggap sebagai ibuku itu.Dalam pandangan yang