Kejadian malam itu telah merubah sosok Belva yang penurut menjadi wanita yang mampu melawan Hayden kalau pria itu mendatanginya hanya untuk meminta jatah ranjang. Perubahan sikap Belva membuat kemarahan Hayden memuncak sampai ke ubun-ubun. Dan kini, dengan terang-terangan Hayden mengundang para pelacur datang ke mansion untuk melayaninya.
Mereka bercinta di kamar utama, di ruang kerja Hayden, di kamar mandi dan tempat-tempat lainnya. Mansion yang dibangun di tengah hutan itu kini tak ubahnya sebuah tempat pelacuran.
“Ohh, Tuan Hayden – anda kuat sekali. Ooohhh, pukul aku lagi, Tuan. Aku suka menjadi budakmu.” Rintih seorang pelacur yang dengan bangga menjeritkan kenikmatan di ranjang mewah Hayden. Ranjang yang dulu menjadi tempat percintaan paling mendebarkan antara dirinya dengan Belva.
“Kau mau merasakan tamparan tanganku lagi, pelacur sialan?!” Hayden menampar bokong si pelacur dengan mata berkilat. Hayden bukan lagi pria lembut yang memanjakan wanitanya.
“Kita di mana?” Patty menggeliat dengan kepala di atas paha Richie. Patty menengadahkan wajahnya, menatap Richie yang masih tertidur. Kepalanya bersandar pada tepi jendela Jeep yang terbuka. Kesejukan angin pagi hari menyapu wajah tampan Richie. Patty mengulurkan tangannya, mengusap dagu dan jambang tipis pria itu. “Sebenarnya, aku bukan tipe gadis yang mudah jatuh cinta. Kalau aku tipe yang seperti itu, bisa dipastikan mantan pacarku lebih dari selusin di Woodstock. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang bisa merebut hatiku seperti apa yang kau lakukan kepadaku.” Patty mengoceh sambil menggelitikkan jarinya ke leher besar Richie. “Memangnya apa yang telah aku lakukan kepadamu?” Richie menangkap jemari Patty tanpa membuka matanya. “Kau – kau terbangun karena sentuhanku?” Patty bertanya memancing. “Bukan. Aku terbangun karena ada suara cerewet seorang gadis manja.” “Maafkan aku, beruang … kau boleh tidur lagi.” “Terlambat!” Ri
Richie menghabiskan sisa burger dan kentang goreng yang tidak dihabiskan Patty. Kemudian bersiap-siap melanjutkan perjalanan mereka membelah perbukitan menuju Hazen Hills. Sebuah kota yang akan membawa Richie pada kenangan-kenangan masa kecil hingga remajanya. Tepat di belakang mereka, Emery mengikuti dalam jarak lima meter dengan kecepatan normal. Pemandangan perbukitan yang terlihat jelas di pagi hari, membuat Patty terpana. Gadis itu menyandarkan lengannya di tepi jendela dan sedikit menjulurkan kepalanya keluar Jeep. “Kau menyukainya?” tanya Richie. “Tempat ini terlihat seperti surga, Richie. Woodstock juga sebuah desa yang asri, tapi ini lebih dari itu – ini taman eden yang hilang. Aku sangat menyukainya …” Patty mengisi paru-parunya dengan sebuah tarikan nafas panjang. Richie menahan tawanya. Terkadang ada banyak kata-kata Patty yang membuatnya geli. Seketika terbayang dalam benaknya, bagaimana keseharian gadis itu sebelum dia datang ke Woodstoc
Bersebelahan dengan pintu yang pegangannya rusak itu, terdapat sebuah jendela besar. Dari sana orang dapat mengintip kegiatan yang ada di ruang tamu rumah itu. Tepat sebelum Richie mendorong pintu tersebut, matanya sempat menangkap gerakan mencurigakan dari pantulan kaca jendela. Sedangkan Patty, dia tampak berjalan lambat sambil memeluk tubuhnya sendiri. Entah karena udara berangin yang bertambah dingin atau karena gadis itu mulai membayangkan hal yang aneh-aneh – tentang tiga orang yang terbunuh di dalam rumah. Gadis itu menggosok-gosok kedua lengannya. “Richie, kita akan bermalam di sini?” tanya Patty. Matanya menjelajahi setiap jengkal teras rumah yang berantakan itu. Richie tak bergeming. Telinganya fokus mendengarkan suara injakan dedaunan kering. Seseorang pasti bersembunyi tidak jauh dari posisi mereka dan dia harus segera membereskannya. Tetapi sebelumnya dia perlu terlebih dulu mengamankan Patty dari keributan yang mungkin akan terjadi lagi.
“Ha – hakim agung?” Emery berkata dengan suara lemah yang terbata.“Rasanya tak perlu aku mengulangnya, kan? Pakai otakmu untuk mengingatnya dan jangan mengkhianati kebaikan hatiku. Karena aku bisa saja membunuhmu saat ini juga.” Richie menekan moncong pistolnya ke dahi Emery dan mengangkat pria itu dengan satu tangannya.Emery berdiri gemetar. Kedua kakinya seakan terlalu lemas untuk melangkah. Richie mendorong kencang tubuh Emery hingga pria itu terhuyung dan kemudian berlari tunggang-langgang menjauh dari pekarangan rumah Richie.“Ingat! Sampaikan salamku kepada tuanmu!” seru Richie sebelum pria itu menghilang di antara pepohonan.Richie berbalik ke arah rumah masa kecilnya. Dia tidak langsung masuk ke dalam rumah untuk menemui Patty melainkan berjalan memutari rumah menuju ke bagian belakangnya. Richie berhenti di dekat jendela yang mengarah ke hutan.Di sanalah dirinya berdiri mengkeret dan gemetar. Ri
Pagi keesokan harinya.Richie selesai mandi, melilitkan handuk di pinggang dan memamerkan kesempurnaan tubuhnya yang atletis. Dia berjalan ke ruang duduk yang hanya ada sepasang kursi kayu dan meja kecil untuk menaruh cangkir teh. Entah kemana perginya sofa cantik milik ibunya dulu, apakah mungkin ada yang menjarahnya? Richie berdecak.Tercium wangi kopi dari arah dapur. Patty tampak mondar-mandir dengan hanya menggunakan bra dan celana jins pemberian Martin.“Kau tidak perlu repot-repot membuat kopi. Kita bisa membelinya di kedai,” ucap Richie sambil menerima mug yang diberikan Patty kepadanya.“Mana aku tahu kalau di sekitar sini ada kedai kopi atau semacamnya. Lagipula aku mendapatkan kopi-kopi kemasan ini dari Dokter Martin. Kenapa tiba-tiba aku jadi meerindukan dia yaa?”Sejenak terlintas dalam pikiran Richie untuk memberitahu Patty kalau Martin sudah meninggal, tapi dia mengurungkan niatnya. Bisa-bisa gadis itu syok da
“Ingat! Jangan banyak protes! Hari ini kau hanya boleh mengikuti ke mana pun aku pergi dan jangan coba-coba melepaskan diri dari genggaman tanganku.” Richie menatap Patty dengan tatapan serius.“Lalu, kalau aku suruh kau berbelanja, pilihlah hanya yang benar-benar kita butuhkan dan bayar dengan uang yang tadi aku berikan. Bisa dimengerti?”“Iya, tuan beruang!” Patty mengerucutkan bibirnya.Sejak dia selesai berganti pakaian, Richie tak berhenti mewanti-wanti dirinya hingga telinganya panas. Kalau Richie sedang dalam mode yang seperti itu, Patty jadi merasa seperti seorang anak kecil yang menyusahkan. Dia lalu menyelempangkan tasnya dan berjalan menuju pintu keluar dengan wajah kesal.Jarak dari rumah Richie menuju tengah kota cukuplah jauh. Mereka berkendara sekitar setengah jam sampai akhirnya berbelok di salah satu gang sempit dan memarkirkan mobilnya. Keluar dari dalam mobil, Patty dalam sekejap merasakan suasana yan
“Kenapa lama sekali?” Patty menerima uang kembalian dari kasir dengan wajah cemberut, sambil menolehkan kepalanya ke arah tangga. “Ohh … aku bertemu dengan sekumpulan pria di atas sana dan mereka manawari aku pekerjaan,” ucap Richie asal. Kasir mini market itu seorang wanita tua bertubuh gemuk. Dia tersenyum kala melihat Richie yang baru saja turun dari lantai atas. “Apa mereka menganggumu, tampan?” tanyanya ramah. “Tidak. Mereka baik. Tetapi sayangnya – aku belum menemukan di mana letak perkakas.” “Oohh … minggu lalu Jordan memindahkannya ke sudut kecil di sebelah sana. Aku terkadang tak bisa mengerti apa maunya. Sudah dua kali dia mengosongkan ruangan atas hanya untuk berkumpul-kumpul tidak jelas dengan teman-temannya.” Wanita itu menggelengkan kepalanya. Mendadak Richie teringat akan sesuatu yang tadi sempat membuatnya penasaran. “Nyonya, kalau boleh tahu, apa pekerjaan suami anda selama ini?” “Pria berjanggut itu bertahun-tahun lal
“Besok kau akan pergi lagi?” tanya Patty sebelum matanya terpejam malam itu. “Iya. Masih ada banyak hal yang harus aku kerjakan. Aku harap televisi yang aku bawa kemarin bisa menghiburmu, manis.” Richie mencuil hidung Patty yang terbaring di sebelahnya. “Televisi itu masih hitam putih dan hanya menampilkan berita siaran stasiun lokal. Kau pasti membelinya dari toko loak? Kau pelit sekali, tuan beruang!” protes Patty. Bukannya pelit, tapi Richie sengaja melakukannya untuk membatasi informasi yang bisa Patty dapatkan melalui siaran televisi. “Aku seperti terpenjara dalam sangkar emas. Kau memenuhi segala kebutuhanku, tapi kau tidak membiarkanku melakukan apa yang aku suka.” Patty membalikkan badannya memunggungi Richie. Hingga detik ini, Richie selalu saja bingung bagaimana caranya membujuk seorang gadis yang tengah merajuk. Tetapi karena dia sudah semakin terbiasa dengan perilaku Patty, dia malah menjadi ingin membuat gadis itu jengkel dengan u