Share

BAB 3 : Sikap kasar Reynaldi

Meytha pun keluar dari ruangan Reynaldi dengan tisu yang masih di pegangnya. Dan ia menemui Dinda yang terbiasa melayani kebutuhan Reynaldi. Maka Meytha pun menemui Dinda di ruang kerjanya.

“Mbak Dinda.., bapak minta dibuatkan kopi. Pantry yang dipakai itu yang di ujung sana ya?” tanya Meytha.

“Bukan Buu.., sini biar aku aja yang buat. Karena aku tau takaran kopi buat bapak Rey. Hmmm.., barusan ibu Andini bilang, Bu Meytha jadi sekretaris juga?” tanya Dinda menggeser kursi kerjanya.

Dinda berjalan keluar ruangannya dan masuk ke ruangan yang dekat dengan ruang kerja Reynaldi. Lalu ke bagian sisi kanan dari ke empat sofa besar itu berada.

“Disini Bu Meytha pantry si Bos. Ini takaran untuk gulanya dua, kopinya satu dan panaskan dulu air di teko listrik ini, kita tunggu tiga menit.”

Terlihat Dinda memasukkan air ke dalam teko listrik dan menekan tombol on lalu mengambil saru sendok teh kopi, dua sendok teh gula. Ia juga terlihat mengeluarkan susu cair rasa vanila dalam kemasan satu liter.

“Buu.., kenapa kok bisa dipindah ke bagian sekretaris?” tanya Dinda saat menunggu air mendidih pada teko listrik.

“Mbak Dinda.., panggil nama aja. Saya juga panggil nama juga ya,” pinta Meytha sisa air mata yang membekas di pipi usai diseka oleh tisu.

“Ooh.. Iya.. ya.. Meytha.., aduh kok kayaknya, aku jadi canggung Buu.., hehehehe,” tutur Dinda seraya menutup bibirnya.

“Udah santai aja, Din.., panggil aku, Mey,” pinta Meytha tersenyum manis dengan memperlihatkan lesung pipinya.

“Sini aku bawa ke tempat, si Bos,” minta Dinda usai membuatkan kopi buat Reynaldi.

“Tapi.., Dinda.., nanti si Bos marah, soalnya kan dia nyuruh aku yang buat kopi,” ucap Meytha yang meragukan keinginan Dinda.

“Udah tenang aja.., ayo kita bareng ke dalam. Sekalian aku juga mau tanya pembagian Job Description sama si Bos,” ajak Dinda seraya membawa baki berisi kopi susu buatannya dan Meytha berjalan dibelakang Dinda.

Saat pintu ruangan Reynaldi terbuka, terlihat ia tampak terkejut karena dilihat Dinda dan Meytha bersama-sama masuk ke ruangannya. Terlebih ia melihat, kalau Dinda yang membawa kopi tersebut.

“Meytha..! Untuk buat kopi aja kamu sampai minta bantuan, Dinda?!” bentak Reynaldi memandang kesal pada Meytha.

“Bukan Mbak Meytha yang salah Pak. Tadi...”

“Diam kamu.., Dinda..! Aku nggak bicara sama kamu!” seru Reynaldi padanya.

“Jawab.., Meytha..! Kamu nggak bisa buat kopi? Hah?!” bentaknya lagi.

“Baik.., Pak.., saya buatkan lagi,” ucap Meytha menunduk dengan menelan salivanya.

“Biarkan kopi itu disana..! Nggak usah kamu bawa lagi,” perintah Reynaldi pada Dinda.

Dalam hati Meytha pun mengutuk perilaku Reynaldi atau Utomo yang biasa Meytha panggil, pada masa lampau. Meytha berbalik arah usai Dinda meletakan kembali kopi susu yang akan ia ambil pada meja yang berada di ruang tamu ruangan Reynaldi.

“Tunggu.., dulu!” perintah Reynaldi saat Metha dan Dinda balik badan menuju pintu keluar ruangannya.

Kedua wanita itu membalikkan tubuhnya dan berdiri tegak memandang ke arah Reynaldy yang duduk di meja kerjanya dengan jarak delapan kaki.

“Dinda.., tugas kamu mengurusi semua email masuk, surat masuk yang bersifat administrasi. Dan Meytha mengurusi seluruh kebutuhanku dari makan, kopi dan mengatur ruang meeting. Dan satu lagi.., untuk meeting keluar, Meytha yang ikut denganku.”

Kedua wanita itu bersamaan menganggukkan kepalanya dan keluar dari pintu tersebut. Sesampai diluar, Meytha pun berkata pada Dinda, “Din.., maaf yaa, kamu jadi kena semprot juga.”

“Tenang aja.., Mey. Mungkin si bos lagi ada masalah, karena tumben aja sih.., dia garang kayak orang lagi PMS. Biasanya sih diem aja.., emang galak tapi, nggak sekasar itu.”

Setelah itu, Dinda kembali keluar dari ruangan pertama menuju ruangannya sedangkan Meytha berjalan menuju pantry yang ada di ruangan pertama.

“Hmm.. jangan-jangan dia mau minum kopi buatan gue kayak dulu. Bukannya yang tadi di meja ruang tamu dia itu kopi susu? Ok! Gue bikinin kopi tanpa susu,” ucap Meyta bermonolog saat ia memanaskan teko listrik.

Tiga menit kemudian, kopi hitam yang ia buat pun dibawa ke dalam ruangan Reynaldi.

“Saya taruh dimana, Pak?” tanya Meytha saat dilihat Reynaldi serius di depan komputernya.

Tak sahutan dari Reynaldi, Meytha pun berjalan dan kini berdiri disisi meja kerja Reynaldi. Sekitar dua menit berlalu, dan Meytha masih berdiri tegak disisi meja sang Bos.

“Pak.., ini kopinya saya taruh disini...,” tutur Meytha meletakan kopi hitam di sisi kanan meja kerja Reynaldi.

Usai meletakan kopi di meja kerja si Bos. Baru saja Meytha melangkahkan kakinya beberapa langkah, Reynaldi telah menegurnya.

“Siapa yang suruh kamu pergi dari sini?!” tegur Reynaldi tersenyum mengejek Meytha kala wanita itu membalikkan tubuhnya.

“Ada yang bisa saya kerjakan lagi, Pak?” tanya Meytha dengan kaki yang sudah pegal. Karena sedari tadi ia berdiri dan mondar-mandir mengurusi urusan Reynaldi, terlebih sepatu high heels yang digunakan setinggi 7inchi.

“Tugas kamu itu sekarang mengurusi aku. Jadi diamlah di ruangan ini,” perintah Reynaldi.

Merasa sakit pada bagian betisnya, Meytha pun berjalan menuju ruang tamu di ruangan itu. Baru saja ia menghempaskan diri pada sebuah sofa tunggal nan empuk, suara Reynaldi telah terdengar begitu menyakitkan hatinya.

“Siapa yang suruh kamu duduk disana? Bangun kamu..! Enak sekali kerja hanya duduk-duduk seperti itu mau dapat gaji!” ketus Reynaldi meminta Meytha berdiri disisinya.

“Pak.., berikan saya kerjaan.., saya pasti akan mengerjakannya,” pinta Meytha pada Reynaldi dengan raut wajah kesal.

Dalam hati Reynaldi, ‘Rasakan pembalasan gue.., kalau saja waktu itu elo mau gue ajak pergi dari sini. Mungkin elo kagak susah payah kerja cari duit buat hidup elo.’

“Pak Rey... Kasih saya kerjaan,” pinta Meytha lagi pada Reynaldi yang sedang menikmati penyiksaan yang sedikit-dikit ia lakukan.

“Aku sudah kasih kerjaan buat kamu dengan mengurus keperluanku. Apa itu nggak cukup?” tanya Reynaldi seraya meraih cangkir kopi yang ada di atas meja kerjanya.

Telepon di meja Reynaldi pun berdering. Untuk keempat kalinya teleponnya berdering. Ia membiarkan telepon direct itu berdering, karena saat itu ia tengah menyesap kopi yang dibuat Meytha.

‘Hmmm..., masih terasa sama buatan kopi yang dibuat oleh tangannya. Rasanya pas.., sama seperti dulu,’ bisiknya dalam hati seraya menyesap perlahan kopi tersebut.

Sementara telepon direct terus berdering di mejanya. Setelah ia telah puas menghirup aroma kopi dan menyesapnya, ia pun menghubungi Dinda sekretarisnya.

“Ada apa?!” tanyanya singkat.

“Lapor Pak.., hari ini bapak ada pertemuan diluar dengan Pengusaha Muda Indonesia. Jam dua siang ini harus sudah berada disana, Pak.”

“Baik..! Siapkan saja sopirnya,” perintah Reynaldi pada Dinda.

Setelah menutup hubungan telepon dengan Dinda, Reynaldi pun berujar pada Meytha.

“Hari ini jam satu siang, kamu ikut aku menghadiri pertemuan dengan Pengusaha Muda Indonesia. Berdandan yang rapi dan jadi notulenku!” titah Reynaldi.

“Tetapi.. Pak jam dua belas saya baru menjemput anak saya. Kira-kira jam satu siang baru saya sampai di kantor. Apa bisa untuk undangan keluar seperti ini untuk bisa...”

“TIDAK..!” tegas ucap Reynaldi memotong apa yang jadi permintaan Meytha.

“Pak.., tadi saya dengar.., Mbak Dinda bilang jam dua pertemuan itu. Tolonglah saya Pak..,” ucap Meytha mengiba pada Reynaldi yang terlihat puas saat melihat kepanikan di dalam mata Indah Meytha.

“Yaa..,” ujarnya melembut saat dilihat kesedihan dalam raut wajah Meytha.

Dering ponsel Reynaldi membuat lelaki itu menjawab panggilan dari benda pipih yang di raihnya dari meja komputernya.

“Yaa.., Miii.., Ooh.., Ok.., saya kesana,” ucapnya dengan wajah manis dan senyum yang mengembang pada saat menjawab panggilan telepon dari ponselnya.

Usai menutup ponselnya, Reynaldi meraih telepon direct dan berkata “Dinda.., siapkan sopir di depan Lobby. Aku akan makan siang!”

Setelah itu, terlihat Reynaldi meraih ponselnya dan berkata pada Meytha, “Ingat! Jam satu kamu sudah disini!”

Setelah itu, tanpa mengatakan apa pun Reynaldi meninggalkan Meytha yang masih terdiam, berdiri mematung di depan meja sang CEO. Melihat pintu ditutup oleh si empu ruangan itu, Meytha dengan betis sakit, langsung duduk pada kursi yang ada di hadapan meja kerja Reynaldi.

“Aduh.., betisku sakit sekali berdiri dari tadi. Pasti Utomo mau gue capek makanya nyuruh berdiri. Rasanya gue harus udah mulai cari kerja tempat lain deh.., gue kagak kuat ikutin maunya..”

“Maunya siapa.., Mey...?” tanya Dinda saat tak disadari sudah masuk ke ruangan itu.

“Uhmm.., bukan apa-apa..., Sekarang aku mau jemput anak di sekolah dulu ya.., Din.”

“Mey.., baru mau aku ajak makan bareng. Bukannya nanti jam dua, bapak ada pertemuan diluar? Apa kamu nggak ikut?” tanya Dinda saat dilihat Meytha bangun dari tempat duduknya dan berjalan ke arah pintu keluar.

“Iyaa.., Din.., nanti aku balik jam satu. Makanya aku jemput anakku dulu,” ucap Meytha menoleh pada Dinda yang duduk di sofa dan menikmati kopi susu buatannya sendiri.

“Pakai apa kamu jemput anak-anak, Mey?” tanya Dinda seraya menikmati kopi susu yang dibiarkan di ruangan itu.

“Motor...! Byee..!”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ela Ela
jangan2 anaknya Mey, bapaknya Ceo dingin itu yg sombong dan kejam
goodnovel comment avatar
Parikesit70
Salam kenal dengan saya Parikesit70(◍•ᴗ•◍)... Mohon bantuannya untuk kakak & pembaca setia Good Novel kasih bintang 5 & komentar pada bagian depan serta tambahkan pada pustaka kakak╰(^3^)╯ semoga kebaikan kakak mendapatkan Pahala Aamiin(。♡‿♡。) Terima Kasihヾ(˙❥˙)ノ
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status