“Enak banget kamu ya, baru dateng udah leyeh-leyeh aja! Cepetan ganti baju! Bantuin cuci piring di belakang!” Dengan nada kesal, seorang wanita paruh baya menunjuk gadis berkulit sawo matang yang masih mengenakan gaun pengantin untuk membantu pekerjaannya di dapur.
“Maaf, Bu. Sekarang?” Gadis polos bernama Cahaya itu mengajukan pertanyaan untuk memastikan. Maklumlah, malam pengantin baru. Masa iya, pengantinnya disuruh cuci piring. Bukannya langsung patuh, tetapi malah bertanya membuat sang ibu mertua semakin geram, sehingga kedua matanya melotot penuh amarah. Bahkan perempuan yang baru saja mendapat gelar ibu mertua itu mulai mengangkat kedua tangan ke pinggang. “Pastinya sekaranglah! Kalau nunggu tahun depan, ya keburu lumutan tu piring-piring! Kamu pikir cucian piring numpuk dan dapur kotor karena bekas acara siapa? Semua kekacauan ini karena acara pernikahan kamu! Jadi kamu harus ikut tanggung jawab!” Tanpa berani protes dan bertanya apa pun lagi, Cahaya mengangguk paham. “Iya, Bu. Aya ganti baju dulu.” “Cepetan!” seru Bu Lastri, sang ibu mertua seraya menutup pintu kamar dengan sangat kasar. Sebenarnya Cahaya baru saja masuk ke kamar suaminya untuk beristirahat selepas menemani beberapa tamu yang datang, tetapi dia harus memenuhi perintah ibu mertua dan menunda waktu untuk beristirahat. Gadis desa yang kini telah resmi menjadi seorang istri itu bersusah payah melepas pernak-pernik aksesoris yang menempel di kepala dan meletakkannya asal di atas meja. Tanpa menghapus riasan yang melekat di wajah, Cahaya segera menarik selembar daster motif bunga dan jilbab instan dari tas yang dia bawa dari desa, kemudian memakainya. “Cahaya! Cepetan!!” Teriakan Bu Lastri mampu membuat jantung Cahaya berdegup dua kali kencang. Bukan berdegup karena membayangkan malam pertama, tetapi karena dia ketakutan. Lebih tepatnya takut jika berbuat salah di mata ibu mertua. Dia teringat nasihat dari neneknya agar menjadi istri dan menantu yang patuh pada suami dan mertua. Seperti nyonya besar yang memanggil babunya, Bu Lastri kembali berteriak hingga Cahaya benar-benar muncul di hadapan. Dengan tatapan sinis dan sebelah tangan bertolak pinggang, sang mertua memberi instruksi pada si menantu tentang apa yang harus dikerjakan. Selain mencuci piring Cahaya juga harus menyapu dan mengepel lantai dapur hingga bersih, dan semua pekerjaan harus selesai malam ini juga. Bu Lastri melarang Cahaya tidur sebelum semua perintah yang diberikan sudah diselesaikan dengan benar. Tanpa bertanya apa pun lagi, Cahaya segera berdiri di depan wastafel dan mulai mencuci satu per satu piring kotor yang menumpuk. Bukan hanya di atas, tetapi tumpukan piring dan beberapa alat dapur yang lain terlihat berjejer mengantri di lantai, tepat di samping kaki Cahaya berdiri. Setelah satu jam lebih, gadis itu akhirnya menyelesaikan tugas dari ibu mertua di hari pertama dia menjadi menantu. Rasa lelah menghampiri membuat pinggang dan punggung Cahaya terasa berat dan kaku. Diliriknya jam bundar yang tertempel di dinding waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Selain rasa penat dan kantuk yang menyerunya untuk cepat-cepat merebahkan diri, pengantin baru itu ingin segera menemui pasangannya karena sejak perkenalan hingga acara resepsi pernikahan selesai, keduanya tidak ada obrolan serius yang membicarakan hal pribadi masing-masing. Cahaya ingin menghabiskan malam ini bersama dengan suami, mengenal pria itu lebih dalam, berbagi cerita apa pun agar bisa lebih dekat dan melakukan hal indah yang pasti diidamkan seluruh pemuda pemudi. Dibukanya pintu kamar yang terbuat dari jati berukiran indah dengan sangat pelan. Berharap sosok pria yang beberapa jam yang lalu menghalalkannya itu menyambutnya dengan senyuman. Namun, Cahaya harus menelan kekecewaan. Hati yang sedari tadi berdebar bahagia tiba-tiba hampa karena pria yang dia bayangkan sedang menunggunya di atas ranjang ternyata tidak ada di kamar. DI mana Mas Adam? Kok nggak ada di kamar? Apa mungkin sedang mandi? Cahaya melangkah mendekati pintu kamar mandi yang terletak di ujung ruangan, tetapi masih di dalam kamar. Keluarga Adam termasuk salah satu keluarga kaya di kota ini, jadi wajar memiliki rumah dengan ukuran kamar yang luas lengkap dengan kamar mandi. Gadis itu diam di depan pintu kamar mandi, mendengarkan dengan seksama, tetapi tidak ada suara apa pun dari dalam. Cahaya memutar badan, melangkah perlahan dan mulai menghempaskan tubuh ke atas ranjang. Diraihnya gawai pipih dari atas nakas dan menyalakan layar, membuka beberapa folder gambar yang sempat dia abadikan tadi siang untuk mengusir kantuk yang datang . Tak mungkin kan dia tidur lebih dulu, sementara malam ini adalah malam istimewa bersama sang suami. Malam semakin larut, suasana pelaminan pun telah sepi. Hanya terlihat beberapa pria yang mengumpulkan gelas plastik bekas minuman para tamu dan beberapa pria terlihat berkumpul di teras rumah, sementara para tetangga yang lain telah pulang ke rumah masing-masing. Perut mungil Cahaya tiba-tiba bereaksi ketika hidungnya tak sengaja mencium aroma sedap yang menyeruak dari arah dapur. Entah masakan apa yang sedang dihangati oleh Bu Lastri di dapur, tetapi bau masakan itu tampak begitu lezat di benak Cayaha. Karena rasa gugup dan antusiasme yang terlalu tinggi membuat gadis itu melupakan makan siang. Dia baru teringat bahwa perutnya memang belum diisi sejak keberangkatan dari desa tadi pagi, sehingga membuat cacing-cacing di perutnya meraung-raung berharap untuk dikasihani. Padahal tadi baru dari dapur, tetapi entah mengapa tak ada rasa lapar sama sekali. Ah, nanti aja kalau Mas Adam sudah masuk kamar, aku akan minta dia buat temenin aku makan di dapur. Akan kutahan dulu rasa laparku. Biar so sweet juga kan nanti bisa makan bareng sama suami sebelum malam pertama. Lamunan gadis desa yang mulai malam ini akan tinggal di kota itu mampu membuatnya senyum-senyum sendiri. Dengan perasaan yang tak bisa dijelasksan, Cahaya mengedarkan pandangan memerhatikan kondisi kamar pengantin yang dihias indah dengan nuansa biru muda dan putih penuh dengan bunga bermekaran. Tampak sangat indah seperti hatinya saat ini. Gadis itu mengalihkan pandangan ke atas kasur yang membuat hatinya semakin bergetar dan jantungnya seakan terpompa lebih kencang. Bagaimana tidak, gadis desa itu melihat hiasan dari tumpukan kelopak bunga mawar merah yang dibentuk hati di atas kasur yang akan menjadi saksi bisu malam pertamanya. Malam yang sebelumnya tak pernah dia bayangkan akan dilewatinya dengan siapa, tetapi kini sudah sangat jelas bahwa pria itu adalah Adam, pemuda beralis tebal dan bermata tajam dengan tubuh atletis yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Terdengar derit pintu terbuka membuat Cahaya terhenyak dan segera menoleh. Benar saja, sosok yang sedari tadi berputar-putar di hati dan pikiran Cahaya kini berdiri tegap di depan mata. Sayangnya, pria yang bernama Adam itu mendatangi istrinya dengan memasang wajah masam. “Mas ....” Cahaya memanggil suaminya dengan penuh kebahagiaan. Akan tetapi, sosok pria yang dipanggil masih terdiam membeku. “Mas dari mana? Aya pikir tadi Mas mandi, tapi pas Aya periksa di kamar mandi, nggak ada orang.” Dengan senyum termanisnya Cahaya menghampiri Adam, berharap pria yang dia kagumi akan membalas dengan hal yang sama. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Adam meniup napas kasar dan membuang muka, tetapi Cahaya masih berusaha memahami keadaan sang suami. “Mas pasti capek kan? Sini, Mas ... Aya pijitin biar enakan. Habis itu bawa istirahat.” Cahaya duduk di atas ranjang dan menepuk pelan kasur memberi isyarat pada Adam agar segera menyusulnya. Meskipun dalam hati Cahaya saat ini benar-benar tak karuan karena baru pertama kali berada dalam satu kamar bersama seorang pria, tetapi dia sudah siap lahir dan batin untuk menjadi istri dari seorang Adam. Adam kembali menarik napas berat dan mengembuskannya dengan sangat kasar. Sorot mata tajam menyala seperti amarah sedang berada di ujung tanduk, pria itu berkata, “Enggak perlu! Aku mau tidur di kamar lain!” “Tapi, Mas. Malam ini kan malam pertama kita.” Cahaya kembali berucap dengan tatapan nanar, tetapi hal itu malah membuat pria yang berdiri di hadapannya semakin muak. “Apa? Malam pertama?? Jangan mimpi! Aku nggak sudi menyentuhmu! Apa kamu nggak sadar bagaimana kondisi wajahmu itu? Meskipun dipolesi riasan semahal apa pun, nggak akan mengubah kenyataan bahwa kamu itu jelek!” BERSAMBUNGBab EkstraSuara sirine ambulan mendengung sangat keras hingga terdengar sampai rumah Cahaya. Karena memang kejadian kecelakaan yang dialami Bu Lastri tidak jauh dari rumah Cahaya, sehingga kegaduhan yang terjadi bisa terdengar jelas oleh semua orang termasuk Cahaya.“Pa, ada apa rame-rame di depan?” tanya Cahaya dari arah dapur, karena setelah kepergian mantan ibu mertuanya beberapa menit yang lalu, gadis itu berniat menghidangkan makan siang untuk Farel dan ibunya. “Apa mungkin ada kecelakaan?” Dokter Hasan membalas dengan wajah penasaran.Begitu juga dengan Farel dan ibunya yang sama-sama mendengarkan kegaduhan di luar. Keduanya saling pandang dengan wajah penasaran atas apa yang mereka dengar. Dan di saat yang bersamaan, Bu Salma datang dengan memasang wajah panik. “Pa, Bu Lastri kecelakaan!” teriak ibu dari Cahaya itu dengan suara gemetar. “Ya Allah, Pa ... Mama liat sendiri mobil Bu Lastri nabrak pohon besar di pinggir jalan.” “Bu Lastri? Ibunya Adam?’’ Dokter Hasan begitu te
BAB 50The EndBu Lastri melepas kepergian Nadia dengan tangisan pilu. Wanita paruh baya itu tidak pernah menduga bahwa hidupnya akan berada di titik rendah ini. Karena keegoisannya ingin menjadikan Cahaya yang kini telah berubah menjadi kaya membuat putranya terpuruk dalam masalah di penjara. Bu Latri pun tidak pernah menduga bahwa keluarga Cahaya akan melaporkan perbuatan putranya yang mendekati Cahaya. Sebelumnya Adam memang ada bercerita tentang usahanya mendekati Cahaya, hingga terjadi perkelahian dengan dokter muda karena menolong Cahaya. Akan tetapi, Bu Lastri tidak pernah menduga bahwa Dokter hasan melaporkan perbuatan putranya ke kantor polisi. Dalam kebingungan, wanita paruh baya itu menuju ke kantor polisi sendirian. Bu Lastri ingin menemui putranya yang sedang kebingungan di penjara. Wanita paruh baya itu ingin memastikan keadaan Adam di jeruji besi yang menyesakkan dada. Di sepanjang perjalanan, air mata sudah tidak bisa dibendung lagi. Hati Bu Lastri sedang sangat gu
BAB 49Sebuah HukumanKarena melihat istri dari tersangka yang ditangani olehnya kebingungan, sang polisi yang membawa surat penangkapan itu pun segera mejawab, “Saudara Adam telah melakukan penyerangan dan perbuatan tidak menyenangkan kepada Saudari Cahaya. Di mana dia sekarang? Kami minta Anda dan suami bersikap kooperatif agar kasus ini bisa diselesaikan dengan cepat dan tenang.” “Apa? Suami saya melakukan kesalahan apa? Dan Cahaya?? Kenapa suami saya bermasalah dengan Cahaya??” tanya Nadia ingin memastikan alasan penangkapan suaminya.“Kalau mau jelas, nanti bisa kami terangkan di kantor. Sekarang, panggilkan suami Anda terlebih dahulu dengan cara yang baik, sebelum kami melakukan pemanggilan paksa!” jawab sang polisi yang lain dengan suara lantang, sehingga membuat Adam yang kebetulan berada di rumah segera ke luar karena mendengar suara bising yang mengganggu.Pria itu pun muncul dari balik pintu dan mendapati istrinya tengah memasang wajah bingung di hadapan dua polisi. “Ini a
BAB 48Sebuah Harapan“Apa Dokter Farel serius mau melamar Cahaya?” tanya Dokter Hasan pada Farel dengan memasang wajah penuh penasaran. Wajar, karena sebelumnya ayah dari Cahaya itu tidak pernah berpikir bahwa dokter muda kepercayaannya menaruh hati pada putrinya. Sebaliknya, yang di pikiran Dokter Hasan selama ini adalah Farel sudah memiliki kekasih dan calon istri sehingga pria itu sama sekali tidak pernah menyinggung perihal pasangan kepada Farel. Akan tetapi, tiba-tiba saja pemuda mapan itu datang bersama ibunya dan mengungkapkan niat baik untuk melamar Cahaya. Hal itu membuat Dokter tidak bisa berkata apa-apa selain bertanya seriuskah?Dengan penuh keyakinan, Farel pun mengangguk seraya menjawab, “Iya, Dok. Saya sangat serius. Ini buktinya saya bawa Ibu saya ke sini biar Dokter yakin.” Ucapan Farel yang terkesan melucu, tetapi dengan wajah serius membuat Dokter Hasan terkekeh. “Ini beneran enggak sih, Dok? Saya benar-benar masih kurang yakin ini.” Melihat reaksi ayah dari g
BAB 47Lamaran Kilat“Jadi, Abang nggak marah sama apa yang gua sampaikan ke Cahaya?”“Enggak, Dek. Abang malah berterima kasih sama kamu. Dan sesuai dengan permintaan Cahaya, setelah Abang bersaksi di kantor polisi, Abang akan langsung datang ke rumahnya untuk melamar.” “Seriusan, Abang mau melamar Cahaya??” Raka benar-benar tidak percaya jika kakaknya menyambut bahagia atas hasil dari apa yang dia ucapkan kepada Cahaya. Bukan hanya bahagia, tetapi Farel malah berniat melamar Cahaya dengan cepat.Bagi Farel, permintaan Cahaya untuk menghadap kepada orang tuanya langsung adalah bentuk dari penerimaan gadis itu. Karena jika Cahaya menolak, pastilah gadis itu akan menolaknya langsung tanpa menyuruhnya datang ke rumah dan mengatakannya langsung kepada orang tuanya.“Iya, Dek. Abang serius. Nanti Abang akan ajak kamu dan Ibu sekalian. Abang juga akan menyiapkan semuanya secara lengkap. Jadi, Abang akan datang ke rumah Cahaya dan melamarnya secara resmi.”“Melamar Cahaya secara resmi?” ta
BAB 46Pernyataan Cinta“Gua serius, Cahaya. Lu mau enggak jadi pacar Abang gua?” Raka bertanya pada Cahaya dengan wajah penuh keseriusan.Mendengar apa yang diucapkan Raka berhasil membuat jantung Cahaya berdegup semakin tak beraturan. “Raka, kamu jangan bercanda ya? Mana mungkin Dokter Farel suka sama Aya?”“Lu ini kenapa sih nggak percayaan banget ama gua? Gua nggak lagi becanda, Cahaya. Abang gua beneran suka sama lu.” “Bukannya Aya enggak percaya sama kamu, Raka. tapi kan ... Dokter Farel itu pemuda yang ... tampan, mapan, pastinya Dokter Farel udah punya calon istri kan?”Cahaya tidak memungkiri bahwa hatinya saat ini sedang berbunga-bunga atas ucapan dari Raka. Akan tetapi, dia berusaha keras untuk mencari pembenaran dari ucapan Raka tentang perasaan dokter muda yang mereka bicarakan.“Astagfirullah, Cahaya. Gua beneran serius!” Raka sampai kesal karena Cahaya tidak mempercayai ucapannya. “Lu tenang aja. Abang gua itu masih suci dan murni. Dia enggak pernah pacaran.”“Apa?! D
BAB 45Pelajaran untuk Mantan“Apa kita perlu laporkan Adam ke polisi, Pa?” tanya Bu Salma memberikan saran kepada sang suami.“Hmm ....” Dokter Hasan berpikir sejenak, kemudian kembali berucap, “Iya, Papa setuju. Kalau menurutmu gimana, Cahaya?” “Maksudnya Papa sama Mama mau memen jarakan Mas Adam?” Entah mengapa mendengar rencana dari orang tuanya yang akan mereka lakukan kepada Adam membuat Cahaya tiba-tiba merasa kasihan pada pria itu.“Iya, kita harus tegas supaya dia nggak bakalan ganggu kamu lagi,” jawab Dokter Hasan dengan penuh keyakinan. “Tapi, Pa ... Papa kan tahu sendiri kalau Mas Adam punya anak dan istri. Anaknya juga masih bayi. Kasihan kalau Mas Adam dipenjara, nanti siapa yang ngurus mereka?” “Cahaya ....” Bu Salma meraih tangan Cahaya dengan lembut dan membelainya. “Cahaya, dengerin Mama. Kita memang harus bersikap baik kepada orang. Tapi bukan berarti kita diam kalau ada orang yang berbuat tidak baik sama kita. Kamu masih ingat kan bagaimana perlakuan mereka dul
“Maksud Dokter apa?” tanya Cahaya dengan wajah serius. “Jangan bercanda kayak gitulah, Dok. Enggak lucu.” Detik ini, ketika Farel mendapat kesempatan duduk berdua dengan Cahaya, ingin sekali pemuda itu bersorak dan mengungkap isi hatinya. Akan tetapi, entah mengapa nyalinya tiba-tiba menciut. Keberanian untuk berterus terang dan menyatakan cintanya tidak sebesar nyalinya ketika menantang Adam beberapa menit yang lalu.Pemuda itu terkekeh. “Hehe, enggak lucu ya? Padahal itu sudah sangat lucu buat saya.” “Nggak lucu, Dokter.”“Hehehe.” Cahaya tertegun. Dia baru ingat bagaimana bisa dokter muda itu datang tepat di saat dia membutuhkan bantuan. Mengingat jarak rumah sakit tempat bekerja pemuda itu sangat jauh karena berbeda kota. “Dok, tadi kok bisa pas gitu? Bagaimana Dokter tahu kalau Aya sedang dalam masalah karena Mas Adam tadi? Kan rumah sakit tempat Dokter kerja jauh. Apa Dokter Farel pas kebetulan lewat aja atau bagaimana??” tanya Cahaya dengan memberondong pertanyaan demi pert
Setelah hampir 30 menit Cahaya akhirnya memantapkan hati untuk keluar. Sebenarnya dia sangat malas jika harus bertemu lagi dengan mantan suaminya itu, tetapi tidak mungkin juga dia tidak pulang hanya karena menghindari Adam yang saat ini sedang menunggunya di gerbang depan.Benar saja, dengan penuh sabar Adam menunggu Cahaya keluar sejak beberapa jam yang lalu. Setelah dilihatnya mobil mungil milik Cahaya yang perlahan berjalan menuju gerbang, Adam segera menyalakan mesin mobilnya untuk menghadang jalan Cahaya. Cahaya yang melihat kehadiran mobil Adam segera menghentikan mobilnya. Dengan perasaan kesal, wanita muda itu keluar dari mobil seraya memegang satu buket bunga di tangan. Cahaya akan mengembalikan buket itu kepada si pengirim. “Assalamualaikum, Cahaya.” Adam menyapa dengan meyunggingkan senyuman tanpa sedikit pun merasa malu atau merasa sungkan.Bruk!Cahaya melempar satu buket bunga tepat di bawah kaki Adam. “Ini! Ambil kembalikan! Karena aku nggak sudi menerima apa pun da