"Itu lemari baju anak saya. Semua kenangan dia tersimpan di situ. Saya nggak mau kenangan itu jadi rusak karena kalian acak-acak.""Kami akan bereskan lagi Bu. Kami pastikan, nggak ada yang akan rusak. Kami akan sangat hati-hati," kata Meti."Ya Bu. Mungkin saja itu harapan terakhir kita. Kalau memang tak ada apa pun. Saya janji, saya nggak akan mengungkit hal ini lagi." Aku memohon pada istri Pak Rudi. Hatiku bilang, ada sesuatu di dalam lemari itu."Ya sudah. Tapi jangan sampai ada yang rusak. Saya nggak akan memaafkan kalian, kalau ada yang rusak." "Iya Bu, kami akan hati-hati," ucap Meti seraya mengulas senyum manis, namun dibalas tatapan dingin oleh istri Pak Rudi. Kami semua sudah berkumpul di sini, di kamar anak Pak Rudi. Kamar ini tampak bersih dan terawat. Berbanding ruangan lain yang terbiar begitu saja. Kamar khas anak remaja putri. Bahkan di meja belajarnya, masih tersusun rapi buku-bukunya. Sebuah laptop berwarna silver tampak ada di atas meja itu.Dengan perlahan aku m
"Bener juga, saya juga sudah lapar. Kita makan disini, ya Bu. Biar saya dan Andri yang beli mi instan ke warung. Para cewek, bantu Ibu membersihkan rumah." Kami semua setuju dengan usul Raya. Mata kami menatap istri Pak Rudi penuh harap. Kami yakin, beliau sedang butuh suasana baru. Kelihatan kesepian hidupnya, makanya sikapnya jadi dingin begitu. "Tapi jangan berantakan." Kami sangat senang, istri Pak Rudi mengizinkan juga. "Bu, kita belum kenalan. Nama saya Rindi, itu Meti, yang pakai kacamata Cila, dia Andri dan yang imut, Raya. Nama Ibu siapa?" Rindi memperkenalkan teman-temanku pada istri Pak Rudi."Ih, aku nggak dikenalin." Aku memasang wajah cemberut pada Rindi. "Kamu kan, udah memperkenalkan diri tadi. Ibu masih ingat kan nama teman kami yang indigo ini?" Senyum mulai menghiasi wajah istri Pak Rudi. "Panggil saya Bu Ayu," kata istri Pak Rudi. Intonasinya bicara tak lagi ketus."Rin, enak aja kamu bilang aku imut," sungut Raya. "Udah deh, nggak usah ngelak. Nyatanya kamu
"Enak banget mienya Buk. Sumpah, baru kali ini makan mi seenak ini. Pantas saja sampai namboh." Andri mengusap perutnya yang kekenyangan. "Emang lu makannya banyak. Makan mi nggak dibumbui, juga bisa habis dua porsi," ledek Rindi sambil mengumpulkan piring bekas kami makan. Cila juga turut membantu Rindi mengangkat piring-piring kotor itu dan meletakkannya di wastafel. "Udah, nggak usah dicuci. Biar nanti Ibu aja yang cuci piring. Sebaiknya kalian pulang, orangtua kalian pasti khawatir," kata Bu Ayu. "Iya, Bundaku udah wa aku nih," kata Cila. "Ya udah, kami pamit ya Bu. Semoga ada titik terang atas kasus ini," kataku. "Kalaupun nanti tidak ditemukan apa-apa. Ibu sudah ikhlas, terima kasih kalian sudah menghibur ibu. Saat meninggal dulu, usia anak ibu, sebaya dengan kalian. Kalian sudah mengobati rasa kangen Ibu." Bu Ayu tampak terharu, matanya sampai berkaca-kaca. Aku jadi ikut terharu juga. Kupeluk Bu Ayu erat. Apa begini ya rasanya, kalau meluk ibu sendiri? "Bunda saya sudah
Sebelum masuk ke dalam mobil Andri, masih sempat aku celingukan, barangkali 'dia' akan menampakkan diri. Nihil. Baru lagi mobil Andri jalan, aku merasa ada yang narik-narik hijab aku dari belakang. Aku menoleh, nggak ada siapa-siapa."Ya, kamu ngerasain nggak?" bisik Meti. "Ngerasain apa?" Aku juga berbisik. "Ada hantu," bisik Meti semakin pelan hampir tak kedengaran, mungkin takut terdengar teman yang lain. Aku diam saja, apa mungkin ada hantu yang ikut naik ke mobil Andri? Apa yang narik-narik hijab aku tadi ya? "Nggak ada ah." "Eh, kalian ngapain sih, dari tadi bisik-bisik?" tanya Raya. Aku duduk persis di belakangnya. Mungkin dia sedikit terganggu dengan suara kami. "Eh, nggak boleh tau, kalau ngumpul begini, bisik-bisik. Ntar ada yang tersinggung," kata Cila ada benarnya juga. "Iya, sorry yang besti," kata Meti sambil nyengir. "Kita kan, udah temenan. Katanya geng, jadi jangan ada rahasia-rahasiaan dong." Rindi ikut menimpali. "Bukan rahasia kok." Aku jadi merasa bersa
"Tuh kan, Haya," rengek Cila. Dia duduk di sebelah Meti, mungkin mendengar yang dibisikkan Meti tadi. "Nggak papa. Ini hantu nggak jahat kok." Temen-temen aku semakin ketakutan. Andri sampai menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dan lebih dulu buka pintu dan keluar dari mobil disusul teman-teman yang lain, termasuk Meti yang aku sangka pemberani. "Tuh kan, kamu usil banget sih. Ngapain juga ikut-ikut aku. Temen-temen aku kan jadi takut." Aku jadi kesal sama Dara. "Hehe, maaf." Dara malah cengengesan. "Habisnya, kamu kan udah janji mau nemuin mamaku. Rumah sakit tempat mamaku dirawat nggak jauh dari sini," katanya menagih janjiku. "Ini udah sore banget. Nanti ayahku marah kalau aku terlalu sore pulangnya." "Yaaa, jadi kapan dong. Kamu nggak kasihan apa, sama mama aku. Siapa tau, mama aku bisa waras lagi dan ingat lagi sama papaku kalau kamu udah sampaikan maafku." Aku menarik nafasku dan menghembuskan dengan kasar. Beginilah kalau janji sama makhluk astral, dia bisa nongol ka
"Nah itu dia. Anaknya itu, minta tolong sama aku untuk nemuin ibunya." "Buat apa?" tanya Meti. "Ibunya sakit jiwa. Sekarang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Bina Insan. Katanya, ibunya ini merasa sangat bersalah, karena menyebabkan anaknya meninggal?" "Maksud kamu, kejadian dulu itu bukan bunuh diri, tapi pembunuhan?" tanya Andri. "Bukan pembunuhan juga. Ibunya itu berniat bunuh diri, tapi dia mau anaknya ikut mati juga sama dia. Anaknya itu kan, cuma satu-satunya itu. Tapi, anaknya meninggal, ibunya malah selamat." "Ih, kasihan banget," kata Cila dengan mimik wajah sedih. "Jadi, kamu iyain mau nolong dia?" tanya Raya."Iya. Kalau nggak dia pasti terus merengek minta tolong sama aku. Kalian ada yang tau, dimana rumah sakit itu? Katanya nggak jauh dari sini." "Bisa kita tanya mbah google," jawab Raya. "Apa kita kesana aja? Biar tuntas. Dia juga nggak nongol lagi di hadapan Haya kalau lagi bareng kita. Masih jam tiga, belum terlalu sore," usul Rindi sambil melihat ke jam model vintag
Dengan senyum mengembang, aku turun lagi, berjalan ke dapur memenuhi panggilan nenekku. Cupping hidungku langsung bergerak kembang kempis, ada aroma wangi yang sangat menggugah selera. "Masak apa Nek?" Aku melihat ke wajan. "Lagi goreng bakwan jagung kesukaanmu," kata Nek Ipah. "Udah ada yang mateng?" Mataku langsung berbinar, aku sangat suka bakwan jagung buatan nenek-nenekku. "Tuh," tunjuk Nek Ipah dengan mengerucutkan bibirnya ke arah sudut dapur. Dengan semangat aku langsung ke situ, mencomot satu bakwan yang ternyata masih sangat panas."Uh panas." Sontak aku mencampakkan bakwan itu lagi ke piring. Nek Ipah dan Nek Wiyah tertawa melihat tingkahku. "Oalah Ndok, bukannya pake tisu megangnya," kata Nek Ipah. "Haya kok sore banget pulangnya?" tanya Nek Wiyah. Diambilkannya satu bakwan dengan tisu, dibelah dua biar cepat hangat. Sejak kecil kalau, makananku masih panas, Ayah memang melarangku meniup makananku. Tunggu hangat baru dimakan. "Ke rumah temen tadi Nek." Terpaksa bo
"Huihh, segernya. Astaghfirullah!" Aku terlonjak melihat wajah Dara tau-tau langsung nongol ketika aku membuka pintu kamar mandi. "Hehe, bisa kaget juga." Dara malah cengengesan. Dasar! Hantu koplak. "Ya bisalah. Beruntung jantung ini buatan Tuhan, kalau buatan manusia udah jatoh kali," sungutku. Kulepas handuk yang melilit rambutku, aku udah langsung pakai baju tidur dari kamar mandi tadi. Kukibas-kibaskan rambutku agar cepat kering. "Hei, pelan-pelan dong! Nyiprat nih," gerutu Dara."Loh, kena? Kirain airnya tembus juga." Gantian aku yang cengengesan. Seandainya kalian bisa lihat, betapa lucunya ekspresi Dara.Aku berulangkali mengelap rambutku dengan handuk, agar tak ada sisa air yang menetes."Eh, Riko mana?" tanyaku sambil merapikan rambutku dengan jari-jari tanganku."Nggak tau. Ngapain nanyain dia?" "Emang nggak boleh?""Bukan nggak boleh, kali aja kamu ada perlu." "Nggak juga sih. Aku pikir, kalian selalu bareng." "Nggak juga. Dia memang suka ngilang." "Loh, hantu kan