CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)

CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)

Oleh:  KARTIKA DEKA  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
50Bab
2.5KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Cahaya adalah anak Dewi dan Roni, pemeran utama Patung Kuda Di Rumah Mertua 1. Cahaya memiliki kelebihan yang tak biasa. Mata batinnya sudah terbuka sejak dia masih kecil. Orang bilang, indigo. Berbeda dengan anak indigo lainnya yang cenderung tertutup. Cahaya justru pribadi yang menyenangkan. Dia suka berteman dan selalu riang. Temannya juga bukan hanya manusia biasa, tapi dia juga berteman dengan makhluk astral. Kelebihannya, membuat banyak makhluk astral mendekat untuk meminta bantuan padanya, menyelesaikan masalah yang belum sempat mereka selesaikan semasa hidupnya. Hingga akhirnya, dia sampai pada masa lalu kelam keluarganya. Kisah dimana, sejarah patung kuda berawal.

Lihat lebih banyak
CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2) Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
50 Bab
Pindah
POV Cahaya"Cahaya nggak mau pindah!" "Cahaya … jangan begitu toh Ndok. Itu mobilnya udah jemput.""Nggak mau!" Aku tetap bertahan, tak mau beranjak dari kamarku. Aku sedih banget, hari ini Ayah mengajak kami semua pindah ke rumah baru. Nek Wid sejak tadi berusaha membujukku. Aku beneran nggak mau pindah hiks.Di rumah ini, aku bisa ngerasain kehadiran Bunda. Aku bisa merasakan sentuhannya yang selalu membelai rambutku saat aku tidur. Walaupun aku tidak pernah bertemu dengan Bunda semasa dia masih hidup."Sayang, ayo dong. Nanti kita terlalu sore sampai di rumah baru." Kali ini Ayah yang mencoba membujukku.Ayah mencoba mengambil album foto yang ada di pelukanku. Aku mengelak, kupunggungi Ayah dengan wajah cemberut. Album ini berisi foto-foto Bunda, hanya dengan melihat album ini aku bisa mengenali Bunda. "Sayang." Ayah meraih kepalaku ke dadanya. Aku tak sanggup untuk tak menangis di dada Ayah. "Yah, kenapa sih kita harus pindah." "Hmm, kita butuh suasana baru, Sayang." Aku tau
Baca selengkapnya
Teman baru
POV Cahaya"Bocah ini, bikin kaget aja!" sungut Nek Wiyah yang ternyata memegang pundakku."Nenek tuh yang buat kaget." "Iya, maaf. Tadi nenek mau manggil Haya. Takut Haya kaget makanya megang pundaknya dulu, eh malah tambah kaget hehe." "Nek, kamar ini kok dikunci sih? Haya mau lihat, kali aja dalamnya lebih bagus.""Nenek juga nggak tau. Coba minta sama Ayahmu kuncinya.""Males ah, turun ke bawah lagi." "Ya sudah kalau males. Tuh, susun baju Haya sendiri." Nek Wiyah malah melenggang pergi meninggalkan aku dengan sebuah koper besar yang berisi semua bajuku."Nek, bantuin.""Males." Aku kalah telak. Nek Wiyah membalikkan kata-kataku. Yaaa, mau gimana lagi. Penasaran, tapi lebih gedean malesnya. Nanti saja nunggu Ayah naik, baru minta kunci kamar ini. Aku mau beresin bajuku dulu. Susah payah kuseret koper itu masuk ke dalam kamarku. Kususun dulu semua bajuku di atas tempat tidur. Kupisah antara baju rumah, baju sekolah, baju main juga baju buat pergi ke acara resmi. Sudah beres, n
Baca selengkapnya
Dimensi lain
POV Cahaya"Ayah cariin kemana-mana," kata Ayah. Kepala Ayah menoleh kesana kemari seperti mencari sesuatu."Haya, dari tadi di sini aja kok Yah." Agak gugup juga aku. Sepertinya Ayah curiga. "Tadi Ayah dengar, Haya seperti sedang ngobrol. Sama siapa?" "Em, Ayah salah dengar kali. Dari tadi Haya cuma telfonan sama teman Haya di sekolah.""Yang bener ?" tanya Ayah menyelidik."Iya, suer." Aku mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahku."Ya sudah, cepat ke bawah. Kita makan siang dulu. Ayah sudah pesan kentang goreng kesukaan Haya.""Iya, nanti Haya nyusul.""Jangan lama-lama. Haya tau kan, Ayah gak bisa makan, kalau Haya belom makan." Aku menganggukkan kepalaku.Ayah melangkah keluar lagi, membuka pintu kamarku, sebelum keluar, Ayah berbalik melihatku. Aduh, sepertinya Ayah nggak percaya, matanya masih saja melihat kesana kemari."Ya udah deh, Haya ikut Ayah aja." Aku segera menyusul Ayah."Tunggu ya," bisikku hampir tak bersuara pada Dara yang menatapku dengan dingin dan kaku. Na
Baca selengkapnya
Tentang Dara
POV CahayaKulihat seorang wanita dewasa sedang menarik tangan seorang pria. Apa itu orang tua Dara? Mereka juga sepertinya tidak melihatku."Mas … kasih aku kesempatan sekali lagi. Aku mohon," rengek wanita itu."Aku capek. Aku lelah sama kamu. Semua kerjaku sia-sia gara-gara ulah kamu. Berapa kali kamu minta maaf, selalu kamu ulangi," kata laki-laki itu dengan bersimbah air mata. "Dara. Ikut Papa," kata laki-laki itu pada Dara. Ternyata dia Papa Dara. Berarti wanita itu, Mama Dara.Dara menggeleng, dia masih meringkuk di lantai. Dia seperti sangat terpukul melihat pertengkaran orang tuanya.Papa Dara tidak berniat membujuk Dara lagi. Papa Dara pergi begitu saja membawa sebuah tas yang cukup besar, meninggalkan Mama Dara yang hampir saja tersungkur dari tangga. Tanganku reflek ingin menolongnya, tapi kenapa aku tidak bisa menyentuh tubuh wanita itu?"Huhuhu, Mas!" Mama Dara sangat histeris, dia bangkit dan berlari mengejar laki-laki itu yang sudah membuka pintu utama rumah ini. Ruma
Baca selengkapnya
Kematian Dara
POV CahayaDara terus memegangi lehernya, sepertinya dia sangat kesakitan. Mama Dara hanya melihatnya, tanpa berniat memberikan pertolongan."Dara! Kamu kenapa?" Aku panik, tapi juga bingung mau bagaimana. Kulihat Dara kejang-kejang, mulutnya mengeluarkan busa. Kenapa Dara? Tiba-tiba tubuh Dara jatuh, untuk sesaat dia terus kejang."DARAAAA!" Mama Dara histeris.Dia langsung meraih tubuh Dara ke dalam pelukannya. Dia menangis sejadinya sambil memeluk Dara. "Maafin Mama, Sayang." Dara kejang-kejang di pelukan ibunya, lalu diam, tak lagi bergerak. Aku membekap mulutku sendiri, kenapa Dara? Aku jadi ikut menangis. Apakah seperti itu Dara meninggal, tragis sekali.Mama Dara terus menangis sambil memeluk tubuh Dara, erat sekali. Diciuminya seluruh wajah Dara. Menyesalpun sudah terlambat, Dara sudah meninggal. Mama Dara mengelap busa di mulut Dara dengan tangannya. Lalu bangkit dari atas tempat tidur, susah payah digendongnya tubuh Dara. Aku terus mengikutinya. Mau dia bawa kemana tubuh
Baca selengkapnya
6
"Oke, tapi nggak sekarang. Nunggu aku masuk sekolah dulu ya." "Janji." Mata Dara langsung berbinar karena aku mengabulkan permohonannya. Mau bagaimana lagi? Kalau nggak dituruti, dia bisa sangat mengganggu kehidupanku. Lagipula, nggak ada salahnya kan, menolong orang. Eh, orang … hantu kali. "Lalu kamu, Dik?" Aku mengarahkan daguku pada Riko, berlagak sombong pada hantu jutek itu. "Adik! Aku lebih tua dari kamu tau!" Dia nggak senang saudara, dipanggil Adik."Itukan kalau kamu hidup. Kamu aja meninggal masih lebih kecil dari aku," sahutku asal aja. Lalu rebahan lagi di atas ranjangku. Dia diam melototkan matanya padaku, aku melengos, dia kira aku takut. "Kalau nggak ada perlu lagi, aku mau tidur nih. Capek tau, dari perjalanan jauh. Sampai di sini di recokin sama kalian!" ketusku.Tiba-tiba si Riko menghilang. Tersinggung mungkin, biarin aja lah. Siapa suruh jadi hantu kok jutek amat. Kalau dia hidup, mungkin nggak punya teman kali. "Hmm Ca … Ca." Dara menggeleng kepala melihatk
Baca selengkapnya
Senior bikin ilfeel
Suara itu meminta siapa yang maju? Apa aku? Aku kan paling belakang. Tapi, bukan hanya aku kok. Di sini kan, ada beberapa barisan. Di setiap barisan ada yang berada di posisi paling belakang. "Kamu, yang baru datang, yang paling terlambat, maju." "Kayaknya kamu deh yang dipanggil," kata Cila. Tuh kan, bener. Bakalan dihukum aku nampaknya. Ragu-ragu aku melangkahkan kaki maju ke depan. "Cepat sedikit!" hardik suara itu. Ngapain bentak-bentak sih! Dia kan pakai toa, aku juga dengar kali. Terpaksa kupercepat langkahku, mana semua mata melihat semua. Malu banget rasanya. Sampai di depan, OMG, ada makhluk Tuhan paling cakep, aku sampai terpelongo melihatnya. Widih, he's perfect, no minus. Mirip sama Al Ghazali anak penyanyi itu loh. Mimpi apa sih aku tadi malam, ketemu cowok handsome begini. Kulihat name tag di dadanya, namanya Ikhsan. "Yang lain, boleh masuk kelas masing-masing. Kamu, tetap di tempat!" Aku justru senang dia melarang aku masuk. Jadi bisa lama-lama memandang wajahny
Baca selengkapnya
Bisa manis juga
"Kamu sudah baikan?" tanya Siska. Bisa manis juga dia, tadi juteknya minta ampun. Aku hanya mengangguk, pura-pura lemah tentunya."Sukur lah. Maaf ya, kalau kami berlebihan, kenalin aku Siska kelas dua belas. Kamu bisa panggil aku Kakak." Dia memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan.Gak nyangka, sikapnya bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Dia minta aku panggil dia Kakak. So sweet banget. Kok aku jadi terharu ya?"Aku Cahaya, Kak." Kusambut uluran tangannya. Tinggal kami berdua yang ada di ruangan ini. Nggak tau juga, kemana teman-temannya tadi. Serrr, aku merasa ada hembusan angin lewat. Kok aku tiba-tiba merinding ya. Apa ada arwah di sini? Kepalaku reflek mengarah ke arah arah jendela UKS yang lebar dan terbuat dari kaca keseluruhan. Jadi bisa tampak keluar. Seperti ada yang lewat. Apa itu …."Kamu kenapa?" "Um, gapapa Kak. Kak, aku udah mendingan, mau ke kelasku." "Gapapa nggak masuk dulu, hari ini cuma acara perkenalan aja kok. Kamu masih kelas sepuluh kan?" "Iy
Baca selengkapnya
Teman baru
"Kelas kamu disana. Kok malah kesini?" Kak Ikhsan menunjuk ke lorong sebelah kiri. "Iya Kak, aku tau. Sesak tadi, kirain di sini toilet." Bohong lagi deh. Sorry cogan. "Kalau toilet, di sana tuh, jalan lurus paling ujung. Justru ngelewatin kelas kamu." "Oke, Kak. Makasih ya."Cepat-cepat aku pergi dari hadapan Kak Ikhsan. Kayaknya bakal ada pengalaman setu di sekolah ini. Masih penasaran aku, dengan 'dia'."Cahaya!" panggil Cilla yang lagi keluar kelas. Kenapa tuh bocah keluar?Semakin kupercepat langkahku, menyongsong Cilla. "Kamu kok keluar?" tanyaku saat sudah mulai dekat dengannya. "Gak ada, emang pengen lihat kamu aja. Kok kamu lama banget?" "Biasalah." Aku nyelonong aja masuk ke dalam kelas. Ternyata nggak ada guru, pantes Cila keluar."Sini, kita duduk satu bangku." Cilla menarik tanganku, untuk duduk di urutan bangku paling depan. "Hai, kenalin aku Andri." Tau-tau udah ada temen cowok yang ngajak kenalan, kusambut uluran tangannya. "Cahaya." Aku sebutkan namaku."Mulai
Baca selengkapnya
Mengungkap kejadian masa lalu
"Buat apa coba? Nggak usah deh berurusan sama yang begituan," tanya Cila yang kayaknya takut. "Jujur ya, saat masuk sekolah ini. Ruangan yang duluan aku lihat, ya laboratorium. Aku merasakan hawanya berbeda disitu. Kali aja ada misteri yang belum terungkap, dibalik peristiwa kebakaran itu." "Meti benar, aku ikut sama Meti." Aku angkat tanganku. Akan semakin seru kalau ada teman kan? Aku sama Meti bisa saling melengkapi. "Kalian, bagaimana?" tanya Meti pada Rindi, Cuma, Andri dan Ray. Mereka tidak langsung menjawab, cukup lama aku dan Meti memandangi mereka."Ya sudah, kalau kalian tidak ikut. Kita batal jadi geng," sungut Meti. Dia kelihatan semangat sekali untuk menyelidiki peristiwa tujuh tahun silam."Emangnya kita udah bentuk geng gitu?" celetuk Ray, membuat kami semua tertawa. "Ya udah, kalau nggak mau. Kita berdua aja Ca, mereka semua penakut." Meti kembali ke mejanya, yang berjajar dengan mejaku dan Cila. "Panggil Haya aja, jangan Ca. Lebih enak dipanggil Haya," kataku.
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status