BAB IX
Dua hari berlalu sejak diklat berakhir, ada perasaan tak biasa yang dirasakan Alif. Sesekali ia memang membuka percakapan dengan Nurul di pesan W*, namun tetap saja ada perasaan aneh yang mendera.
Minggu jam sepuluh pagi, Alif menanyakan kesibukan Nurul, ia hanya hangout dengan teman-temannya.
----
/Aku kesitu boleh?
----
Jemari Alif dengan cepat telah mengirim W*.
----
//Ya kesini aja kalau kamu mau
----
/Sharelock dong
Jika kesurupan tapi Alif masih sempat-sempatnya membaca doa saat berangkat, jika konyol tapi Alif dengan mantap memacu sepeda motornya melintasi Jalan Daan Mogot ke arah Serang. Siang itu tanpa ba bi bu Alif mengikuti titik map yang dikirimkan Nurul. Dari arah Jalan Daan Mogot Alif ke arah Pasar Lama Tangerang, ia bebelok di Jembatan Cisadane dan terus melaju ke arah Jatake. Rapatnya kendaraan siang itu membuat Alif begitu waspada, terlebih saat memasuki Bitung, pertemuan jalan utama dan pintu keluar tol begitu padat dan rapat, ditambah banyaknya aktivitas di kolong jembatan tol Bitung membuat volume kendaraan semakin penuh.
Alif meneruskan melewati Pusat Pemerintahan Kabupaten Tangerang, melewati Telaga Bestari dan terus melaju ke arah Balaraja. Dari mulai Balaraja Alif kembali waspada karena jalan sedikit bergelombang. Tangannya masih mempertahanakan kecepatan di 50km/jam.
Sekitar dua jam setengah Alif sampai di Serang, ia berhenti sejenak di depan Universitas Tirtayasa. Alif membeli air mineral untuk menghilangkan hausnya, ia lalu memesan kopi.
Alif melihat jam tangannya, ia kembali melanjutkan perjalanan menuju ke arah Cilegon. Cuaca siang itu begitu terik, namun hal tak terduga terjadi, hujan tiba-tiba turun dengan deras. Alif berteduh di tempat cuci mobil, lama ia menunggu hujan. Kemudian ia kembali mengeluarkan gawainya, mengirimkan W* ke Nurul.
----
/Kamu sekarang dimana?
Lama menunggu balasan W*, Alif kembali melanjutkan perjalanan. Ia sempat beberapa kali berhenti karena baru sadar kalau titik di map yang tadi ia terima berhenti tak jauh dari tempat ia berteduh. Alif kembali berhenti, ia cek gawainya dan belum ada balasan. Alif melihat outlet ayam geprek kenamaan. Ia memutuskan untuk makan siang, suara di perutnya sudah tak bisa diajak ngobrol baik-baik.
Alif mengambil meja paling pojok di bagian dalam, ia menyantap ayam geprek dengan level pedas nampol. Tak lama berselang ada notifikasi W*.
----
//Sorri aku baru balas, aku baru selesai ada acara.
Emang kamu beneran kesini?
Alif hanya memfoto outlet ayam geprek dan membagikan lokasi keberadaannya.
----
//Ya ampuuuuun kamu beneran nyusulin dong, okay aku yang kesitu.
Ayam geprek sudah habis dimakan Alif, ia mau nambah tapi keburu ramai. Selang beberapa menit Nurul datang dengan stelan baju merah dan kerudung krem, ia mengenakan tas selempang hitam. Raut wajah Alif berubah, senyumnya mengembang, terlebih saat ia kedapatan melihat Nurul kesulitan melangkah saat masuk ke outlet, sandal hak tinggi sepertinya menyulitkannya.
“Kenapa kamu senyum-senyum nggak jelas gitu?” tanya Nurul, ia langsung duduk di depan Alif.
“Nggak apa-apa, kamu beda banget,” jawab Alif santai.
Nurul menundukan kepalanya, ia tersipu malu.
“Kamu tuh ya kirain cuma nanya iseng mau kesini, taunya begitu ngabarin lagi udah disini,” Alif kembali dicecar.
“Ya kan tadi udah bilang mau otw,” jawab Alif.
“Iya kirain aku boongan,” timpal Nurul.
“Aku udah dua hari nggak ketemu kamu,” nada Alif serius.
“Terus kenapa?” tanya Nurul.
“Ya pingin ketemu,” Alif tersenyum sesaat.
“Aku tuh ya nggak habis pikir.”
Alif memperhatikan Nurul kembali, ia memastikan bahwa sosok yang di depannya apakah Nurul atau bukan, karena yang ia lihat saat ini begitu berbeda. Pikiran Alif akhirnya menyetujui deskripsi kata “indah” untuk menggambarkan Nurul yang di depannya, ia pun yakin jika gadis berwajah tirus di depannya adalah Nurul, wangi parfum yang ia kenal terbawa oleh sosok di depannya. Ya, itu adalah wangi perpaduan jeruk dan mawar yang bercampur wangi woddy, Alif telah hafal.
“Kamu mau makan nggak,? tanya Alif.
“Nggak deh, aku udah makan. Eh mau pesan minum aja deh. Kamu mau sekalian nggak?”
“Okay, samain aja,” jawab Alif singkat.
Dua gelas es teh manis mendarat di meja dua insan yang baru bertemu kembali setelah sekian lamanya terpisah, kira-kira 2x24 jam. Alif meminum sedikit demi sedikit, ia lebih antusias mendengar celotehan Nurul.
Ada hal tak terduga yang baru Alif ketahui dari sosok Nurul, sisi yang tak ia temukan saat pertemuannya di diklat tempo hari. Nurul yang saat ini di depannya sedang berkisah dengan tisu yang dibuat kura-kura olehnya. Alif memastikan memang kura-kura yang dibentuk oleh Nurul dari tisu, walaupun sempat ada perdebatan karena Nurul lupa membentuk ekor kura-kuranya.
“Emang kura-kura punya ekor ya?” tanya Nurul.
“Ya iyalah, kalau nggak punya nanti begitu dia hilang bapak kura-kuranya bingung ngitung anaknya,” jawab Alif.
“Kok bingung?” padahal yang bingung jelas Nurul.
“Kura-kura kan dihitung dari ekornya, satu ekor, dua ekor, tiga ekor.....,” Alif belum sempat melanjutkan.
“Ouh gitu, informatif banget ya kamu,” jawab Nurul.
Alif tertawa kecil.
“Abis ini kamu mau kemana,?” tanya Nurul.
“Balik palingan, tapi jauh. Oia ada kegiatan sih di daerah Cikujang,” jawab Alif.
“Dasar aneh wuuuu,” timpal Nurul.
Alif lalu mengantarkan Nurul pulang, sepeda motornya membelah jalan raya Cilegon. Mega berubah jingga membersamai perjalanan mereka.
“Loh si kura-kura nggak kamu bawa?” tanya Alif.
“Tadi udah aku lepas, katanya dia mau berpetualang ke alam bebas,” jawab Nurul.
“Suru naik gunung gitu, seru tau.”
“Kayaknya dia sukanya ke laut deh, dia kan kura-kura.“
“Oia inget, itu kura-kura,” ledek Alif.
Alif mengantarkan Nurul ke rumahnya, memasuki kawasan Perumahan Cilegon Indah hingga sampai ke rumah dengan cat putih di ujung gang, Ia berhenti.
“Kamu mau mampir nggak?” Nurul menawarkan.
Seseorang keluar dari pintu gerbang.
“Nurul temannya diajak masuk dong sebentar lagi azan magrib,” suara seorang ibu pelan dan tenang.
Alif turun dari motornya, menghampiri ibunya Nurul dan mengucap salam.
“Terima kasih bu tawarannya, tapi saya mau langsung pamit biar salat magrib nanti cari masjid di jalan aja. Mau lanjut ke tempat kegiatan bu.” Jawab Alif sedikit membungkuk.
Alif berpamitan dan langsung melanjutkan perjalanannya ke arah Anyer. Beberapa jarak dari rumah Nurul ada masjid dengan parkiran yang lumayan luas, Alif berhenti sejenak untuk salat magrib.
Hari itu ia begitu senang, macet yang terjadi di kawasan industri terpadu Krakatau Steel tetap ia nikmati. Jam pulang kerja memang penuh dengan kendaraan. Sesekali ia kembali tersenyum dengan kura-kura yang dibuat oleh Nurul, ia juga kembali senyum mengingat betapa sulitnya Nurul menaiki tangga penyebrangan dengan sandal hak tingginya, bahkan Nurul sempat keserimpet di tangga masjid saat menemani Alif salat asar.
Memasuki Anyer ada sebagian jalan begitu gelap dan sepi, hanya sesekali kendaraan yang melintas. Alif tetap melanjutkan perjalanannya hingga Labuan, ia kemudian berbelok kanan ke arah PLTU Labuan, menyusuri jalan gelap dan sepi hingga Panimbang, lurus terus ke arah Tanjung Lesung dan bertemu jalan pinggir laut yang sangat sepi. Beberapa tanjakan yang tinggi dan lumayan curam saat malam ia lewati di Batu Hideung hingga akhirnya sampai di daerah Cikujang.
Kedatang Alif ke Cikujang hanya untuk mengisi kegiatan pelatihan organisasi kepemudaan. Seorang kawan menghubunginya saat masih dalam diklat untuk hadir dalam acara tersebut. Setelah mengisi kegiatan sebagai pemateri, Alif mencoba untuk sekadar bercakap dengan Nurul via W*. Namun, sangat disayangkan di Cikujang internet tidak bisa diakses.
****
Sejak pertemuan dengan Nurul dan mengantarkan ke rumahnya, komunikasi Alif dan Nurul menjadi intens. Ada warna baru dalam hidup Alif. Perpaduan warna harapan dan ketenangan di hati tiap mendengar suara Nurul dari di ujung telepon. Setelah kemarau panjang penantian, sebentang hati tandus yang Alif miliki kini mulai mendapat tetesan harapan.
Bak gayung bersambut, tiap notifikasi baik W* maupun telepon disetujui oleh Nurul. Ada pesan W* yang terbalas, ada jawaban suara dari balik telepon saat disambungkan. Dalam tiap komunikasi yang tercipta baik di W* maupun telepon mulai ada tawa dan canda, sebuah keintiman dalam komunikasi yang kian tumbuh dengan subur karena disirami kontinyunitas kehendak hati yang ingin saling jujur terhadap rasa di hati.
Obrolan-obrolan ringan saling bersambut, mulai dari ingatan semasa diklat beberapa hari yang lalu, mengenalkan diri masing-masing, hingga pada satu pertanyaan dari Nurul yang membuat Alif menarik nafas panjang dan berhenti sepersekian detik untuk menjawabnya.
“Kita beberapa hari ini udah komunikasi lumayan sering, aku ngerti sih arahnya kemana. Tapi, aku mau dapat jawaban dari kamu. Tujuan kamu seperti ini apa sih?” suara Nurul menggetarkan hati Alif.
“Nurul Qolby Izazy, aku langsung ke intinya ya. Aku ada ketertarikan sama kamu, untuk saat ini aku mau tempuh apa pun itu, jalan atau cara untuk bisa kenal kamu lebih dalam. Aku serius dengan pernyataan ini.”
BAB 10 VIDEO CALL PERTAMA “Boleh aku ngasih tahu kamu sesuatu?” suara Nurul sedikit berat. “Silakan.” “Aku seneng dengernya, seneng banget. Tapi, aku juga harus jujur sama kamu, aku nggak mau ada yang ditutupi. Aku pernah dekat sama seseorang,” Nurul berhenti, untuk beberapa saat suasana menjadi sepi. “Nggak apa-apa, lanjutin aja!” pinta Alif. “Iya, aku pernah dekat sama seseorang. Tapi, dia nggak ada kejelasan makanya aku nggak lanjut sama dia. Intinya, siapa pun yang pertama kali datang dan minta restu orang tuaku, aku pilih orang tersebut.” Suasana kembali sepi. Bukan tanpa alasan, Alif mencoba memahami situasi dan menunggu beberapa waktu untuk bicara. Alif tidak menyangka akan secepat ini langkah ke arah “serius” dihadapkan kepadanya. Sebenarnya cepat atau lambat baginya bukan masalah, namun ia perlu menyesuaikan beberapa rencana hidupnya yang sudah ia buat menjadi sejalan dengan urus
BAB 11PERJALANANBeberapa nelayan baru pulang mencari ikan, menambatkan perahunya di tepian. Beberapa lainnya sedang sibuk memasukan ikan teri putih ke wadah besar yang berisi air mendidih, untuk selanjutnya diletakan ke tempat penjemuran. Keramaian sudah nampak di Pasar Sumur Pandeglang, pagi itu Alif menggilas aspal dengan ban motornya, dari simpang tiga Sumur Alif menuju arah Tanjung Lesung. Wangi pagi bercampur wangi air laut menenami perjalanan Alif. Trek yang di lalui Alif memang sebagian besar jalan lurus, ia melewati jembatan pelangi hingga pantai Bugle dengan kecepatan 70km/jam.Belum banyak aktivitas kendaraan di jalur Sumur menuju Tanjung Lesung, hanya ada satu Damri yang memang memiliki trek Sumur-Serang di depan Alif, mudah baginya untuk mendahului Damri yang memiliki jadwal keberangkatan pukul 06:00WIB tersebut.Memasuki Cikujang ada tanjakan yang lumayan tiggi saat melewati Batu Hideung. Selebihnya trek ke
Setelah istirahat dan salat zuhur, Alif berpamitan dengan Nadia. Ia mengajak Nurul ke Danau Cigaru Cisoka yang terletak di Kabupaten Tangerang. Alasannya sederhana, pertama Alif tidak tahu menahu daerah Rangkasbitung sekalipun bisa mencarinya secara googling akan memakan waktu yang ekstra untuk menjangkaunya, kedua untuk Danau Cigaru sendiri merupakan tempat wisata yang pernah viral dengan pesona air danaunya berwarna biru dan memang rutenya satu arah dengan jalur yang dilalui Alif jika pulang ke Kota Tangerang.“Kak, saya izin ajak jalan Nurul. Nanti diantar lagi pulangnya.”“Nggak usah pakai kak, formal banget. Nadia aja. Sip hati-hati ya kalian,” jawab Nadia.Alif kini bersama orang yang ia dambakan, orang yang ia kenal sebelumnya sebagai sosok yang selalu membuatnya kepikiran dan penasaran, seseorang yang di awal perkenalan telah berulang kali menyihirnya dengan tingkah lucu semasa diklat, dan orang yang tanpa diduga me
Matahari mulai terbenam saat Alif kembali dari Danau Cigaru, dengan pertimbangan jika mengantar Nurul kembali ke Rangkasbitung menggunakan sepeda motornya akan memakan waktu lebih lama, Alif memutuskan untuk naik KRL. Ia membuka gawainya dan menggunakan map menuju Stasiun Tenjo. Nurul pun menyetujui, karena memang saat sampai di Danau Cigaru sudah terlalu sore ia sepakat dengan pemikiran Alif.Tepat azan magrib Alif dan Nurul sampai di Stasiun Tenjo, suasana sangat ramai dengan kondisi jalan yang kecil dan dipenuhi pedagang di masing-masing sisi jalan.“Kita salat dulu ya,” saran Alif.Di luar Stasiun Tenjo ada musala terdekat, dengan berjalan kaki berlawan arah dari stasiun sekitar 20 meter musala dapat dijangkau.“Kamu laper nggak?” tanya Alif.“Lumayan sih, tapi aku lagi nggak mau makan nasi.”“Yaudah kita ngebakso aja yuk.”Kebersamaan dengan Nurul menjadi sesuatu yang sanga
Dalam ruang sempit yang menjadi tempat singgah sementara Alif, di Sumur Pandeglang. Alif membuka buku binder di kamarnya, menelusuri lembar demi lembar, mencari sesuatu. Ada rangkaian kata per kata, kalimat demi kalimat yang tersusun dengan tanggal, bulan, dan tahun. Beberapa ia coret, lalu menuliskan beberapa kalimat lagi dan tak lupa diberi keterangan waktu. Alif sedang menuliskan rencana dalam hidupnya, menyertakan nama Nurul Qolby Izazy di dalamnya dan melingkarinya. “De, apa mimpi dalam hidupmu?” tanya Alif dalam salah satu pembicaraan. “Nggak ada mas, aku ngikut kamu aja. Kamu kan nanti jadi imam aku.” Sejuk menjalar ke seluruh tubuhnya, walaupun tak ada udara sama sekali. Alif mengartikan ada tanggungjawab besar di balik jawaban Nurul. “De, ini mimpi mas, segala sesuatu dalam hidup mas yang ingin mas capai. Saat ini mas ada di sini de, di titik ini, dan untuk sampai disini, jalan-jalan ini yang akan mas tempuh,” Alif memperlihatkan foto
Air mata Nurul kini tak dapat lagi dibendung, jatuh dengan sejadinya. Balong yang berada di jantung alun-alun Rangkasbitung malam itu membisu, membiarkan dua insan yang sedang menata rencana hidup untuk bersama larut dalam kata. Ada satu cup lagi es durian yang belum habis dimakan, masih menyisakan setengah. Satu cup es durian kesukaan Nurul.****“Eh ngomong-ngomong sowang apa kabarnya?” suara Alif diujung telepon.“Tadi pagi aku labrak dong mas.”“Hah dilabrak, gimana-gimana?”“Iya kan tadi aku mau berangkat kerja, nah motor aku kan udah di depan, di halaman. Ya aku kan biasa aja langsung naik motor, waktu aku mau starter eh ada satu sowang yang tiba-tiba udah di depan aku dong.”“Hahahaha, kok jadi kayak tukang parkir ya de.”“Ihh kamu mah mas, bentar dulu belum selesai tahu, jadi ternyata teman-temannya ada lagi dong di belakang nyamperin aku rame-rame. Uda
“Mas kamu lagi apa, sibuk nggak?” suara Nurul pelan sekali nampak kesal.“Heiiii....kamu kenapa, baik-baik aja kan disana?” tanya Alif khawatir.“Mas jangan kemana-mana ya, temenin aku teleponan.”Alif melihat jam tangannya, masih ada dua jam lagi untuk istirahat makan siang. Ia menimbang cepat, saat ini memang jadwalnya kosong.“Iya, kan emang biasanya gitu. Kamu kenapa emangnya? Cerita ke mas, ini malah jadi khawatir masnya de,” suara Alif pelan dan tenang.“Aku lagi sebel, lagi kesel banget mas.”Alif tidak berkata apa pun, seperti biasa Alif selalu menjeda atau menunggu beberapa saat jika ada situasi yang emosional.“Kamu udah tenang?” baru Alif kembali bertanya.“Iya mas, kalau dengerin suara kamu aku sebenernya udah aga baikan kok.”“Mau cerita sendiri atau mas yang nanya de?”“Aku tadi kesel banget mas, kam
Kali ini jantung Nurul yang berdetak lebih kencang, ia seakan tak percaya. Namun, ia pun merasa begitu senang. Beberapa saat yang lalu Nurul sedang kacau hatinya karena dibuat kesal oleh orang yang selalu menguntit dirinya di tempat kerja, memperlakukannya dengan mengirim hadiah-hadiah dengan maksud mendekatinya, beberapa saat yang lalu pula hatinya menjadi damai setelah mendengar suara dan melihat sosok Alif dengan kata-kata yang membuatnya hatinya nyaman kembali, dan kini perasaannya campur aduk antara haru dan senang.“Ketemu ibu kamu mas?” Nurul memastikan.“Iya de, tapi terserah sih mau mas dulu yang ke rumah kamu atau kamu yang duluan ke rumahnya mas”“Kalau ke rumah aku, aku belum bilang ke bapak sama ibu mas soalnya aku belum pulang ke Cilegon. Tapi ini aku bingung mau bilang siapnya ketemu ibu kamu.”“Emmm gitu, mau ketemu ibu mas langsung atau orang yang juga mas anggap ibu?”“Eh