Upacara pagi akan dimulai, hal yang menjadi rutinitas sebelum memulai kegiatan, beberapa peserta masih berlarian untuk masuk dalam barisan. Alif memberikan aba-aba untuk balik kanan, lalu memberikan waktu untuk teman-temannya merapikan seragam sebelum upacara dimulai.
Saat barisan sudah rapi, seorang panitia maju ke depan barisan dan mengambil mikrofon. Raut wajahnya nampak tidak bersahabat, bu Nida tampak kesal.
“Bapak/ibu sebelum upacara dimulai, yang merasa tidak salat subuh berjamaah di masjid silakan memisahkan diri dan baris di depan. Saya heran dengan bapak/ibu, sudah berhari-hari disini tapi untuk salat saja masih belum tertib, saya cek banyak presensi yang kosong,” suaranya memasuki barisan peserta upacara.
Suasana seketika hening, sangat sepi. Ada beberapa peserta yang saling lempar pertanyaan dan saling berpandangan.
“Bang loe mau maju nggak?” Sandi yang berada dibarisan depan bertanya kepada Alif.
“Ini mau maju,” jawab Alif.
“Tapi kita kan tadi subuh berjamaah bang di kamar,” Sandi menimpali.
“Iya tapi bukan di masjid.”
Alif kemudian memisahkan diri dan baris di depan, diikuti Sandi dan Bagus. Peserta dari kelas B dan kelas lainnya pun mulai maju satu per satu.
“Saya kecewa dengan bapak/ibu, ternyata bisa sebanyak ini yang tidak salat berjamaah di masjid,” bu Nida menutup pembicaraan dan upacara pagi pun dimulai.
Dalam amanat upacara pagi, berkali-kali disampaikan oleh pembina upacara agar peserta diklat dapat serius menjalankan aturan yang telah dibuat. Sandi beberapa kali menyenggol Alif, Alif mengerti isyarat tersebut. Saat upacara selesai, Sandi menyampaikan unek-uneknya kepada Alif, bahwa alasannya tidak ke masjid bukan karena malas atau lalai semata. Sandi tahu betul Alif baru tidur jam tiga pagi, saat dibangunkan salat subuh Alif dilanda kantuk yang amat sangat. Alif cuma menanggapi santai.
“Nggak apa-apa deh bang, tiap tindakan pasti ada konsekuensinya.”
Meski kesal, Sandi menerima kata-kata Alif dengan kembali membuat guyonan. Baginya kesal adalah hal manusiawi tapi pertemanan tetap harus dirawat dengan baik.
“Jadi udah sampe mana loe pdkt-an bro?” telisik Sandi.
“Ya kali bang orang lagi pada sibuk sempet-sempetnya gitu pdkt-an.”
Berita mengenai Riana yang sakit tersebar ke kelas lain, beberapa perwakilan kelas dan ketua kelas menghampiri Alif, menyampaikan empati dan motivasi. Masing-masing peserta mulai ke kelasnya. Alif kembali ke barisan belakang bersebelahan dengan Bagus. Ia menyandarkan dagunya di meja, matanya sedikit pedih.
“Mas gimana kondisinya Riana?” suara lembut dari wanita dengan kerundung panjang hitam menyapa Alif.
“Eh itu apa semalam iya, udah baikan kok ya,” jawab Alif terbata.
“Kan aku yang nanya mas, malah seperti nyari jawaban. Mana aku tahu mas,” sanggah Sabila.
“Iya maksudnya udah baikan bu,” Alif kembali menjawab.
“Bu, bu, dikira udah ibu-ibu”, protes Sabila.
“Aduuuh maaf, lagi nggak konsen banget nih ngantuk,” Alif menjelaskan.
Sekilas sebelum Alif bangun dan menjawab pertanyaan Sabila, ia menangkap sosok Nurul di belakang Sabila. Ia ngantuk dan tidak konsentrasi.
“Hemmm, yaudah nih laporan dan rekap presensi yang mesti dikumpulkan, hari ini kan mau penutupan acara.” Sabila menyerahkan berkas yang ia pegang.
“Masyaallah, iya ya hari ini terakhir. Aduuuuh tengkiyuh berat banget udah dibantuin,” jawab Alif.
Kelas pagi di hari terakhir diklat masih ada beberapa materi yang harus dituntaskan sampai dengan jam dua belas siang, dilanjutkan istirahat dan pengarahan panitia lalu dilanjut dengan seremonial penutupan.
“Bapak/ibu peserta diklat mohon maaf jika selama menjadi instruktur atau pun saat mengisi materi ada perkataan atau tindakan saya yang menyakiti bapak/ibu,” bu Ayu yang sedari awal membersamai kelas B menutup kelasnya dengan permohonan maaf.
Disambut Alif mewakili teman-teman sekelasnya mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf juga karena selama diklat sering lalai dalam tugas. Pak Zulkifli lalu mengarahkan kelas B untuk saling bermaafan, Sandi perlahan melipir ke bagian audio dan beraksi dengan menautkan koneksi gawainya ke pengeras suara.
Lagu-lagu perpisahan dan instrumen musik sedih diputar oleh sandi, menambah haru suasana kelas. Dari berbagai macam orang dengan pola pikir dan karakternya masing-masing siang hari itu meski tanpa ada kondektur yang mengarahkan, ada air mata yang perlahan merembas melewati pipi, terasa hangat.
Untuk menutup kegiatan kelas entah atas usul dari siapa, acara inti pun dibuat untuk melarutkan suasana haru, yaitu sesi foto-foto. Akan ada status W* dan instastori yang bertebaran saat istirahat siang jadi perlu adanya foto terbaru. Ada falsafah yang mulai disetujui meski tak tertulis yaitu, “apa pun kegiatannya atau acaranya 99% foto untuk status media sosial, 1% nya kegiatan asli”.
Alif meletakan map berkasnya di meja makan yang kosong, lebih tepatnya ia menandai meja tersebut agar tidak ditempati orang lain. Alif tidak terlalu memperhatikan keadaan sekitar, ia bahkan tidak mencari keberadaan Sandi dan Bagus, Alif sudah hafal biasanya Sandi kembali ke kamar dan Bagus mengerjakan tugas atau apa pun yang belum selesai. Selesai makan, Alif membuka gawainya dan mengirimkan pesan W* ke pak Fahri mengenai kepulangan.
Saat kembali ke kamar untuk istirahat, beberapa jarak sebelum lift ada dua orang menghadap ke lift. Saat Alif mendekat, ia mengenali bahwa itu Nurul dan satunya lagi adalah si gadis yang tak sengaja tertabrak tempo hari saat menggotong karung training dengan Ibnu.
“Yudah yak gue balik ke kamar mau packing, gue udah cek kok orangnya. Lanjut aja beb, semangat ya,” ucap pamitnya ke Nurul.
“Ah loe apaan sih, btw thanks yak beb,” balas Nurul.
Alif hanya diam saja, ia bahkan saat itu menjadi makmum, hanya mengikuti saat angka pada lift ditekan Nurul. Suasana di dalam lift menjadi canggung. Tidak ada pembicaraan diantara Alif dan Nurul selepas pembicaraan Alif dengan Sabila.
Saat angkat 9 menyala dan pintu lift terbuka Alif dengan sekejap membuka kamera di gawainya dan memfoto Nurul. Ia memberanikan diri mengirim W* ke Nurul.
----
/Hati-hati
----
Tak lama berselang, gawainya bergetar satu notifikasi nampak di wallpaper.
----
//Kamu tuh ya, tadi diam aja eh malah foto
Iya maacih
----
Alif, Sandi, dan Bagus disibukan dengan packing masing-masing. Ada jemuran yang harus diangkat, ada pakaian yang dilipat meski belum digosok, ada sampah yang dikumpulkan, ada juga pakaian kotor yang dibawa pulang.
“Bang bro tengkiyuh berat nih selama diklat udah banyak direpotin, sori banget kalau gue ada salah yak,” Alif membuka pembicaraan.
“Sama-sama brother gue juga yak, sering becandain loe nih tapi mudah-mudahan aja berlanjut yak,” balas Sandi dengan guyonan seperti biasa.
“Iya mas sama-sama ya, maaf juga kalau ada salah-salah kata dan tindakan,” sambung Bagus.
Alif, Sandi, dan Bagus saling jabat tangan dan berpelukan. Dari semua hal yang terjadi memang tidak bisa dipungkiri bahwa telah terjalin ikatan antara Alif, Sandi, dan Bagus. Ikatan saudara tanpa nasab.
Semua peserta diklat dari kelas A, B, dan C telah memenuhi aula utama. Suasana menjadi ramai saat panitia belum memulai acara sementara peserta diklat dihadapkan pada perpisahan dengan teman sekamar, teman baru, teman karaoke, teman keluar ke minimarket, teman nyanyi-nyanyi tidak jelas saat malam, teman gibah, dan definisi teman lainnya yang terlah tercipta.
Seorang lelaki paruh baya dengan stelan jas hitam muncul dari balik pintu, beberapa panitia sibuk menata kursi yang sudah rapi di depan. Pak Kepala Balai Diklat akan menutup kegiatan. Dalam sambutannya beliau berpesan kepada seluruh peserta diklat agar menjadi pegawai yang profesional.
Alif menunggu di lobi utama, pak Fahri belum juga datang. Ada seseorang yang menghampiri Alif, Lukman dari kelas C yang selalu menjadi pemain keyboard saat malam karaoke menawarkan tumpangan ke Alif. Alif menjelaskan kalau ia bersama pak Fahri dari kelas A, Lukman menyetujui.
Dalam perjalanan, banyak cerita yang diutarakan oleh Alif, pak Fahri, dan Lukman untuk mengisi kilometer demi kilometer jarak tempuh. Calya merah maron milik Lukman bergeming ditampar angin malam Jakarta, lajunya stabil tak seperti hati Alif. Ia dari tadi memperhatikan layar gawainya walaupun sedang asyik bercerita. Tak ada notifikasi yang masuk. Ia mengecek status W*, diklik dan terlihat si gadis berwajah tirus sedang terduduk lesu di KRL.
BAB IX Dua hari berlalu sejak diklat berakhir, ada perasaan tak biasa yang dirasakan Alif. Sesekali ia memang membuka percakapan dengan Nurul di pesan W*, namun tetap saja ada perasaan aneh yang mendera. Minggu jam sepuluh pagi, Alif menanyakan kesibukan Nurul, ia hanya hangout dengan teman-temannya. ---- /Aku kesitu boleh? ---- Jemari Alif dengan cepat telah mengirim W*. ---- //Ya kesini aja kalau kamu mau ---- /Sharelock dong Jika kesurupan tapi Alif masih sempat-sempatnya membaca doa saat berangkat, jika konyol tapi Alif dengan mantap memacu sepeda motornya melintasi Jalan Daan Mogot ke arah Serang. Siang itu tanpa ba bi bu Alif mengikuti titik map yang dikirimkan Nurul. Dari arah Jalan Daan Mogot Alif ke ara
BAB 10 VIDEO CALL PERTAMA “Boleh aku ngasih tahu kamu sesuatu?” suara Nurul sedikit berat. “Silakan.” “Aku seneng dengernya, seneng banget. Tapi, aku juga harus jujur sama kamu, aku nggak mau ada yang ditutupi. Aku pernah dekat sama seseorang,” Nurul berhenti, untuk beberapa saat suasana menjadi sepi. “Nggak apa-apa, lanjutin aja!” pinta Alif. “Iya, aku pernah dekat sama seseorang. Tapi, dia nggak ada kejelasan makanya aku nggak lanjut sama dia. Intinya, siapa pun yang pertama kali datang dan minta restu orang tuaku, aku pilih orang tersebut.” Suasana kembali sepi. Bukan tanpa alasan, Alif mencoba memahami situasi dan menunggu beberapa waktu untuk bicara. Alif tidak menyangka akan secepat ini langkah ke arah “serius” dihadapkan kepadanya. Sebenarnya cepat atau lambat baginya bukan masalah, namun ia perlu menyesuaikan beberapa rencana hidupnya yang sudah ia buat menjadi sejalan dengan urus
BAB 11PERJALANANBeberapa nelayan baru pulang mencari ikan, menambatkan perahunya di tepian. Beberapa lainnya sedang sibuk memasukan ikan teri putih ke wadah besar yang berisi air mendidih, untuk selanjutnya diletakan ke tempat penjemuran. Keramaian sudah nampak di Pasar Sumur Pandeglang, pagi itu Alif menggilas aspal dengan ban motornya, dari simpang tiga Sumur Alif menuju arah Tanjung Lesung. Wangi pagi bercampur wangi air laut menenami perjalanan Alif. Trek yang di lalui Alif memang sebagian besar jalan lurus, ia melewati jembatan pelangi hingga pantai Bugle dengan kecepatan 70km/jam.Belum banyak aktivitas kendaraan di jalur Sumur menuju Tanjung Lesung, hanya ada satu Damri yang memang memiliki trek Sumur-Serang di depan Alif, mudah baginya untuk mendahului Damri yang memiliki jadwal keberangkatan pukul 06:00WIB tersebut.Memasuki Cikujang ada tanjakan yang lumayan tiggi saat melewati Batu Hideung. Selebihnya trek ke
Setelah istirahat dan salat zuhur, Alif berpamitan dengan Nadia. Ia mengajak Nurul ke Danau Cigaru Cisoka yang terletak di Kabupaten Tangerang. Alasannya sederhana, pertama Alif tidak tahu menahu daerah Rangkasbitung sekalipun bisa mencarinya secara googling akan memakan waktu yang ekstra untuk menjangkaunya, kedua untuk Danau Cigaru sendiri merupakan tempat wisata yang pernah viral dengan pesona air danaunya berwarna biru dan memang rutenya satu arah dengan jalur yang dilalui Alif jika pulang ke Kota Tangerang.“Kak, saya izin ajak jalan Nurul. Nanti diantar lagi pulangnya.”“Nggak usah pakai kak, formal banget. Nadia aja. Sip hati-hati ya kalian,” jawab Nadia.Alif kini bersama orang yang ia dambakan, orang yang ia kenal sebelumnya sebagai sosok yang selalu membuatnya kepikiran dan penasaran, seseorang yang di awal perkenalan telah berulang kali menyihirnya dengan tingkah lucu semasa diklat, dan orang yang tanpa diduga me
Matahari mulai terbenam saat Alif kembali dari Danau Cigaru, dengan pertimbangan jika mengantar Nurul kembali ke Rangkasbitung menggunakan sepeda motornya akan memakan waktu lebih lama, Alif memutuskan untuk naik KRL. Ia membuka gawainya dan menggunakan map menuju Stasiun Tenjo. Nurul pun menyetujui, karena memang saat sampai di Danau Cigaru sudah terlalu sore ia sepakat dengan pemikiran Alif.Tepat azan magrib Alif dan Nurul sampai di Stasiun Tenjo, suasana sangat ramai dengan kondisi jalan yang kecil dan dipenuhi pedagang di masing-masing sisi jalan.“Kita salat dulu ya,” saran Alif.Di luar Stasiun Tenjo ada musala terdekat, dengan berjalan kaki berlawan arah dari stasiun sekitar 20 meter musala dapat dijangkau.“Kamu laper nggak?” tanya Alif.“Lumayan sih, tapi aku lagi nggak mau makan nasi.”“Yaudah kita ngebakso aja yuk.”Kebersamaan dengan Nurul menjadi sesuatu yang sanga
Dalam ruang sempit yang menjadi tempat singgah sementara Alif, di Sumur Pandeglang. Alif membuka buku binder di kamarnya, menelusuri lembar demi lembar, mencari sesuatu. Ada rangkaian kata per kata, kalimat demi kalimat yang tersusun dengan tanggal, bulan, dan tahun. Beberapa ia coret, lalu menuliskan beberapa kalimat lagi dan tak lupa diberi keterangan waktu. Alif sedang menuliskan rencana dalam hidupnya, menyertakan nama Nurul Qolby Izazy di dalamnya dan melingkarinya. “De, apa mimpi dalam hidupmu?” tanya Alif dalam salah satu pembicaraan. “Nggak ada mas, aku ngikut kamu aja. Kamu kan nanti jadi imam aku.” Sejuk menjalar ke seluruh tubuhnya, walaupun tak ada udara sama sekali. Alif mengartikan ada tanggungjawab besar di balik jawaban Nurul. “De, ini mimpi mas, segala sesuatu dalam hidup mas yang ingin mas capai. Saat ini mas ada di sini de, di titik ini, dan untuk sampai disini, jalan-jalan ini yang akan mas tempuh,” Alif memperlihatkan foto
Air mata Nurul kini tak dapat lagi dibendung, jatuh dengan sejadinya. Balong yang berada di jantung alun-alun Rangkasbitung malam itu membisu, membiarkan dua insan yang sedang menata rencana hidup untuk bersama larut dalam kata. Ada satu cup lagi es durian yang belum habis dimakan, masih menyisakan setengah. Satu cup es durian kesukaan Nurul.****“Eh ngomong-ngomong sowang apa kabarnya?” suara Alif diujung telepon.“Tadi pagi aku labrak dong mas.”“Hah dilabrak, gimana-gimana?”“Iya kan tadi aku mau berangkat kerja, nah motor aku kan udah di depan, di halaman. Ya aku kan biasa aja langsung naik motor, waktu aku mau starter eh ada satu sowang yang tiba-tiba udah di depan aku dong.”“Hahahaha, kok jadi kayak tukang parkir ya de.”“Ihh kamu mah mas, bentar dulu belum selesai tahu, jadi ternyata teman-temannya ada lagi dong di belakang nyamperin aku rame-rame. Uda
“Mas kamu lagi apa, sibuk nggak?” suara Nurul pelan sekali nampak kesal.“Heiiii....kamu kenapa, baik-baik aja kan disana?” tanya Alif khawatir.“Mas jangan kemana-mana ya, temenin aku teleponan.”Alif melihat jam tangannya, masih ada dua jam lagi untuk istirahat makan siang. Ia menimbang cepat, saat ini memang jadwalnya kosong.“Iya, kan emang biasanya gitu. Kamu kenapa emangnya? Cerita ke mas, ini malah jadi khawatir masnya de,” suara Alif pelan dan tenang.“Aku lagi sebel, lagi kesel banget mas.”Alif tidak berkata apa pun, seperti biasa Alif selalu menjeda atau menunggu beberapa saat jika ada situasi yang emosional.“Kamu udah tenang?” baru Alif kembali bertanya.“Iya mas, kalau dengerin suara kamu aku sebenernya udah aga baikan kok.”“Mau cerita sendiri atau mas yang nanya de?”“Aku tadi kesel banget mas, kam