Share

BAB 4

Author: jasheline
last update Last Updated: 2024-11-18 19:05:41

"Kalo emang mau ngomong, ngomong di sini aja. Gue nggak akan ikut lo ke mana-mana," tegas Selena.

Linggar menatapnya lama, lalu menghela napas berat. "Oke, di sini aja," jawabnya akhirnya, dengan suara yang sedikit lebih tenang.

Selena menoleh sekilas pada Rangga. "Dan lo, Rangga, santai aja. Gue tahu lo jagain gue, tapi gue bisa atur urusan gue sendiri," ujarnya sambil tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan.

Rangga menghela nafas, lalu mundur setengah langkah, meski matanya tetap mengawasi Linggar dengan curiga.

"Apa sih?! Lihat, gara-gara kalian, kita sekarang jadi tontonan!" Selena mendesis pelan, matanya melirik ke arah teman-teman sekelas yang mulai berbisik-bisik sambil melirik mereka bertiga.

"Masalahnya bukan gue, tapi temen lo yang ribet!" balas Linggar dengan nada datar, wajahnya berpaling seolah tak peduli.

Kesabaran Selena mulai diuji. Dia menghela nafas panjang sambil beristighfar dalam hati. ‘Sabar, Selena, sabar’. Dia memalingkan pandangannya ke arah Rangga, yang masih berdiri tegang di sebelahnya.

"Nggak apa-apa, Ra. Aku cuma mau ngobrol sebentar sama Linggar. Kamu ke kantin duluan aja, ya," ujar Selena dengan lembut, mencoba meyakinkan sahabatnya.

"Tapi, Sel..." Rangga tampak ragu. Tatapan matanya masih tertuju pada Linggar, penuh kecurigaan. Dari sikap dingin Linggar yang menyeramkan hingga kesan bad boy yang terpancar, semua membuat Rangga khawatir.

"Nggak apa-apa, sungguh," jawab Selena sambil menepuk pelan lengan Rangga.

Melihat itu, Linggar hanya menyeringai kecil, memamerkan senyum miring yang terkesan meremehkan.

"Ayo, kalau mau ngomong, sekarang aja," kata Selena tegas, langsung meraih tangan Linggar dan menariknya pergi.

Di belakang mereka, suara bisikan teman-teman semakin ramai. Salah seorang dari mereka bahkan bergumam cukup keras, "Selena lebih milih si Linggar yang dingin kayak kulkas itu? Padahal Rangga jauh lebih ganteng, lembut lagi sama cewek. Bodoh banget!"

Rangga hanya bisa berdiri mematung, menatap kepergian Selena dengan tatapan penuh kekhawatiran. Meski baginya Selena lebih dari sekadar sahabat, ia tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun, melindungi Selena adalah tanggung jawab yang sudah dia jalani sejak dulu.

Sementara itu, Selena dan Linggar akhirnya berhenti di pinggir lapangan sepak bola. Tempat itu cukup sepi, hanya ada beberapa siswa yang duduk berjauhan di pinggir tribun. Selena menyilangkan tangan di depan dada, menatap Linggar dengan alis terangkat.

"Jadi, ada apa? Ngomong sekarang," tanya Selena dengan nada serius, tapi tidak kasar.

Linggar menghela napas panjang, matanya menatap ke tanah sejenak sebelum kembali memandang Selena. "Lo... bisa lihat sesuatu di badan gue, kan?" tanyanya tiba-tiba, suaranya lebih pelan.

Selena tersentak. "Maksud kamu?" Dia mencoba bersikap biasa saja, tapi sorot matanya sedikit bergetar.

Linggar maju selangkah, suaranya terdengar lebih tegas, "Jangan pura-pura. Lo bisa lihat bayangan hitam itu, kan? Yang ada di badan gue. Jangan bohong."

Selena terdiam, tubuhnya menegang seketika. Pertanyaan itu tidak hanya mengejutkannya, tetapi juga membuat rasa dingin menjalari punggungnya. ‘Bagaimana Linggar tahu aku bisa melihat hal itu?’ pikirnya, masih berusaha menyusun kata-kata.

"Linggar... sebenarnya kamu tahu apa soal itu?" tanya Selena akhirnya, suaranya nyaris berbisik, penuh rasa penasaran bercampur takut.

Selena menatap Linggar dengan perasaan campur aduk. Matanya beralih ke asap hitam pekat di belakang pemuda itu, yang kini semakin jelas membentuk siluet kepala dan setengah badan manusia. Wujud itu seolah menatap balik dengan tatapan tajam, memperingatkan Selena untuk tidak ikut campur.

"Tolong gue," suara Linggar terdengar rendah, hampir berbisik, tapi penuh beban. Selena terkesiap. Dia tidak pernah menyangka Linggar yang selalu dingin dan acuh bisa meminta tolong seperti ini.

"Gue tahu lu bisa lihat," lanjut Linggar sambil menatap Selena lurus-lurus. "Lu bahkan sempat ngusir bayangan itu dari gue. Gue mohon... tolong gue."

Selena tertegun lebih dalam. Jadi, Linggar tahu selama ini? Bahwa dia pernah membantu mengusir sesuatu dari tubuhnya? Pikiran Selena berputar cepat, mencoba mengingat kejadian itu.

"Tapi aku nggak yakin bisa bantu lagi," jawab Selena akhirnya. Suaranya terdengar ragu, pandangannya kembali melirik asap hitam yang masih bertahan di belakang Linggar, semakin terasa mengancam. "Asap itu selalu balik lagi."

Linggar terdiam, rahangnya mengeras. Matanya yang tajam menyapu wajah Selena, seperti sedang menimbang sesuatu.

"Kalo boleh tahu," Selena memberanikan diri bertanya, "kenapa asap itu ngikutin kamu?"

Linggar menatapnya dengan dalam, lalu mengalihkan pandangannya. "Ceritanya panjang," sahutnya singkat.

"Mungkin kalau aku tahu asal-usulnya, aku bisa lebih gampang cari cara untuk bantu," ujar Selena pelan tapi tegas.

Linggar kembali terdiam, tatapannya mengarah ke kejauhan. Ada sesuatu di dalam dirinya yang sedang bergolak, seakan memutuskan apakah ia harus membuka semua rahasia itu atau tidak.

"Pulang sekolah..." Linggar akhirnya bicara, suaranya sedikit lebih lembut. "Bisa ikut gue?"

Selena mengerutkan alis. "Kemana?" tanyanya dengan nada curiga.

"Gue akan ceritain semuanya," jawab Linggar. "Tapi nggak di sini. Bukan di lingkungan sekolah."

Selena menggigit bibirnya, berpikir sejenak. Ia tahu ini berisiko, tapi rasa penasarannya semakin besar. Jika benar dia bisa membantu, bukankah itu kewajibannya? Akhirnya, dia mengangguk pelan.

"Okay," sahutnya singkat.

Untuk pertama kalinya, Selena melihat Linggar tersenyum meski hanya sedikit, tapi ada ketulusan di baliknya.

"Thanks," kata Linggar pelan, lalu menggantungkan kalimatnya. "Kamu..."

“Selena, namaku Selena,” ucap gadis itu sembari mengulurkan tangan dengan senyuman yang lembut.

Linggar menatapnya sejenak sebelum akhirnya menjabat tangan itu. Rasanya aneh, mereka berada di kelas yang sama setiap hari, tapi Linggar baru benar-benar menyadari keberadaan Selena. Mungkin ia tahu, tapi tak pernah peduli. Sikap acuhnya terhadap sekitar membuat banyak hal berlalu begitu saja, apalagi Selena juga termasuk pendiam dan jarang berinteraksi dengan teman sekelas kecuali urusan sekolah.

“Thanks, Selena,” ucap Linggar akhirnya. Selena mengangguk sambil tersenyum, senyum yang seolah menyalurkan sedikit ketenangan ke suasana yang biasanya dingin di antara mereka.

Sepulang sekolah, Selena berjalan berdampingan dengan Rangga. Mereka menuju perpustakaan karena Rangga ingin meminjam buku untuk belajar. Saat itu, suara kecil yang sudah tak asing bagi Selena memanggilnya.

“Selena…”

Selena menoleh, mendapati Jovi muncul di dekat tangga perpustakaan. Wajahnya yang kecil tampak murung, seperti anak kecil yang kehilangan mainan favoritnya.

“Eh, Jovi? Kamu kenapa?” tanya Selena dengan nada lembut.

“Nggak punya temen main... Kamu sibuk terus,” jawab Jovi pelan, ekspresinya semakin suram. Sejak Jovi menemukan teman baru, Stela, Selena pikir ia akan lebih ceria. Tapi kenyataannya berbeda; teman itu ternyata hanya sementara dan sudah ‘pergi’ lebih dulu.

“Kenapa kamu nggak ikut pergi, Jovi? Bukannya itu lebih baik?” tanya Selena hati-hati, berusaha membaca perasaan bocah itu.

“Aku…” Jovi menggantung kalimatnya. Wajah sedihnya semakin terlihat jelas, membuat Selena merasa ada sesuatu yang berat sedang ditahan oleh bocah itu.

“Jovi,” panggil Selena dengan lembut, berjongkok agar pandangan mereka sejajar. “Kamu semestinya sudah nggak di sini lagi. Kalau kamu nungguin sesuatu atau ada yang masih bikin kamu terikat di sini, kasih tahu aku. Aku akan bantu cari jalan keluar buat kamu.”

Jovi menatap Selena sebentar, seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi tiba-tiba tubuhnya menghilang begitu saja, meninggalkan Selena yang terkejut dan celingukan.

“Jovi? Kamu marah?” panggil Selena, tapi tidak ada jawaban. Bocah itu benar-benar hilang tanpa pamit, membuat Selena bingung sekaligus khawatir.

Sejak pertama kali mengenal Jovi, Selena tahu ada sesuatu yang mengikatnya di dunia ini. Namun, hingga saat ini Jovi belum pernah memberitahu apa penyebabnya. Selena hanya bisa menebak bahwa ada sesuatu yang membuat bocah itu berat untuk pergi. Tapi apa? Dan mengapa ia memilih tetap tinggal?

Selena tak pernah memaksa Jovi untuk bercerita. Baginya, semua harus datang dari kemauan Jovi sendiri. Jika bocah itu merasa siap, Selena yakin Jovi akan membuka diri. Untuk saat ini, ia hanya bisa menunggu dengan sabar meskipun rasa penasaran terus menggelitik pikirannya.

Dengan langkah perlahan, Selena meninggalkan tempat itu. Perhatiannya beralih pada Rangga yang masih sibuk mencari buku di rak lain. Ia berjalan mendekat, mengamati sahabatnya yang serius memindai judul-judul buku.

“Dapet, Ra?” tanya Selena ketika sudah cukup dekat.

Rangga menoleh, menampilkan senyum kecil sambil mengangkat sebuah buku yang kini ada di tangannya. “Dapet, nih,” sahutnya sambil menunjukkannya ke Selena.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CALON TUMBAL   BAB 179

    Seorang gadis tengah marah dan kesal karena usahanya dan rencananya tidak berhasil, sudah berhari-hari bahkan sudah hampir dua minggu tapi tidak ada sedikitpun kemajuan dari apa yang direncanakannya. Dia sedang menangis tersedu-sedu di kamarnya sampai temannya kebingungan karena gadis itu mengurung diri sejak kemarin."Allee, come on.. buka pintunya!"Ya, Allee.. dia belum pulang ke LA dan dia masih di Jakarta. la masih berusaha mengejar Nicholas, Allee bahkan tidak peduli dengan pendidikannya dan terus menerus berusaha agar misinya berhasil, misi untuk menaklukan Nicholas.Tapi sejak dirinya datang ke dukun yang dipanggil Aki sampai hari ini, dia belum mendapat hasil apapun. Bahkan saat dirinya bertemu dengan Nicholas pun Nicholas tidak merespon apapun, malah kini semakin menjauh seolah benar-benar tidak mengenal Allee."Kamu bilang aku bisa mendapatkan Nicholas dengan cara yang kamu katakan, sekarang mana! Aku tidak mendapatkan apapun, Nicholas malah semakin jauh dariku." Teriak All

  • CALON TUMBAL   BAB 178

    Selena tidak masuk kuliah akhirnya, karena dia sedang mual dan muntah-muntah parah. Tidak ada yang keluar sebenarnya, tapi Selena terus mual dan muntah air saja.Nicholas juga akhirnya tidak masuk dan dia merawat Selena di rumah, tapi sekarang dia sedang ke apotek untuk membeli sesuatu."Bu, beli alat tes kehamilan tiga dari merk yang berbeda." Ujar Nicholas, si ibu apoteker terkejut mendengarnya, seorang laki-laki beli alat tes kehamilan."Oke, sebentar mas." Ujar apoteker.Tak lama alat tes kehamilan dari tiga merk berbeda pun dikeluarkan, Nicholas lalu membayarnya. Nicholas hendak pergi tapi dia kembali lagi dan bertanya pada ibu apoteker."Bu, mau nanya sedikit boleh?" Tanya Nicholas, ibu apoteker pun terkekeh."Banyak juga boleh, mas. Mau nanya apa?" Tanya ibu apoteker."Nggak jadi deh bu, makasih." Ujar Nicholas, lalu pergi.Nicholas pun pulang ke rumah, dan ternyata Selena masih belum bangun lagi padahal sudah jam 7 pagi. Nicholas kemudian perlahan membangunkan Selena."Dek.."

  • CALON TUMBAL   BAB 177

    Beberapa hari setelahnya, datang kabar baik dari Linggar dan Reyna yang ternyata mereka berhasil mendapat restu kedua orang tua Linggar dan mereka akan langsung dinikahkan bulan depan.Mendadak memang, semua karena kedua orang tua Linggar takut mereka jadi zina karena mereka tinggal satu atap walau tidak satu kamar. Apalagi ibunya Linggar yang sangat takut, padahal Linggar tidak benar-benar sudah menyentuh Reyna, tapi ibunya parno."Ecieee.. yang bulan depan mau nikah." Goda Selena pada Reyna, Reyna tersenyum-senyum digoda seperti itu."Harusnya kalian dipingit loh, bulan depan itu tinggal menghitung hari." Ujar Selena."Pingit!? Tapi kan aku nggak punya tempat tinggal." Ujar Reyna, Reyna menanggapinya dengan serius."Parah si Linggar, nggak mikirin kesana berarti." Ujar Deon."Seriusan harus dipingit?" Tanya Reyna."Harus, sebuah tradisi nenek moyang itu." Ujar Deon dan Reyna tampak celingukan menatap Selena." Lu juga dulu gitu, Sel?" Tanya Reyna tapi Selena menggeleng."Gue cuma di

  • CALON TUMBAL   BAB 176

    Selena meminta agar ibu panti ikut pulang dengannya, kini ibu panti yang masih terisak-isak itu duduk di mobil Selena dengan nafasnya yang masih sesenggukan."Fuad.." Gumamnya."Ibu, Fuad mau ngomong sama ibu." Ujar Selena dan ibu panti menatap Selena."Fuad di sini?" Tanya ibu panti dan Selena mengangguk."Fuad duduk di sebelah ibu, dia sedih liat ibu terus-terusan nangis." Sahut Selena, dan ibu panti menoleh ke sebelahnya yang jelas tidak ada siapapun."Maafın ibu nak, semuanya salah ibu, kalo aja ibu nggak ijinin kamu ngamen, kamu nggak akan seperti ini." Ujarnya, pada udara kosong.Tapi di jok belakang itu, Fuad sedang sesenggukan menatap ibu pantinya yang terus menangisinya. Ingin rasanya Fuad memeluk tapi tidak bisa."Aku akan ijinkan Fuad masuk ke badan aku, dia pengen ngomong sama ibu." Ujar Selena dan ibu panti mengangguk.Selena memejamkan mata sambil membaca doa dalam hatinya dan Fuad pun masuk ke dalam tubuh Selena. Fuad yang masuk ke dalam tubuh Selena langsung memeluk ib

  • CALON TUMBAL   BAB 175

    Malam hari setelah Selena sampai di rumah, dia langsung mandi dan langsung terkapar di ranjang, karena dia sudah sangat kelelahan setelah seharian itu berada di panti.Nicholas yang juga baru selesai mandi langsung menyusul Selena ke ranjang, ia mengecup kening Selena dan memandangi wajah perempuan yang sangat dicintainya itu."Kenapa, sayang?" Tanya Nicholas, karena Selena terus terpejam."Aku kebawa astral terus dari tadi, bang." Sahut Selena, Nicholas pun langsung membaca doa untuk membantu memagari Selena agar stabil."Jangan dipikirin terus sayang, jadinya nggak kebawa astral. Tutup dulu, kamu butuh istirahat, sayang." Ujar Nicholas, dan Selena mengangguk lalu membuka matanya.Selena pun menutup mata batinnya lalu kemudian masuk kedalam pelukan Nicholas, Nicholas pun mengusap kepala Selena dan mengecupnya beberapa kali."Bobo, ya.. jangan dipikirin terus, kan besok tim pencarian akannyari jasadnya Fuad." Ujar Nicholas dan Selena mengangguk sambil mencari posisi yang nyaman di pel

  • CALON TUMBAL   BAB 174

    Fuad kembali duduk di taman setelah melihat ibu panti menangis histeris sampai pingsan, dia sedih karena ternyata dirinya sudah meninggal. Selena yang mencari keberadaan hantu Fuad pun tertegun melihat hantu Fuad yang menangis di taman. "Fuad.." Panggil Selena, dan Fuad menoleh dengan wajah sedihnya. "Kak, ibu baik-baik aja kan?" Tanya Fuad, dia marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa melakukan apapun untuk ibu pantinya, akhirnya dia memilih pergi. "Mereka semua sedih.." Sahut Selena, dan Fuad kembali menunduk. "Fuad.. Kakak tau ini berat banget buat kamu, tapi coba kamu ingat-ingat dimana kali terakhir kamu berada?" Ujar Selena, dan Fuad tampak terdiam "Dimana kamu mengalami kecelakaan?" Tanya Selena. "Yang aku inget.." (Kisah balik Fuad dimulai) Seminggu yang lalu, adalah hari jumat. Fuad sedang mengamen di pinggiran jalan yang biasanya namun di sana sudah banyak yang mengenal Fuad sehingga orang-orang di sana tidak lagi memberikan uang pada Fuad. Fuad pun berp

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status