Pagi itu, Selena tiba di sekolah bersama Rangga. Sejak turun dari mobil, Rangga terus menempatkan dirinya selangkah di belakang Selena, seolah menjadi bodyguard pribadi. Tingkahnya yang terlalu waspada tak membuat Selena merasa sedikit canggung.
"Aku juga nggak ngerti sih. Nanti aku coba tanya ke Ustad Sholeh," ujar Selena, merujuk pada kejadian semalam saat sosok Ratu mendatanginya. Rangga mengangguk, namun raut wajahnya tetap serius. "Selena, kamu nggak harus melibatkan dirimu seperti ini, kan? Aku cuma khawatir, nanti kamu yang kena dampaknya," katanya, penuh kekhawatiran. Selena berhenti sejenak, lalu menoleh ke arahnya. "Aku akan coba dulu, Ni. Aku nggak mau hal seperti ini terulang lagi," ucapnya, nada suaranya menyiratkan tekad yang bulat. Namun, Rangga yang tak tahu banyak hanya bisa menatapnya bingung. "Terulang? Maksudmu apa, Selena?" tanyanya hati-hati. Selena menghela napas, menghindari tatapan Rangga. "Nggak penting. Pokoknya aku harus melakukan ini," ujarnya singkat. Mereka kembali berjalan, tapi Selena yang merasa ada sesuatu yang aneh akhirnya berhenti lagi. Kali ini dia benar-benar menatap Rangga dengan dahi berkerut. "Ra, kenapa dari tadi kamu ngikutin aku dari belakang terus? Serem tau," katanya, setengah bercanda. "Kan aku jagain kamu," jawab Rangga singkat. Selena mendengus keras, lalu menepuk keningnya. "Astaga, Rangga! Kita tuh sahabatan dari kecil. Nggak usah kaku gitu. Aku jadi ngerasa jauh sama kamu," ujarnya sambil melipat tangan di depan dada. "Ng-nggak maksudku kayak gitu, aku cuma… cuma…" Rangga tergagap, jelas merasa salah tingkah. Selena langsung merangkul pundak sahabatnya itu, membuat Rangga semakin kaku. "Dengar ya, Rangga. Kita ini udah kayak keluarga. Kamu nggak perlu terlalu formal. Kalau kamu terus-terusan gitu, aku malah mikir kamu nggak anggap aku sahabat," ucapnya sambil menatap lurus ke depan. Rangga tersenyum tipis, meski wajahnya sedikit memerah. "Aku cuma pengen jagain kamu, Selena. Itu aja," ujarnya pelan. "Tapi kamu bisa jagain aku tanpa perlu jadi robot, kan? Udah, mulai sekarang jalan sejajar sama aku. Jangan di belakang. Aku cuma anak angkat Papa, Ra, bukan putri kerajaan," katanya sambil terkekeh, berusaha mencairkan suasana. Rangga akhirnya mengangguk. "Oke, oke… Sejajar, ya," katanya sambil tersenyum kecil, mengikuti langkah Selena yang kini merangkul pundaknya. Mereka berjalan berdampingan menuju kelas. Tubuh Rangga yang jauh lebih tinggi membuat tangan Selena harus sedikit terangkat untuk bisa merangkul pundaknya, tapi dia tetap melakukannya dengan santai. Setibanya di kelas, Selena langsung mengedarkan pandangannya. Ia mencari sosok Linggar, namun tidak menemukannya di mana pun. "Dia nggak masuk, ya?" batin Selena, sedikit kecewa. Meski begitu, ia mencoba menyembunyikan perasaannya dan kembali duduk di kursi favoritnya, sementara Rangga duduk tak jauh darinya. Namun, tepat saat Selena hendak mengalihkan pandangan dari tempat duduk Linggar yang kosong, sosok yang ia cari justru muncul, melangkah masuk ke dalam kelas dengan tenang. Selena terpaku, matanya otomatis tertuju pada Linggar yang berjalan mendekatinya. Linggar berhenti di hadapan Selena, membuatnya sedikit terkejut hingga secara refleks berseru, "Eh!" Kehadiran Linggar yang tiba-tiba itu tak luput dari perhatian Rangga maupun teman-teman sekelas mereka. Rangga, yang sejak awal tak menyukai kehadiran Linggar, kini memasang ekspresi datar, meski hatinya bergejolak. Bagi Rangga, Linggar terlalu misterius, wajahnya selalu terlihat dingin tanpa sedikit pun menampakkan keramahan. "Thanks," ucap Linggar singkat, suaranya rendah tapi cukup jelas untuk didengar Selena. Selena hanya bisa mengernyit heran. "Thanks? Maksudnya apa?" pikirnya. Tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut, Linggar langsung berjalan menuju tempat duduknya. Selena, yang masih bingung dengan ucapannya, akhirnya kembali ke kursinya sendiri. Namun, rasa penasaran itu tetap menggantung di benaknya. Sambil duduk, ia kembali melirik ke arah Linggar, yang kini sibuk menatap buku di mejanya. Tapi Selena tak bisa mengabaikan sesuatu yang aneh, asap hitam kembali mengepul samar di belakang Linggar. Asap itu terlihat seperti merayap, mengelilingi tubuhnya, membuat suasana di sekitarnya terasa berat dan gelap. Selena menelan ludah. Ia tidak tahu mengapa asap itu terus melekat pada Linggar. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Sadar dirinya sedang diperhatikan, Linggar tiba-tiba mengangkat pandangannya dan menatap lurus ke arah Selena. Jantung Selena berdebar keras, dan tanpa sadar, ia segera memalingkan wajahnya ke depan, pura-pura sibuk dengan buku di mejanya. "Ya Allah, tolong aku... Bantu aku menyingkirkan iblis itu," batin Selena dengan penuh harap. Sementara itu, di tempat lain... Ustad Sholeh duduk di bawah pohon rindang di depan rumah Selena di kampung. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, namun pikirannya tak tenang. Sejak tadi malam, ia merasa terus dihantui mimpi yang sama, seorang ratu dengan tatapan bengis selalu datang dalam tidurnya. "Kenapa wajah itu terasa begitu nyata?" gumamnya, menatap lurus ke arah daun-daun yang melambai pelan di atasnya. Mimpi itu bukan hanya sekedar bunga tidur, ia yakin akan hal itu. Sebagai seseorang yang memiliki ilmu dan pengalaman dalam menghadapi hal-hal gaib, Ustad Sholeh merasa firasatnya tidak salah. Ada sesuatu yang sedang terjadi, dan hal itu jelas bukan pertanda baik. "Semoga semua baik-baik saja," doanya lirih, meski jauh di dalam hatinya ia tahu, sesuatu tengah mendekat. Sesuatu yang mungkin akan mengguncang keseimbangan di sekitar Selena dan keluarganya. ** Saat bel istirahat berbunyi, Selena dan Rangga berjalan beriringan menuju kantin sambil tertawa kecil membahas sesuatu yang mereka anggap lucu. Langkah keduanya santai, namun suasana berubah ketika mereka mendapati Linggar berdiri di koridor, menyenderkan tubuhnya di dinding dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sorot matanya tajam, seperti menunggu seseorang. Linggar kemudian melangkah mendekati mereka, membuat Selena tiba-tiba tegang. Wajah Linggar yang seperti menyimpan kemarahan membuat Selena gugup. "Lo bisa ikut gue sebentar?" tanya Linggar, nadanya datar namun tegas, matanya langsung menatap Selena. "Eh, aku?" Selena menunjuk dirinya sendiri, bingung. "Iya. Gue mau ngomong," jawab Linggar singkat, lalu tanpa basa-basi, meraih tangan Selena. Namun, Rangga dengan sigap menahan tangan Selena yang lain, membuat suasana di koridor memanas. "Ngomong di sini aja! Emangnya nggak bisa?" bentak Rangga, maju setengah langkah menghadapi Linggar. Keributan kecil itu langsung menarik perhatian siswa lain di sekitar. Mereka mulai berbisik-bisik, sebagian bahkan menutup mulut, terkejut melihat adegan yang berlangsung. Dari luar, situasi ini tampak seperti perebutan cinta. Setelah sebelumnya melihat interaksi Selena dan Linggar yang intens, sekarang ditambah sikap protektif Rangga, gosip tentang cinta segitiga Selena, Linggar, dan Rangga pun berhembus cepat di antara mereka. "Ini bukan urusan lo. Minggir," ujar Linggar dengan tatapan dinginnya, suaranya nyaris seperti desisan. Tanpa memperdulikan Rangga, dia menarik tangan Selena lebih keras. "Aduh!" seru Selena, hampir terhuyung ke depan karena tarikan itu. "Selena!" Rangga langsung menahan tubuh Selena agar tidak jatuh. Matanya membara, tak bisa menahan emosi. "Lu itu sopan dikit sama anak cewek! Lepas!" hardik Rangga, nadanya semakin tajam. "Lo yang lepas. Gue cuma mau ngomong sama dia," balas Linggar, tetap menggenggam tangan Selena erat-erat. Ketegangan memuncak, dua pemuda itu saling bertatapan tajam, seperti dua api yang siap membakar. Selena, yang terjepit di antara mereka, merasa kesal. Dengan gerakan cepat, ia mengibaskan kedua tangannya, melepaskan genggaman baik dari Linggar maupun Rangga. "Oi! Kalian berdua lepasin tangan gue! Gue nggak boneka yang bisa ditarik-tarik sembarangan!" Selena berseru, suaranya penuh amarah dan membuat beberapa siswa yang melihat menahan tawa. Linggar dan Rangga sama-sama terdiam. Selena mendengus kesal, melipat tangan di depan badannya, lalu menatap Linggar.Seorang gadis tengah marah dan kesal karena usahanya dan rencananya tidak berhasil, sudah berhari-hari bahkan sudah hampir dua minggu tapi tidak ada sedikitpun kemajuan dari apa yang direncanakannya. Dia sedang menangis tersedu-sedu di kamarnya sampai temannya kebingungan karena gadis itu mengurung diri sejak kemarin."Allee, come on.. buka pintunya!"Ya, Allee.. dia belum pulang ke LA dan dia masih di Jakarta. la masih berusaha mengejar Nicholas, Allee bahkan tidak peduli dengan pendidikannya dan terus menerus berusaha agar misinya berhasil, misi untuk menaklukan Nicholas.Tapi sejak dirinya datang ke dukun yang dipanggil Aki sampai hari ini, dia belum mendapat hasil apapun. Bahkan saat dirinya bertemu dengan Nicholas pun Nicholas tidak merespon apapun, malah kini semakin menjauh seolah benar-benar tidak mengenal Allee."Kamu bilang aku bisa mendapatkan Nicholas dengan cara yang kamu katakan, sekarang mana! Aku tidak mendapatkan apapun, Nicholas malah semakin jauh dariku." Teriak All
Selena tidak masuk kuliah akhirnya, karena dia sedang mual dan muntah-muntah parah. Tidak ada yang keluar sebenarnya, tapi Selena terus mual dan muntah air saja.Nicholas juga akhirnya tidak masuk dan dia merawat Selena di rumah, tapi sekarang dia sedang ke apotek untuk membeli sesuatu."Bu, beli alat tes kehamilan tiga dari merk yang berbeda." Ujar Nicholas, si ibu apoteker terkejut mendengarnya, seorang laki-laki beli alat tes kehamilan."Oke, sebentar mas." Ujar apoteker.Tak lama alat tes kehamilan dari tiga merk berbeda pun dikeluarkan, Nicholas lalu membayarnya. Nicholas hendak pergi tapi dia kembali lagi dan bertanya pada ibu apoteker."Bu, mau nanya sedikit boleh?" Tanya Nicholas, ibu apoteker pun terkekeh."Banyak juga boleh, mas. Mau nanya apa?" Tanya ibu apoteker."Nggak jadi deh bu, makasih." Ujar Nicholas, lalu pergi.Nicholas pun pulang ke rumah, dan ternyata Selena masih belum bangun lagi padahal sudah jam 7 pagi. Nicholas kemudian perlahan membangunkan Selena."Dek.."
Beberapa hari setelahnya, datang kabar baik dari Linggar dan Reyna yang ternyata mereka berhasil mendapat restu kedua orang tua Linggar dan mereka akan langsung dinikahkan bulan depan.Mendadak memang, semua karena kedua orang tua Linggar takut mereka jadi zina karena mereka tinggal satu atap walau tidak satu kamar. Apalagi ibunya Linggar yang sangat takut, padahal Linggar tidak benar-benar sudah menyentuh Reyna, tapi ibunya parno."Ecieee.. yang bulan depan mau nikah." Goda Selena pada Reyna, Reyna tersenyum-senyum digoda seperti itu."Harusnya kalian dipingit loh, bulan depan itu tinggal menghitung hari." Ujar Selena."Pingit!? Tapi kan aku nggak punya tempat tinggal." Ujar Reyna, Reyna menanggapinya dengan serius."Parah si Linggar, nggak mikirin kesana berarti." Ujar Deon."Seriusan harus dipingit?" Tanya Reyna."Harus, sebuah tradisi nenek moyang itu." Ujar Deon dan Reyna tampak celingukan menatap Selena." Lu juga dulu gitu, Sel?" Tanya Reyna tapi Selena menggeleng."Gue cuma di
Selena meminta agar ibu panti ikut pulang dengannya, kini ibu panti yang masih terisak-isak itu duduk di mobil Selena dengan nafasnya yang masih sesenggukan."Fuad.." Gumamnya."Ibu, Fuad mau ngomong sama ibu." Ujar Selena dan ibu panti menatap Selena."Fuad di sini?" Tanya ibu panti dan Selena mengangguk."Fuad duduk di sebelah ibu, dia sedih liat ibu terus-terusan nangis." Sahut Selena, dan ibu panti menoleh ke sebelahnya yang jelas tidak ada siapapun."Maafın ibu nak, semuanya salah ibu, kalo aja ibu nggak ijinin kamu ngamen, kamu nggak akan seperti ini." Ujarnya, pada udara kosong.Tapi di jok belakang itu, Fuad sedang sesenggukan menatap ibu pantinya yang terus menangisinya. Ingin rasanya Fuad memeluk tapi tidak bisa."Aku akan ijinkan Fuad masuk ke badan aku, dia pengen ngomong sama ibu." Ujar Selena dan ibu panti mengangguk.Selena memejamkan mata sambil membaca doa dalam hatinya dan Fuad pun masuk ke dalam tubuh Selena. Fuad yang masuk ke dalam tubuh Selena langsung memeluk ib
Malam hari setelah Selena sampai di rumah, dia langsung mandi dan langsung terkapar di ranjang, karena dia sudah sangat kelelahan setelah seharian itu berada di panti.Nicholas yang juga baru selesai mandi langsung menyusul Selena ke ranjang, ia mengecup kening Selena dan memandangi wajah perempuan yang sangat dicintainya itu."Kenapa, sayang?" Tanya Nicholas, karena Selena terus terpejam."Aku kebawa astral terus dari tadi, bang." Sahut Selena, Nicholas pun langsung membaca doa untuk membantu memagari Selena agar stabil."Jangan dipikirin terus sayang, jadinya nggak kebawa astral. Tutup dulu, kamu butuh istirahat, sayang." Ujar Nicholas, dan Selena mengangguk lalu membuka matanya.Selena pun menutup mata batinnya lalu kemudian masuk kedalam pelukan Nicholas, Nicholas pun mengusap kepala Selena dan mengecupnya beberapa kali."Bobo, ya.. jangan dipikirin terus, kan besok tim pencarian akannyari jasadnya Fuad." Ujar Nicholas dan Selena mengangguk sambil mencari posisi yang nyaman di pel
Fuad kembali duduk di taman setelah melihat ibu panti menangis histeris sampai pingsan, dia sedih karena ternyata dirinya sudah meninggal. Selena yang mencari keberadaan hantu Fuad pun tertegun melihat hantu Fuad yang menangis di taman. "Fuad.." Panggil Selena, dan Fuad menoleh dengan wajah sedihnya. "Kak, ibu baik-baik aja kan?" Tanya Fuad, dia marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa melakukan apapun untuk ibu pantinya, akhirnya dia memilih pergi. "Mereka semua sedih.." Sahut Selena, dan Fuad kembali menunduk. "Fuad.. Kakak tau ini berat banget buat kamu, tapi coba kamu ingat-ingat dimana kali terakhir kamu berada?" Ujar Selena, dan Fuad tampak terdiam "Dimana kamu mengalami kecelakaan?" Tanya Selena. "Yang aku inget.." (Kisah balik Fuad dimulai) Seminggu yang lalu, adalah hari jumat. Fuad sedang mengamen di pinggiran jalan yang biasanya namun di sana sudah banyak yang mengenal Fuad sehingga orang-orang di sana tidak lagi memberikan uang pada Fuad. Fuad pun berp