Jacob terengah-engah setelah bangun dari tidur. Wajahnya basah oleh keringat dingin yang keluar dari pori-pori tubuhnya sendiri. Ia usap keningnya perlahan, dan ia tatapi tangannya yang masih gemetaran.
Perlahan ia bangkit, dan membuat dirinya terduduk di atas ranjang. Sembari mengatur pernapasannya yang belum kembali seperti semula, Jacob melirik arloji di tangan kirinya dengan susah payah; mengingat apa yang baru saja ia lihat di dalam tidurnya. Pukul 7 malam. Setidaknya, ia sudah tidur di sini selama kurang lebih dua jam.
Mencengkeram pelan rambut hitamnya, Jacob lantas bangkit dari tempat tidur. Turun dari ranjang secara perlahan sembari melirik ke arah meja belajar, tempat di mana terakhir kali ia menaruh obat penenangnya, dan kini obat itu sudah menghilang dari atas sana.
Obat yang sangat ia perlukan saat ini tak ada, justru sebotol air minum
"Ju-Julia?" Betapa terkejutnya Jacob saat ini. Pasalnya, ia menemukan gadis yang selama ini dicari-cari olehnya tengah terikat di sebuah kursi kayu tua berwarna cokelat. Gadis itu terduduk sendirian di dalam ruang bawah tanah yang sepi. Rambut sang gadis yang panjang tergerai, membuatnya terlihat seperti sebuah boneka porselen yang sengaja dipajang di depan tangga. Gadis itu duduk di bawah temaram lampu dengan cahaya yang remang-remang. Sekilas, semua kondisi Julia saat ini sama persis seperti jawaban dari teka-teki sederhana yang Javier berikan kepadanya. Apa maksud dari ini semua? "Juli!" Tanpa berpikir panjang lagi, Jacob langsung berlari menuruni setiap anak tangga. Tak peduli dengan tangga kayu yang berusia hampir sama dengan usianya saat ini, yang bisa saja membuatnya terjatuh di sana. Tujuan Jacob hanya satu, segera membebaskan sang kekasih.
Julia tampak kebingungan begitu melihat reaksi sang kekasih. Jacob memandangi sesuatu di tangannya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Seperti perpaduan serius dengan perasaan getir lainnya. "Apa itu, Sayang?" tanya Julia dengan susah payah, bisikannya terlalu lirih. Dari cara bicaranya yang lemas, masih terdengar jelas jika ia tak punya tenaga lebih saat ini. Ekspresi Jacob tampak mengeras, ia kelihatan marah. Pria itu terlalu fokus pada kertas di tangannya, sehingga membuatnya tak menanggapi ucapan Julia, bahkan mendengar saja tidak sepertinya. Jacob bak patung yang hanya diam saja tatkala memandangi secarik kertas yang ia temukan di bawah kursi yang tadi Julia duduki. Sebuah kertas berwarna kuning dengan tinta merah bertuliskan 'selamat', serta tulisan berwarna hitam yang tak terlalu jelas garis tulisannya. Bahasanya saja tak Jacob mengerti, entah bahasa yang berasal dari mana. Apa ini sebuah petunjuk? Batin Jacob bertanya-ta
Jacob salah, Javier malah terkekeh pelan saat menyadari kebimbangan sang kakak. Jacob tengah dilema dan Javier tahu bahwa tak ada seorang pun yang bisa mendengar tawa liciknya. "Jadi, Kakak akan tetap memilih jalang itu meski Kakak tahu dia itu sebenarnya adalah siapa?" tanya Javier dengan tenang. Jacob kembali berhenti melangkah, ia menatap adiknya yang telah mengubah posisinya menjadi duduk dengan tatapan tajam. "Apa maksudmu?" tanyanya datar. Tersimpan kemarahan di nada bicaranya. Sejak kapan adik yang ia besarkan dengan penuh perhatian dan kasih sayang itu mengucap kata-kata yang tidak pantas seperti itu? Terlebih lagi, panggilan hina itu dialamatkan kepada Julia, gadis yang ia cintai. Pengaruh buruk organisasi itu sepertinya telah merusak otak adik kesayangannya. "Tentu saja, Kakak akan berterima kasih
"Uggh! To-TOLONG!" "Tolong! Be-berhenti—ah!" "Hiks! To-tolong!" Jacob yang sedang berbaring sambil membaca sebuah buku, langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Telinganya samar-samar mendengar suara aneh yang berasal dari luar, yang berarti di dalam kafe sang mama. "Ada apa, Kak?" tanya Javier penasaran, ia begitu keheranan melihat ekspresi Jacob yang menegang seperti baru saja melihat hantu. "Kakak sakit perut? Aku antar ke toilet ya." "Javi, kau dengar suara itu?" Alih-alih menjawab pertanyaan sang adik, Jacob malah mengajukan pertanyaan padanya. "Suaranya dari kafe mama." Javier terlihat kebingungan, belum pernah mendengar suara aneh yang terdengar begitu kesakitan. Ia lalu mengikuti langkah sang kakak yang mendekati pintu keluar secara hati-hati. Meninggalkan Sylvia seorang diri di belakang. Sylvia yang sibuk me
Javier yang tak sengaja melihat reaksi Julia pun tertawa kecil. "Dan ... klien itu rela mengeluarkan uang sebanyak apa pun untuk melenyapkan gadis di cengkeramanmu itu, Kak. Benar-benar orang yang licik sekali ya dia?" Sekarang, giliran Jacob yang keheranan. Ia lalu bertanya kepada Javier. "Apa maksudmu?" tanyanya.Siapa orang yang kau maksud?" Akhirnya Jacob menunjukkan ketertarikan terhadap apa yang ia bahas. Javier merasa senang sekali malam ini, ia tak perlu mengibarkan bendera putih tanda menyerah pada sang kakak. "Orang yang pantas mati daripada kedua orang tua kita, tentu Kakak tahu siapa orangnya, bukan?" Javier sekarang menjadi punya kebiasaan terkekeh geli ketika merasa dirinya begitu hebat. "Orang bodoh itu berhasil masuk ke dalam perangkapku, Kak! Padahal aku sama sekali tidak pernah menutupi identitas diriku padanya. Aku saja bisa ke sana tanpa menggunakan masker, sebab dia juga t
Awalnya Julia berpikir, dia akan dibebaskan dan dikeluarkan dari sana setelah bertemu dengan kekasihnya—Jacob. Namun, bukannya dibebaskan seperti harapannya, kekasihnya yang entah mengapa mendadak berubah itu semakin mengurungnya di ruangan rahasia yang pengap. Sudah beberapa hari ia disekap di ruangan itu oleh Jacob, sudah beberapa hari pula tak ada yang mengujunginya selain kekasihnya itu. Makan dan minum pun tak diberikan padanya. Di hari-hari bak neraka itulah Julia diperlakukan seperti seonggok mainan oleh Jacob yang masih dikuasai amarah. Julia sangat ingin tahu alasan Jacob marah kepadanya, ia hanya tak habis pikir saja. Kejahatan apa yang sudah kakaknya lakukan sehingga Jacob dan Javier memusuhinya? Setahu Julia, kakaknya adalah anak yang baik. Meski dahulu, ia tahu jika Louis pernah menyuruh kekasihnya aborsi, tetapi di balik itu semua, Louis tak pernah menyakitinya. Orangnya memang dingin, s
Menyadari Julia yang hanya bungkam saja sedari tadi, akhirnya Jacob pun memilih untuk sedikit menceritakan kisah hidupnya kepada sang gadis. "Aku selama ini hidup berdua saja dengan adikku Javier," ucapnya memulai kisah. "Papa kami meninggal dunia dikarenakan penyakit jantungnya kambuh saat beliau mendengar kejadian itu dari mulut keluarga jauh kami." Jacob menatap piring makanan di tangannya. "Sejak itu, kehidupan keluarga kami hancur sehancur-hancurnya. Setelah ditinggal pergi oleh papa, mama pun masuk ke rumah sakit jiwa, karena depresi yang diderita olehnya." Julia mendengarkan dengan baik, meski tak ingin memberi respons kepada pria itu. Jacob kembali meneruskan. "Kami yang tak punya kerabat dekat yang bersedia menolong kami pun tak tahu harus berbuat apa saat itu. Paman dan bibi tak ada yang mau menampung kami berdua. Sejak saat itu juga, aku dan Javier bertekad untuk mencari uang kami sendiri."
Julia menelan saliva dengan susah payah. Saat ini, Jacob tengah menggagahi tubuhnya untuk yang kedua kalinya di malam itu. Napasnya memburu cepat, tubuhnya telah basah oleh keringat. Namun, tampilannya yang berantakan itu semakin membuatnya terlihat menggairahkan di mata sang kekasih. Jacob menahan kedua tangan Julia ke belakang. Hari itu ia begitu bersemangat. Entah karena nafsu, atau amarah. Jacob pun tak tahu. Yang ada hanyalah keinginan untuk menyelami gadis itu lebih dalam lagi. Julia berteriak minta tolong, meminta kepada Jacob untuk dibebaskan karena sudah kelelahan dipaksa bercinta selama beberapa jam. Namun, Jacob justru semakin mempercepat penetrasinya. Desahan Julia semakin menyulut birahi Jacob saat ini. Bayangan di mana ibunya dipaksa seperti ini pun kembali terlintas dalam benaknya. Di saat itu, pastilah ibunya merasakan rasa sakit yang menyedihkan. Betapa malangnya sang i