"Uggh! To-TOLONG!"
"Tolong! Be-berhenti—ah!"
"Hiks! To-tolong!"
Jacob yang sedang berbaring sambil membaca sebuah buku, langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Telinganya samar-samar mendengar suara aneh yang berasal dari luar, yang berarti di dalam kafe sang mama.
"Ada apa, Kak?" tanya Javier penasaran, ia begitu keheranan melihat ekspresi Jacob yang menegang seperti baru saja melihat hantu. "Kakak sakit perut? Aku antar ke toilet ya."
"Javi, kau dengar suara itu?" Alih-alih menjawab pertanyaan sang adik, Jacob malah mengajukan pertanyaan padanya. "Suaranya dari kafe mama."
Javier terlihat kebingungan, belum pernah mendengar suara aneh yang terdengar begitu kesakitan. Ia lalu mengikuti langkah sang kakak yang mendekati pintu keluar secara hati-hati. Meninggalkan Sylvia seorang diri di belakang.
Sylvia yang sibuk me
Javier yang tak sengaja melihat reaksi Julia pun tertawa kecil. "Dan ... klien itu rela mengeluarkan uang sebanyak apa pun untuk melenyapkan gadis di cengkeramanmu itu, Kak. Benar-benar orang yang licik sekali ya dia?" Sekarang, giliran Jacob yang keheranan. Ia lalu bertanya kepada Javier. "Apa maksudmu?" tanyanya.Siapa orang yang kau maksud?" Akhirnya Jacob menunjukkan ketertarikan terhadap apa yang ia bahas. Javier merasa senang sekali malam ini, ia tak perlu mengibarkan bendera putih tanda menyerah pada sang kakak. "Orang yang pantas mati daripada kedua orang tua kita, tentu Kakak tahu siapa orangnya, bukan?" Javier sekarang menjadi punya kebiasaan terkekeh geli ketika merasa dirinya begitu hebat. "Orang bodoh itu berhasil masuk ke dalam perangkapku, Kak! Padahal aku sama sekali tidak pernah menutupi identitas diriku padanya. Aku saja bisa ke sana tanpa menggunakan masker, sebab dia juga t
Awalnya Julia berpikir, dia akan dibebaskan dan dikeluarkan dari sana setelah bertemu dengan kekasihnya—Jacob. Namun, bukannya dibebaskan seperti harapannya, kekasihnya yang entah mengapa mendadak berubah itu semakin mengurungnya di ruangan rahasia yang pengap. Sudah beberapa hari ia disekap di ruangan itu oleh Jacob, sudah beberapa hari pula tak ada yang mengujunginya selain kekasihnya itu. Makan dan minum pun tak diberikan padanya. Di hari-hari bak neraka itulah Julia diperlakukan seperti seonggok mainan oleh Jacob yang masih dikuasai amarah. Julia sangat ingin tahu alasan Jacob marah kepadanya, ia hanya tak habis pikir saja. Kejahatan apa yang sudah kakaknya lakukan sehingga Jacob dan Javier memusuhinya? Setahu Julia, kakaknya adalah anak yang baik. Meski dahulu, ia tahu jika Louis pernah menyuruh kekasihnya aborsi, tetapi di balik itu semua, Louis tak pernah menyakitinya. Orangnya memang dingin, s
Menyadari Julia yang hanya bungkam saja sedari tadi, akhirnya Jacob pun memilih untuk sedikit menceritakan kisah hidupnya kepada sang gadis. "Aku selama ini hidup berdua saja dengan adikku Javier," ucapnya memulai kisah. "Papa kami meninggal dunia dikarenakan penyakit jantungnya kambuh saat beliau mendengar kejadian itu dari mulut keluarga jauh kami." Jacob menatap piring makanan di tangannya. "Sejak itu, kehidupan keluarga kami hancur sehancur-hancurnya. Setelah ditinggal pergi oleh papa, mama pun masuk ke rumah sakit jiwa, karena depresi yang diderita olehnya." Julia mendengarkan dengan baik, meski tak ingin memberi respons kepada pria itu. Jacob kembali meneruskan. "Kami yang tak punya kerabat dekat yang bersedia menolong kami pun tak tahu harus berbuat apa saat itu. Paman dan bibi tak ada yang mau menampung kami berdua. Sejak saat itu juga, aku dan Javier bertekad untuk mencari uang kami sendiri."
Julia menelan saliva dengan susah payah. Saat ini, Jacob tengah menggagahi tubuhnya untuk yang kedua kalinya di malam itu. Napasnya memburu cepat, tubuhnya telah basah oleh keringat. Namun, tampilannya yang berantakan itu semakin membuatnya terlihat menggairahkan di mata sang kekasih. Jacob menahan kedua tangan Julia ke belakang. Hari itu ia begitu bersemangat. Entah karena nafsu, atau amarah. Jacob pun tak tahu. Yang ada hanyalah keinginan untuk menyelami gadis itu lebih dalam lagi. Julia berteriak minta tolong, meminta kepada Jacob untuk dibebaskan karena sudah kelelahan dipaksa bercinta selama beberapa jam. Namun, Jacob justru semakin mempercepat penetrasinya. Desahan Julia semakin menyulut birahi Jacob saat ini. Bayangan di mana ibunya dipaksa seperti ini pun kembali terlintas dalam benaknya. Di saat itu, pastilah ibunya merasakan rasa sakit yang menyedihkan. Betapa malangnya sang i
"Hik ... hiks...." Di sebuah kamar dengan suasana remang-remang, gadis itu berbaring sendirian. Menangis dan menutupi kedua dadanya yang polos. Tubuhnya bergetar hebat, bantal tempatnya menaruh kepala basah oleh air mata. Julia menangis terisak-isak. Dia sudah tak sanggup lagi menghadapi Jacob. Tiap malam, Jacob akan menyakitinya hingga ia tak bisa berkata-kata. Tak ada lagi perlawanan yang bisa ia lakukan. Sama sekali tak ada. Sudah setengah jam ia meringkuk seperti itu. Menangis sambil menggosok selangkangannya. Betapa hinanya dia, membiarkan tubuhnya dijamah tanpa henti oleh kekasihnya sendiri. Dia pikir Jacob seperti itu karena amarahnya yang sering datang, juga sedikit kurang stabil. Dan Julia memaklumi hal itu jika saja Jacob mau menceritakan padanya. Sebelum bermain dengannya, Jacob akan meminum sebutir obat dengan resep dokter di sampingnya. Lalu kemudian, s
Pagi Sabtu yang cerah, demi mengobati rasa rindunya terhadap sahabatnya—Emily, Javier kembali bertandang ke rumah gadis itu. Akan tetapi, dalam kunjungannya kali ini, dia hanya pergi sendiri, tak mengajak Mark untuk ikut serta bersama dengannya. Begitu tiba di rumah Emily, terasa sekali hawa yang berbeda di dalam rumah setelah pemuda bersurai cokelat ikal itu masuk ke dalamnya. Ia melihat kedua orang tua gadis itu tampak lebih kurus daripada sejak terakhir kali ia berkunjung ke sana, mungkin sekitar satu minggu yang lalu? Dengan terheran-heran, Javier pun dipersilakan masuk dan langsung melangkah menuju kamar Emily. Betapa terkejutnya Javier saat menemukan Emily sedang menangis sesenggukan di atas kasur, sambil mendekap sebuah figura foto yang terlihat asing. "Emily ... ada apa?" Javier bertanya dengan hati-hati. Ia tatapi wajah Emily yang basah oleh air mata, hidung sang gadis yang mancung pun tak lu
“Bahkan jika kamu hidup hanya satu hari, lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan dan pilihlah sendiri jalan yang ingin kamu lalui.” Mungkin, berdasarkan kalimat yang pernah dibaca dulu oleh Julia ketika ia masih berada di sekolah, ia kembali berusaha melarikan diri dari tempatnya dikurung, di saat Jacob tak berada di rumah. Entah apa yang gadis itu pikirkan saat mencoba kabur dari kamar sang kekasih. Memang, dirinya dan Jacob sudah saling berbaikan sejak hari itu, tetapi dia tetap ingin pergi dari sana dan menemui keluarga yang tengah menunggunya di rumah. Julia tak mungkin bisa keluar melalui jendela, sebab kamar Jacob itu ada di lantai dua dan tak ada tempat baginya untuk bergantungan di atas sana. Dengan tertatih-tatih, ia berhasil menemukan jalan keluar dari rumah itu dengan cara merangkak selama lebih dari sepuluh menit melalui sebuah pipa besar yang tak lagi digunakan.
Dokter Birendra benar-benar datang ke rumah setelah ditelepon oleh Jacob yang panik. Mulanya ia ingin bertanya apa yang terjadi, tetapi ketika melihat raut wajah penuh sesalnya Jacob, akhirnya pria paruh baya itu mengurungkan niatnya. Sembari diam tak berkata-kata, pria berjanggut itu mengeluarkan semua peralatan yang ia bawa dari rumah. Jacob sengaja menunggunya di luar sampai pria itu selesai memeriksa keadaan Julia. "Bagaimana keadaanmu, Nona?" tanya sang dokter dengan lembut. Ia keluarkan stetoskopnya dan juga kotak obat dari tas besarnya. "Kau terlihat tak begitu sehat. Apa Jacob merepotkanmu?" Julia yang menggigil seluruh tubuhnya mulai dari tangan sampai kaki menggelengkan kepalanya perlahan. Birendra tak berucap lagi setelah itu. Ia melakukan tugasnya sebagai dokter dengan cepat. Mulai memeriksa suhu tubuh Julia, dan kemudian mendiagnosis sakit yang diderita olehnya. Setelah sel