***
"Kok Senja?"
"Iya, karena dia!" serunya lagi.
"Tapi, apa masalahnya? Bukannya, lo sama Senja berteman baik?"
"Namanya teman itu, kadang ada baiknya kadang nggak."
"Maksud lo? Sorry, gue nggak paham."
"Devan, aku itu suka sama kamu," terang Aura dengan sorot matanya memandang bola mata berwarna cokelat, milik Devan.
"Suka sama gue?"
"Terserah, Devan mau percaya apa nggak. Tapi, yang jelas Aura suka sama Devan."
"Sejak kapan?"
"Devan, pikir aja sendiri," ketus Aura memalingkan pandangannya dari Devan.
"Terus, apa masalah lo sama Senja?" Devan menggaruk-garuk pelipisnya yang tidak gatal.
"Masalahnya ada di Devan!" seru Aura.
"Kenapa jadi gue?" Devan membelalakan matanya, menatap Aura sengit.
"Aura!" panggil Senja yang masuk ke dalam kelas
***"Devan, kamu cepat bersiap-siap.""Memangnya kita mau ke mana, Mah?""Udah kamu jangan banyak tanya," timpal Nirwan yang tengah membaca koran di teras depan rumahnya."Pah, Devan nggak tahu mau ke mana. Jadi, buat apa Devan bersiap-siap," bantah Devan."Mau ke rumah jodoh kamu," balas Nirwan masih fokus dengan koran di tangannya."Jodoh?""Devan, maksud papah lo apa?" tanya Neysa yang ada di rumah Devan."Gue juga nggak tahu.""Neysa, sayang. Lebih baik kamu pulang sekarang, ya. Karena Tante, Om, sama Devan mau pergi," ujar Anggun mendekat."Mau pergi ke mana, Tante?""Kamu nggak perlu tahu, kita mau pergi ke mana. Karena kamu bukan siapa-siapanya Devan, jadi tolong kamu menjauh dari Devan.""Loh, Mah. Mamah lupa sama Neysa? Dia ini teman kecil Devan, dan nggak mungkin Neysa menjauh dari Devan," sanggah Devan."Kalian berdua itu cuman teman kecil, dan sebentar lagi Devan mau bertemu
***"Devan, kamu ini apa-apan sih?! Kenapa kamu menolak untuk dijodohkan sama Senja? Bukannya kalian berdua sudah saling kenal?""Devan, nggak menolak perjodohan ini, Pah. Tapi, Devan nggak mau menerima perjodohan ini kalo Senja juga belum bisa menerimanya.""Jadi, maksud kamu? Kamu mau menunggu sampai Senja menerima perjodohan ini?""Iya, Mah. Devan, nggak mau perjodohan ini cuman disetuju sama satu pihak. Devan, maunya Senja juga setuju sama perjodohan ini.""Yaudah kalo itu mau kamu."**"Senja!! Jangan harap kamu bisa bertemu sama ibu lagi!" seru Mawar mengemaskan barang-barangnya, sembari berteriak."Ibu!" Senja yang mendengarnya, langsung menghampiri Mawar ke dalam kamar. Melihat Mawar tengah berkemas, Senja pun menghentikannya."Bu, jangan pergi. Kalo Ibu pergi, nanti Senja tinggal sama siapa di sini? Terus, Ibu mau tinggal di mana nanti?""Nggak usah peduli lagi sama Ibu. Kamu pikirkan aja perasaan k
***"Hati, memang nggak bisa berbohong!" seru Mawar kembali."Bu, sakit," rintih Senja ketika darah segar mengalir dari pergelangan tangannya."Astaga!!!" Mawar terperanjat, ia memundurkan langkahnya dan melepaskan cengkeramannya dari tangan Senja."Bu, sakit," rengek Senja memegangi pergelangan tangannya, yang berdarah."Ibu, minta maaf, Sayang." Mawar langsung mengambil kotak obat di kamar Senja, dan membersihkan sedikit luka di pergelangan tangan Senja.Senja mencoba menahan Isak tangisnya, melihat Mawar yang sibuk mengobati lukanya itu. Meskipun, hanya luka kecil akibat kuku panjang milik Mawar, yang membuat goresan di pergelangan tangan Senja. Akan tetapi, Senja masih bisa melihat sisi malaikat tanpa sayap, dari sosok Mawar."Bu, gakpapa. Ini cuman sakit sedikit," kata Senja, dibalas senyuman singkat dari Mawar."Senja, maafkan ibu."
*** Pagi-pagi buta, Senja sudah berada di dalam angkot. Bersama dengan Aura--si cerewet yang selalu berada di samping Senja. Keduanya sangat menikmati suasana hening selama di perjalanan, karena angkot itu tidak begitu banyak penumpang. Namun, suara dari seseorang telah menghilangkan keheningan itu. Tampak Devan dengan motornya, berteriak dari arah belakang angkot. Ia terus mengikuti angkot yang Senja tunggangi bersama Aura, dan tanpa jeda ia memanggil nama Senja. "Ja, itu Devan kenapa?" "Senja, juga nggak tahu, Ra." Senja mengedikkan kedua bahunya, hanya memandang Devan dari balik kaca angkot. "SENJA!!" panggilnya mulai mengetuk kaca angkot. "Aduh, itu siapa sih. Udah bosan hidup, apa gimana?!" decak supir angkot yang resah, akibat perlakuan Devan. "Devan, kayanya mau ngomong sesuatu sama kamu, Ja," kata Aura. "Tapi, Senja nggak m
***"Tolong telepon ambulance!" seru Devan membuat Senja dan Aura menatapnya."Ini semua itu karena Devan!" sembur Senja dengan kedua pipinya yang basah, akan air mata yang terus menderas.Tampak napas Devan tersengal-sengal, ia membalas tatapan Senja dengan raut cemas. Melihat Senja menangis, ia berniat untuk mendekati. Namun, Aura lebih dulu mencegah langkah Devan."Jangan pernah dekati Senja, ataupun Langit.""Ra, gue minta maaf. Gue nggak sengaja," kilah Devan.Aura diam, kemudian ia berbalik dan menghampiri Senja lagi. "Hallo ambulance, tolong ke sekolah SMA Nusa Bangsa. Ada orang yang terluka di sini, tolong cepat, ya.""Langit, jangan tinggalin Senja!" teriak Senja menyentuh kedua pipi Langit, dengan telapak tangannya yang penuh bercak darah."Langit, nggak akan pergi. Ja, kamu harus percaya, ya. Langit itu kuat, dia nggak akan pergi secepat ini," ujar Aura membuat tangisan Senja semakin menjadi-jadi.Bebera
***"Bu, Senja berangkat, ya." Pagi-pagi sekali, Senja sudah bersiap dengan kaos dan celana jeans panjangnya."Kamu ke sekolah nggak pakai seragam?" tanya Mawar menghampiri."Senja, nggak sekolah, Bu. Senja mau ke rumah sakit, jagain Langit."Mawar mengembuskan napasnya berat. "Jadi kamu lebih pilih untuk bolos sekolah?""Bukan bolos, Bu. Senja nanti izin kok sama guru yang mengajar hari ini, kalo Senja nggak bisa berangkat sekolah.""Tapi, Ibu nggak kasih izin." Mawar melipat kedua tangannya, di depan dada."Kenapa, Bu? Lagian, Senja nggak sekolah itu karena ada alasan lain.""Cuman karena mau menjaga Langit, kamu harus bolos sekolah?" tanya Mawar mengintimidasi. "Dengar, ya, Senja. Kamu akan ketinggalan pelajaran, dan Ibu nggak mau kamu tertinggal. Sekolah kamu itu yang utama, Ibu susah payah cari uang biar kamu bisa sekolah," lanjutnya.
*** "Ja, mau makan apa?" Senja terdiam, saat langkah keduanya tiba di area kantin. Dan, Senja terdiam di belakang Devan. "Ja, mau makan apa?" tanya Devan kedua kali, menengok ke belakang. "Kenapa? Gue nggak boleh pegang tangan lo?" tanya Devan. "Gakpapa." Sejak tadi, Senja terus memandang tangannya yang digenggam oleh Devan. "Yaudah sekarang lo mau makan apa?" Senja melepaskan tangannya dari genggaman Devan, dan terduduk di bangku panjang yang kosong. "Apa aja," jawab Senja setelahnya. "Yaudah, lo tunggu di sini dulu, ya. Biar gue yang beli makanan buat lo," ujar Devan beranjak pergi. Selama menunggu, Senja dibalut dengan kebosanan. Ia duduk seorang diri di meja itu, sedangkan beberapa meja di sekelilingnya tampak ramai. Sekumpulan anak berada di area kantin, pada jam pelajaran. Mereka sepertinya sedang membolos, dan lebih memilih
***"Ja, dermaganya sepi banget hari ini," ujar Devan menghentikan laju kendaraannya."Iya, mungkin karena besok hari Minggu jadi nggak banyak kapal yang singgah.""Lo biasanya melihat Senja, di mana?" tanya Devan membuka helm dari kepala Senja.Senja tersenyum. "Senja, biasanya lihat matahari tenggelam di dekat laut.""Kenapa lo menyebut Senja sebagai matahari tenggelam?" tanya Devan lagi."Karena matahari tenggelam lebih cantik, daripada Senja.""Masa sih? Menurut gue, Senja lebih cantik dan bola matanya juga indah," goda Devan menangkup bahu Senja."Devan, jangan bercanda. Maksud Senja itu, matahari tenggelam yang sering disebut Senja sama kebanyakan orang.""Gue serius kok, lo memang cantik, Ja." Devan, telah membuat Senja tersipu malu. Rona merah pun tampak di kedua pipinya, ketika senyuman itu mengembang.