Share

Bab 6-Diary yang Saling Jatuh Cinta

***

"Langit, duduk di sini dulu, ya." Senja melepaskan genggaman tangan Langit, lantas ia memasuki kelasnya untuk mengambil tissu di dalam tas.

"Heh, lo nggak usah ngambil perhatiannya Senja. Gue tahu, lo cuman pura-pura mimisan biar Senja peduli sama lo 'kan." Devan tiba-tiba saja datang menghampiri Langit.

"Pura-pura mimisan gimana? Jelas-jelas lo yang udah buat gue kaya gini, apa lo sengaja melempar bola voli itu ke hidung gue tadi? Biar kelompok gue kalah?" Langit berdiri dari duduknya, mendorong Devan cukup kasar.

"Kalo gue sengaja kenapa? Gue lakuin itu, karena gue nggak mau Senja sedih."

"Ini ada apa?" tanya Senja mendekat.

"Ja, obatin lukanya di kelas aja," ajak Langit meraih tangan Senja.

"Apa-apaan! Senja, harus merayakan kemenangan kelasnya."

"Lo itu udah gede, masa obatin luka mimisan aja nggak bisa. Senja, nggak perlu bantu lo," lanjut Devan ikut meraih tangan Senja.

"Ja, ikut Langit!" seru Langit menarik pergelangan tangan Senja.

"Senja, ikut gue!" seru Devan.

"Ah, sakit." Senja menepis tangan keduanya, lantas memandang Langit dan Devan secara bergantian.

"Sekarang, biarin Senja mengobati luka Langit. Setelah itu, Senja ikut Devan," ujar Senja melihat darah itu terus mengalir dari hidung Langit.

"Senja, nggak bisa gitu dong. Lo harus ikut gue dulu!" protes Devan.

"Nggak bisa, Devan." Senja menggenggam tangan Langit, dan melangkah pergi.

"Langit, pusing nggak?" tanya Senja pada saat mereka berjalan berdampingan di lorong kelas.

"Ja," lirih Langit memasuki ruang kelas lebih dulu, dan terduduk di atas meja.

"Kenapa kamu harus dekat sama Devan sih?" tanya Langit dengan satu alisnya terangkat.

"Kenapa memangnya? Langit, cemburu?" Senja mengeratkan jemarinya di genggaman tangan Langit.

"Cemburu? Ya, nggak." Bola mata Langit, berlarian.

Senja diam, ia justru menempelkan tissue di tangannya ke hidung Langit. Darah segar pelan-pelan berhenti, bercak merah di bawah hidung pun sudah Senja hilangkan dengan tissue-nya. Sementara, Langit mulai memandang wajah Senja yang begitu dekat dengannya. Tidak ada jengkal jarak sedikit pun, Senja tampak sangat hati-hati saat membersihkan darah di hidung Langit.

"Ja, kamu suka sama Devan?" tanya Langit membuat mata Senja menatapnya intens.

"Kalo Senja suka sama gue kenapa?!" Devan menarik tangan Senja, memandang Langit tajam. Lalu, membawa Senja keluar dari dalam kelasnya.

Langit mematung, ia masih terduduk di atas meja sembari memandang kepergian Senja dan Devan. "Ja, Langit nggak mau kalo Senja tersakiti lagi karena cowok," geming Langit mengembuskan napasnya berat.

"Nah itu Senja sama Devan." Aura yang tengah terduduk di bangku kantin pun melambaikan tangannya.

"Udah lengkap semua 'kan? Sekarang gue mau pesan bakso, yang mau minum es jeruk bisa pesan sendiri, ya. Karena ini pakai uang kas kelas, jadi minumnya cukup es teh," ujar ketua kelas.

"Iya, Pak Ketu," balas Aura.

"Ja, kamu dari mana aja sih? Di lapangan aku nggak lihat kamu sama Devan, memangnya kalian berdua habis dari mana?" tanya Aura ketika Senja mengambil posisi duduk di sebelahnya.

"Dari kelas, Ra."

"Senja, nanti pulang sekolah bareng gue, ya," ajak Devan tersenyum.

Senja terdiam sejenak, memasang raut sedih karena masih memikirkan kondisi Langit. "Udah jawab aja, iya." Aura tiba-tiba menyenggol lengan Senja, membuatnya tersadar.

"Iya, apa?"

"Lah, sejak kapan Senja budek?" Aura mengeryitkan kening bingung.

Senja tersentak, saat tangan Devan mengelus tangannya di atas meja. "Tadi gue bilang, lo pulang sekolah bareng gue, ya," ucap Devan dengan tatapan lekat.

Devan, kenapa selalu buat jantung Senja berdetak cepat kaya gini? Senja, nggak tahu perasaan apa yang saat ini Senja rasakan, batin Senja membalas tatapan Devan.

"Baksonya udah jadi!!" seru ketua kelas, membuat semuanya bersorak riang. Begitu pula dengan Senja dan Devan, yang saling memutus pandangan.

"Ra, kamu aja, ya, yang pulang bareng Devan," bisik Senja di telinga Aura.

"Aura sih mau banget, Ja. Cuman nanti Aura pulangnya dijemput sama mamah, soalnya mau ke Bandara."

"Papah kamu pulang dari luar Negeri?" tanya Senja kaget.

"Iya, Ja. Jadi, aku nggak bisa pulang bareng Devan deh. Tapi, gakpapa kalo kamu mau pulang bareng Devan."

"Tapi, Langit," lirih Senja sambil mengaduk semangkuk bakso di hadapannya.

"Langit itu anaknya cuek, jadi kamu jangan khawatir kalo Langit bakalan cemburu. Karena itu nggak mungkin, dan nggak akan mungkin, Ja," balas Aura mulai melahap baksonya.

Nggak akan mungkin, bukan berarti nggak bisa. Tapi, Langit sama Senja 'kan nggak punya hubungan apa-apa, selain teman kecil. Jadi, buat apa Langit cemburu sama Devan, batin Senja.

"Ja, itu baksonya di makan, jangan cuman diaduk-aduk aja," tegur Devan yang melihatnya.

"Apa mau gue suapin?" tanya Devan dibalas gelengen kecil dari Senja.

"Udah, gakpapa sinih. Biar gue suapin aja, daripada nggak dimakan-makan," ujar Devan langsung mengambil sendok dari tangan Senja. "Ayo, buka mulutnya," suruh Devan kemudian.

Dari sisi lain, Langit tengah berdiri mengamati pemandangan itu. Senja membuka mulutnya, menerima suapan bakso dari Devan, dan Langit hanya bisa menahan rasa 'cemburu' itu dari arah kejauhan.

"Semoga Devan, nggak akan menyakiti hati kamu, Ja. Dan, aku nggak mau kamu menangis lagi," ujar Langit lantas beranjak pergi.

"Hum, romantis banget sih," sindir Aura dengan sedikit tawa.

Selama istirahat anak kelas IPS menghabiskan waktunya di area kantin, dan kini bel berdering menandakan jam pelajaran kembali dimulai. Mereka pun berbondong-bondong untuk menuju kelasnya, sebelum guru memasuki ruang kelas.

"Ayo cepat ke kelas, habis ini pelajarannya Bu Suci."

"Iya, guru killer disekolah Nusa Bangsa."

"Jangan sampai telat, nanti kalo telat suruh berdiri di luar kelas sampai jam pelajarannya selesai."

Senja, Aura dan Devan sudah lebih dulu masuk kelas, beberapa saat kemudian Bu Suci pun memasuki ruang kelas itu. Penggaris kayu berukuran panjang yang ada di tangannya, diletakan tepat di depan meja Devan.

"Buka buku paket kalian halaman seratus!" tegasnya.

"Kamu, rangkum materi di buku paket ini di papan tulis!" lanjutnya dengan menunjuk Devan.

"S-saya, Bu?" tanya Devan gelagapan.

"Kamu murid baru di kelas ini 'kan?! Jadi, kamu harus bisa beradaptasi di jam pelajaran Ibu."

"Bu Suci memang suka gitu, Van. Tunjuk anak seenaknya, jadi kamu jangan kaget," bisik teman sebangku Devan.

"Kamu dengar atau tidak!"

"Dengar, Bu." Devan langsung beranjak dari bangkunya, dengan membawa buku paket untuk merangkumnya di papan tulis.

"Semuanya catat materi dipapan tulis, setelah itu ulangan harian!"

Seisi kelas terbelalak, mendengar jika harus ulangan harian mendadak. "Jangan ada yang protes, cepat catat materinya. Baca dan pahami, biar kalian bisa mengerjakan ulangannya!" seru Bu Suci yang mengajar pelajaran Sejarah.

"Aduh, Ja. Nanti Aura nyontek, ya," lirih Aura.

"Ya, nggak bisa, Ra. Nanti kalo Aura nyontek, terus ketahuan sama Bu Suci gimana?"

"Ya, jangan sampai ketahuan dong, Ja."

"Nggak, Senja nggak mau mengambil resiko," tolak Senja.

"Ja, Aura mohon."

"Tapi, Ra ...."

"Tidak ada yang menyontek!" seru Bu Suci membuat Aura merunduk.

"Bu, sudah saya rangkum." Devan menghampiri Bu Suci yang tengah berkeliling di dalam kelas.

"Duduk, dan buka buku tulisnya!"

"Ulangan dimulai!!"

Keheningan terjadi saat ulangan sejarah dimulai, semuanya tampak serius dalam mengerjakan soal yang telah diberikan Bu Suci. Sementara, Bu Suci terus membawa penggaris kayu yang berukuran panjang itu, sambil mengamati satu per satu muridnya. Agar tidak ada yang menyontek, selama ulangan berlangsung.

"Ja, sudah banget nomor sepuluh. Apa jawabannya, Ja?" tanya Aura dengan nada pelan.

"Panjang, Ra. Itu suruh dijelasin," kata Senja.

"Waktu tinggal lima menit lagi! Selesai atau tidak, tetap dikumpulkan ke depan!"

Kring!!

Jam pulang berdering, pertanda jika waktu ulangan sudah habis. "Yaampun, Ja! Aura belum selesai," gerutu Aura.

"Ketua kelas, kumpulkan kertas ulangannya ke depan!" suruh Bu Suci.

"Aura, belum selesai," rengek Aura.

"Udah, Ra. Gakpapa, ini cuman ulangan harian bukan ujian 'kan," ucap Senja menepuk bahu Aura.

"Selamat siang, anak-anak. Semoga hasil ulangan hari ini, tidak ada yang remidi." Bu Suci pun berlalu pergi dari dalam kelas, membuat seluruh anak kelas berhamburan keluar.

"Senja!!" panggil Langit dari kejauhan.

Senja yang sedang berjalan bersama Devan pun terhenti, dan menoleh ke belakang. "Langit."

"Pulang bareng aku 'kan?"

"Hari ini, Senja pulang bareng sama gue," sambar Devan langsung meraih tangan Senja.

"Maaf, ya, Langit." Senja tersenyum getir, menerima genggaman tangan Devan. Keduanya pun berbalik dan melangkah pergi.

Langit menghela napasnya panjang, berjalan seorang diri menuju parkiran. Mengambil sepeda, untuk pulang. Di persimpangan jalan raya, Langit menangkap sepasang remaja yang tengah bergurau di perhentian lampu merah.

"Senja, sebahagia itu kamu bersama Devan," lirih Langit.

Senja tertawa lepas di atas motor Devan, keduanya berbincang tanpa memedulikan lingkungan sekitar. Setelah lampu berubah menjadi hijau, motor itu membawa Senja pergi menjauh dari Langit.

Sebelum Devan hadir dikehidupan Senja, tawa lepas itu selalu terlihat ketika Senja bersama dengan Langit. Namun, kini tidak lagi bersama Langit. Melainkan, dengan laki-laki lain.

"Senja, kita belum jalan-jalan disekitar sekolah loh. Lo udah janji ke gue waktu itu, kira-kira lo bisa 'kan tepatin janjinya?"

"Bisa kok Devan, tapi jangan besok. Karena besok 'kan hari Minggu, jadi nggak mungkin ke sekolah."

"Kalo gitu, besok kita jalan aja. Sebelum kita keliling lingkungan sekolah, kita keliling kota ini? Gimana?"

"Ja, lo mau 'kan?" imbuhnya.

"Boleh."

"Okey ... besok gue jemput lo, ya."

Motor itu berhenti, membuat Senja turun. "Ini rumah Senja."

"Gue boleh masuk?"

"Mau ngapain?"

"Masa gue kaya tukang ojek sih, cuman nganterin lo doang sampai depan rumah. Dan, nggak disuruh masuk," ucap Devan.

"Yaudah ayo masuk," ajak Senja.

Senja dan Devan memasuki rumah yang berhalaman luas, lantas Senja mengetuk pintu itu sebelum membukanya. "Assalamualaikum, Bu."

"Waalaikumsalam, kamu udah pulang?"

"Bu, ini ada teman Senja."

"Saya Devan, Tante."

"Ini yang kemarin ke sini antar kamu 'kan? Waktu kamu pingsan itu?"

"Iya, Tante."

"Eh, jangan panggil Tante. Panggil Ibu aja, biar lebih dekat."

Devan memandang Senja sebentar, kemudian tersenyum memperlihatkan gigi rapihnya. "Iya, Ibu."

"Ayo masuk, mau minum apa?" tanya Mawar sangat ramah terhadap Devan.

"Biar Senja aja, Bu, yang buat minum," ujar Senja.

"Nggak usah, kamu temani Devan aja di sini. Biar Ibu yang buat minuman, ya." Mawar buru-buru melangkah ke dapur.

"Udah sinih Senja duduk sama gue," pinta Devan yang sudah duduk, tanpa ada yang menyuruhnya.

"Devan, beneran nggak mau pulang?" tanya Senja ragu mendekatinya.

"Lo ngusir gue, Ja?" Devan yang tadinya tengah memandang ruangan rumah Senja, kini beralih memandang Senja.

"Ng-nggak gitu, maksudnya Devan nggak capek habis pulang sekolah?"

"Ya, gue capek. Jadi, gue istirahat di sini dulu, boleh 'kan?"

"Ini minumannya udah jadi." Mawar datang dengan membawa nampan minuman dan makanan ringan.

"Makasih banyak, Ibu." Devan langsung mengambil gelas berisi es sirup merah itu, dan meneguknya pelan-pelan sampai habis.

"Haus banget kayanya," ledek Mawar.

"Eh, iya, Bu. Soalnya di luar panas," ucap Devan.

"Kalo gitu, Ibu masuk ke dalam dulu, ya. Kalian berdua ngobrol aja, jangan malu-malu." Mawar masuk ke dalam kembali.

"Ja, lo kelihatan risih ada gue di sini."

"Nggak kok, Senja gakpapa."

"Hum, terus lo mau gue pulang?" Devan mendekatkan diri pada Senja, meraih dagunya sehingga sorot mata keduanya bertemu.

Aduh, Devan. Senja bukannya nggak mau kalo Devan ada di sini, cuman kalo setiap Senja dekat sama Devan kaya gini. Jantung Senja, itu rasanya mau copot, batin Senja.

"Oh, iya. Ngomong-ngomong, lo tinggal di rumah sebesar ini berdua doang sama Ibu?" tanya Devan melepaskan tangannya dari dagu Senja.

"Rumah lo ini modelnya klasik, dan kuno. Tapi, halamannya luas, ya. Apa ini rumah turun-temurun? Atau rumah ...."

"Ini rumah dari aset keluarga ayah Senja, jadi turun-temurun dan rumah ini juga salah satu peninggalan dari ayah," potong Senja.

"Peninggalan? Memangnya, ayah lo ke mana?" tanya Devan mulai mengulik keluarga Senja, untuk mencari tahu rahasia dibaliknya.

"Ayah Senja, udah meninggal satu tahun yang lalu. Waktu Senja baru masuk SMA, dan ayah nggak ada karena jatuh sakit," jawab Senja.

"Sorry, gue nggak tahu soal itu. Gue kira ayah lo masih hidup, gue turut sedih dengarnya."

"Gakpapa kok, Devan."

Ternyata, orang yang udah mengkhianati bokap gue itu udah mati. Jadi, buat apa bokap dan nyokap gue suruh gue buat balas dendam ke keluarga ini? Apa, cuman buat menyakiti hati putri satu-satunya ini? batin Devan.

"Kalo gue boleh tahu, bokap lo jatuh sakit itu karena apa?" tanya Devan lagi.

"Karena usaha yang ayah Senja bangun itu bangkrut, dan ayah memang punya riwayat penyakit jantung. Jadi, ayah langsung jatuh sakit."

"Usaha apa?"

"Jadi, dulu ayah pernah berkerja di satu perusahaan sama teman dekatnya, dan ayah berniat untuk bangun usahanya sendiri. Jadi, ayah meminjam sejumlah uang ke teman dekat itu untuk usaha ayah. Tapi, ternyata usaha yang ayah bangun nggak sesuai dengan harapan ayah sendiri, dan akhirnya bangkrut. Padahal, ayah udah banyak meminjam uang ke teman dekatnya itu, tapi karena usaha ayah bangkrut jadi ayah nggak bisa mengembalikan uang yang dipinjamnya itu. Dan, ayah juga nggak bisa bekerja lagi, karena jatuh sakit."

Nggak sepenuhnya salah keluarga ini, tapi kenapa bokap gue bilang kalo bokapnya Senja udah bawa uang bokap gue, dan bokap gue sampai masuk penjara karena bokapnya Senja. Karena kasus penggelapan uang, apa gue harus tetap menjalankan balas dendam ini? Gue nggak tega lihat Senja, tapi gue juga nggak mau jadi anak durhaka, karena nggak menjalankan perintah bokap dan nyokap sendiri, batin Devan.

"Devan?" panggil Senja saat Devan tengah melamun.

"Ja, gue pulang, ya. Makasih udah kasih gue minuman," ujar Devan bergegas keluar dari rumah Senja.

"Besok?"

Langkah Devan terhenti tepat di depan motornya. "Oh, iya, besok gue jemput lo."

"Jam berapa?"

"Pagi, ya, biar kita pulangnya nggak kemalaman."

"Makasih, ya, udah antar Senja pulang."

"Devan, hati-hati di jalan," tambah Senja.

"Sampai bertemu besok!" seru Devan melajukan motornya dari halaman rumah Senja.

"Devan, mana?" tanya Mawar saat Senja akan memasuki kamarnya.

"Udah pulang."

"Kamu sama Devan pacaran?" tanya Mawar membuat Senja mengurungkan niatnya masuk ke dalam kamar.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status