Share

Bab 5-Awal Pendekatan Membuat Dilema

***

"Pagi, Senja ..," sapa Aura mendekat.

"Pagi juga, Ra. Tumben udah berangkat jam segini? Biasanya, masih ...."

"Masih tidur? Ya, nggak lah. Mulai hari ini, seorang Aura Margareta akan bangun pagi. Dan, berangkat sekolah lebih awal," potong Aura menyeringai senyuman, sambil memainkan kedua alisnya.

"Kesambet setan apa, Ra?" tanya Senja meledek.

"Kesambet cowok ganteng, yang lagi main basket di sana," tunjuk Aura terperangah.

"Banyak cowok yang lagi main basket di sana, Ra."

"Ih, Senja! Itu loh, yang lagi pegang bola basket," tunjuk Aura lagi.

Senja memicingkan mata, ia melihat seorang Devan yang tengah mendribble bola basket di tangannya, untuk memasukkannya ke dalam ring.

"Yes!! Masuk!!!" jerit Aura lompat-lompat kegirangan.

"Senja!" panggil seseorang dari belakang, membuatnya berbalik.

"Ke perpustakaan, yuk. Ada buku bacaan baru di sana, aku juga mau lanjut baca komik yang kemarin," ajak Langit.

"Mau banget, tapi nanti bel masuk gimana?"

Langit melihat jam di pergelangan tangannya, lantas memandang Senja dihadapannya. "Jam pelajaran pertama kelas kamu olahraga 'kan? Kelas aku juga olahraga, dan itu praktek di lapangan. Jadi, masih ada waktu banyak buat kita ke perpustakaan," kata Langit.

"Oke kalo gitu, Aura ...."

"Udah, nggak usah ajak dia." Langit meraih tangan Senja, dan berjalan berdampingan ke ruang perpustakaan.

"Langit, buku barunya mana?" tanya Senja yang tidak berhasil menemukan buku baru, yang Langit tunjukan di rak buku.

"Coba cari di sebelah kanan, Ja. Aku lagi fokus baca komik ini, nggak bisa diganggu."

"Ih, Langit. Katanya mau baca buku bareng-bareng, tapi Senja ditinggal. Langit, enak bisa baca komik kesukaannya, lah Senja harus cari buku baru itu."

"Mana sih, kok nggak ketemu-ketemu bukunya," decak Senja lagi.

"Lo cari buku ini?"

Suara itu sontak membuat Senja langsung menoleh, pandangan pun terpaut begitu lekat. Tatapan laki-laki yang saat ini berada di hadapan Senja, telah membekukan pikiran Senja.

"Senja?" panggilnya dengan senyuman.

"I-iya?"

"Ini buku yang lo cari 'kan?"

"Devan! Kok kamu di sini sih, aku itu dari tadi nungguin kamu di lapangan basket. Katanya kamu cuman mau ke toilet, tapi kenapa ke perpustakaan?!" Aura tiba-tiba saja datang, memutuskan kontak mata antara Senja dan Devan.

"Bisa kecilin volume suaranya nggak? Ini perpustakaan, jadi jangan teriak-teriak," tegur Devan.

"Iya, maaf. Habisnya aku capek nunggu kamu lama banget, taunya di sini sama Senja," sungut Aura melipat tangannya di depan dada.

"Gue tadi memang mau ke toilet, tapi gue lihat Senja masuk ke perpustakaan. Jadi, gue samperin dia," kata Devan melirik Senja yang merunduk malu.

"Oh, iya, ini bukunya." Devan menyodorkan buku novel yang sejak tadi Senja cari.

"Makasih," balas Senja pelan. Lantas, berlalu pergi.

"Udah, Devan. Kita ke lapangan basket lagi, kamu 'kan belum selesai main basketnya. Aku masih pingin lihat kamu main basket, ayo!" ajak Aura menarik tangan Devan untuk keluar dari perpustakaan. Padahal, pandangan Devan masih tertuju pada Senja yang berjalan ke arah Langit.

"Langit, Senja udah dapat bukunya," ujar Senja terduduk di samping Langit yang masih sibuk membaca komik.

"Fokus banget bacanya, sampai Senja nggak dipeduliin," sindir Senja cemberut.

"Iya, Senja. Kenapa?" Langit menghela napas berat, lalu menatap Senja di sampingnya.

"Senja, udah dapat bukunya. Langit, nggak mau baca juga?" tawar Senja ikut menatap Langit.

"Aku baca komik dulu, ya. Kalo udah selesai baca komik, aku akan baca bukunya."

"Yaudah, Senja mau baca bukunya di kelas." Senja berdiri, membawa buku novel itu dan beranjak dari perpustakaan.

Kepergian Senja, tidak membuat Langit tergugah. Ia tetap pada posisinya, membaca sebuah komik kesukaannya itu. Sementara, langkah kesal terlihat dari hentakan kaki Senja. Ia memasuki ruang kelasnya dengan wajah yang ditekuk.

"Langit, selalu aja cuek. Dia perhatian ke Senja, cuman kalo Senja lagi nangis. Langit, nggak pernah tahu perasaan Senja. Kalo Senja, sayang sama Langit," gumam Senja menyeka air matanya yang hendak terjatuh.

"Padahal, Senja pingin banget baca buku novel ini bareng sama Langit," lanjutnya.

"Baca bukunya bareng sama gue aja," timpal Devan yang menghampiri Senja, dan duduk di bangku sebelahnya.

"Devan, kenapa ke sini? Nanti, Aura marah lagi," ujar Senja.

"Aura, nggak akan marah. Karena gue udah suruh dia buat beli minuman di kantin, jadi dia nggak bisa ganggu kita lagi."

"Memangnya, Devan suka baca buku?" tanya Senja mengeryitkan keningnya.

"Gue suka semua jenis buku, dan gue juga suka sama lo."

"Maksudnya?"

"Ahm, ngomong-ngomong ini novel judulnya apa?" tanya Devan mengalihkan pertanyaan Senja tadi.

"Rahasia Cinta." Senja membuka buku novel di atas meja.

Devan mendekatkan bangkunya, agar berdekatan dengan bangku Senja. "Yaudah, kita baca bukunya bareng."

Senja mematung, ia hanya memandang wajah Devan dari sudut samping. Sedangkan, Devan yang menyadari langsung melihat mata Senja. "Bukunya yang dilihat, bukan gue," ledek Devan membuat Senja kebingungan.

"Ah, iya. Maaf." Senja segera memalingkan pandangannya, ke arah buku.

"Jadi, tokoh utamanya itu yang jahat, ya?" tanya Devan ketika sudah membaca beberapa halaman dari buku itu, bersama dengan Senja.

"Iya, kasihan sama pacarnya. Padahal, dia cinta."

"Ini yang namanya rahasia cinta, kadang cinta itu tumbuh tanpa kita tahu, dan nggak setiap perasaan suka itu dinamakan cinta. Bisa aja rasa suka itu, hanya sebatas kagum dan nggak lebih."

"Cinta itu, ibarat kalo melihat seseorang yang membuat jantung ini seolah-olah mau copot karena detaknya sangat cepat. Tapi, kalo suka itu hanya bisa dilihat dari mata, bukan dari hati. Dan, rasa suka itu nggak bisa menjadi tolak ukur buat mencintai seseorang," imbuhnya.

Apa Devan dengar detak jantungnya Senja, ya? Sekarang, jantung Senja rasanya mau copot setiap kali dekat sama Devan. Apalagi, kalo ditatap sama Devan, sekujur badan Senja rasanya dingin dan kaku. Atau ini yang namanya cinta? Karena Senja baru pernah merasakan perasaan ini, dan kalo Senja dekat sama Langit. Jantung Senja nggak berdetak secepat ini, batin Senja.

"Senja, lo pernah merasakan hal itu nggak?"

Devan membuat Senja tersadar, dengan pertanyaannya.

"Hal apa?"

"Hal yang membuat jantung lo mau copot karena berdetak cepat dan kencang."

Saat ini, Senja merasakan hal itu Devan. Tapi, apa itu artinya Senja cinta sama Devan? batin Senja melamun kembali.

Devan masih menatap Senja, pandangan keduanya pun saling menumbuk begitu dalam. "Kalo gue, iya. Saat ini gue sedang merasakan hal itu, setiap kali gue bersama lo, Senja," ucap Devan dengan senyuman tipis.

"Gue ...." Perlahan Devan meraih tangan Senja yang berada di atas meja, jemarinya menggenggam tangan Senja cukup kuat. Sehingga, keringat dingin mulai Senja rasakan begitu juga dengan detak jantung yang semakin cepat.

"Senja!!"

Devan langsung memutus perkataannya, dan juga pandangannya dari Senja. Sorot mata keduanya tidak lagi beradu, kedatangan Langit membuat Senja sedikit tenang. Dan, detak jantungnya pun sudah tidak berdebar kencang.

"Kenapa di sini? Bukannya aku udah suruh kamu, tunggu aku sampai selesai baca komik." Langit mendekat.

"Terus, apa yang kamu lakukan sama dia. Apa kamu udah bosan, sama aku?" tambah Langit.

"Langit, jangan salah paham dulu. Senja, nggak pernah bosan sama Langit. Dan, tadi Senja pingin baca novelnya bareng Langit tapi Langit sibuk baca komik," sanggah Senja.

"Aku udah selesai baca komiknya, sekarang kita bisa baca novel itu."

"Udah telat, Bro. Senja, udah baca novelnya sampai selesai bareng sama gue." Devan bangkit dari duduknya, membuat Langit menatapnya sengit.

"Novel itu banyak halamannya, jadi nggak mungkin selesai dalam satu hari."

"Ini novel cetakan baru, Langit. Jadi halamannya baru sedikit, dan ceritanya juga nggak terlalu banyak konflik, jadi cepat tamat. Maaf, tapi Senja udah baca novelnya dan Senja mau balikin novel ini ke perpustakaan." Senja beranjak dari dalam kelas.

"Senja, Ja!!" teriak Langit saat Senja berjalan keluar.

"Makanya, jadi cowok itu perhatian sedikit ke cewek. Jangan egois, sama diri sendiri," ejek Devan membuat Langit meninggalkan ruang kelas itu.

"Senja, maafin Langit," ujar Langit meraih pergelangan tangan Senja, ketika mereka bertemu di depan perpustakaan.

"Gakpapa, Langit."

"Senja!"

Kring!!

Bunyi bel telah menggema disudut sekolah, menandakan jika sudah masuk. Langit, yang tadinya berniat mengejar kepergian Senja. Pun mengurungkan niatnya, ia berbalik arah menuju kelasnya karena bel masuk.

Senja memasuki ruang kelas, melihat sudah banyak teman-teman kelasnya yang menempati bangku mereka masing-masing. Begitu pula dengan Aura dan Devan, keduanya sudah duduk di bangkunya.

"Ja, kamu dari mana aja?" tanya Aura.

"Perpustakaan," jawab Senja datar.

"Tadi, aku aja ke kantin lama banget. Cuman buat nunggu minuman, buat Devan. Kasihan dia, habis main basket jadi aku beliin minuman, untung aja belum ada guru."

"Pagi anak-anak." Beberapa saat, seorang bapak guru memasuki ruang kelas IPS. Membawa sebuah bola basket voli di tangannya.

"Kalian semua langsung berganti pakaian olahraga, ya. Karena pagi ini, kita akan praktek bola voli dengan kelas sebelah. Jadi, kelas kita akan tanding dengan kelas sebelah, kalian siap 'kan?"

"Siap, Pak."

Semua anak pun sudah berganti pakaian olahraga, lantas berbaris di lapangan. Senja dan Aura bersebelahan, dan Devan yang berada di belakang Senja pun langsung bergeser ke samping. Ia menempatkan diri tepat di dekat Senja, sehingga matahari pagi yang terik terhalangi oleh Devan.

"Devan, kenapa kamu disitu? Pindah ke posisi kamu tadi, tolong baris yang rapi!" tegur guru olahraga yang bernama Pak Dodi.

"Saya nggak mau Senja kepanasan, Pak," kata Devan mendapat balasan sorakan dari teman-teman.

"Alasan aja kamu!"

"Gakpapa 'kan, Pak, kalo saya di samping Senja? Saya, nggak mau mataharinya bikin kepala Senja pusing," bantahnya lagi.

"Ih, Devan. Matahari pagi itu sehat, jadi gakpapa kalo Senja kepanasan," sambar Aura di sebelah Senja.

Senja mendongak, disambut hangat dengan wajah Devan dan tatapannya itu. "Gakpapa 'kan kalo gue di sini?" tanyanya lembut.

Sementara, Langit yang baru keluar dari kelasnya, melihat pemandangan itu. Ia menangkap Devan tengah menutupi kepala Senja dengan kedua tangannya, yang membuat kecemburuan mencuat dari dalam diri Langit.

"Langit! Ngapain masih di sana? Ayo cepat baris!" suruh guru olahraga itu, membuat Devan dan Senja memandang ke arah sumber suara.

"Langit," lirih Senja melihat Langit memandangnya sembari berjalan ke dalam barisan.

"Bapak akan absen dulu, setelah itu yang laki-laki membentuk kelompok. Dan, yang perempuan hanya menonton pertandingan ini saja. Jadi, hanya laki-laki yang main bola voli."

"Lo udah nggak kepanasan lagi 'kan?" tanya Devan membuat Senja kembali memandangnya.

"Nggak kok, makasih, ya, Devan." Senja tersenyum singkat.

"Ayo cepat-cepat buat kelompok!!"

Setelah Pak Dodi selesai mengabsen satu per satu murid kelasnya, ia langsung membuat perintah terhadap semua siswa untuk berkelompok.

"Senja, doain gue, ya. Semoga, kelompok gue menang," ujar Devan mendekati Senja yang tengah terduduk di tepi lapangan.

"Iya, Devan. Semangat!" balas Senja.

"SEMANGAT DEVAN!" seru Aura dengan penegasan.

Devan hanya tersenyum, kemudian ia berjalan ke tengah lapangan kembali. Beberapa kelompok pun mulai mempersiapkan diri untuk pertandingan antar kelas itu, sebagai bentuk penilaian sikap. Kelompok Devan, dan kelompok Langit yang pertama kali bertanding.

"Ja, menurut kamu. Kelompok Devan atau kelompoknya Langit, yang menang?" tanya Aura.

"Kenapa harus milih sih?" decak Senja melipat kakinya, dan memeluk lutut.

"Mereka itu tanding, dan saling lawan. Jadi, kamu harus milih salah satu di antara mereka dong, Ja."

Tapi, Senja nggak bisa milih. Senja sayang sama Langit, dan Senja juga cinta sama Devan, batin Senja.

"Ja! Kok malah bengong, sih."

"Iya, Senja milih dua-duanya."

"Terserah kamu aja, kalo aku sih lebih pilih Devan. Karena Devan dan kelompoknya itu, udah mewakili kelas kita."

"Tapi, Langit juga sahabat kita, Ra," sanggah Senja.

"Iya, tahu. Cuman apa hebatnya Langit? Dia itu, cowok dingin, cuek yang hobinya baca komik. Bahkan, dia nggak bisa main basket," hina Aura enteng.

"Langit, memang nggak sehebat Devan yang bisa main basket. Tapi, Langit bisa ikut lomba olimpiade tingkat provinsi dan menang juara dua," bantah Senja.

"Cuman olimpiade. Langit, itu akalnya doang yang pintar. Tapi kemampuannya, nggak."

"YESSS!!"

Teriakan terdengar saling sahut-menyahut, beberapa anak berdiri dan bersorak riang karena kelompok Devan telah memenangi pertandingan voli itu. Sedangkan, kelompok Langit dari kelas sebelah terkalahkan dengan begitu mudah.

Namun, sebelum bola voli itu mengalahkan kelompok Langit. Bola voli yang dilempar Devan lebih dulu mengenai hidung Langit. Sehingga, darah segar mengalir keluar. Pandangan Senja menangkap Langit tengah mengelap darah dihidungnya yang tidak berhenti juga, ia pun bergegas menghampiri Langit.

"Senja!! Gue menang!" seru Devan menghadang langkah Senja.

"I-iya, selamat, ya." Senja mencoba untuk berjalan kembali, tetapi tangan Devan mencegahnya pergi.

"Kenapa lagi, Devan?" tanya Senja memandangnya.

"Gue capek banget, tolong lap keringat gue, ya," perintahnya membawa telapak tangan Senja untuk menyentuh keningnya yang penuh keringat itu.

Langit memperhatikan itu, begitu juga dengan Senja yang tidak sengaja melihatnya. "Langit, bisa-bisa salah paham lagi," gumam Senja.

"Devan, selamat!!" seru Aura mendekat.

"Ah, Devan. Senja ada urusan, lebih baik Aura aja yang basuh keringat Devan." Senja langsung menurunkan tangannya dari kening Devan.

"Oh, Devan mau Aura basuh keringatnya? Dengan senang hati, Devan!"

"Senja, aja." Devan menolaknya.

"Tapi, Senja ada urusan. Aura, bisa kok basuh keringat Devan. Aura, juga udah beli air mineral buat Devan." Senja menepuk bahu Aura singkat, lantas beranjak pergi.

"Devan, ayo. Kita ke ke sana, tapi biar aku lap keringatnya dulu." Aura dengan cepat menyentuh kening Devan yang berkeringat dengan telapak tangannya.

"Langit," lirih Senja mendekatinya.

"Kenapa?" tanyanya menoleh, sambil menutupi hidungnya dengan tangan.

"Senja, mau lihat hidung Langit."

"Nggak usah," tolaknya kasar.

"Biar Senja obatin, ya."

"Lebih baik kamu rayain atas kemenangan kelas kamu itu, nggak usah peduliin aku."

"Tapi, Langit. Butuh senja."

"Nggak. Langit, nggak butuh apa-apa termasuk Senja." Langit berlalu pergi, perkataannya membuat Senja meneteskan air mata.

"Langit, kenapa ngomong kaya gitu ke Senja."

Langit memberhentikan langkahnya, ketika ia mendengar suara tangis dari Senja. Bergegas, ia berbalik dan memeluk Senja yang tengah menangis karena dirinya.

"Maafin Langit. Tadi, Langit nggak serius ngomong kaya gitu," ujar langit mengeratkan pelukannya, dan menepuk pelan kepala Senja.

"Senja, nggak mau Langit kenapa-kenapa. Senja, mau obatin luka Langit," lirih Senja dalam pelukan Langit.

Langit melepaskan pelukannya, lalu menggenggam tangan Senja. "Mau ke mana?" tanya Senja ketika Langit akan mengajaknya pergi.

"Obatin lukanya Langit." Senja tersenyum mendengar itu. Lantas, keduanya pun berjalan beriringan, meninggalkan lapangan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status