Share

Bab 2. Kekacauan

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2023-08-02 16:05:32

Dia terkesiap, matanya terbelalak.

Mungkin, tidak percaya kalau aku mampu melakukannya. Tangan ini dia lepaskan, kemudian dia menangkup kepala.

Dari sela-sela jemarinya, mengucur darah segar. Sengaja aku arahkan ke dahi.

Ini tidak akan menimbulkan akibat fatal, dari pada terkena tengkuk.

“Perempuan kurang ajar!” serunya sebelum lelaki kurang ajar itu ambruk di lantai. Saat itu, dengan sisa kekuatan aku berhasil menghubungi Bapak.

Kami pun dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.

***

“Maafkan Bapak, Nduk. Bapak yang salah karena menyebabkan kamu seperti ini.”

Bapak menangis sambil menciumi tanganku.

Orang tua mana yang sanggup melihat keadaan anaknya yang lebam di pipi dan memar di punggung akibat tendangan?

Bapak begitu geram melihat keadaanku. Bahkan tadi sempat menambah tendangan dan pukulan pada Arman.

Kemarahan itu redam kala beberapa hari kemudian keluarga beserta Arman datang ke rumah. Arman bersujud mengaku bersalah. Dia melantunkan kata-kata yang merujuk kalau dia khilaf karena begitu terpesona denganku.

’Seterpesonanya seseorang, kalau sayang tidak mungkin memaksakan kehendak,’ batinku saat itu.

Rasa penyesalan juga dilontarkan oleh orang tuanya. Ibu Arman bahkan meminta izin untuk membelai kepala ini.

“Cah ayu. Maafkan Arman, ya. Sebenarnya dia anak baik, mungkin karena dia salah pergaulan yang menyebabkan ini terjadi. Dia hanya tidak sabar menunggu bersama denganmu, Cah ayu.”

Pak Sanjaya, teman Bapak berbicara berdua di ruang depan. Entah apa yang dibicarakan, setelahnya Bapak justru mendukung untuk meneruskan rencana pernikahan. Bahkan rencananya akan dipercepat. Dengan lantang aku menolak.

“Maaf. Saya tetap tidak mau menikah dengan Mas Arman. Sampai kapanpun,” jawabku bersikukuh.

“Dipikir sekali lagi. Semua orang sudah tahu kalau kalian akan menikah. Kalau Arman tidak apa-apa tidak jadi menikah. Dia laki-laki.  Kalau pihak perempuan justru akan mendapatkan kerugian. Apakah kamu mau seperti itu?” ucap Pak Sanjaya terlihat mulai tidak sabar.  “Kami melakukan ini karena kasihan denganmu.”

Aku mengerutkan dahi, merasa harga diriku terusik. Kasihan? Lebih kasihan lagi, kalau aku menyerahkan hidup ini kepada laki-laki yang otaknya berada di antara dua paha. Aku tidak membayangkan menghabiskan umur dengan orang seperti itu.

Bapak akan bicara. Tapi aku menyentuh lengannya, memberi tanda aku ingin bicara.

“Terima kasih Pak Sanjaya dengan perhatiannya. Tapi, saya tidak membutuhkan itu. Yang dilakukan anak bapak sudah masuk pada ranah kriminal. Saya tidak hanya menolak pernikahan ini, tetapi saya akan melaporkan anak bapak karena berniat jahat.”

Calon suami yang sudah aku buang itu, tertawa kecil. Wajahnya terlihat mengejek. “Halah. Memang kamu akan melaporkan apa? Mengatakan kalau aku memaksa kamu? Kita ini calon suami istri, wajarlah kalau mesra-mesraan. Kamu pun tidak aku paksa untuk berduaan denganku, kan?”

“Arman! Yang dikatakan Raya benar. Ternyata kamu tidak tepat mendapat kepercayaan mendapatkan anakku!” teriak Bapak.

Suasana semakin tidak terkendali, Pak Sanjaya juga ikut berdiri. Bapak dan Pak Sanjaya beradu mulut. Saling teriak dan saling menuding.

“Lihat saja nanti, anakmu pasti tidak bakal menikah. Siapa yang doyan dengan perempuan sisa!” teriak ayah dari lelaki kurang ajar itu.

Tangan Bapak terlihat bergetar hebat, mungkin dia tidak mengira kalau temannya tega melontarkan kata-kata itu.

“Lebih baik, anakku tidak menikah dibanding menjanda akibat anakmu yang bejat!” teriak Bapak tidak mau kalah.

Aku dan Ibu menahan lengannya.

Sebagai anak satu-satunya, aku harus membela martabat keluarga. Aku mengerti hukum, alat yang mampu menunjukkan kebenaran.

“Pak Sanjaya, Ibu, dan Arman. Kita tidak usah bertengkar di sini. Pengadilan akan menunjukkan siapa yang benar. Saya akan menuntut kalian.”

“Apa buktinya?”

Aku menoleh ke arah lelaki yang nyaris menjadi imamku. “Visum. Saya sudah menyiapkan ini untuk menunjukkan siapa kamu sebenarnya,” ucapku lantang dengan percaya diri.

Sayangnya, mencari keadilan ternyata hanya impian semu.

Itu hanya tempat berlaga pengacara dan jaksa beradu argumentasi.

Pasal-pasal yang menjadi pijakan, seperti mainan yang dijadikan tameng kepentingan.

Aku tetap menang, tetapi Arman hanya mendapatkan hukuman ringan. Dia masih bisa menampilkan senyuman, bahkan menyiapkan serangan balasan yang menyakitkan.

Pengaruh dan koneksi menggiring opini orang sekitar.

Keluarga Sanjaya memutar balikkan kenyataan. Mereka mencetuskan gosip kalau menggagalkan pernikahan karena aku tidak perawan lagi.

Ia menuduhku dan memberi tuntutan ke pengadilan hanya untuk alibi semata.

Tudingan demi tudingan secara kejam menyerangku. Terlebih, kepada Ibu melalui teman sejawatnya. Tak jarang, Ibu pulang dengan tangisan mengadu.

Bapak semakin merasa bersalah. Dia meruntuki dirinya sendiri, karena dialah yang membawa keluarga itu ke tengah-tengah keluarga ini.

“Bapak. Raya tidak apa-apa. Biarkan gosip itu. Toh, nanti akan hilang kalau mereka bosan. Justru raya bersyukur karena diselamatkan dari orang yang tidak menganyomi.”

“Tapi, Nduk. Ini berpengaruh pada masa depanmu. Laki-laki mana yang–”

“Cukup, Pak. Justru orang yang tidak tulus menyayangi Raya, akan tersingkir karena gosip itu. Hanya laki-laki yang tulus menyayangi Raya yang bertekad menikahi Raya. Iya, kan Pak?”

Ucapan itu terdengar mudah. Namun, sebenarnya itu untuk menghibur diriku. Bagaimana tidak, di setiap pertemuan dan dimanapun aku melangkah, ada saja yang berbisik-bisik dengan kasus itu. Pandangan mereka seakan menunjuk kalau aku perempuan tidak benar.

Kesehatan Bapak mulai menurun bersamaan dengan bisnis yang mengalami banyak masalah.

Pak Sanjaya menghasut rekan kerja lainnya untuk menjauhi Bapak. Kami sekeluarga seperti diserang dari segala arah. Mereka seakan tidak puas, sampai kami menyerah.

Puncak dari semua ini, Bapak terkena serangan jantung. Sempat dilarikan ke rumah sakit, tetapi yang di Atas menghendaki Bapak untuk beristirahat di sisi-Nya. Sejak itu, aku merasa dirikulah yang menjadi pembunuh Bapak.

Seandainya tidak ada rencana pernikahan itu, pasti kemalangan ini tidak terjadi.

Ibu pun memilih pulang ke rumah nenek. Kami sepakat meninggalkan kota yang menjadi mimpi buruk, sementara aku kembali ke kampus tempatku mengenyam pendidikan.

Di sini, aku menjadi penjaga perpustakaan sambil menekuni sebagai penulis cerita fiksi di beberapa platform. Meski beberapa kali ibuku itu memintaku menjalin cinta, tapi aku masih trauma….

“Selamat siang. Selamat siang!”

Teriakan dan lambaian tangan tepat di depan wajah ini, meluruhkan semua kenangan buruk. Aku menyusut air mata yang sempat mengambang di mata ini.

“Mbak petugas perpustakaan ini, kan?”

Mataku mengerjap, mencoba mengumpulkan serpihan kesadaran. Apa aku berhalusinasi? Lelaki di depanku ini tidak seperti mahasiswa yang sering ke sini. Penampilannya pun sungguh berbeda. Warna kulitnya terlalu putih untuk ukuran laki-laki. Rambutnya sedikit berwarna coklat, dan ….

Mataku menyipit. Kenapa manik matanya berwarna hazel?

Aku terhenyak. Mengucek-ngucek kedua mata dengan tangan. Apa sosok di depanku ini nyata? Dia seperti tokoh di cerita fiksi.

“Mbak. Maaf, saya ingin mendaftar anggota perpustakaan. Kata petugas di pintu masuk harus mengurus di sini. Nama saya Alexander Dominic. Ini fotokopi kartu identitas, dan ini ….”

Aku mendengar apa yang diucapkan. Seharusnya aku menyodorkan form pendaftaran dan menyuruhnya melengkapi semuanya. Namun, kenapa aku tetap bergeming, dan mata kurang ajar ini enggan berkedip darinya?

"Ehem! Apa ada yang kurang?"

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 128. Tujuan Pernikahan  

    Aku ingat perbincangan dengan Alex, suamiku beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku di titik jenuh. Berbanding terbalik dengan Alex yang sibuknya luar biasa, aku hanya tidak dan tidak mengerjakan apapun. Aku seperti orang yang tidak berguna.Ok, saat ini Alex yang lelaki luar biasa ini masih di sampingku. Namun, bukankah banyak kemungkian dia akan berpaling, terlebih aku bukan siapa-siapa. Hanya wanita menua yang pura-pura lupa akan usia.“Kamu bahagia dengan pernikahan kita?” tanyaku sambil menyelusupkan kepala ke ketiaknya.Entah kenapa aku mempunyai kesenangan baru, mengendus bau keringat sepulang dia kerja. Awalnya Alex menolak karena merasa gerah, tapi dengan alasan aku kangen, akhirnya dia menyerah.Aku mendongak ketika jawaban tidak kunjung kudengar. Dia senyum dikulum, menundukkan kepala dan mencium kening ini.“Bahagia?…. Tidaklah.”“Ha?” Spontan aku menarik tubuh memberi jarak. Ketakutanku ternyata tidak perlu menunggu waktu lama. Sekarang malah dia mengakui.Kedua alis mataku

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 127. Aku Ingin

    Pandangan kami di satu garis lurus. Sorot mata suamiku menunjukkan ketidak sukaan. Ini kali pertama aku merasakan takut kepadanya. Dia pun sudah menderap ke arah kami. Namun, tidak sopan kalau aku begitu saja tanpa pamitan pada Tuan Anderson. Mertuaku … kalau itu benar.“Maaf saya harus pamit. Alex sudah ada di sini.”Lelaki tua ini tersenyum. Sekali lagi menepuk lenganku. “Maaf, ya. Semoga suamimu tidak marah. Saya titip Alexander kepadamu.”Belum sempat menjawab, tangan ini sudah disentakkan oleh Alex. Tubuh ini sampai terhuyun dan tangan terlepas dari jabat tangan sebelumnya. Satu tangan lain menarikku untuk terdiam di balik punggungnya.“Jangan ganggu istriku!”“Dengarkan penjelasanku, Alex anakku. Aku memang berhutang waktu dua puluh enam tahun kepadamu. Namun, kita bisa__”“Stop! Saya jelaskan berulang kali, saya tidak ada urusan dengan anda.” Suara Alex terdengar keras. Bahkan menggema di ruangan ini. Aku mengedarkan pandangan, terlihat anaeh ruang baca ini lengang dari pengunj

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 126. Orang Dekat

    “Huh! Kalau aku sudah aku remet-remet mulutnya itu! Kamu ini terlalu sabar jadi orang,” seru Mbak Leni seusai dia dari lantai satu.Entah dari mana dia tahu tentang pertemuanku dengan Lastri. Padahal tadi setelah peristiwa tadi, sengaja aku tidak memberitahu seniorku ini. Karena tahu benar sifatnya bagaimana terutama yang berkaitan dengan Lastri. Mbak Leni selalu menjadi garda terdepan membela diriku.“Santai saja, lah. Anggap saja radio rusak.”Aku tersenyum, kemudian kembali ke meja kerja berniat melanjutkan memasukkan data kembali.“Bener yang kau bilang, Yak. Yah dia kan orang gila. Buat apa ditanggapi, kita malah jadi gila nanti,” seloroh Mbak Leni sambil tertawa.Dalam hati, aku pun masih kesal sama si Lastri itu. Tidak capek-capeknya menerorku. Padahal salahku apa? Bertegur sapa atau menyoal tentang dia saja tidak pernah. Lebih baik aku menghindar demi kewarasan. Fokus dengan tujuanku kerja kembali ke perpustakaan. Aku hanya berinteraksi dengan Mbak Leni, Jaka, dan kalau di

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 125. Hari Pertama

    “Raya …!”Senyumku merekah mendengar suara yang sudah aku rindukan. Langkah menderap memberiku semangat untuk membalikkan badan. Benar, teman kerja yang aku rindukan berlari menghampiri dengan kedua tangan merentang.Ini hari pertamaku memulai kerja kembali ke perpustakaan. Sedikit ngambek dan berujung kata setuju dari Alex suami tercinta. Aku boleh kerja kembali tapi dia menugaskan beberapa pengawal pribadi di luar gedung.“Kamu tidak usah kawatir. Mereka sudah aku perintahkan berpakaian dan bersikap seperti orang biasa.” Janji dia menanggapi aku yang jengah dengan perlakuan yang berlebihan ini.Jangan ditanya bagaimana cerewetnya Alex sebelum tadi berangkat. Tidak boleh ini, dilarang itu. Pokoknya mengalahkan wejangan Ibu saat aku dulu kost untuk pertama kali.“Mbak Leni …!”Seperti orang yang bertahun-tahun tidak bertemu kami saling menyambut. Tubuhnya yang kecil seakan tenggelam dalam pelukanku.“Mbak aku kangen.”“Aku juga sangat. Tidak ada kamu, aku kesepian,” jawabnya dengan bi

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 124. Istri Kok Dilawan

    (pov Alex)“Lebih baik tidak daripada syaratnya seperti itu. Memang aku anak TK yang kemana-mana harus diikuti orang.”Raya mencebik dan binar mata pun melesap menunjukkan ketidaksetujuan. Namun bagaimana lagi, keselamatannya lebih penting daripada keinginannya itu. Musuhku ada dimana-mana. Sekarang tidak hanya mengincarku saja, tapi kemungkinan besar membidik titik yang menjadikan aku terpuruk.Dan itu Raya istriku.“Bukankah tadi bilang kalau apapun syaratnya kamu mau?”“Tapi bukan seperti itu.”Matanya mengerjap sekali lagi. Tatapannya yang memohon sempat membuatku tidak tega. Ini seperti aku dulu saat kecil. Kakek Sebastian bersikap keras dan tidak memperbolehkan aku bermain seperti anak pada umumnya. Berbagai alasan dikemukakan yang merujuk pada keselamatan.Aku mengerti yang dirasakan istriku, tapi semua ini harus dilakukan.“Memang harus ada pengawal yang jaga juga di dalam gedung perpustakaan?”“Iya, Ray.”Raya menghela napas panjang. “Ada teman-teman yang bisa menjagaku. Ada

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 123. Sudut Pandang yang Berbeda

    Aku seperti anak ayam yang tinggal di lumbung padi. Tidak kurang suatu apa, apalagi kelaparan. Pengen apa aja tinggal nunjuk. Tidak perlu mengintip isi dompet kalau ingin beli sesuatu.Di rumah pun praktisnya tidak ada yang bisa aku kerjakan. Semua sudah ada yang bersiap dengan tugas masing-masing. Aku seperti orang yang tidak ada kegunaan. Hanya saat ada Alex saja aku melakukan tugas sebagai istri. Selebihnya tidak ngapa-ngapain.Menulis?Isi kepala ini seperti mampat. Tidak ada kejadian sekitar yang mematikku untuk berkarya. Pemandangan datar dan itu-itu saja. Pegawai dengan sikap bersiap menerima tugas, dan aku yang penuh dengan rasa bosan.“Belanjakan apa yang kamu ingin. Yang aku punya, juga punya kamu juga, Sayang. Memang siapa lagi?” ujar Alex, suamiku.Namun aku yang biasa memperhitungkan segalanya sebelum membelanjakan sesuatu, tidak bisa disuruh boros-boros seperti itu. Untuk apa mengeluarkan uang banyak, kalau dengan fungsi dan kualitas yang sama kita dapat harga tidak ting

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status