"Ehem! Apa ada yang kurang?"
Deheman dan suara yang dikeraskan, menyadarkan aku.
"I-iya. Harus isi form dulu," jawabku segera.
Aku gelengkan kepala, sambil membungkuk mengambil form di laci bagian bawah, dan menyerahnya. Sesaat aku menepuk dada, meruntuki kelakuanku yang kampungan ini. Memang dia terlihat tampan, tapi tidak seharusnya aku melongo seperti orang bodoh.
Telunjuk dan ibu jari memposisikan frame kacamataku. Mata rabun ini harus menajam untuk membaca kartu identitas yang terlihat kecil.
Nama yang tidak biasa, Alexander Dominic. Sepadan dengan penampilannya yang tidak seperti orang kebanyakan.
'Masih bocah,' bisik hatiku.
Kalau dihitung dari tahun lahir, dia berusia dua puluh lima. Kemungkinan anak muda ini berasal dari universitas lain yang berkunjung ke sini. Tidak mungkin dia mahasiswa di kampus ini, aku tidak pernah bertemu.
Memang aku tidak hapal. Akan tetapi seseorang yang mencolok seperti dia, tidak mungkin terlewat dari pandangan.
"Selain kartu identitas, dilampirkan juga kartu mahasiswa, dan surat pengantar dari kampus anda," ucapku sambil menerima form yang sudah terisi.
Dia tersenyum. Mataku melihat sekilas, kemudian kembali menekuri tulisan tangannya yang terlalu rapi untuk ukuran laki-laki.
'Edan. Senyumannya menunjukkan lesung pipit. Orang kok gantengnya kebangetan.'
Aku menyibukkan diri menstaples fotokopi KTP pada form pendaftaran.
"Tapi, Mbak. Saya bukan mahasiswa."
"Oh, dari perusahaan? Kalau begitu ada surat pengantarnya, kan?"
"Ada."
Dia mengeluarkan amplop dari tas selempang berwarna hitam.
Tasnya terlihat mahal dengan logo burung elang yang merentangkan sayap. Mataku menyipit memastikan huruf di tengah-tengah logo itu, ya GA. Persis dengan tas yang dikenakan tokoh fiksiku, yang menggambarkan dia orang berduit.'Halah, mungkin dia beli di pasar malam. Merk dalam dan luar negeri pun di sana banyak, dan harganya terjangkau,' bisik hatiku sambil melirik tasku yang berlogo H.
"Ini, Mbak. Tapi maaf, saya belum membawa foto."
"Tidak apa-apa. Bisa menyusul. Tapi belum bisa pinjam buku, ya," jawabku tanpa melihat ke arahnya.
"Iya, Mbak."
Aku memilih menekuri surat pengantar yang dia sertakan. Kop surat bertuliskan Global Dominic Technologies, Tbk.
Seingatku, perusahaan ini sering terdengar di telinga, gara-gara mensponsori pengiriman atlet ke luar negeri. Pintar pemilik perusahaan ini, dia mendulang simpati publik demi popularitas perusahaannya.
Dahi ini mengernyit saat membaca bagian terakhir, 'Alexander Dominic.'
"Surat pengantar harus ditandatangani atasan, bukan dibuat diri sendiri," ucapku sambil menyodorkan kembali kertas.
Sudah sering aku mendapati kasus seperti ini. Karena butuh referensi, mereka menghalalkan segala cara. Buku, jurnal, dan hasil penelitian di perpustakaan di sini, terhitung lengkap. Tak jarang, orang dari luar membutuhkan untuk melengkapi data.
Kertas yang aku sodorkan tadi, bergerak ke arahku kembali. Tidak hanya itu, dia menyertakan juga kartu nama di atasnya.
"Ini asli, Mbak. Saya tidak punya orang di atas saya lagi " ucapnya.
Aku mengangkat wajah. Sekarang aku menilik sosoknya lebih jeli. Dia anak muda, yang masih pantas disebut mahasiswa semester akhir. Bajunya saja dia hanya menggunakan kaos lengan panjang berkerah, dan dipadukan dengan celana jeans biru tua.
Penampilannya tidak terlihat seperti eksekutif muda, yang biasanya mengenakan baju kerja rapi. Dia lebih pantas disebut anak kuliahan yang sedang menyusun skripsi.
"Iya? Jadi kamu pemilik perusahaan?" ucapku mulai kesal. Ngibul boleh, tapi kalau keterlaluan jangan. Aku tertawa kecil dengan memberikan tatapan tidak percaya.
Kepala ini terpaksa mengikuti arah pandangan. Jari telunjuk mengetuk tulisan tepat di bawah namanya pada kartu nama dan surat pengantar, yang bertulis:
~~
Alexander Dominic
Chief Executive Officer
~~
"Masih kurang percaya?"
DUH!
Sudah kedua kali aku dibuatnya melongo. Lelaki muda ini ternyata seorang CEO. Beruntung Mbak Lani segera datang. Dia langsung menyambutnya dengan posisi yang memantik dahi ini berkerut.
"Selamat datang, Pak Alex. Sekretaris bapak bilang akan datang hari besok."
"Iya. Ini dengan Mbak Lani, ya?"
"Iya, Pak. Saya Lani. Dan ini teman saya, Raya," ucapnya sambil menyenggol lenganku. "Maaf, karena saya pikir Bapak tidak datang hari ini, jadi saya tidak memberikan pesan pada teman saya ini."
Aku menatap mereka dengan heran. Berarti dia benar-benar seorang pimpinan perusahaan itu? Sampai-sampai kedatangan di perpustakaan ini sudah diatur oleh sekretaris.
"Oh, pantas," serunya sambil tertawa.
Senyum Mbak Lani menyurut. Dia menggelengkan kepala ke arahku, sorot matanya terlihat menuntut jawaban.
"Oh, tidak apa-apa. Mbak Raya ini menghandle saya dengan baik. Cuma dia sempat berpikir kalau saya masih kuliah. Apa penampilan saya masih terlihat seperti anak muda, ya?" ucapnya sambil tertawa.
Mbak Lani pun ikut tertawa. Aku juga, setelah sikunya di arahkan kepadaku.
Untung saja, drama tidak berlanjut. CEO itu melanjutkan masuk ke ruang perpustakaan. Mbak Lani terlihat mengistimewakan dia. Seniorku itu mengantar sampai ke gedung yang dia maksud.
Tujuannya, gedung yang menyimpan jurnal penelitian.
*
"Ganteng, ya," ucap Mbak Leni sambil menghempaskan bokong ke tempat duduk. Dia membuka tas yang dia bawa tadi. Mengambil minuman botolan dan disodorkan kepadaku.
"Tukang jusnya tutup. Kopi ini cukup kan?"
"Lebih dari cukup. Ini kesukaanku. Walaupun kopi botolan, tapi diminum tidak bikin kembung."
Aku membuka tutup berwarna merah, kontras dengan botol yang berwarna hitam.
"Makasih, ya, Mbak. Aku tidak perlu bikin kopi lagi," ucapku setelah meneguk setengah dari isi botol.
Kopi dingin dengan pemanis dari gula aren. Rasanya mantap. Aku menerima roti pisang yang disodorkan Mbak Leni. Kami menikmati di waktu senggang sambil berbincang ringan.
"Dia keren, ya?"
"Siapa?" tanyaku setelah menenggak habis sisa kopi.
"Alexander Dominic."
Aku tertawa kecil. Hanya orang sakit mata yang mengatakan laki-laki itu tidak keren.
"Laki-laki seperti dia itu, calon suami idaman. Ganteng, tajir, pinter. Pokoknya paket komplit!" seru Mbak Leni.
Dia ini memang lebih tua dua tahun dariku. Tubuhnya mungil dengan wajah yang selalu tersenyum. Rambutnya yang dipotong pendek, mengelabui usia dan statusnya yang sudah janda dua kali.
Aku tidak habis pikir, kegagalannya tidak menyurutkan dia berganti-ganti pacar. Katanya, pernikahan yang ketiga nanti harus menjadi yang terakhir. Makanya, seleksi harus ketat.
"Menurut kamu bagaimana, Raya? Kita kan sama-sama jomlo. Siapa tahu bisa menggaet dia," ucapnya semakin tidak karuan.
"Mbak Leni. Itu kejauhan. Halusinasinya terlalu jauh."
"Lah. Siapa tahu, Yak. Seperti di novel online, CEO kecantol gadis desa yang lugu. Atau pewaris tunggal, jatuh cinta dengan pembantu. Atau, CEO ndeso kepincut karyawannya. Kita kan lebih dari itu. Iya, kan?"
Aku tertawa.
"Itu hasil ngimpi penulis, Mbak," celetukku.
Dalam hati aku tertawa. Beberapa yang dikatakan Mbak Leni itu hasil tulisanku yang dimuat di platform novel online. Nama pena menyembunyikan identitasku. Jadi walaupun mendapat pembaca yang aku kenal, dia tidak tahu itu aku. Seperti Mbak Leni ini.
"Lah. Siapa tahu, Yak. Ucapan itu doa," ucapnya kemudin menggeser tempat duduk. Dia mendekat.
"Tapi seandainya dia suka kamu, kamu mau, kan?"
*****
Aku ingat perbincangan dengan Alex, suamiku beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku di titik jenuh. Berbanding terbalik dengan Alex yang sibuknya luar biasa, aku hanya tidak dan tidak mengerjakan apapun. Aku seperti orang yang tidak berguna.Ok, saat ini Alex yang lelaki luar biasa ini masih di sampingku. Namun, bukankah banyak kemungkian dia akan berpaling, terlebih aku bukan siapa-siapa. Hanya wanita menua yang pura-pura lupa akan usia.“Kamu bahagia dengan pernikahan kita?” tanyaku sambil menyelusupkan kepala ke ketiaknya.Entah kenapa aku mempunyai kesenangan baru, mengendus bau keringat sepulang dia kerja. Awalnya Alex menolak karena merasa gerah, tapi dengan alasan aku kangen, akhirnya dia menyerah.Aku mendongak ketika jawaban tidak kunjung kudengar. Dia senyum dikulum, menundukkan kepala dan mencium kening ini.“Bahagia?…. Tidaklah.”“Ha?” Spontan aku menarik tubuh memberi jarak. Ketakutanku ternyata tidak perlu menunggu waktu lama. Sekarang malah dia mengakui.Kedua alis mataku
Pandangan kami di satu garis lurus. Sorot mata suamiku menunjukkan ketidak sukaan. Ini kali pertama aku merasakan takut kepadanya. Dia pun sudah menderap ke arah kami. Namun, tidak sopan kalau aku begitu saja tanpa pamitan pada Tuan Anderson. Mertuaku … kalau itu benar.“Maaf saya harus pamit. Alex sudah ada di sini.”Lelaki tua ini tersenyum. Sekali lagi menepuk lenganku. “Maaf, ya. Semoga suamimu tidak marah. Saya titip Alexander kepadamu.”Belum sempat menjawab, tangan ini sudah disentakkan oleh Alex. Tubuh ini sampai terhuyun dan tangan terlepas dari jabat tangan sebelumnya. Satu tangan lain menarikku untuk terdiam di balik punggungnya.“Jangan ganggu istriku!”“Dengarkan penjelasanku, Alex anakku. Aku memang berhutang waktu dua puluh enam tahun kepadamu. Namun, kita bisa__”“Stop! Saya jelaskan berulang kali, saya tidak ada urusan dengan anda.” Suara Alex terdengar keras. Bahkan menggema di ruangan ini. Aku mengedarkan pandangan, terlihat anaeh ruang baca ini lengang dari pengunj
“Huh! Kalau aku sudah aku remet-remet mulutnya itu! Kamu ini terlalu sabar jadi orang,” seru Mbak Leni seusai dia dari lantai satu.Entah dari mana dia tahu tentang pertemuanku dengan Lastri. Padahal tadi setelah peristiwa tadi, sengaja aku tidak memberitahu seniorku ini. Karena tahu benar sifatnya bagaimana terutama yang berkaitan dengan Lastri. Mbak Leni selalu menjadi garda terdepan membela diriku.“Santai saja, lah. Anggap saja radio rusak.”Aku tersenyum, kemudian kembali ke meja kerja berniat melanjutkan memasukkan data kembali.“Bener yang kau bilang, Yak. Yah dia kan orang gila. Buat apa ditanggapi, kita malah jadi gila nanti,” seloroh Mbak Leni sambil tertawa.Dalam hati, aku pun masih kesal sama si Lastri itu. Tidak capek-capeknya menerorku. Padahal salahku apa? Bertegur sapa atau menyoal tentang dia saja tidak pernah. Lebih baik aku menghindar demi kewarasan. Fokus dengan tujuanku kerja kembali ke perpustakaan. Aku hanya berinteraksi dengan Mbak Leni, Jaka, dan kalau di
“Raya …!”Senyumku merekah mendengar suara yang sudah aku rindukan. Langkah menderap memberiku semangat untuk membalikkan badan. Benar, teman kerja yang aku rindukan berlari menghampiri dengan kedua tangan merentang.Ini hari pertamaku memulai kerja kembali ke perpustakaan. Sedikit ngambek dan berujung kata setuju dari Alex suami tercinta. Aku boleh kerja kembali tapi dia menugaskan beberapa pengawal pribadi di luar gedung.“Kamu tidak usah kawatir. Mereka sudah aku perintahkan berpakaian dan bersikap seperti orang biasa.” Janji dia menanggapi aku yang jengah dengan perlakuan yang berlebihan ini.Jangan ditanya bagaimana cerewetnya Alex sebelum tadi berangkat. Tidak boleh ini, dilarang itu. Pokoknya mengalahkan wejangan Ibu saat aku dulu kost untuk pertama kali.“Mbak Leni …!”Seperti orang yang bertahun-tahun tidak bertemu kami saling menyambut. Tubuhnya yang kecil seakan tenggelam dalam pelukanku.“Mbak aku kangen.”“Aku juga sangat. Tidak ada kamu, aku kesepian,” jawabnya dengan bi
(pov Alex)“Lebih baik tidak daripada syaratnya seperti itu. Memang aku anak TK yang kemana-mana harus diikuti orang.”Raya mencebik dan binar mata pun melesap menunjukkan ketidaksetujuan. Namun bagaimana lagi, keselamatannya lebih penting daripada keinginannya itu. Musuhku ada dimana-mana. Sekarang tidak hanya mengincarku saja, tapi kemungkinan besar membidik titik yang menjadikan aku terpuruk.Dan itu Raya istriku.“Bukankah tadi bilang kalau apapun syaratnya kamu mau?”“Tapi bukan seperti itu.”Matanya mengerjap sekali lagi. Tatapannya yang memohon sempat membuatku tidak tega. Ini seperti aku dulu saat kecil. Kakek Sebastian bersikap keras dan tidak memperbolehkan aku bermain seperti anak pada umumnya. Berbagai alasan dikemukakan yang merujuk pada keselamatan.Aku mengerti yang dirasakan istriku, tapi semua ini harus dilakukan.“Memang harus ada pengawal yang jaga juga di dalam gedung perpustakaan?”“Iya, Ray.”Raya menghela napas panjang. “Ada teman-teman yang bisa menjagaku. Ada
Aku seperti anak ayam yang tinggal di lumbung padi. Tidak kurang suatu apa, apalagi kelaparan. Pengen apa aja tinggal nunjuk. Tidak perlu mengintip isi dompet kalau ingin beli sesuatu.Di rumah pun praktisnya tidak ada yang bisa aku kerjakan. Semua sudah ada yang bersiap dengan tugas masing-masing. Aku seperti orang yang tidak ada kegunaan. Hanya saat ada Alex saja aku melakukan tugas sebagai istri. Selebihnya tidak ngapa-ngapain.Menulis?Isi kepala ini seperti mampat. Tidak ada kejadian sekitar yang mematikku untuk berkarya. Pemandangan datar dan itu-itu saja. Pegawai dengan sikap bersiap menerima tugas, dan aku yang penuh dengan rasa bosan.“Belanjakan apa yang kamu ingin. Yang aku punya, juga punya kamu juga, Sayang. Memang siapa lagi?” ujar Alex, suamiku.Namun aku yang biasa memperhitungkan segalanya sebelum membelanjakan sesuatu, tidak bisa disuruh boros-boros seperti itu. Untuk apa mengeluarkan uang banyak, kalau dengan fungsi dan kualitas yang sama kita dapat harga tidak ting