Share

Bab 5. Ditertawai

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-04 09:57:59

Bukannya keder, dia justru tertawa kecil. Tangannya bertepuk seakan mendapat ide cemerlang.

"Sip! Kenapa tidak dari tadi?" ucap Alex tersenyum lebar.

"Apanya?" sahutku masih dengan kening masih berkerut.

"Fotocopi. Saya tidak jadi pinjam. Semua difotokopi saja. Bisa?"

Aku mengangguk. "Bisa. Ada ruangan fotokopi di atas. Pak Alex bisa bayar langsung di sana."

"Kalau saya ambil besok, bisa?"

Aku menoleh ke Pak Arya, tugasku sudah selesai. Selanjutnya dia yang harus melaksanakan tugasnya.

"Bisa, Pak. Dengan syarat harus isi form dan meninggalkan deposit," sahut Pak Arya cepat.

Laki-laki berwarna rambut semburat coklat, tersenyum. Kemudian mengeluarkan dompet dari saku.

"Saya hanya punya uang cash segini. Pasti tidak cukup," ucapnya sambil menaruh tiga uang lembaran berwarna merah di depan meja Pak Arya.

"Saya bayar pake dollar, ya. Adanya ini," ucapnya sambil mengeluarkan dua lembar uang kertas bergambar tokoh Amerika yang bertulis angka seratus.

Mata ini melebar, walaupun berakhir muak. Kalau uang ini dirupiahkan, satu lembar senilai sekitar satu juta lima ratus. Aku mengerti ini, karena hasil menulisku dibayar dengan dollar Amerika.

Pak Arya menoleh ke arahku, memberi tatapan minta tolong. Aku mengerti mata uang asing, di sini masih tabu. Mungkin saja, justru mereka belum pernah melihat bentuk aslinya. Seperti Pak Arya sekarang.

"Pak Alex tidak perlu menitipkan uang sebanyak ini untuk empat buku ini," ucapku sambil tersenyum tipis. Uang dollar itu aku sodorkan kembali ke depannya.

"Siapa bilang saya akan memfotokopi buku ini saja. Itu yang lainnya."  Tangannya menunjuk ke sebelah sana. Pandangan mataku mengikuti pergerakannya. Troli yang aku gunakan tadi, dengan buku-buku bertumpuk seperti gunung.

Hah?! 

*

Kedua tanganku meraup wajah dan memijit pelipisku yang tiba-tiba sakit kepala. Aku meminta ijin Mbak Leni untuk ke kantin sebentar. Kopi kemasan ternyata tidak cukup mampu menstabilkan emosi.

Gara-gara laki-laki tadi itu, aku memerlukan kafein dari kopi hitam yang mempunyai efek menenangkan. Makanya, sekarang aku di sini menunggu pesanan datang.

Negosiasi yang alot dan berakhir kami yang menyerah. Mentang-mentang punya uang, dia memfoto kopi buku-buku itu.

“Saya tidak melihat ada larangan tertulis atau batasan jumlah yang foto kopi.”

“Tapi ini jumlahnya terlalu banyak,” jawabku sambil menghitung berapa puluh jumlah buku di atas troli. Tidak bisa aku bayangkan kalau orang semacam dia memfoto kopi semua koleksi buku di sini. Mungkin setaraf dia, uang tidak masalah. Namun. itu tidak masuk di pikiran.

Dia tersenyum. “Banyak atau sedikit itu sifatnya relatif. Mungkin bagi Mbak Raya ini banyak, tapi menurut saya, ini  justru masih kurang.”

Duh!

Mengingat percakapan kami tadi saja, kepalaku yut-yutan lagi. Lesung pipit yang dia tunjukkan saat tersenyum, tidak mampu mengusir rasa kesal. Kalau tidak Mbak Leni yang menengahi, mungkin kami akan berakhir dengan bertengkar.

“Untuk kali ini, saya bisa meloloskan permintaan bapak. Ini bukan karena ada pembatasan. Tetapi karena pegawai kami harus melayani pengunjung lainnya. Saya harap, pemakluman dari Pak Alex,” ucap seniorku dengan menampilkan senyuman tenang.

Laki-laki ini mengerutkan dahi, terdiam sesaat seperti berpikir. Saat itu aku merasa lega, dia akhirnya mengerti. Namun ….

“Oh begitu. Maaf, Mbak Leni, saya sangat merepotkan. Kalau begitu biar diatur sekertaris saya untuk mengirim orang dan mesin foto kopi. Bagaimana? Gampang, kan?”

Kedua telapak tangannya bergerak menengadah, seperti menunjukkan kebanggaan kalau dia menemukan solusi yang tepat.

‘Edan!’ umpatku tadi dalam hati.

Syaraf-syarafku mulai kendur, saat aroma kopi menguar dari uap yang mengepul. Pesananku datang bersama kentang goreng dengan cocolan saus sambal super pedas. Paduan kafein kampung dan pedasnya sambal, pasti mampu mengusir sakit kepalaku.

Perpustakaan ini dilengkapi dengan kantin di dalamnya. Mereka menjual makanan sederhana, sekadar untuk mengganjal perut pengunjung yang berkutat seharian di perpustakaan. Biasanya mereka para mahasiswa yang menyusun skripsi atau tugas makalah.

Kedua tanganku menangkup cangkir hangat, sambil menghidu aroma. Ini kebiasaanku, sebelum meminum kopi, sambil menunggu tidak terlalu panas untuk diminum. Mataku terpejam, mencoba relax untuk mengurangi denyutan nyeri di kepala.

Senyuman kembali terbit. Pelan, aku menyesap kopi dan menikmati kafein yang membuai.

“Ternyata suka ngopi juga?”

Suara yang mengusik ketenanganku. Dahi ini berkerut, mengusir halusinasi suara yang sudah tercatat sebagai orang yang patut dihindari.

“Mbak Raya, saya duduk di sini, ya?"

Kerutan di dahi semakin dalam. Ini bukan suara di alam bawah sadar. Aku membuka mata, dan mendapati dia tersenyum menatapku. Tangannya bersendekap dengan kaki disilangkan.  Tepat di depannya, secangkir cappucino dan satu croisant di piring kecil. Mataku mengerjap. memastikan ini bukan bayangan.

“Mbak Raya pusing menghadapi saya?”

“Iya,” jawabku tanpa mampu menunjukkan senyuman. Ketenangan yang sempat datang, sekarang sirna sudah. “Pak Alex kenapa duduk di sini?” Aku mengedarkan pandangan, masih banyak tempat duduk yang kosong.

Dia tertawa kecil.

“Tidak ada aturan di sini, kalau tidak boleh duduk di meja yang sama dengan pegawai. Jadi saya tidak melanggar apapun.”

Aku tersenyum kecil membenarkan ucapannya, sekaligus kesal karena pengusiranku gagal.

"Tidak ada aturannya juga, kalau saya harus mengiyakan kalau ada orang duduk di dekat saya," jawabku tidak mau kalah.

“Tapi Mbak Raya tadi tidak mengusir. Itu berarti meng-iyakaan," ucapnya lagi seakan tidak memedulikan wajahku yang cemberut. "Sebenarnya saya tadi mencari Mbak Raya.”

“Untuk apa? Mencari orang untuk mendorong troli?” ucapku sinis. Pasti Mbak Leni yang memberi tahu kalau aku di kantin.

Lagi-lagi di tertawa.

“Iya, saya minta maaf sudah membuat Mbak Raya kesal. Makanya ingin mentraktir untuk menebus kesalahan.”

Dia mengurai lipatan tangan. Dengan kedua tangan, dia mengambil cangkir cappucino. Menghidu sebentar, kemudian menyesapnya.

Mulutku sudah penuh dengan ucapan balasan. Memang dengan menyuap makanan dan minuman, bisa membayar rasa kesal? Dia hengkang dari depanku saja, sebenarnya sudah cukup. Untuk secangkir kopi dan camilan, aku tidah butuh uluran tangan seorang CEO.

Namun mulutku terkunci, justru terganti dengan tawaku yang tergelak. Bagaimana tidak, bibir bagian atas penuh dengan foam putih dari cappucino, seperti anak kecil yang belepotan saat makan dan minum. Terlebih matanya yang lebar mengerjap, menambah indah manik hazel. 

Meski dia CEO yang katanya terkenal berkharisma, entah mengapa dia jadi tampak menggemaskan.

'Eh?' Aku terkejut dengan pikiranku sendiri, lalu menggelengkan kepala cepat. 'Sadar, Raya! Kok, bisa-bisanya kamu mikir kaya gitu!'

“Ada yang salah?” Dia tiba-tiba bertanya sambil menunjuk wajahnya sendiri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
fitri ramadani
si Alex bikin strees ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 128. Tujuan Pernikahan  

    Aku ingat perbincangan dengan Alex, suamiku beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku di titik jenuh. Berbanding terbalik dengan Alex yang sibuknya luar biasa, aku hanya tidak dan tidak mengerjakan apapun. Aku seperti orang yang tidak berguna.Ok, saat ini Alex yang lelaki luar biasa ini masih di sampingku. Namun, bukankah banyak kemungkian dia akan berpaling, terlebih aku bukan siapa-siapa. Hanya wanita menua yang pura-pura lupa akan usia.“Kamu bahagia dengan pernikahan kita?” tanyaku sambil menyelusupkan kepala ke ketiaknya.Entah kenapa aku mempunyai kesenangan baru, mengendus bau keringat sepulang dia kerja. Awalnya Alex menolak karena merasa gerah, tapi dengan alasan aku kangen, akhirnya dia menyerah.Aku mendongak ketika jawaban tidak kunjung kudengar. Dia senyum dikulum, menundukkan kepala dan mencium kening ini.“Bahagia?…. Tidaklah.”“Ha?” Spontan aku menarik tubuh memberi jarak. Ketakutanku ternyata tidak perlu menunggu waktu lama. Sekarang malah dia mengakui.Kedua alis mataku

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 127. Aku Ingin

    Pandangan kami di satu garis lurus. Sorot mata suamiku menunjukkan ketidak sukaan. Ini kali pertama aku merasakan takut kepadanya. Dia pun sudah menderap ke arah kami. Namun, tidak sopan kalau aku begitu saja tanpa pamitan pada Tuan Anderson. Mertuaku … kalau itu benar.“Maaf saya harus pamit. Alex sudah ada di sini.”Lelaki tua ini tersenyum. Sekali lagi menepuk lenganku. “Maaf, ya. Semoga suamimu tidak marah. Saya titip Alexander kepadamu.”Belum sempat menjawab, tangan ini sudah disentakkan oleh Alex. Tubuh ini sampai terhuyun dan tangan terlepas dari jabat tangan sebelumnya. Satu tangan lain menarikku untuk terdiam di balik punggungnya.“Jangan ganggu istriku!”“Dengarkan penjelasanku, Alex anakku. Aku memang berhutang waktu dua puluh enam tahun kepadamu. Namun, kita bisa__”“Stop! Saya jelaskan berulang kali, saya tidak ada urusan dengan anda.” Suara Alex terdengar keras. Bahkan menggema di ruangan ini. Aku mengedarkan pandangan, terlihat anaeh ruang baca ini lengang dari pengunj

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 126. Orang Dekat

    “Huh! Kalau aku sudah aku remet-remet mulutnya itu! Kamu ini terlalu sabar jadi orang,” seru Mbak Leni seusai dia dari lantai satu.Entah dari mana dia tahu tentang pertemuanku dengan Lastri. Padahal tadi setelah peristiwa tadi, sengaja aku tidak memberitahu seniorku ini. Karena tahu benar sifatnya bagaimana terutama yang berkaitan dengan Lastri. Mbak Leni selalu menjadi garda terdepan membela diriku.“Santai saja, lah. Anggap saja radio rusak.”Aku tersenyum, kemudian kembali ke meja kerja berniat melanjutkan memasukkan data kembali.“Bener yang kau bilang, Yak. Yah dia kan orang gila. Buat apa ditanggapi, kita malah jadi gila nanti,” seloroh Mbak Leni sambil tertawa.Dalam hati, aku pun masih kesal sama si Lastri itu. Tidak capek-capeknya menerorku. Padahal salahku apa? Bertegur sapa atau menyoal tentang dia saja tidak pernah. Lebih baik aku menghindar demi kewarasan. Fokus dengan tujuanku kerja kembali ke perpustakaan. Aku hanya berinteraksi dengan Mbak Leni, Jaka, dan kalau di

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 125. Hari Pertama

    “Raya …!”Senyumku merekah mendengar suara yang sudah aku rindukan. Langkah menderap memberiku semangat untuk membalikkan badan. Benar, teman kerja yang aku rindukan berlari menghampiri dengan kedua tangan merentang.Ini hari pertamaku memulai kerja kembali ke perpustakaan. Sedikit ngambek dan berujung kata setuju dari Alex suami tercinta. Aku boleh kerja kembali tapi dia menugaskan beberapa pengawal pribadi di luar gedung.“Kamu tidak usah kawatir. Mereka sudah aku perintahkan berpakaian dan bersikap seperti orang biasa.” Janji dia menanggapi aku yang jengah dengan perlakuan yang berlebihan ini.Jangan ditanya bagaimana cerewetnya Alex sebelum tadi berangkat. Tidak boleh ini, dilarang itu. Pokoknya mengalahkan wejangan Ibu saat aku dulu kost untuk pertama kali.“Mbak Leni …!”Seperti orang yang bertahun-tahun tidak bertemu kami saling menyambut. Tubuhnya yang kecil seakan tenggelam dalam pelukanku.“Mbak aku kangen.”“Aku juga sangat. Tidak ada kamu, aku kesepian,” jawabnya dengan bi

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 124. Istri Kok Dilawan

    (pov Alex)“Lebih baik tidak daripada syaratnya seperti itu. Memang aku anak TK yang kemana-mana harus diikuti orang.”Raya mencebik dan binar mata pun melesap menunjukkan ketidaksetujuan. Namun bagaimana lagi, keselamatannya lebih penting daripada keinginannya itu. Musuhku ada dimana-mana. Sekarang tidak hanya mengincarku saja, tapi kemungkinan besar membidik titik yang menjadikan aku terpuruk.Dan itu Raya istriku.“Bukankah tadi bilang kalau apapun syaratnya kamu mau?”“Tapi bukan seperti itu.”Matanya mengerjap sekali lagi. Tatapannya yang memohon sempat membuatku tidak tega. Ini seperti aku dulu saat kecil. Kakek Sebastian bersikap keras dan tidak memperbolehkan aku bermain seperti anak pada umumnya. Berbagai alasan dikemukakan yang merujuk pada keselamatan.Aku mengerti yang dirasakan istriku, tapi semua ini harus dilakukan.“Memang harus ada pengawal yang jaga juga di dalam gedung perpustakaan?”“Iya, Ray.”Raya menghela napas panjang. “Ada teman-teman yang bisa menjagaku. Ada

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 123. Sudut Pandang yang Berbeda

    Aku seperti anak ayam yang tinggal di lumbung padi. Tidak kurang suatu apa, apalagi kelaparan. Pengen apa aja tinggal nunjuk. Tidak perlu mengintip isi dompet kalau ingin beli sesuatu.Di rumah pun praktisnya tidak ada yang bisa aku kerjakan. Semua sudah ada yang bersiap dengan tugas masing-masing. Aku seperti orang yang tidak ada kegunaan. Hanya saat ada Alex saja aku melakukan tugas sebagai istri. Selebihnya tidak ngapa-ngapain.Menulis?Isi kepala ini seperti mampat. Tidak ada kejadian sekitar yang mematikku untuk berkarya. Pemandangan datar dan itu-itu saja. Pegawai dengan sikap bersiap menerima tugas, dan aku yang penuh dengan rasa bosan.“Belanjakan apa yang kamu ingin. Yang aku punya, juga punya kamu juga, Sayang. Memang siapa lagi?” ujar Alex, suamiku.Namun aku yang biasa memperhitungkan segalanya sebelum membelanjakan sesuatu, tidak bisa disuruh boros-boros seperti itu. Untuk apa mengeluarkan uang banyak, kalau dengan fungsi dan kualitas yang sama kita dapat harga tidak ting

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status