Share

Bab 5. Ditertawai

Bukannya keder, dia justru tertawa kecil. Tangannya bertepuk seakan mendapat ide cemerlang.

"Sip! Kenapa tidak dari tadi?" ucap Alex tersenyum lebar.

"Apanya?" sahutku masih dengan kening masih berkerut.

"Fotocopi. Saya tidak jadi pinjam. Semua difotokopi saja. Bisa?"

Aku mengangguk. "Bisa. Ada ruangan fotokopi di atas. Pak Alex bisa bayar langsung di sana."

"Kalau saya ambil besok, bisa?"

Aku menoleh ke Pak Arya, tugasku sudah selesai. Selanjutnya dia yang harus melaksanakan tugasnya.

"Bisa, Pak. Dengan syarat harus isi form dan meninggalkan deposit," sahut Pak Arya cepat.

Laki-laki berwarna rambut semburat coklat, tersenyum. Kemudian mengeluarkan dompet dari saku.

"Saya hanya punya uang cash segini. Pasti tidak cukup," ucapnya sambil menaruh tiga uang lembaran berwarna merah di depan meja Pak Arya.

"Saya bayar pake dollar, ya. Adanya ini," ucapnya sambil mengeluarkan dua lembar uang kertas bergambar tokoh Amerika yang bertulis angka seratus.

Mata ini melebar, walaupun berakhir muak. Kalau uang ini dirupiahkan, satu lembar senilai sekitar satu juta lima ratus. Aku mengerti ini, karena hasil menulisku dibayar dengan dollar Amerika.

Pak Arya menoleh ke arahku, memberi tatapan minta tolong. Aku mengerti mata uang asing, di sini masih tabu. Mungkin saja, justru mereka belum pernah melihat bentuk aslinya. Seperti Pak Arya sekarang.

"Pak Alex tidak perlu menitipkan uang sebanyak ini untuk empat buku ini," ucapku sambil tersenyum tipis. Uang dollar itu aku sodorkan kembali ke depannya.

"Siapa bilang saya akan memfotokopi buku ini saja. Itu yang lainnya."  Tangannya menunjuk ke sebelah sana. Pandangan mataku mengikuti pergerakannya. Troli yang aku gunakan tadi, dengan buku-buku bertumpuk seperti gunung.

Hah?! 

*

Kedua tanganku meraup wajah dan memijit pelipisku yang tiba-tiba sakit kepala. Aku meminta ijin Mbak Leni untuk ke kantin sebentar. Kopi kemasan ternyata tidak cukup mampu menstabilkan emosi.

Gara-gara laki-laki tadi itu, aku memerlukan kafein dari kopi hitam yang mempunyai efek menenangkan. Makanya, sekarang aku di sini menunggu pesanan datang.

Negosiasi yang alot dan berakhir kami yang menyerah. Mentang-mentang punya uang, dia memfoto kopi buku-buku itu.

“Saya tidak melihat ada larangan tertulis atau batasan jumlah yang foto kopi.”

“Tapi ini jumlahnya terlalu banyak,” jawabku sambil menghitung berapa puluh jumlah buku di atas troli. Tidak bisa aku bayangkan kalau orang semacam dia memfoto kopi semua koleksi buku di sini. Mungkin setaraf dia, uang tidak masalah. Namun. itu tidak masuk di pikiran.

Dia tersenyum. “Banyak atau sedikit itu sifatnya relatif. Mungkin bagi Mbak Raya ini banyak, tapi menurut saya, ini  justru masih kurang.”

Duh!

Mengingat percakapan kami tadi saja, kepalaku yut-yutan lagi. Lesung pipit yang dia tunjukkan saat tersenyum, tidak mampu mengusir rasa kesal. Kalau tidak Mbak Leni yang menengahi, mungkin kami akan berakhir dengan bertengkar.

“Untuk kali ini, saya bisa meloloskan permintaan bapak. Ini bukan karena ada pembatasan. Tetapi karena pegawai kami harus melayani pengunjung lainnya. Saya harap, pemakluman dari Pak Alex,” ucap seniorku dengan menampilkan senyuman tenang.

Laki-laki ini mengerutkan dahi, terdiam sesaat seperti berpikir. Saat itu aku merasa lega, dia akhirnya mengerti. Namun ….

“Oh begitu. Maaf, Mbak Leni, saya sangat merepotkan. Kalau begitu biar diatur sekertaris saya untuk mengirim orang dan mesin foto kopi. Bagaimana? Gampang, kan?”

Kedua telapak tangannya bergerak menengadah, seperti menunjukkan kebanggaan kalau dia menemukan solusi yang tepat.

‘Edan!’ umpatku tadi dalam hati.

Syaraf-syarafku mulai kendur, saat aroma kopi menguar dari uap yang mengepul. Pesananku datang bersama kentang goreng dengan cocolan saus sambal super pedas. Paduan kafein kampung dan pedasnya sambal, pasti mampu mengusir sakit kepalaku.

Perpustakaan ini dilengkapi dengan kantin di dalamnya. Mereka menjual makanan sederhana, sekadar untuk mengganjal perut pengunjung yang berkutat seharian di perpustakaan. Biasanya mereka para mahasiswa yang menyusun skripsi atau tugas makalah.

Kedua tanganku menangkup cangkir hangat, sambil menghidu aroma. Ini kebiasaanku, sebelum meminum kopi, sambil menunggu tidak terlalu panas untuk diminum. Mataku terpejam, mencoba relax untuk mengurangi denyutan nyeri di kepala.

Senyuman kembali terbit. Pelan, aku menyesap kopi dan menikmati kafein yang membuai.

“Ternyata suka ngopi juga?”

Suara yang mengusik ketenanganku. Dahi ini berkerut, mengusir halusinasi suara yang sudah tercatat sebagai orang yang patut dihindari.

“Mbak Raya, saya duduk di sini, ya?"

Kerutan di dahi semakin dalam. Ini bukan suara di alam bawah sadar. Aku membuka mata, dan mendapati dia tersenyum menatapku. Tangannya bersendekap dengan kaki disilangkan.  Tepat di depannya, secangkir cappucino dan satu croisant di piring kecil. Mataku mengerjap. memastikan ini bukan bayangan.

“Mbak Raya pusing menghadapi saya?”

“Iya,” jawabku tanpa mampu menunjukkan senyuman. Ketenangan yang sempat datang, sekarang sirna sudah. “Pak Alex kenapa duduk di sini?” Aku mengedarkan pandangan, masih banyak tempat duduk yang kosong.

Dia tertawa kecil.

“Tidak ada aturan di sini, kalau tidak boleh duduk di meja yang sama dengan pegawai. Jadi saya tidak melanggar apapun.”

Aku tersenyum kecil membenarkan ucapannya, sekaligus kesal karena pengusiranku gagal.

"Tidak ada aturannya juga, kalau saya harus mengiyakan kalau ada orang duduk di dekat saya," jawabku tidak mau kalah.

“Tapi Mbak Raya tadi tidak mengusir. Itu berarti meng-iyakaan," ucapnya lagi seakan tidak memedulikan wajahku yang cemberut. "Sebenarnya saya tadi mencari Mbak Raya.”

“Untuk apa? Mencari orang untuk mendorong troli?” ucapku sinis. Pasti Mbak Leni yang memberi tahu kalau aku di kantin.

Lagi-lagi di tertawa.

“Iya, saya minta maaf sudah membuat Mbak Raya kesal. Makanya ingin mentraktir untuk menebus kesalahan.”

Dia mengurai lipatan tangan. Dengan kedua tangan, dia mengambil cangkir cappucino. Menghidu sebentar, kemudian menyesapnya.

Mulutku sudah penuh dengan ucapan balasan. Memang dengan menyuap makanan dan minuman, bisa membayar rasa kesal? Dia hengkang dari depanku saja, sebenarnya sudah cukup. Untuk secangkir kopi dan camilan, aku tidah butuh uluran tangan seorang CEO.

Namun mulutku terkunci, justru terganti dengan tawaku yang tergelak. Bagaimana tidak, bibir bagian atas penuh dengan foam putih dari cappucino, seperti anak kecil yang belepotan saat makan dan minum. Terlebih matanya yang lebar mengerjap, menambah indah manik hazel. 

Meski dia CEO yang katanya terkenal berkharisma, entah mengapa dia jadi tampak menggemaskan.

'Eh?' Aku terkejut dengan pikiranku sendiri, lalu menggelengkan kepala cepat. 'Sadar, Raya! Kok, bisa-bisanya kamu mikir kaya gitu!'

“Ada yang salah?” Dia tiba-tiba bertanya sambil menunjuk wajahnya sendiri.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
fitri ramadani
si Alex bikin strees ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status