Bukannya keder, dia justru tertawa kecil. Tangannya bertepuk seakan mendapat ide cemerlang.
"Sip! Kenapa tidak dari tadi?" ucap Alex tersenyum lebar.
"Apanya?" sahutku masih dengan kening masih berkerut.
"Fotocopi. Saya tidak jadi pinjam. Semua difotokopi saja. Bisa?"
Aku mengangguk. "Bisa. Ada ruangan fotokopi di atas. Pak Alex bisa bayar langsung di sana."
"Kalau saya ambil besok, bisa?"
Aku menoleh ke Pak Arya, tugasku sudah selesai. Selanjutnya dia yang harus melaksanakan tugasnya.
"Bisa, Pak. Dengan syarat harus isi form dan meninggalkan deposit," sahut Pak Arya cepat.
Laki-laki berwarna rambut semburat coklat, tersenyum. Kemudian mengeluarkan dompet dari saku.
"Saya hanya punya uang cash segini. Pasti tidak cukup," ucapnya sambil menaruh tiga uang lembaran berwarna merah di depan meja Pak Arya.
"Saya bayar pake dollar, ya. Adanya ini," ucapnya sambil mengeluarkan dua lembar uang kertas bergambar tokoh Amerika yang bertulis angka seratus.
Mata ini melebar, walaupun berakhir muak. Kalau uang ini dirupiahkan, satu lembar senilai sekitar satu juta lima ratus. Aku mengerti ini, karena hasil menulisku dibayar dengan dollar Amerika.
Pak Arya menoleh ke arahku, memberi tatapan minta tolong. Aku mengerti mata uang asing, di sini masih tabu. Mungkin saja, justru mereka belum pernah melihat bentuk aslinya. Seperti Pak Arya sekarang.
"Pak Alex tidak perlu menitipkan uang sebanyak ini untuk empat buku ini," ucapku sambil tersenyum tipis. Uang dollar itu aku sodorkan kembali ke depannya.
"Siapa bilang saya akan memfotokopi buku ini saja. Itu yang lainnya." Tangannya menunjuk ke sebelah sana. Pandangan mataku mengikuti pergerakannya. Troli yang aku gunakan tadi, dengan buku-buku bertumpuk seperti gunung.
Hah?!
*
Kedua tanganku meraup wajah dan memijit pelipisku yang tiba-tiba sakit kepala. Aku meminta ijin Mbak Leni untuk ke kantin sebentar. Kopi kemasan ternyata tidak cukup mampu menstabilkan emosi.
Gara-gara laki-laki tadi itu, aku memerlukan kafein dari kopi hitam yang mempunyai efek menenangkan. Makanya, sekarang aku di sini menunggu pesanan datang.
Negosiasi yang alot dan berakhir kami yang menyerah. Mentang-mentang punya uang, dia memfoto kopi buku-buku itu.
“Saya tidak melihat ada larangan tertulis atau batasan jumlah yang foto kopi.”
“Tapi ini jumlahnya terlalu banyak,” jawabku sambil menghitung berapa puluh jumlah buku di atas troli. Tidak bisa aku bayangkan kalau orang semacam dia memfoto kopi semua koleksi buku di sini. Mungkin setaraf dia, uang tidak masalah. Namun. itu tidak masuk di pikiran.
Dia tersenyum. “Banyak atau sedikit itu sifatnya relatif. Mungkin bagi Mbak Raya ini banyak, tapi menurut saya, ini justru masih kurang.”
Duh!
Mengingat percakapan kami tadi saja, kepalaku yut-yutan lagi. Lesung pipit yang dia tunjukkan saat tersenyum, tidak mampu mengusir rasa kesal. Kalau tidak Mbak Leni yang menengahi, mungkin kami akan berakhir dengan bertengkar.
“Untuk kali ini, saya bisa meloloskan permintaan bapak. Ini bukan karena ada pembatasan. Tetapi karena pegawai kami harus melayani pengunjung lainnya. Saya harap, pemakluman dari Pak Alex,” ucap seniorku dengan menampilkan senyuman tenang.
Laki-laki ini mengerutkan dahi, terdiam sesaat seperti berpikir. Saat itu aku merasa lega, dia akhirnya mengerti. Namun ….
“Oh begitu. Maaf, Mbak Leni, saya sangat merepotkan. Kalau begitu biar diatur sekertaris saya untuk mengirim orang dan mesin foto kopi. Bagaimana? Gampang, kan?”
Kedua telapak tangannya bergerak menengadah, seperti menunjukkan kebanggaan kalau dia menemukan solusi yang tepat.
‘Edan!’ umpatku tadi dalam hati.
Syaraf-syarafku mulai kendur, saat aroma kopi menguar dari uap yang mengepul. Pesananku datang bersama kentang goreng dengan cocolan saus sambal super pedas. Paduan kafein kampung dan pedasnya sambal, pasti mampu mengusir sakit kepalaku.
Perpustakaan ini dilengkapi dengan kantin di dalamnya. Mereka menjual makanan sederhana, sekadar untuk mengganjal perut pengunjung yang berkutat seharian di perpustakaan. Biasanya mereka para mahasiswa yang menyusun skripsi atau tugas makalah.
Kedua tanganku menangkup cangkir hangat, sambil menghidu aroma. Ini kebiasaanku, sebelum meminum kopi, sambil menunggu tidak terlalu panas untuk diminum. Mataku terpejam, mencoba relax untuk mengurangi denyutan nyeri di kepala.
Senyuman kembali terbit. Pelan, aku menyesap kopi dan menikmati kafein yang membuai.
“Ternyata suka ngopi juga?”
Suara yang mengusik ketenanganku. Dahi ini berkerut, mengusir halusinasi suara yang sudah tercatat sebagai orang yang patut dihindari.
“Mbak Raya, saya duduk di sini, ya?"
Kerutan di dahi semakin dalam. Ini bukan suara di alam bawah sadar. Aku membuka mata, dan mendapati dia tersenyum menatapku. Tangannya bersendekap dengan kaki disilangkan. Tepat di depannya, secangkir cappucino dan satu croisant di piring kecil. Mataku mengerjap. memastikan ini bukan bayangan.
“Mbak Raya pusing menghadapi saya?”
“Iya,” jawabku tanpa mampu menunjukkan senyuman. Ketenangan yang sempat datang, sekarang sirna sudah. “Pak Alex kenapa duduk di sini?” Aku mengedarkan pandangan, masih banyak tempat duduk yang kosong.
Dia tertawa kecil.
“Tidak ada aturan di sini, kalau tidak boleh duduk di meja yang sama dengan pegawai. Jadi saya tidak melanggar apapun.”
Aku tersenyum kecil membenarkan ucapannya, sekaligus kesal karena pengusiranku gagal.
"Tidak ada aturannya juga, kalau saya harus mengiyakan kalau ada orang duduk di dekat saya," jawabku tidak mau kalah.
“Tapi Mbak Raya tadi tidak mengusir. Itu berarti meng-iyakaan," ucapnya lagi seakan tidak memedulikan wajahku yang cemberut. "Sebenarnya saya tadi mencari Mbak Raya.”
“Untuk apa? Mencari orang untuk mendorong troli?” ucapku sinis. Pasti Mbak Leni yang memberi tahu kalau aku di kantin.
Lagi-lagi di tertawa.
“Iya, saya minta maaf sudah membuat Mbak Raya kesal. Makanya ingin mentraktir untuk menebus kesalahan.”
Dia mengurai lipatan tangan. Dengan kedua tangan, dia mengambil cangkir cappucino. Menghidu sebentar, kemudian menyesapnya.
Mulutku sudah penuh dengan ucapan balasan. Memang dengan menyuap makanan dan minuman, bisa membayar rasa kesal? Dia hengkang dari depanku saja, sebenarnya sudah cukup. Untuk secangkir kopi dan camilan, aku tidah butuh uluran tangan seorang CEO.
Namun mulutku terkunci, justru terganti dengan tawaku yang tergelak. Bagaimana tidak, bibir bagian atas penuh dengan foam putih dari cappucino, seperti anak kecil yang belepotan saat makan dan minum. Terlebih matanya yang lebar mengerjap, menambah indah manik hazel.
Meski dia CEO yang katanya terkenal berkharisma, entah mengapa dia jadi tampak menggemaskan.
'Eh?' Aku terkejut dengan pikiranku sendiri, lalu menggelengkan kepala cepat. 'Sadar, Raya! Kok, bisa-bisanya kamu mikir kaya gitu!'
“Ada yang salah?” Dia tiba-tiba bertanya sambil menunjuk wajahnya sendiri.
“Ada yang salah?” Mendengar ucapannya, aku tersadar dari lamunan. Segera, aku menunjuk bibirku--memberi petunjuk. “Oh.” Lidahnya dijulurkan menyapu bersih foam dan menyusuri bibirnya yang kemerahan. Kemudian, dia menyesap sekali lagi cappucino. Huft! Sesaat aku lupa bernapas. Tawaku terhenti dan memilih membuang pandangan ke arah lain. Dia terlihat seperti iklan kopi, dengan gerakan pelan yang begitu … mengundang penasaran rasanya bagaimana. “Kenapa disembunyikan?” “Apanya?” tanyaku sambil mengambil kentang dan menikmati dengan saus sambal. Ini bisa mengusir rasa jengah barusan. “Senyum dan tawanya Mbak Raya. Ternyata indah dan sedap dipandang mata. Daripada pasang wajah seram seperti tadi.” Dengan santai dia mulai menikmati croisant. Aku mengernyit. ‘Laki-laki ini merayu?’ bisik hatiku, dan seketika diri ini memasang benteng. Seperti siput, aku langsung masuk dalam cangkang. Senyum yang sempat terbersit, sekarang luruh. Niatku menikmati hidangan ini pun, musnah. Lebih bai
“Saya bosan.” Akhirnya dia berterus terang setelah dengan hebatnya membuatku keluar dari kursi kerja. Leni sontak menatapnya tajam. Menyadari itu, dia langsung berbicara kembali, “Begini Mbak Leni. Saya ini membutuhkan pemandu untuk mencari buku untuk menunjang pengembangan proyek baru. Kebetulan kemarin Mbak Raya menemani saya dan mengerti tentang bioteknologi.” “Maaf, Pak Alex. Kami tidak bisa menemani pengunjung,” ucapku cepat. Dia mengetuk-ngetuk telunjuk ke pelipis, seolah memikirkan sesuatu. “Kalau begitu, bantu saya mengurus foto kopian kemarin. Katanya tadi, mereka tidak menerima mata uang asing. Please … ini tidak sampai lima belas menit. I promise.” Seperti tahu kelemahan seniorku itu, Alex mengerjapkan mata dengan senyuman lebar yang menunjukkan lesung pipit. Karenanya, sekarang aku terdampar di ruang foto kopi yang masih disibukkan dengan pesanannya. Masih tertinggal empat buku tebal yang harus di foto kopi. “Tolong hitung saja dulu yang sudah, kemudian ditambahkan
“Kamu ini kebiasaan memaksakan kehendak, ya?” ucapku begitu bertemu dengannya. Dia yang duduk di belakang kemudi menoleh dan tersenyum, kemudian kendaraan berjalan pelan keluar dari tempat parkir. Tadi sempat otot-ototan, aku enggan masuk mobil. Bagaimanapun aku belum kenal benar siapa dia sebenarnya. Bisa jadi orang berniat jahat yang memakai topeng menawan. Namun kalau dipikir, siapa aku? Sampai segitunya hanya untuk menculikku. “Mbak Raya, kalau kita jalan kaki memang bisa. Tapi sampai sana, waktu istirahat sudah habis. Iya, kan?” Penjelasannya selalu berdasarkan logika, dan membuatku mengatakan iya. Memang rasa CEO itu beda. Di kepalanya tidak ada kamus tidak bisa, adanya hanya kalimat harus bisa. Mungkin karena ngeyel itu, dia bisa menjadi seperti sekarang. Mobil mahal berwarna hitam yang tidak berguna. Kapasitas hanya untuk dua orang dan tidak bisa untuk berbelanja. Buang duit saja, pikirku. Tidak lama, mobil sudah terparkir di restoran pizza Itali. Aku mengernyit, kemu
Aku masih kepikiran dengan ucapan si Alexander.Hanya saja, kupilih untuk mengabaikannya mengingat akhir minggu harusnya menjadi surga bagi karyawan sepertiku! Kami mempunyai kesempatan bergelung kembali ke ranjang selepas fajar. Itu yang aku lakukan sekarang sembari berkutat dengan ponsel melanjutkan cerita bersambung yang sudah ditagih kelanjutannya oleh pembaca. “Tor! Updatenya jangan lama-lama. Penasaran, nih.” “Saya sudah top-up seratus ribu. Update jangan Cuma dua bab. Koinnya masih banyak.” Kalau sudah begini, aku merasa senang campur bersalah. Yang bisa kulakukan hanyalah menyarankan untuk membaca dengan pelan-pelan dan mengutamakan kebutuhan keluarga, termasuk waktu. Bagiku, pembaca adalah sumber semangat. Tanpa mereka, penulis seperti orasi tanpa pendengar. Merasa dirindukan, disayangi, dan itu perasaan bahagia yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ting![Raya! Kamu masih molor? Bantu aku. Kamu kesini, ya!] Pesan masuk dari Ria membuatku berhenti menulis. D
“Jangan bergerak. Gerakanmu memicu racun menjalar ke seluruh tubuh. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan kamu.”Deg! Bukankah ini terlalu berlebihan? Dan ... dari mana Alex kepikiran untuk mencuri adegan yang seharusnya dilakukan oleh calon suamiku? Seperti di cerita-cerita, pengantin perempuan digendong ala bridal saat memasuki kamar pengantin. ****** “Sudah aku bilang, jangan pecicilan. Bukan Raya kayanya kalau omonganku didengar, ya?!”Ria tidak henti-hentinya mengomel melihat lukaku saat ini. Walaupun tubuhnya lebih kecil dariku, tapi kalau sudah mengoceh membuatku mengkerut. Bukannya takut padanya, tapi aku menghindari ucapannya yang panjang kali lebar dikuadratkan. “Sudahlah. Nanti juga kempes sendiri,” ucapku pelan, lalu menarik tangan pelan. Sayang, pegangannya lebih kuat. Dia mengeluarkan salep dari kotak obat yang dia bawa. “Walaupun ringan, sengatan lebah itu mengandung zat beracun. Untuk netralisir dengan salep yang mengandung losion kalamin atau salep hidrokortiso
Namun, isi kepalaku ini masih saja dipenuhi dengan nama Alexander Dominic. Seperti orang gila, di setiap apa yang aku kerjakan, ingatan itu hadir. Menjengkelkan, lucu, dan berakhir dengan mendatangkan senyuman. Gilanya lagi, ini berimbas pada cerita yang aku tulis. Alur langsung banting setir. Seharusnya si mantan suami menikahi pelakor dan mendapatkan azab, ini justru bersimpuh dan mengajukan rujuk. Jalan cerita yang aku rancang berakhir dengan kebencian, sekarang malah diliputi bunga-bunga cinta. Pasangan yang mendapatkan badai itu, mendapatkan kesempatan kedua dan mengalami jatuh cinta pada orang yang sama. “So sweet banget, Tor. Lanjut! Aku bacanya senyum-senyum.” “Bener banget ini, seperti kisahku. Cobaan justru mempererat hubungan kami, dan tambah cinta dan mesra.” “Aku menangis, Mbak Otor. Seandainya mantan suamiku seperti itu.” Komentar senada memenuhi di bab-bab yang menunjukkan keromantisan mereka. Aku tersenyum, ternyata mendulang pembaca tidak harus membangkitkan ke
Ingin tertawa, melihat bibirnya yang mengerucut menggemaskan.Namun, aku tidak bisa berkutik, terlebih saat tangan Mbak Leni mengalung erat di lenganku. ‘Sorry!’ ucapku tanpa bersuara. Melafalkan kata berharap dia mengerti yang aku maksud.Sedangkan seniorku ini, asyik menceritakan ada lapak baru di kantin. Katanya menjual gado-gado uleg dan karedok. Katanya pemiliknya asli dari Sunda yang memastikan rasa benar-benar khas. “Kita ke sana, Yak! Makan sayur segar bagus untuk kita untuk melawan usia. Tahu kan,wanita Sunda terkenal berkulit halus, cantik, dan awet muda,” ucapnya sambil menunjuk tempat yang akan kami tuju. “Terus setelah makan, kita berubah lebih muda sepuluh tahun?” “Harapannya, sih. Seperti aku ini,” jawabnya sambil mengedipkan mata. Aku tertawa. “Berarti makanan ini bahaya untuk anak-anak.” “Iya. Apalagi kalau masih dibawah umur sepuluh tahun, bisa dia berubah jadi zigot setelah makan ini,” ucapnya berakhir kami tertawa bersama. Bukan Alexander Dominic namanya, k
Mungkin menjadi seorang CEO, modal utamanya adalah keras kepala. Kata penolakan tidak menyurutkan keinginan. Karena itu, mungkin menjadikan Alexander berhasil dalam menjalankan perusahaan. Terlebih, bidang yang dijalani tidak seperti pada umumnya. Berbanding terbalik denganku, yang maju mundur antara iya atau tidak. Pertarungan antara hati dan isi kepada menjadikan aku di persimpangan. Upaya dia untuk lebih dekat denganku membuatku bahagia, tetapi sesaat kemudian menjadikan aku seperti pemimpi di siang bolong. Angka sembilan tahun bukan hal remeh. Bayangkan saja, ketika aku sudah kelas tiga SD, dia baru lahir. Ketika aku sudah mengenal kata cinta monyet, dia masih sibuk berlatih membersihkan ingus. “Aku memang sudah di usia ambang, tetapi bukan berarti aku menerima siapapun yang datang. Kalaupun aku harus menikah, sepertinya kamu bukan pilihan,” ucapku saat dia menelpon tadi malam “Apa alasannya? Masih sibuk menghitung usia?” “Tentu saja iya. Wanita menikah itu untuk mencari ima