Share

Bab 4. Ketahuan

Aku terdiam sebelum akhirnya menggelengkan kepala. "Ogah. Laki-laki yang tampangnya pas-pasan saja banyak yang belagu. Apalagi seperti dia? Bisa makan hati setiap hati."

"Kenapa? Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin."

"Laki-laki seperti Alexandra Dominic itu, anggap saja makhluk astral. Ada tapi tidak bisa dijangkau. Dia itu–"  Ucapanku terhenti seketika. Dia ini benar-benar makhluk astral. Disebut namanya langsung muncul di hadapan.

"Em... Mbak Raya. Ini ternyata sekretaris saya sudah menitipkan foto. Tadi jatuh di dalam tas," ucapnya sambil menyerahkan dua lembar foto berukuran kecil.

Mbak Leni yang duduk membelakangi langsung membalikkan badan, dengan posisi seperti tadi.

Bibir lelaki ini menyunggingkan senyuman tipis. Apa dia mendengar pembicaraan kami tadi, ya? Ingin segera mengusir orang itu, aku langsung menempel foto itu ke kartu perpustakaan dan menyerahkan kembali.

"Sekarang Pak Alex bisa menggunakan untuk meminjam buku," ucap Mbak Leni sambil mengangguk.

Lagi-lagi dia tersenyum. Yang membuatku terkesiap, dia mengerakkan kepala ke arahku.

"Mbak Raya keren, ya. Bisa melihat makhluk astral."

'Mati aku!'

Laki-laki ini terlihat jelas menjahiliku. Sepertinya dia bahagia melihatku keki karena kedapatan mengatai dia makhluk astral.

"Boleh, Mbak Leni? Mbak Raya  membantu saya?" ucapnya setelah matanya menyipit ke arah name tagku. Dia menunjukkan senyuman kepada Mbak Leni. Sepertinya dia tahu, seniorku ini menatapnya tanpa berkedip.

"Saya tidak hanya membutuhkan jurnal, tetapi juga buku pustaka. Kalau diperbolehkan meminta bantuan, saya ucapkan terima kasih. Tapi itu, kalau tidak merepotkan," ucapnya sekali lagi.

Perkataannya, terlihat jelas dia orang yang piawai bernegosiasi. Permintaan paksaan yang dibalut permohonan.

'Huft!'

"Boleh, Pak. Silakan. Tidak merepotkan, kok. Memang kami bertugas membantu siapa saja yang bertandang di perpustakaan ini."

Mataku melirik ke arahnya. Melayangkan protes, tapi dibalas dengan kedipan mata.

"Iya, kan, Raya. Apalagi untuk anggota baru seperti Pak Alexander ini. Pasti kesulitan dengan bangunan seluas ini."

"Bagaimana, Mbak Raya?"

"Baik, Pak. Siap," jawabku. Aku berusaha menarik kedua sudut bibir ini. Bagaimana tidak harus, Mbak Leni sudah melotot ke arahku.

Selama bekerja di perpustakaan ini, tidak pernah ada layanan seperti ini. Memang perpustakaan dengan empat gedung utama, terlihat membingungkan.

Namun, semua ada petunjuk dan ada penjaga di setiap gedung. Walaupun ada yang kebingungan, pasti dibantu seperlunya. Tidak diharuskan menguntit, seperti yang aku lakukan sekarang ini.

"Mbak Raya tidak capek?"

"Tidak."

"Maaf, ya. Saya merepotkan."

Aku mengangguk sambil tersenyum. Tumpukan buku dari troli aku letakkan di meja pilihannya. Hatiku bersorak, setelahnya aku akan terbebas darinya.

"Mbak Raya tidak duduk?"

"Maaf, kami tidak bertugas untuk menemani pengunjung. Saya permisi."

"Baik. Terima kasih," jawabnya dengan tersenyum.

Hatiku yang tadi bersorak, kini merasa kehilangan. Langkah ini melamban, kemudian menoleh ke belakang.

Dia terlihat serius membuka buku-buku yang diminta. Semua terkait dengan fisika dan kimia. Aku mengerti itu, karena aku lulusan jurusan MIPA-Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Ada yang tidak lengkap. Seharusnya, dia tidak membiarkan aku pergi. Semestinya lelaki itu menahanku dan meminta untuk duduk menemani.

Duh!

Imaginasiku mulai liar. Segera aku menggelengkan kepala, mengusir bayangan yang tidak masuk akal.

'Adegan seperti itu hanya di novel romansa. Dalam kenyataan mana ada, Raya?' cemooh hatiku. Aku tersenyum, sambil melanjutkan langkahku. Kepala ini mulai dipenuhi ide untuk lanjutan ceritaku.

Menulis cerita fiksi secara maraton, sering kali memori di kepalaku tercampur dengan kehidupan nyata. Terkadang, tidak membedakan mana yang fiksi, mana yang kejadian yang sebenarnya.

Emosi yang ditampilkan dalam cerita, sering kali terikut dalam keseharian. Mbak Leni dan Jaka-pegawai perpustakaan bagian jurnal- yang sering menjadi korban.

Pernah, gara-gara aku merilis bab pertengkaran suami istri. Sang suami tertangkap berselingkuh dengan orang yang pernah dia bantu. Kesalnya berlipat, kan?

Dan, Jaka yang menjadi korban dengan kejudesanku. Gara-gara dia membicarakan gosip artis yang selingkuh.

"Laki-laki memang begitu. Tidak cukup dengan satu perempuan."

"Jangan disalahkan laki-lakinya saja, dong. Ini kan perselingkuhan sama-sama punya pasangan. Berarti ceweknya juga," celetuk Jaka. Saat itu kami makan siang bersama.

Terang saja aku sewot. Karena sama-sama jenis kelaminnya, dia begitu membela.

"Kalau laki-lakinya setia, pastilah dia tidak akan tergoda. Walaupun ada perempuan gila di luar sana. Iya, kan?"

"Tapi, Raya. Bertepuk tangan akan berbunyi kalau dua tangan ditepukkan bersama."

Aku masih tidak terima. "Kalau begitu, ya jangan menyambut tangan yang ingin ditepuk! Dasarnya laki-laki buaya. Ada perempuan kesepian, langsung seperti mendapat kesempatan," ucapku tidak mau kalah.

Kalau sudah begitu, Mbak Leni yang menengahi.

"Sudah-sudah. Kalian ribut amat. Mereka yang selingkuh saja santai dan ketawa-ketawa. Kalian malah saling ngotot."

"Bagaimana tidak ngotot, Mbak. Jaka membela laki-laki."

"Iya, lah. Kan aku laki-laki," sahut Jaka sambil tersenyum mengejek.

"Dasar laki-laki semuanya sama," sahutku sambil mendengkus kesal.

"Tidak semua begitu. Buktinya aku selalu menunggumu setiap malam minggu."

"Gombal kamu, Ka. Kelihatan buayanya. Satu minggu ada tujuh hari, jadi ada tujuh nama perempuan. Edan!"

Jaka dan Mbak Leni saling berpandangan, dan tertawa bersama. Mereka sudah maklum dengan emosiku yang tidak stabil. Kalau sudah mereda, aku sadar sendiri, dan minta maaf kepada teman kerjaku itu.

"Iya tidak apa-apa. Pasti lagi PMS, ya?"

"I-Iya, Mbak."

Aku iyakan saja, daripada menjelaskan yang sebenarnya. Toh gejalanya sama.

PMS, gejala yang terjadi pada wanita, biasanya antara ovulasi dan menstruasi. Perubahan hormon akan berpengaruh pada emosi yng tidak stabil. Biasanya, orang itu akan merasa kesal walaupun menghadapi masalah kecil.

Namun kekesalanku sekarang, bukan karena PMS atau efek menulis tentang perselingkuhan, tapi karena di brondong itu lagi.

Bagian peminjaman buku menghubungi karena ada yang bersikukuh meminjam buku lebih dari aturan.

"Saya membutuhkan itu semua. Bagaimana bisa saya hanya diperbolehkan meminjam dua buku saja?!"

Baru turun tangga, suara ngotot itu sudah terdengar. Langkah aku percepat, dari belakang sudah bisa aku tebak dia itu siapa. Si Alexander Dominic.

Tubuhnya menjulang. Bajunya tidak terlihat rapi seperti tadi, lengan bajunya sudah terlipat sampai siku. Di depannya, ada setumpuk buku-buku tebal.

"Kenapa, Pak Arya?"

Pak Arya pegawai lama di sini. Saking lamanya, setahuku masa bakti tertinggal satu tahun saja.

Petugas senior ini menjelaskan sekilas. Ini menjadi tugasku dan Mbak Leni kalau ada masalah yang tidak bisa dipecahkan mereka.

"Maaf, Pak Alexander. Memang peraturannya seperti itu," ucapku sambil menunjuk standing holder berisi peraturan.

Meminjam buku maksimal dua buah, dengan lama pinjam tidak lebih dari tiga hari. Ini dikarenakan supaya semua pengunjung bisa bergilir meminjam buku-buku itu.

Makanya, saat aku dulu kuliah dan membutuhkan buku lebih dari satu, aku meminta tolong teman lainnya.

"Mbak Raya. Tolong bantu saya, please," ucapnya setelah membalikkan badan ke arahku.

Wajahnya terlihat lega, dengan menunjukkan lesung pipit melalui senyuman. Matanya mengerjap, memperindah manik yang berwarna hazel itu. Dia ini CEO, tapi kelakuannya tidak membohongi usia.

'Tidak bakalan aku tergoda,' bisik satuku sambil menarik satu sudut bibir.

"Tidak bisa, Pak. Ini sudah aturan di sini."

"Zaman sekarang sudah tidak kaku. Mbak Raya pasti bisa membantu," ucapnya, kemudian menarikku dan berbisik, "Atau, saya bisa titipkan amplop?"

Kesal!

Aku paling tidak suka dengan orang yang menggampangkan sesuatu dengan uang. Merasa sok dan bisa membeli segalanya dengan rupiah.

"Pak. Bukan itu masalahnya. Tapi ini peraturan. Sekelas anda harusnya tanpa dijelaskan, tahu benar peraturan itu untuk apa?" ucapku menerocos. Aku menghela napas untuk mengambil jeda, sebelum melanjutkan.

"Kalau Pak Alex mempunyai uang, lebih baik fotokopi saja. Jangan mentang-mentang mempunyai perusahaan, terus merasa semua bisa dibeli. Maaf!" seruku dengan dengan kedua alis bertaut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status