“Kamu ini kebiasaan memaksakan kehendak, ya?” ucapku begitu bertemu dengannya.
Dia yang duduk di belakang kemudi menoleh dan tersenyum, kemudian kendaraan berjalan pelan keluar dari tempat parkir. Tadi sempat otot-ototan, aku enggan masuk mobil. Bagaimanapun aku belum kenal benar siapa dia sebenarnya. Bisa jadi orang berniat jahat yang memakai topeng menawan.
Namun kalau dipikir, siapa aku? Sampai segitunya hanya untuk menculikku.
“Mbak Raya, kalau kita jalan kaki memang bisa. Tapi sampai sana, waktu istirahat sudah habis. Iya, kan?”
Penjelasannya selalu berdasarkan logika, dan membuatku mengatakan iya. Memang rasa CEO itu beda. Di kepalanya tidak ada kamus tidak bisa, adanya hanya kalimat harus bisa. Mungkin karena ngeyel itu, dia bisa menjadi seperti sekarang.
Mobil mahal berwarna hitam yang tidak berguna. Kapasitas hanya untuk dua orang dan tidak bisa untuk berbelanja. Buang duit saja, pikirku.
Tidak lama, mobil sudah terparkir di restoran pizza Itali. Aku mengernyit, kemudian menoleh ke arahnya.
“Mbak Raya suka makan pizza, kan? Pizza Itali yang kriuk.”
“Kok tahu?”
Dia tertawa sambil membuka sabuk pengaman.
“Tahulah. Aku kan makhluk astral. Ayok!” serunya tanpa memedulikan keherananku.
Sejenak aku berdiri di depan pintu mobil. Mengedarkan pandangan ke sekitar. Bangunan dua lantai ini masih sama seperti dulu. Berwarna dominan hijau dan pohon kamboja di beberapa titik. Bedanya, sekarang tumbuhan semakin rimbun saja.
Ini memang tidak jauh dari kampus tempatku bekerja. Akan tetapi semenjak selepas lulus dan kejadian tragis itu, keinginanku untuk memuaskan diri, musnah. Aku terlalu asyik menghukum diri, dengan bekerja dan berkutat di dalam kamar. Hanya di akhir minggu saja aku keluar dari rutinitas. Itupun ke budidaya lebah milik Ria temanku, atau menemani Lisa di laboratorium. Lisa dan Ria ini teman sefakultas dulu.
“Kita di atas saja. Mbak duluan, saya pesan makanan. Isian tuna dengan slice olive, kan?”
Sekali lagi aku mengernyit. Ingin melontarkan pertanyaan, tapi keburu punggung lebar itu meninggalkan aku.
Tangga dari papan kayu ini masih sama. Cat terkelupas terutama di tempat tapak kaki. Dulu saat mahasiswa, aku sering ke sini. Aku merelakan menyisihkan uang bulanan, untuk menikmati pizza dengan topping tuna dan irisan buah zaitun. Untungnya, saat itu aku mendapatkan tiga beasiswa, yang bisa menambah jatah kunjungan ke tempat ini.
“Pesanan datang!”
Alex datang diikuti dua karyawan yang membawa pesanan. Benar, pizza ukuran besar kesukaanku menguar harum yang aku rindukan. Aku masih menatapnya heran, terlebih saat minuman dingin berwarna kuning terhidang di sebelahnya.
“Ginger zinger jus. Paduan dari pineapple, orange, dan ginger. Iya, kan?”
“Tunggu sebentar. Dari tadi kamu kok seperti mengerti kesukaanku?”
Dia menggeleng mengelak. “Tidak. Saya tidak tahu. Kebetulan saja aku suka ini dan ingin makan bersama teman.”
“Terus, minuman ini juga.” Aku meneleng, memberi tatapan curiga.
“Kalau makan yang berbau ikan tuna, minuman ini dianjurkan untuk menghilangkan bekas di mulut. Makan, yuk. Cacing saya sudah unjuk rasa,” ucapnya sambil membuka mulut.
Satu slice pizza dengan keju yang memeleh, lenyap begitu saja. Tak terasa, aku menelan ludah. Pertanda tidak sanggup mengabaikan makanan kesukaanku ini. Menu yang selalu sama di setiap kunjunganku dulu di tempat ini.
Kecurigaanku masih tersisa, tapi terkalahkan oleh air liur yang sudah memenuhi mulut ini.
Sambil makan, dia menceritakan tentang dirinya yang belum lama pindah dari luar negeri. Membuka cabang di negara ini untuk mengembangkan biotek yang nantinya memajukan pertanian dan peternakan.
"Saya gemas. Kita yang tertulis negara agraris, tapi penduduknya jarang memakan buah. Beli beras saja terasa berat. Terus, bagaian mana yang disebut negara berbasis pertanian? Harusnya kita kaya raya seperti anak ayam di lumbung padi."
"Itu masalahnya complicated, Pak."
"Eit! Tunggu dulu. Telinga ini tidak nyaman kalau Mbak Raya memanggil saya pak. Panggil saja nama saya."
"Alex?"
"Iya."
Aku tersenyum. Memang dia terlihat jauh lebih muda dibandingkan aku, tapi kok rasanya tidak nyaman memanggilnya nama saja.
"Saya panggil Mas Alex saja. Bagaimana?"
"Mas Alex ...?" Dia mengangguk-angguk, kemudian tersenyum. "Terdengar bagus."
Kembali, kami berkutat membicarakan pertanian. Yang katanya kita negara berkolam susu, tapi penduduknya pun ada yang minum susu saja sakit perut. Karena tidak tahan dengan kadar laktosa dalam susu sapi. Ini karena orang itu tidak pernah minum susu. Aneh, kan?
Dia menjelaskan dengan runtut. Membandingkan sektor pertanian orang luar dan negara ini. Ternyata, CEO brondong yang mengesalkan ini, ternyata mempunyai jiwa nasionalis. Walaupun dari penampilannya, terlihat jelas dia hasil pernikahan campuran.
"Seusia muda seperti ini, sangat luar biasa sudah mempunyai perusahaan dan memegang jabatan CEO. Dulu saat kecil makannya apa, sih?' ucapku mulai santai.
"Makan beton dan kawat besi." Dia tertawa.
"Saat sekolah dulu, saya mengikuti program akselerasi. Jadi sekolahnya loncat-loncat. Makanya setelah lulus S2 masih terbilang muda, dan langsung membentuk perusahaan. Kebetulan mendapat sponsor."
Rasa kagum mulai menyeruak. Di masa anak muda pada umumnya berkutat dengan cinta-cintaan, dia sudah disibukkan dengan bagaimana caranya mengembangkan perusahaan.
"Hebat! Pasti orang tua sangat membanggakan kamu."
Bukan membalas senyumku, dia justru menghela napas. Dia justru meneguk minuman dingin sampai tandas. Seperti tergesa, sampai bajunya basah karena ketumpahan.
"Seandainya mereka mempunyai kesempatan."
Aku mengernyit. "Ayah dan ibu kamu ....?"
"Iya. Ibu saya yang orang sini, meninggal saat melahirkan saya. Sedangkan laki-laki yang seharusnya dipanggil papa, justru kembali ke negara asal. "
"Oh, maaf."
"Tidak apa-apa. Saya sudah terbiasa. Kakek yang satu-satunya aku kenal sebagai kerabat pun meninggal tahun lalu. Dan dia memberi wasiat untuk kembali ke sini."
"Maaf, ya. Kalau membuatmu bersedih, tidak usah melanjutkan cerita."
Dia sekarang tersenyum membalas tatapan kekawatiranku. Kalau membicarakan orang tua, dada ini terasa sesak. Seakan mengingatkan aku, kalau tidak mempunyai kesempatan membanggakan Bapak.
"Justru dengan bercerita, saya merasa memiliki teman lagi."
Banyak yang ingin aku tanyakan, tapi mulut ini terkunci. Kawatir hanya menimbulkan kesedihan.
"Tapi tidak hanya wasiat Kakek yang membuatku kembali ke sini. Saya mencari seseorang yang menjadi alasanku untuk mempercepat langkah tanpa tergantung dengan usia. Saya ingin secepatnya sukses, untuk menyamakan usia dengannya."
"Siapa?"
Mataku menyipit, melihat bibirnya tersenyum . "Cinta pertamaku."
Anehnya, Alex justru menatapku dalam--seperti orang jatuh cinta.
"Maksudmu?""
*****
Aku masih kepikiran dengan ucapan si Alexander.Hanya saja, kupilih untuk mengabaikannya mengingat akhir minggu harusnya menjadi surga bagi karyawan sepertiku! Kami mempunyai kesempatan bergelung kembali ke ranjang selepas fajar. Itu yang aku lakukan sekarang sembari berkutat dengan ponsel melanjutkan cerita bersambung yang sudah ditagih kelanjutannya oleh pembaca. “Tor! Updatenya jangan lama-lama. Penasaran, nih.” “Saya sudah top-up seratus ribu. Update jangan Cuma dua bab. Koinnya masih banyak.” Kalau sudah begini, aku merasa senang campur bersalah. Yang bisa kulakukan hanyalah menyarankan untuk membaca dengan pelan-pelan dan mengutamakan kebutuhan keluarga, termasuk waktu. Bagiku, pembaca adalah sumber semangat. Tanpa mereka, penulis seperti orasi tanpa pendengar. Merasa dirindukan, disayangi, dan itu perasaan bahagia yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ting![Raya! Kamu masih molor? Bantu aku. Kamu kesini, ya!] Pesan masuk dari Ria membuatku berhenti menulis. D
“Jangan bergerak. Gerakanmu memicu racun menjalar ke seluruh tubuh. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan kamu.”Deg! Bukankah ini terlalu berlebihan? Dan ... dari mana Alex kepikiran untuk mencuri adegan yang seharusnya dilakukan oleh calon suamiku? Seperti di cerita-cerita, pengantin perempuan digendong ala bridal saat memasuki kamar pengantin. ****** “Sudah aku bilang, jangan pecicilan. Bukan Raya kayanya kalau omonganku didengar, ya?!”Ria tidak henti-hentinya mengomel melihat lukaku saat ini. Walaupun tubuhnya lebih kecil dariku, tapi kalau sudah mengoceh membuatku mengkerut. Bukannya takut padanya, tapi aku menghindari ucapannya yang panjang kali lebar dikuadratkan. “Sudahlah. Nanti juga kempes sendiri,” ucapku pelan, lalu menarik tangan pelan. Sayang, pegangannya lebih kuat. Dia mengeluarkan salep dari kotak obat yang dia bawa. “Walaupun ringan, sengatan lebah itu mengandung zat beracun. Untuk netralisir dengan salep yang mengandung losion kalamin atau salep hidrokortiso
Namun, isi kepalaku ini masih saja dipenuhi dengan nama Alexander Dominic. Seperti orang gila, di setiap apa yang aku kerjakan, ingatan itu hadir. Menjengkelkan, lucu, dan berakhir dengan mendatangkan senyuman. Gilanya lagi, ini berimbas pada cerita yang aku tulis. Alur langsung banting setir. Seharusnya si mantan suami menikahi pelakor dan mendapatkan azab, ini justru bersimpuh dan mengajukan rujuk. Jalan cerita yang aku rancang berakhir dengan kebencian, sekarang malah diliputi bunga-bunga cinta. Pasangan yang mendapatkan badai itu, mendapatkan kesempatan kedua dan mengalami jatuh cinta pada orang yang sama. “So sweet banget, Tor. Lanjut! Aku bacanya senyum-senyum.” “Bener banget ini, seperti kisahku. Cobaan justru mempererat hubungan kami, dan tambah cinta dan mesra.” “Aku menangis, Mbak Otor. Seandainya mantan suamiku seperti itu.” Komentar senada memenuhi di bab-bab yang menunjukkan keromantisan mereka. Aku tersenyum, ternyata mendulang pembaca tidak harus membangkitkan ke
Ingin tertawa, melihat bibirnya yang mengerucut menggemaskan.Namun, aku tidak bisa berkutik, terlebih saat tangan Mbak Leni mengalung erat di lenganku. ‘Sorry!’ ucapku tanpa bersuara. Melafalkan kata berharap dia mengerti yang aku maksud.Sedangkan seniorku ini, asyik menceritakan ada lapak baru di kantin. Katanya menjual gado-gado uleg dan karedok. Katanya pemiliknya asli dari Sunda yang memastikan rasa benar-benar khas. “Kita ke sana, Yak! Makan sayur segar bagus untuk kita untuk melawan usia. Tahu kan,wanita Sunda terkenal berkulit halus, cantik, dan awet muda,” ucapnya sambil menunjuk tempat yang akan kami tuju. “Terus setelah makan, kita berubah lebih muda sepuluh tahun?” “Harapannya, sih. Seperti aku ini,” jawabnya sambil mengedipkan mata. Aku tertawa. “Berarti makanan ini bahaya untuk anak-anak.” “Iya. Apalagi kalau masih dibawah umur sepuluh tahun, bisa dia berubah jadi zigot setelah makan ini,” ucapnya berakhir kami tertawa bersama. Bukan Alexander Dominic namanya, k
Mungkin menjadi seorang CEO, modal utamanya adalah keras kepala. Kata penolakan tidak menyurutkan keinginan. Karena itu, mungkin menjadikan Alexander berhasil dalam menjalankan perusahaan. Terlebih, bidang yang dijalani tidak seperti pada umumnya. Berbanding terbalik denganku, yang maju mundur antara iya atau tidak. Pertarungan antara hati dan isi kepada menjadikan aku di persimpangan. Upaya dia untuk lebih dekat denganku membuatku bahagia, tetapi sesaat kemudian menjadikan aku seperti pemimpi di siang bolong. Angka sembilan tahun bukan hal remeh. Bayangkan saja, ketika aku sudah kelas tiga SD, dia baru lahir. Ketika aku sudah mengenal kata cinta monyet, dia masih sibuk berlatih membersihkan ingus. “Aku memang sudah di usia ambang, tetapi bukan berarti aku menerima siapapun yang datang. Kalaupun aku harus menikah, sepertinya kamu bukan pilihan,” ucapku saat dia menelpon tadi malam “Apa alasannya? Masih sibuk menghitung usia?” “Tentu saja iya. Wanita menikah itu untuk mencari ima
Aku pernah membaca quote di media sosial. Katanya, perlu manajemen pikiran untuk menjaga kewarasan. Memang benar, kalau semua dipikir bersamaan, kepala ini akan meledak. Rencana kedatangan ibu, alur cerita yang aku tulis yang tersendat, juga tawaran Alex yang menjadikan kaki ini maju mundur. Lebih baik, aku memasukkan semua itu ke dalam almari dan menutup rapat-rapat. Tentu saja supaya aku bisa menikmati hidup, terutama saat makan seperti sekarang. Warung pojok yang terletak di ujung gang kos-kosanku dulu menjadi tujuanku. Tempatnya hanya selangkah dari pintu gerbang kampus di sisi samping. Sekalian menikmati suasana segar dari anak-anak kampus yang berburu makanan murah dan enak, plus mampu membuat perut kenyang. “Tumben baru kelihatan, Mbak Raya. Sibuk?” “Iya, Bu. Kerjaan numpuk, padahal sudah kangen makanan di sini,” jawabku ke pemilik warung yang sudah mengenalku sebagai pelanggan tahunan. “Lauknya biasanya?” Aku menunjukkan jempol, karena mulutku sudah penuh dengan kerupuk
Sejenak aku terdiam. Bohong kalau jantungku baik-baik saja. Dia berdegub kencang, beriringan dengan hari yang berdesir indah. Mataku membalas manik hazel yang bersorot sendu. Senyumku mengembang dan berujung pada tawa tergelak. “Gombal boleh. Tapi jangan ngibul ketinggian. seruku sambil melayangkan telapak tangan ke lengannya. Dia berkelit, dan aku mengejarnya sampai dia mengaduh. Mataku mengedarkan pandangan, tepi jalan paving ini dipenuhi semak-semak tinggi “Mana ada lamaran di jalanan sepi seperti ini. Tidak romantis amat! Dasar gombal!” Langkah aku segerakan mendahuluinya. Sekilas, tangan ini menepuk dada, memastikan jantung dan hatiku di posisi aman. Huft! “Pak Alexander. Ternyata ada di sini. Saya mencari dimana-mana ingin memberi tahu kalau makan siangnya sudah siap.” Suara yang aku kenal, dan menjadikan alasanku untuk mempercepat langkah. “Mbak Raya!” Mau tidak mau aku berhenti. Pelan aku menoleh dan kedua orang itu melambaikan tangan, menyuruhku mendekat. Alex dan
Rasa tidak tahu diri ini semakin bertambah. Aku seperti wanita tua yang tidak peduli dengan kerutan yang mulai berbayang di sudut mata. Apalagi dorongan dari orang sekitarku yang semakin menguapkan rasa tidak percaya diri. “Cie …. Yang lagi pendekatan dan mulai jatuh cinta.” “Siapa?” tanyaku ke Mbak Leni. Aku berjongkok membelakangi, pura-pura merapikan file yang sudah aku tata tadi. “Kamu, lah.” Gerakan tanganku terhenti. Tidak mungkin kalau Mbak Leni tahu, aku sedang dekat dengan Alex. Selama ini aku berusaha bersembunyi dari teman-teman di perpustakaan ini. Tubuhku mundur dengan sendirinya, saat tiba-tiba dia ikut berjongkok sambil menelengkan wajah. “Siapa laki-laki itu? Bukan Jaka, kan?” Aku tertawa dan menggeleng. Dalam hati bersyukur ternyata Mbak Leni tidak tahu yang sebenarnya. Ini kesempatan aku berkonsultasi dengan senior yang berpengalaman dalam percintaan beda usia ini. “Kelihatan, ya, Mbak?” Aku berdiri. Tidak butuh lagi menyembunyikan diri dengan pura-pura. Dia