Share

Bab 8. Niat Lain

“Kamu ini kebiasaan memaksakan kehendak, ya?” ucapku begitu bertemu dengannya.

Dia yang duduk di belakang kemudi menoleh dan tersenyum, kemudian kendaraan berjalan pelan keluar dari tempat parkir. Tadi sempat otot-ototan, aku enggan masuk mobil. Bagaimanapun aku belum kenal benar siapa dia sebenarnya. Bisa jadi orang berniat jahat yang memakai topeng menawan.

Namun kalau dipikir, siapa aku? Sampai segitunya hanya untuk menculikku.

“Mbak Raya, kalau kita jalan kaki memang bisa. Tapi sampai sana, waktu istirahat sudah habis. Iya, kan?”

Penjelasannya selalu berdasarkan logika, dan membuatku mengatakan iya. Memang rasa CEO itu beda.  Di kepalanya tidak ada kamus tidak bisa, adanya hanya kalimat harus bisa.  Mungkin karena ngeyel itu, dia bisa menjadi seperti sekarang. 

Mobil mahal berwarna hitam yang tidak berguna. Kapasitas hanya untuk dua orang dan tidak bisa untuk berbelanja. Buang duit saja, pikirku.

Tidak lama, mobil sudah terparkir di restoran pizza Itali. Aku mengernyit, kemudian menoleh ke arahnya.

“Mbak Raya suka makan pizza, kan? Pizza Itali yang kriuk.”

“Kok tahu?”

Dia tertawa sambil membuka sabuk pengaman.

“Tahulah. Aku kan makhluk astral. Ayok!” serunya tanpa memedulikan keherananku.

Sejenak aku berdiri di depan pintu mobil. Mengedarkan pandangan ke sekitar. Bangunan dua lantai ini masih sama seperti dulu. Berwarna dominan hijau dan pohon kamboja di beberapa titik. Bedanya, sekarang tumbuhan semakin rimbun saja.

Ini memang tidak jauh dari kampus tempatku bekerja. Akan tetapi semenjak selepas lulus dan kejadian tragis itu, keinginanku untuk memuaskan diri, musnah. Aku terlalu asyik menghukum diri, dengan bekerja dan berkutat di dalam kamar. Hanya di akhir minggu saja aku keluar dari rutinitas. Itupun ke  budidaya lebah milik Ria temanku, atau menemani Lisa di laboratorium. Lisa dan Ria ini teman sefakultas dulu.  

“Kita di atas saja. Mbak duluan, saya pesan makanan. Isian tuna dengan slice olive, kan?”

Sekali lagi aku mengernyit. Ingin melontarkan pertanyaan, tapi keburu punggung lebar itu meninggalkan aku.

Tangga dari papan kayu ini masih sama. Cat terkelupas terutama di tempat tapak kaki. Dulu saat mahasiswa, aku sering ke sini. Aku merelakan menyisihkan uang bulanan, untuk menikmati pizza dengan topping tuna dan irisan buah zaitun. Untungnya, saat itu aku mendapatkan tiga beasiswa, yang bisa menambah jatah kunjungan ke tempat ini.

“Pesanan datang!”

Alex datang diikuti dua karyawan yang membawa pesanan. Benar, pizza ukuran besar kesukaanku menguar harum yang aku rindukan. Aku masih menatapnya heran, terlebih saat minuman dingin berwarna kuning terhidang di sebelahnya.

“Ginger zinger jus. Paduan dari pineapple, orange, dan ginger.  Iya, kan?”

“Tunggu sebentar. Dari tadi kamu kok seperti mengerti kesukaanku?”

Dia menggeleng mengelak. “Tidak. Saya tidak tahu. Kebetulan saja aku suka ini dan ingin makan bersama teman.”

“Terus, minuman ini juga.” Aku meneleng, memberi tatapan curiga.

“Kalau makan yang berbau ikan tuna, minuman ini dianjurkan untuk menghilangkan bekas di mulut. Makan, yuk. Cacing saya sudah unjuk rasa,” ucapnya sambil membuka mulut.

Satu slice pizza dengan keju yang memeleh, lenyap begitu saja. Tak terasa, aku menelan ludah. Pertanda tidak sanggup mengabaikan makanan kesukaanku ini. Menu yang selalu sama di setiap kunjunganku dulu di tempat ini.

Kecurigaanku masih tersisa, tapi terkalahkan oleh air liur yang sudah memenuhi mulut ini.

Sambil makan, dia menceritakan tentang dirinya yang belum lama pindah dari luar negeri.  Membuka cabang di negara ini untuk mengembangkan biotek yang nantinya memajukan pertanian dan peternakan. 

"Saya gemas. Kita yang tertulis negara agraris, tapi penduduknya jarang memakan buah.  Beli beras saja terasa berat. Terus, bagaian mana yang disebut negara berbasis pertanian? Harusnya kita kaya raya seperti anak ayam di lumbung padi."

"Itu masalahnya complicated, Pak."

"Eit! Tunggu dulu. Telinga ini tidak nyaman kalau Mbak Raya memanggil saya pak. Panggil saja nama saya."

"Alex?"

"Iya."

Aku tersenyum. Memang dia terlihat jauh lebih muda dibandingkan aku, tapi kok rasanya tidak nyaman memanggilnya nama saja. 

"Saya panggil Mas Alex saja. Bagaimana?"

"Mas Alex ...?" Dia mengangguk-angguk, kemudian tersenyum. "Terdengar bagus."

Kembali, kami berkutat membicarakan pertanian. Yang katanya kita negara berkolam susu, tapi penduduknya pun ada yang minum susu saja sakit perut. Karena tidak tahan dengan kadar laktosa dalam susu sapi.  Ini karena orang itu tidak pernah minum susu.  Aneh, kan?

Dia menjelaskan dengan runtut. Membandingkan sektor pertanian orang luar dan negara ini. Ternyata, CEO brondong yang mengesalkan ini, ternyata mempunyai jiwa nasionalis. Walaupun dari penampilannya, terlihat jelas dia hasil pernikahan campuran. 

"Seusia muda seperti ini, sangat luar biasa sudah mempunyai perusahaan dan memegang jabatan CEO. Dulu saat kecil makannya apa, sih?' ucapku mulai santai. 

"Makan beton dan kawat besi." Dia tertawa.

"Saat sekolah dulu, saya mengikuti program akselerasi. Jadi sekolahnya loncat-loncat. Makanya setelah lulus S2 masih terbilang muda, dan langsung membentuk perusahaan. Kebetulan mendapat sponsor."

Rasa kagum mulai menyeruak. Di masa anak muda pada umumnya berkutat dengan cinta-cintaan, dia sudah disibukkan dengan bagaimana caranya mengembangkan perusahaan. 

"Hebat! Pasti orang tua sangat membanggakan kamu."

Bukan membalas senyumku, dia justru menghela napas. Dia justru meneguk minuman dingin sampai tandas. Seperti tergesa, sampai bajunya basah karena ketumpahan. 

"Seandainya mereka mempunyai kesempatan."

Aku mengernyit.  "Ayah dan ibu kamu ....?"

"Iya. Ibu saya yang orang sini, meninggal saat melahirkan saya. Sedangkan laki-laki yang seharusnya dipanggil papa, justru kembali ke negara asal. "

"Oh, maaf." 

"Tidak apa-apa. Saya sudah terbiasa. Kakek yang satu-satunya aku kenal sebagai kerabat pun meninggal tahun lalu. Dan dia memberi wasiat untuk kembali ke sini."

"Maaf, ya. Kalau membuatmu bersedih, tidak usah melanjutkan cerita."

Dia sekarang tersenyum membalas tatapan kekawatiranku. Kalau membicarakan orang tua, dada ini terasa sesak. Seakan mengingatkan aku, kalau tidak mempunyai kesempatan membanggakan Bapak. 

"Justru dengan bercerita, saya merasa memiliki teman lagi."

Banyak yang ingin aku tanyakan, tapi mulut ini terkunci. Kawatir hanya menimbulkan kesedihan. 

"Tapi tidak hanya wasiat Kakek yang membuatku kembali ke sini. Saya mencari seseorang yang menjadi alasanku untuk mempercepat langkah tanpa tergantung dengan usia. Saya ingin secepatnya sukses, untuk menyamakan usia dengannya."

"Siapa?"

Mataku menyipit, melihat bibirnya tersenyum . "Cinta pertamaku."

Anehnya, Alex justru menatapku dalam--seperti orang jatuh cinta. 

"Maksudmu?"" 

*****

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Priati Sjam
lanjut saya suka
goodnovel comment avatar
Tuti Lestari
ok lanjud, saya penasaran dng ceritanya
goodnovel comment avatar
Abdul Ghofur
lanjutlah bikin penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status