“Saya bosan.” Akhirnya dia berterus terang setelah dengan hebatnya membuatku keluar dari kursi kerja. Leni sontak menatapnya tajam. Menyadari itu, dia langsung berbicara kembali, “Begini Mbak Leni. Saya ini membutuhkan pemandu untuk mencari buku untuk menunjang pengembangan proyek baru. Kebetulan kemarin Mbak Raya menemani saya dan mengerti tentang bioteknologi.”
“Maaf, Pak Alex. Kami tidak bisa menemani pengunjung,” ucapku cepat.
Dia mengetuk-ngetuk telunjuk ke pelipis, seolah memikirkan sesuatu.
“Kalau begitu, bantu saya mengurus foto kopian kemarin. Katanya tadi, mereka tidak menerima mata uang asing. Please … ini tidak sampai lima belas menit. I promise.”
Seperti tahu kelemahan seniorku itu, Alex mengerjapkan mata dengan senyuman lebar yang menunjukkan lesung pipit.
Karenanya, sekarang aku terdampar di ruang foto kopi yang masih disibukkan dengan pesanannya. Masih tertinggal empat buku tebal yang harus di foto kopi.
“Tolong hitung saja dulu yang sudah, kemudian ditambahkan berapa halaman untuk buku yang masih diproses,” ucapku ingin cepat menyelesaikan.
Aku menulis berapa depositnya yang dia tinggalkan kemarin. Rupiah berapa ditambah dollar yang dikalikan kurs hari ini. Dari semuanya yang seharusnya dibayarkan dikurangi deposit.
“Ini total semuanya, dan sisa yang harus dibayarkan ke kasir,” ucapku sambil menyodorkan kertas berisi hitunganku.
“Okey! Tinggal Dua juta tiga ratus lima puluh tujuh ribu. Saya bayar pakai ini.” Dia menuju kasir tidak jauh dari aku berdiri. Kasir ini jadi satu dengan kantin, karena foto kopi dan kantin sama-sama dikelola oleh koperasi.
“Mbak Raya. Tuh!” Petugas foto kopi menyenggol lenganku dan menunjuk pada kasir. Si Alex dan kasir terlihat otot-ototan.
“Maaf, Pak. Kami tidak menerima pembayaran dengan kartu. Semua harus cash.”
“Bagaimana bisa di zaman sekarang ini pembayaran harus cash? Memang ada orang yang membawa uang ke sana sini jutaan rupiah?”
“Maaf, Pak. Kami pun tidak memiliki alat pembayaran untuk gesek kartu.”
“Huft! Begitu primitifnya sistem kalian. Tidak mengikuti zaman,” ujarnya sambil berkacak pinggang.
Kalau dibiarkan, bisa jadi lelaki ini menimbulkan huru-hara seperti kemarin. Kesal juga, tempat kerjaku dikatakan seperti ini.
“Mbak Raya, pakai kartu,” teriak kasir sambil menunjukkan kartu berwarna hitam. Petugas yang masih belia itu terlihat kebingungan.
“Mbak Raya. Ini bagaimana, ya? Saya tidak ada cash. Bukan tidak punya duit, ya. Tapi saya akan bayar pakai kartu ini. Bisa dibantu?” Kedua alis matanya bertaut, dan bahunya menurut seperti menyerah.
Aku menghela napas. Mereka sama-sama benar. Si bagian pembayaran, tidak mungkin menyediakan alat pembayaran pakai kartu. Sedangkan pembayaran biasanya hanya untuk makan dan minum, juga foto kopi ala kadarnya. Tidak pernah segunung seperti sekarang.
Sedangkan laki-laki ini tidak mungkin membawa cash dalam jumlah besar ke sana sini. Orang sekaliber dia, pasti memilih langkah pembayaran praktis dengan menggunakan kartu.
“Apa Pak Alex tidak keberatan mentransfer ke rekening saya? Anggap saja titip pembayaran.” Akhirnya aku mendapatkan ide jalan tengah.
“Sip! Ok kalau begitu. Kasih no rekening, dan segera sekretaris saya yang proses,” ucapnya sambil menunjuk kursi tunggu di depan kantin. Tidak hanya duduk, dia juga memesan dua minuman coklat hangat.
“Huft! Untung kan ada Mbak Raya. Kalau tidak, saya bisa kesulitan. Minum coklat hangat supaya syaraf otak jadi kendur.”
Dia tertawa sebelum menyesap minuman hangat ini, dan aku mengikutinya. Lumayan sambil menunggu transfer masuk, ada kesempatan untuk sarapan. Aku mengambil roti isi pisang yang dihidangkan di keranjang di tengah-tengah meja. Si CEO ini pun mengikutiku.
Setelah uang masuk, rencanaku segera angkat kaki.
"Aah! Memang enak. Rasa coklatnya pekat dan tidak terlalu manis. Aroma dan suhu hangat seperti merasuk di sela-sela syarat. Entah, kenapa coklat bisa mempunyai rasa seperti ini. Mungkin ini sekedar mitos kalau coklat bisa menenangkan. Tapi benar. Ini enak! Menurut Mbak Raya, bagaimana?"
Aku mengangkat daguku menatapnya. Pertanyaannya mengusir rencanaku untuk abai. Tidak mungkin aku tidak menimpali. Menatap wajah yang selalu tersemat senyuman seperti menggoda untuk berbincang dengannya.
"Benar ini enak. Tetapi, efek menenangkan itu bukan mitos. Ini dikarenakan coklat mengandung theobramine dan phenylethylamine. Kedua zat ini yang memicu hormon serotonin, dopamin, oksitosin, dan endorfin yang memberikan efek relax, tenang, dan berujung rasa bahagia," ucapku berusaha menunjukkan, kalau penjaga perpustakaan otaknya juga berisi.
“Penjelasan yang keren.”
“Keren apanya. Itu kan ada di pelajaran,” jawabku tanpa memedulikan dan terus menikmati roti pisang yang terasa manis ini.
“Makanya saya tidak salah memilih Mbak Raya sebagai teman. Sudah sah, kan?”
“Hmm? Sah?” Kali ini aku mengangkat wajah ke arahnya.
Dia tertawa kecil.
“Iya. Sah kita sudah jadi teman. Memang sah jadi apa?” ucapnya sambil menggerakkan dagu ke depan. “Maaf. Bercanda.”
Mataku yang melotot, memaksa dia untuk meralat apa yang bergulir di otak. Eh! Bukannya aku yang berprasangka terlalu jauh?
“Cara Mbak Raya melotot dan tertawa masih sama seperti dulu.”
“Dulu?”
“Ehm iya, kelihatan jejak masa muda saat masih mahasiswa.”
“Ck!”
**
“Cie … yang disibukkan sama CEO brondong.” Mbak Leni meledekku. Dia menunjukkan jam tangan yang melebihi waktu lima belas menit.
Aku menghempaskan bokong ke kursi. Menghela napas lega sudah lepas dari keruwetan yang tidak biasa.
“Bisa tidak ada tambahan peraturan?”
“Kalau bisa, aku ada usulan kriteria pengunjung perpustakaan. Harus bertampang bening,” sahut Mbak Leni.
“Dan tidak menyebalkan. Jadi orang seperti Alexander Dominic tidak bakal muncul di hadapan kita,” timpalku cepat.
Kami pun berkutat kembali dengan file-file keluar masuk buku.
Perpustakaan ini memang tergolong lengkap. Jurnal dari luar negeri secara berkala masuk dan itu semua harus ada di pendataan yang aku tangani. Meleset sedikit, semua bisa amburadul.
“Yak. Kamu benar tidak ingin makan siang bareng.”
“Tidak, Mbak Leni. Tapi sudah makan roti dan kenyang,” jawabku sambil mengusap perut.
Ada waktu satu jam istirahat. Rencanaku aku akan menggunakan untuk menulis, membayar target yang meleset tadi malam. Memang jadwal update bab tidak keteter karena aku sudah mempunyai stok dan menjadwal, tapi kalau aku meleset terus, bisa jadi akan mengganggu kenyamanan pembacaku.
Mereka yang biasa menunggu di waktu-waktu tetap, akan kehilangan rutinitas dan bisa jadi aku ditinggalkan mereka.
Tring!
Bunyi ponsel tanda pesan masuk. Tidak mungkin Mbak Leni, dia baru saja turun.
[Saya tunggu di kantin. Kita makan siang bareng.]
Aku mengernyit. Nomor siapa ini? Tidak tercatat. Benda pipih ini aku letakkan kembali. Bisa jadi ini penipu yang mengirim pesan secara acak, dan kebetulan hari ini rezekiku.
[Ini Alex, Mbak. Bukankah kita sudah sah jadi teman? Termasuk teman makan siang. Buruan, saya lapar. Apa perlu pinjam pengeras suara untuk panggil Mbak Raya?]
[Aku hitung lima menit dari sekarang, atau aku masuk]
Mataku membola membaca ancamannya tersebut.
“Kamu ini kebiasaan memaksakan kehendak, ya?” ucapku begitu bertemu dengannya. Dia yang duduk di belakang kemudi menoleh dan tersenyum, kemudian kendaraan berjalan pelan keluar dari tempat parkir. Tadi sempat otot-ototan, aku enggan masuk mobil. Bagaimanapun aku belum kenal benar siapa dia sebenarnya. Bisa jadi orang berniat jahat yang memakai topeng menawan. Namun kalau dipikir, siapa aku? Sampai segitunya hanya untuk menculikku. “Mbak Raya, kalau kita jalan kaki memang bisa. Tapi sampai sana, waktu istirahat sudah habis. Iya, kan?” Penjelasannya selalu berdasarkan logika, dan membuatku mengatakan iya. Memang rasa CEO itu beda. Di kepalanya tidak ada kamus tidak bisa, adanya hanya kalimat harus bisa. Mungkin karena ngeyel itu, dia bisa menjadi seperti sekarang. Mobil mahal berwarna hitam yang tidak berguna. Kapasitas hanya untuk dua orang dan tidak bisa untuk berbelanja. Buang duit saja, pikirku. Tidak lama, mobil sudah terparkir di restoran pizza Itali. Aku mengernyit, kemu
Aku masih kepikiran dengan ucapan si Alexander.Hanya saja, kupilih untuk mengabaikannya mengingat akhir minggu harusnya menjadi surga bagi karyawan sepertiku! Kami mempunyai kesempatan bergelung kembali ke ranjang selepas fajar. Itu yang aku lakukan sekarang sembari berkutat dengan ponsel melanjutkan cerita bersambung yang sudah ditagih kelanjutannya oleh pembaca. “Tor! Updatenya jangan lama-lama. Penasaran, nih.” “Saya sudah top-up seratus ribu. Update jangan Cuma dua bab. Koinnya masih banyak.” Kalau sudah begini, aku merasa senang campur bersalah. Yang bisa kulakukan hanyalah menyarankan untuk membaca dengan pelan-pelan dan mengutamakan kebutuhan keluarga, termasuk waktu. Bagiku, pembaca adalah sumber semangat. Tanpa mereka, penulis seperti orasi tanpa pendengar. Merasa dirindukan, disayangi, dan itu perasaan bahagia yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ting![Raya! Kamu masih molor? Bantu aku. Kamu kesini, ya!] Pesan masuk dari Ria membuatku berhenti menulis. D
“Jangan bergerak. Gerakanmu memicu racun menjalar ke seluruh tubuh. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan kamu.”Deg! Bukankah ini terlalu berlebihan? Dan ... dari mana Alex kepikiran untuk mencuri adegan yang seharusnya dilakukan oleh calon suamiku? Seperti di cerita-cerita, pengantin perempuan digendong ala bridal saat memasuki kamar pengantin. ****** “Sudah aku bilang, jangan pecicilan. Bukan Raya kayanya kalau omonganku didengar, ya?!”Ria tidak henti-hentinya mengomel melihat lukaku saat ini. Walaupun tubuhnya lebih kecil dariku, tapi kalau sudah mengoceh membuatku mengkerut. Bukannya takut padanya, tapi aku menghindari ucapannya yang panjang kali lebar dikuadratkan. “Sudahlah. Nanti juga kempes sendiri,” ucapku pelan, lalu menarik tangan pelan. Sayang, pegangannya lebih kuat. Dia mengeluarkan salep dari kotak obat yang dia bawa. “Walaupun ringan, sengatan lebah itu mengandung zat beracun. Untuk netralisir dengan salep yang mengandung losion kalamin atau salep hidrokortiso
Namun, isi kepalaku ini masih saja dipenuhi dengan nama Alexander Dominic. Seperti orang gila, di setiap apa yang aku kerjakan, ingatan itu hadir. Menjengkelkan, lucu, dan berakhir dengan mendatangkan senyuman. Gilanya lagi, ini berimbas pada cerita yang aku tulis. Alur langsung banting setir. Seharusnya si mantan suami menikahi pelakor dan mendapatkan azab, ini justru bersimpuh dan mengajukan rujuk. Jalan cerita yang aku rancang berakhir dengan kebencian, sekarang malah diliputi bunga-bunga cinta. Pasangan yang mendapatkan badai itu, mendapatkan kesempatan kedua dan mengalami jatuh cinta pada orang yang sama. “So sweet banget, Tor. Lanjut! Aku bacanya senyum-senyum.” “Bener banget ini, seperti kisahku. Cobaan justru mempererat hubungan kami, dan tambah cinta dan mesra.” “Aku menangis, Mbak Otor. Seandainya mantan suamiku seperti itu.” Komentar senada memenuhi di bab-bab yang menunjukkan keromantisan mereka. Aku tersenyum, ternyata mendulang pembaca tidak harus membangkitkan ke
Ingin tertawa, melihat bibirnya yang mengerucut menggemaskan.Namun, aku tidak bisa berkutik, terlebih saat tangan Mbak Leni mengalung erat di lenganku. ‘Sorry!’ ucapku tanpa bersuara. Melafalkan kata berharap dia mengerti yang aku maksud.Sedangkan seniorku ini, asyik menceritakan ada lapak baru di kantin. Katanya menjual gado-gado uleg dan karedok. Katanya pemiliknya asli dari Sunda yang memastikan rasa benar-benar khas. “Kita ke sana, Yak! Makan sayur segar bagus untuk kita untuk melawan usia. Tahu kan,wanita Sunda terkenal berkulit halus, cantik, dan awet muda,” ucapnya sambil menunjuk tempat yang akan kami tuju. “Terus setelah makan, kita berubah lebih muda sepuluh tahun?” “Harapannya, sih. Seperti aku ini,” jawabnya sambil mengedipkan mata. Aku tertawa. “Berarti makanan ini bahaya untuk anak-anak.” “Iya. Apalagi kalau masih dibawah umur sepuluh tahun, bisa dia berubah jadi zigot setelah makan ini,” ucapnya berakhir kami tertawa bersama. Bukan Alexander Dominic namanya, k
Mungkin menjadi seorang CEO, modal utamanya adalah keras kepala. Kata penolakan tidak menyurutkan keinginan. Karena itu, mungkin menjadikan Alexander berhasil dalam menjalankan perusahaan. Terlebih, bidang yang dijalani tidak seperti pada umumnya. Berbanding terbalik denganku, yang maju mundur antara iya atau tidak. Pertarungan antara hati dan isi kepada menjadikan aku di persimpangan. Upaya dia untuk lebih dekat denganku membuatku bahagia, tetapi sesaat kemudian menjadikan aku seperti pemimpi di siang bolong. Angka sembilan tahun bukan hal remeh. Bayangkan saja, ketika aku sudah kelas tiga SD, dia baru lahir. Ketika aku sudah mengenal kata cinta monyet, dia masih sibuk berlatih membersihkan ingus. “Aku memang sudah di usia ambang, tetapi bukan berarti aku menerima siapapun yang datang. Kalaupun aku harus menikah, sepertinya kamu bukan pilihan,” ucapku saat dia menelpon tadi malam “Apa alasannya? Masih sibuk menghitung usia?” “Tentu saja iya. Wanita menikah itu untuk mencari ima
Aku pernah membaca quote di media sosial. Katanya, perlu manajemen pikiran untuk menjaga kewarasan. Memang benar, kalau semua dipikir bersamaan, kepala ini akan meledak. Rencana kedatangan ibu, alur cerita yang aku tulis yang tersendat, juga tawaran Alex yang menjadikan kaki ini maju mundur. Lebih baik, aku memasukkan semua itu ke dalam almari dan menutup rapat-rapat. Tentu saja supaya aku bisa menikmati hidup, terutama saat makan seperti sekarang. Warung pojok yang terletak di ujung gang kos-kosanku dulu menjadi tujuanku. Tempatnya hanya selangkah dari pintu gerbang kampus di sisi samping. Sekalian menikmati suasana segar dari anak-anak kampus yang berburu makanan murah dan enak, plus mampu membuat perut kenyang. “Tumben baru kelihatan, Mbak Raya. Sibuk?” “Iya, Bu. Kerjaan numpuk, padahal sudah kangen makanan di sini,” jawabku ke pemilik warung yang sudah mengenalku sebagai pelanggan tahunan. “Lauknya biasanya?” Aku menunjukkan jempol, karena mulutku sudah penuh dengan kerupuk
Sejenak aku terdiam. Bohong kalau jantungku baik-baik saja. Dia berdegub kencang, beriringan dengan hari yang berdesir indah. Mataku membalas manik hazel yang bersorot sendu. Senyumku mengembang dan berujung pada tawa tergelak. “Gombal boleh. Tapi jangan ngibul ketinggian. seruku sambil melayangkan telapak tangan ke lengannya. Dia berkelit, dan aku mengejarnya sampai dia mengaduh. Mataku mengedarkan pandangan, tepi jalan paving ini dipenuhi semak-semak tinggi “Mana ada lamaran di jalanan sepi seperti ini. Tidak romantis amat! Dasar gombal!” Langkah aku segerakan mendahuluinya. Sekilas, tangan ini menepuk dada, memastikan jantung dan hatiku di posisi aman. Huft! “Pak Alexander. Ternyata ada di sini. Saya mencari dimana-mana ingin memberi tahu kalau makan siangnya sudah siap.” Suara yang aku kenal, dan menjadikan alasanku untuk mempercepat langkah. “Mbak Raya!” Mau tidak mau aku berhenti. Pelan aku menoleh dan kedua orang itu melambaikan tangan, menyuruhku mendekat. Alex dan