Share

Bab 7. Sah!

“Saya bosan.” Akhirnya dia berterus terang setelah dengan hebatnya membuatku keluar dari kursi kerja. 

Leni sontak menatapnya tajam. Menyadari itu, dia langsung berbicara kembali, 
“Begini Mbak Leni. Saya ini membutuhkan pemandu untuk mencari buku untuk menunjang pengembangan proyek baru. Kebetulan kemarin Mbak Raya menemani saya dan mengerti tentang bioteknologi.”

“Maaf, Pak Alex. Kami tidak bisa menemani pengunjung,” ucapku cepat.

Dia mengetuk-ngetuk telunjuk ke pelipis, seolah memikirkan sesuatu.

“Kalau begitu, bantu saya mengurus foto kopian kemarin. Katanya tadi, mereka tidak menerima mata uang asing. Please … ini tidak sampai lima belas menit. I promise.”

Seperti tahu kelemahan seniorku itu, Alex mengerjapkan mata dengan senyuman lebar yang menunjukkan lesung pipit.

Karenanya, sekarang aku terdampar di ruang foto kopi yang masih disibukkan dengan pesanannya. Masih tertinggal empat buku tebal yang harus di foto kopi.

“Tolong hitung saja dulu yang sudah, kemudian ditambahkan berapa halaman untuk buku yang masih diproses,” ucapku ingin cepat menyelesaikan.

Aku menulis berapa depositnya yang dia tinggalkan kemarin. Rupiah berapa ditambah dollar yang dikalikan kurs hari ini. Dari semuanya yang seharusnya dibayarkan dikurangi deposit.

“Ini total semuanya, dan sisa yang harus dibayarkan ke kasir,” ucapku sambil menyodorkan kertas berisi hitunganku.

“Okey! Tinggal Dua juta tiga ratus lima puluh tujuh ribu. Saya bayar pakai ini.” Dia menuju kasir tidak jauh dari aku berdiri. Kasir ini jadi satu dengan kantin, karena foto kopi dan kantin sama-sama dikelola oleh koperasi.

“Mbak Raya. Tuh!” Petugas foto kopi menyenggol lenganku dan menunjuk pada kasir. Si Alex dan kasir terlihat otot-ototan.

“Maaf, Pak. Kami tidak menerima pembayaran dengan kartu. Semua harus cash.”

“Bagaimana bisa di zaman sekarang ini pembayaran harus cash? Memang ada orang yang membawa uang ke sana sini jutaan rupiah?”

“Maaf, Pak. Kami pun tidak memiliki alat pembayaran untuk gesek kartu.”

“Huft! Begitu primitifnya sistem kalian. Tidak mengikuti zaman,” ujarnya sambil berkacak pinggang.

Kalau dibiarkan, bisa jadi lelaki ini menimbulkan huru-hara seperti kemarin. Kesal juga, tempat kerjaku dikatakan seperti ini.

“Mbak Raya, pakai kartu,” teriak kasir sambil menunjukkan kartu berwarna hitam. Petugas yang masih belia itu terlihat kebingungan.

“Mbak Raya. Ini bagaimana, ya? Saya tidak ada cash. Bukan tidak punya duit, ya. Tapi saya akan bayar pakai kartu ini. Bisa dibantu?” Kedua alis matanya bertaut, dan bahunya menurut seperti menyerah.

Aku menghela napas. Mereka sama-sama benar. Si bagian pembayaran, tidak mungkin menyediakan alat pembayaran pakai kartu. Sedangkan pembayaran biasanya hanya untuk makan dan minum, juga foto kopi ala kadarnya. Tidak pernah segunung seperti sekarang.

Sedangkan laki-laki ini tidak mungkin membawa cash dalam jumlah besar ke sana sini. Orang sekaliber dia, pasti memilih langkah pembayaran praktis dengan menggunakan kartu.

“Apa Pak Alex tidak keberatan mentransfer ke rekening saya? Anggap saja titip pembayaran.” Akhirnya aku mendapatkan ide jalan tengah.

“Sip! Ok kalau begitu. Kasih no rekening, dan segera sekretaris saya yang proses,” ucapnya sambil menunjuk kursi tunggu di depan kantin. Tidak hanya duduk, dia juga memesan dua minuman coklat hangat.

“Huft! Untung kan ada Mbak Raya. Kalau tidak, saya bisa kesulitan. Minum coklat hangat supaya syaraf otak jadi kendur.”

Dia tertawa sebelum menyesap minuman hangat ini, dan aku mengikutinya. Lumayan sambil menunggu transfer masuk, ada kesempatan untuk sarapan. Aku mengambil roti isi pisang yang dihidangkan di keranjang di tengah-tengah meja. Si CEO ini pun mengikutiku.

Setelah uang masuk, rencanaku segera angkat kaki.

"Aah! Memang enak. Rasa coklatnya pekat dan tidak terlalu manis. Aroma dan suhu hangat seperti merasuk di sela-sela syarat. Entah, kenapa coklat bisa mempunyai rasa seperti ini. Mungkin ini sekedar mitos kalau coklat bisa menenangkan. Tapi benar. Ini enak! Menurut Mbak Raya, bagaimana?"

Aku mengangkat daguku menatapnya. Pertanyaannya mengusir rencanaku untuk abai. Tidak mungkin aku tidak menimpali. Menatap wajah yang selalu tersemat senyuman seperti menggoda untuk berbincang dengannya.

"Benar ini enak. Tetapi, efek menenangkan itu bukan mitos. Ini dikarenakan coklat mengandung theobramine dan phenylethylamine.  Kedua zat ini yang memicu hormon serotonin, dopamin, oksitosin, dan endorfin yang memberikan efek relax, tenang, dan berujung rasa bahagia," ucapku berusaha menunjukkan, kalau penjaga perpustakaan otaknya juga berisi. 

“Penjelasan yang keren.”

“Keren apanya. Itu kan ada di pelajaran,” jawabku tanpa memedulikan dan terus menikmati roti pisang yang terasa manis ini.

“Makanya saya tidak salah memilih Mbak Raya sebagai teman. Sudah sah, kan?”

“Hmm? Sah?” Kali ini aku mengangkat wajah ke arahnya.

Dia tertawa kecil.

“Iya. Sah kita sudah jadi teman. Memang sah jadi apa?” ucapnya sambil menggerakkan dagu ke depan.  “Maaf. Bercanda.”

Mataku yang melotot, memaksa dia untuk meralat apa yang bergulir di otak.  Eh! Bukannya aku yang berprasangka terlalu jauh?

“Cara Mbak Raya melotot dan tertawa masih sama seperti dulu.”

“Dulu?”

“Ehm iya, kelihatan jejak masa muda saat masih mahasiswa.”

“Ck!”

**

“Cie … yang disibukkan sama CEO brondong.” Mbak Leni meledekku. Dia menunjukkan jam tangan yang melebihi waktu lima belas menit.

Aku menghempaskan bokong ke kursi. Menghela napas lega sudah lepas dari keruwetan yang tidak biasa.

“Bisa tidak ada tambahan peraturan?”

“Kalau bisa, aku ada usulan kriteria pengunjung perpustakaan. Harus bertampang bening,” sahut Mbak Leni.

“Dan tidak menyebalkan. Jadi orang seperti Alexander Dominic tidak bakal muncul di hadapan kita,” timpalku cepat.

Kami pun berkutat kembali dengan file-file keluar masuk buku.

Perpustakaan ini memang tergolong lengkap. Jurnal dari luar negeri secara berkala masuk dan itu semua harus ada di pendataan yang aku tangani. Meleset sedikit, semua bisa amburadul.

“Yak. Kamu benar tidak ingin makan siang bareng.”

“Tidak, Mbak Leni. Tapi sudah makan roti dan kenyang,” jawabku sambil mengusap perut.

Ada waktu satu jam istirahat. Rencanaku aku akan menggunakan untuk menulis, membayar target yang meleset tadi malam. Memang jadwal update bab tidak keteter karena aku sudah mempunyai stok dan menjadwal, tapi kalau aku meleset terus, bisa jadi akan mengganggu kenyamanan pembacaku.

Mereka yang biasa menunggu di waktu-waktu tetap, akan kehilangan rutinitas dan bisa jadi aku ditinggalkan mereka.

Tring!

Bunyi ponsel tanda pesan masuk. Tidak mungkin Mbak Leni, dia baru saja turun.

[Saya tunggu di kantin. Kita makan siang bareng.]

Aku mengernyit. Nomor siapa ini? Tidak tercatat. Benda pipih ini aku letakkan kembali. Bisa jadi ini penipu yang mengirim pesan secara acak, dan kebetulan hari ini rezekiku.

[Ini Alex, Mbak. Bukankah kita sudah sah jadi teman? Termasuk teman makan siang. Buruan, saya lapar. Apa perlu pinjam pengeras suara untuk panggil Mbak Raya?]

[Aku hitung lima menit dari sekarang, atau aku masuk]

Mataku membola membaca ancamannya tersebut.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
bagus ceritanya, buka nya tanpa koin donk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status