Share

Bab 7. Sah!

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2023-08-22 15:59:58

“Saya bosan.” Akhirnya dia berterus terang setelah dengan hebatnya membuatku keluar dari kursi kerja. 

Leni sontak menatapnya tajam. Menyadari itu, dia langsung berbicara kembali, 
“Begini Mbak Leni. Saya ini membutuhkan pemandu untuk mencari buku untuk menunjang pengembangan proyek baru. Kebetulan kemarin Mbak Raya menemani saya dan mengerti tentang bioteknologi.”

“Maaf, Pak Alex. Kami tidak bisa menemani pengunjung,” ucapku cepat.

Dia mengetuk-ngetuk telunjuk ke pelipis, seolah memikirkan sesuatu.

“Kalau begitu, bantu saya mengurus foto kopian kemarin. Katanya tadi, mereka tidak menerima mata uang asing. Please … ini tidak sampai lima belas menit. I promise.”

Seperti tahu kelemahan seniorku itu, Alex mengerjapkan mata dengan senyuman lebar yang menunjukkan lesung pipit.

Karenanya, sekarang aku terdampar di ruang foto kopi yang masih disibukkan dengan pesanannya. Masih tertinggal empat buku tebal yang harus di foto kopi.

“Tolong hitung saja dulu yang sudah, kemudian ditambahkan berapa halaman untuk buku yang masih diproses,” ucapku ingin cepat menyelesaikan.

Aku menulis berapa depositnya yang dia tinggalkan kemarin. Rupiah berapa ditambah dollar yang dikalikan kurs hari ini. Dari semuanya yang seharusnya dibayarkan dikurangi deposit.

“Ini total semuanya, dan sisa yang harus dibayarkan ke kasir,” ucapku sambil menyodorkan kertas berisi hitunganku.

“Okey! Tinggal Dua juta tiga ratus lima puluh tujuh ribu. Saya bayar pakai ini.” Dia menuju kasir tidak jauh dari aku berdiri. Kasir ini jadi satu dengan kantin, karena foto kopi dan kantin sama-sama dikelola oleh koperasi.

“Mbak Raya. Tuh!” Petugas foto kopi menyenggol lenganku dan menunjuk pada kasir. Si Alex dan kasir terlihat otot-ototan.

“Maaf, Pak. Kami tidak menerima pembayaran dengan kartu. Semua harus cash.”

“Bagaimana bisa di zaman sekarang ini pembayaran harus cash? Memang ada orang yang membawa uang ke sana sini jutaan rupiah?”

“Maaf, Pak. Kami pun tidak memiliki alat pembayaran untuk gesek kartu.”

“Huft! Begitu primitifnya sistem kalian. Tidak mengikuti zaman,” ujarnya sambil berkacak pinggang.

Kalau dibiarkan, bisa jadi lelaki ini menimbulkan huru-hara seperti kemarin. Kesal juga, tempat kerjaku dikatakan seperti ini.

“Mbak Raya, pakai kartu,” teriak kasir sambil menunjukkan kartu berwarna hitam. Petugas yang masih belia itu terlihat kebingungan.

“Mbak Raya. Ini bagaimana, ya? Saya tidak ada cash. Bukan tidak punya duit, ya. Tapi saya akan bayar pakai kartu ini. Bisa dibantu?” Kedua alis matanya bertaut, dan bahunya menurut seperti menyerah.

Aku menghela napas. Mereka sama-sama benar. Si bagian pembayaran, tidak mungkin menyediakan alat pembayaran pakai kartu. Sedangkan pembayaran biasanya hanya untuk makan dan minum, juga foto kopi ala kadarnya. Tidak pernah segunung seperti sekarang.

Sedangkan laki-laki ini tidak mungkin membawa cash dalam jumlah besar ke sana sini. Orang sekaliber dia, pasti memilih langkah pembayaran praktis dengan menggunakan kartu.

“Apa Pak Alex tidak keberatan mentransfer ke rekening saya? Anggap saja titip pembayaran.” Akhirnya aku mendapatkan ide jalan tengah.

“Sip! Ok kalau begitu. Kasih no rekening, dan segera sekretaris saya yang proses,” ucapnya sambil menunjuk kursi tunggu di depan kantin. Tidak hanya duduk, dia juga memesan dua minuman coklat hangat.

“Huft! Untung kan ada Mbak Raya. Kalau tidak, saya bisa kesulitan. Minum coklat hangat supaya syaraf otak jadi kendur.”

Dia tertawa sebelum menyesap minuman hangat ini, dan aku mengikutinya. Lumayan sambil menunggu transfer masuk, ada kesempatan untuk sarapan. Aku mengambil roti isi pisang yang dihidangkan di keranjang di tengah-tengah meja. Si CEO ini pun mengikutiku.

Setelah uang masuk, rencanaku segera angkat kaki.

"Aah! Memang enak. Rasa coklatnya pekat dan tidak terlalu manis. Aroma dan suhu hangat seperti merasuk di sela-sela syarat. Entah, kenapa coklat bisa mempunyai rasa seperti ini. Mungkin ini sekedar mitos kalau coklat bisa menenangkan. Tapi benar. Ini enak! Menurut Mbak Raya, bagaimana?"

Aku mengangkat daguku menatapnya. Pertanyaannya mengusir rencanaku untuk abai. Tidak mungkin aku tidak menimpali. Menatap wajah yang selalu tersemat senyuman seperti menggoda untuk berbincang dengannya.

"Benar ini enak. Tetapi, efek menenangkan itu bukan mitos. Ini dikarenakan coklat mengandung theobramine dan phenylethylamine.  Kedua zat ini yang memicu hormon serotonin, dopamin, oksitosin, dan endorfin yang memberikan efek relax, tenang, dan berujung rasa bahagia," ucapku berusaha menunjukkan, kalau penjaga perpustakaan otaknya juga berisi. 

“Penjelasan yang keren.”

“Keren apanya. Itu kan ada di pelajaran,” jawabku tanpa memedulikan dan terus menikmati roti pisang yang terasa manis ini.

“Makanya saya tidak salah memilih Mbak Raya sebagai teman. Sudah sah, kan?”

“Hmm? Sah?” Kali ini aku mengangkat wajah ke arahnya.

Dia tertawa kecil.

“Iya. Sah kita sudah jadi teman. Memang sah jadi apa?” ucapnya sambil menggerakkan dagu ke depan.  “Maaf. Bercanda.”

Mataku yang melotot, memaksa dia untuk meralat apa yang bergulir di otak.  Eh! Bukannya aku yang berprasangka terlalu jauh?

“Cara Mbak Raya melotot dan tertawa masih sama seperti dulu.”

“Dulu?”

“Ehm iya, kelihatan jejak masa muda saat masih mahasiswa.”

“Ck!”

**

“Cie … yang disibukkan sama CEO brondong.” Mbak Leni meledekku. Dia menunjukkan jam tangan yang melebihi waktu lima belas menit.

Aku menghempaskan bokong ke kursi. Menghela napas lega sudah lepas dari keruwetan yang tidak biasa.

“Bisa tidak ada tambahan peraturan?”

“Kalau bisa, aku ada usulan kriteria pengunjung perpustakaan. Harus bertampang bening,” sahut Mbak Leni.

“Dan tidak menyebalkan. Jadi orang seperti Alexander Dominic tidak bakal muncul di hadapan kita,” timpalku cepat.

Kami pun berkutat kembali dengan file-file keluar masuk buku.

Perpustakaan ini memang tergolong lengkap. Jurnal dari luar negeri secara berkala masuk dan itu semua harus ada di pendataan yang aku tangani. Meleset sedikit, semua bisa amburadul.

“Yak. Kamu benar tidak ingin makan siang bareng.”

“Tidak, Mbak Leni. Tapi sudah makan roti dan kenyang,” jawabku sambil mengusap perut.

Ada waktu satu jam istirahat. Rencanaku aku akan menggunakan untuk menulis, membayar target yang meleset tadi malam. Memang jadwal update bab tidak keteter karena aku sudah mempunyai stok dan menjadwal, tapi kalau aku meleset terus, bisa jadi akan mengganggu kenyamanan pembacaku.

Mereka yang biasa menunggu di waktu-waktu tetap, akan kehilangan rutinitas dan bisa jadi aku ditinggalkan mereka.

Tring!

Bunyi ponsel tanda pesan masuk. Tidak mungkin Mbak Leni, dia baru saja turun.

[Saya tunggu di kantin. Kita makan siang bareng.]

Aku mengernyit. Nomor siapa ini? Tidak tercatat. Benda pipih ini aku letakkan kembali. Bisa jadi ini penipu yang mengirim pesan secara acak, dan kebetulan hari ini rezekiku.

[Ini Alex, Mbak. Bukankah kita sudah sah jadi teman? Termasuk teman makan siang. Buruan, saya lapar. Apa perlu pinjam pengeras suara untuk panggil Mbak Raya?]

[Aku hitung lima menit dari sekarang, atau aku masuk]

Mataku membola membaca ancamannya tersebut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
bagus ceritanya, buka nya tanpa koin donk
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 128. Tujuan Pernikahan  

    Aku ingat perbincangan dengan Alex, suamiku beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku di titik jenuh. Berbanding terbalik dengan Alex yang sibuknya luar biasa, aku hanya tidak dan tidak mengerjakan apapun. Aku seperti orang yang tidak berguna.Ok, saat ini Alex yang lelaki luar biasa ini masih di sampingku. Namun, bukankah banyak kemungkian dia akan berpaling, terlebih aku bukan siapa-siapa. Hanya wanita menua yang pura-pura lupa akan usia.“Kamu bahagia dengan pernikahan kita?” tanyaku sambil menyelusupkan kepala ke ketiaknya.Entah kenapa aku mempunyai kesenangan baru, mengendus bau keringat sepulang dia kerja. Awalnya Alex menolak karena merasa gerah, tapi dengan alasan aku kangen, akhirnya dia menyerah.Aku mendongak ketika jawaban tidak kunjung kudengar. Dia senyum dikulum, menundukkan kepala dan mencium kening ini.“Bahagia?…. Tidaklah.”“Ha?” Spontan aku menarik tubuh memberi jarak. Ketakutanku ternyata tidak perlu menunggu waktu lama. Sekarang malah dia mengakui.Kedua alis mataku

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 127. Aku Ingin

    Pandangan kami di satu garis lurus. Sorot mata suamiku menunjukkan ketidak sukaan. Ini kali pertama aku merasakan takut kepadanya. Dia pun sudah menderap ke arah kami. Namun, tidak sopan kalau aku begitu saja tanpa pamitan pada Tuan Anderson. Mertuaku … kalau itu benar.“Maaf saya harus pamit. Alex sudah ada di sini.”Lelaki tua ini tersenyum. Sekali lagi menepuk lenganku. “Maaf, ya. Semoga suamimu tidak marah. Saya titip Alexander kepadamu.”Belum sempat menjawab, tangan ini sudah disentakkan oleh Alex. Tubuh ini sampai terhuyun dan tangan terlepas dari jabat tangan sebelumnya. Satu tangan lain menarikku untuk terdiam di balik punggungnya.“Jangan ganggu istriku!”“Dengarkan penjelasanku, Alex anakku. Aku memang berhutang waktu dua puluh enam tahun kepadamu. Namun, kita bisa__”“Stop! Saya jelaskan berulang kali, saya tidak ada urusan dengan anda.” Suara Alex terdengar keras. Bahkan menggema di ruangan ini. Aku mengedarkan pandangan, terlihat anaeh ruang baca ini lengang dari pengunj

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 126. Orang Dekat

    “Huh! Kalau aku sudah aku remet-remet mulutnya itu! Kamu ini terlalu sabar jadi orang,” seru Mbak Leni seusai dia dari lantai satu.Entah dari mana dia tahu tentang pertemuanku dengan Lastri. Padahal tadi setelah peristiwa tadi, sengaja aku tidak memberitahu seniorku ini. Karena tahu benar sifatnya bagaimana terutama yang berkaitan dengan Lastri. Mbak Leni selalu menjadi garda terdepan membela diriku.“Santai saja, lah. Anggap saja radio rusak.”Aku tersenyum, kemudian kembali ke meja kerja berniat melanjutkan memasukkan data kembali.“Bener yang kau bilang, Yak. Yah dia kan orang gila. Buat apa ditanggapi, kita malah jadi gila nanti,” seloroh Mbak Leni sambil tertawa.Dalam hati, aku pun masih kesal sama si Lastri itu. Tidak capek-capeknya menerorku. Padahal salahku apa? Bertegur sapa atau menyoal tentang dia saja tidak pernah. Lebih baik aku menghindar demi kewarasan. Fokus dengan tujuanku kerja kembali ke perpustakaan. Aku hanya berinteraksi dengan Mbak Leni, Jaka, dan kalau di

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 125. Hari Pertama

    “Raya …!”Senyumku merekah mendengar suara yang sudah aku rindukan. Langkah menderap memberiku semangat untuk membalikkan badan. Benar, teman kerja yang aku rindukan berlari menghampiri dengan kedua tangan merentang.Ini hari pertamaku memulai kerja kembali ke perpustakaan. Sedikit ngambek dan berujung kata setuju dari Alex suami tercinta. Aku boleh kerja kembali tapi dia menugaskan beberapa pengawal pribadi di luar gedung.“Kamu tidak usah kawatir. Mereka sudah aku perintahkan berpakaian dan bersikap seperti orang biasa.” Janji dia menanggapi aku yang jengah dengan perlakuan yang berlebihan ini.Jangan ditanya bagaimana cerewetnya Alex sebelum tadi berangkat. Tidak boleh ini, dilarang itu. Pokoknya mengalahkan wejangan Ibu saat aku dulu kost untuk pertama kali.“Mbak Leni …!”Seperti orang yang bertahun-tahun tidak bertemu kami saling menyambut. Tubuhnya yang kecil seakan tenggelam dalam pelukanku.“Mbak aku kangen.”“Aku juga sangat. Tidak ada kamu, aku kesepian,” jawabnya dengan bi

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 124. Istri Kok Dilawan

    (pov Alex)“Lebih baik tidak daripada syaratnya seperti itu. Memang aku anak TK yang kemana-mana harus diikuti orang.”Raya mencebik dan binar mata pun melesap menunjukkan ketidaksetujuan. Namun bagaimana lagi, keselamatannya lebih penting daripada keinginannya itu. Musuhku ada dimana-mana. Sekarang tidak hanya mengincarku saja, tapi kemungkinan besar membidik titik yang menjadikan aku terpuruk.Dan itu Raya istriku.“Bukankah tadi bilang kalau apapun syaratnya kamu mau?”“Tapi bukan seperti itu.”Matanya mengerjap sekali lagi. Tatapannya yang memohon sempat membuatku tidak tega. Ini seperti aku dulu saat kecil. Kakek Sebastian bersikap keras dan tidak memperbolehkan aku bermain seperti anak pada umumnya. Berbagai alasan dikemukakan yang merujuk pada keselamatan.Aku mengerti yang dirasakan istriku, tapi semua ini harus dilakukan.“Memang harus ada pengawal yang jaga juga di dalam gedung perpustakaan?”“Iya, Ray.”Raya menghela napas panjang. “Ada teman-teman yang bisa menjagaku. Ada

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 123. Sudut Pandang yang Berbeda

    Aku seperti anak ayam yang tinggal di lumbung padi. Tidak kurang suatu apa, apalagi kelaparan. Pengen apa aja tinggal nunjuk. Tidak perlu mengintip isi dompet kalau ingin beli sesuatu.Di rumah pun praktisnya tidak ada yang bisa aku kerjakan. Semua sudah ada yang bersiap dengan tugas masing-masing. Aku seperti orang yang tidak ada kegunaan. Hanya saat ada Alex saja aku melakukan tugas sebagai istri. Selebihnya tidak ngapa-ngapain.Menulis?Isi kepala ini seperti mampat. Tidak ada kejadian sekitar yang mematikku untuk berkarya. Pemandangan datar dan itu-itu saja. Pegawai dengan sikap bersiap menerima tugas, dan aku yang penuh dengan rasa bosan.“Belanjakan apa yang kamu ingin. Yang aku punya, juga punya kamu juga, Sayang. Memang siapa lagi?” ujar Alex, suamiku.Namun aku yang biasa memperhitungkan segalanya sebelum membelanjakan sesuatu, tidak bisa disuruh boros-boros seperti itu. Untuk apa mengeluarkan uang banyak, kalau dengan fungsi dan kualitas yang sama kita dapat harga tidak ting

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status