"Mau." Senyum polos terpancar di bibir anak semata wayang Jonathan. Perbincangan itu berhasil membuat Berlian tambah geram. Saat ini Jonathan sedang memanfaatkan Cinta untuk membujuknya menikah. Nenek Lastri pun tersenyum melihat ayah dan anak itu berbincang. Apalagi dia senang saat Jonathan ingin menikah dengan cucunya."Pak, pulang saja. Jangan ngaco deh, nanti Cinta menganggap omongan Pak Jo benar. Lagi pula, aduh saya tidak senang ingin membahas pernikahan." Berlian menarik tangan Jonatan untuk ke luar kontrakannya.Namun, Cinta menahannya. "Ma, jangan kasar. Om Jo ke sini kan buat aku, bukan buat Mama." Sontak Berlian terkesiap mendengar pintarnya sang putri bicara. "Nah, iya. Om Jo ke sini kan buat ketemu Cinta." Jonathan kembali merasa senang membuat wajah Berlian masam sejak tadi."Tapi Cinta, sama ibu RT tidak boleh ada tamu laki-laki lama datang ke rumah," ujar Berlian menjelaskan."Kamu bisa bilang kalau aku ini tunangan atau calon suami. Enggak masalah kan nanti jadinya
"Ma, ayo jawab," tuntut Cinta.Putri kecilnya yang terbangun saat itu kini berada di hadapannya meminta jawaban pasti. Kerinduannya pada sosok ayah tidak akan bisa terbendung saat itu. Melihat beberapa teman sekolah dulu bercerita tentang ayah mereka, membuat Cinta iri dan ingin memiliki sosok pria seperri yang di ceritakan temannya."Cinta Sayang, sudah malam. Kamu tidur ya, nanti sakit." Berlian mencoba mengalihkan pembicaraan, hanya saja sang anak tetap kekeh menunggu jawabannya.Berlian merasa sifat keras kepalanya Cinta sangat menurun dari Jonathan. Pria itu sejak tadi pun kekeh memintanya untuk menikah hanya dengan alasan akta lahir. Harusnya hal mudah tidak menjadi sulit apalagi ia memiliki banyak uang dan bisa membayar untuk membuat akta lahir Cinta tanpa harus menikah dengannya."Ma, janji dulu." "Sayang, mama enggak bisa menjanjikan apa pun. Lagi pula kamu belum mengerti apa itu pernikahan. Lebih baik, kamu tidur dulu." Berlian mengajak Cinta ke kamar. Putri kecilnya masam
Arnold ke luar dari kamar Jika, tapi sang adik sama sekali tak menampakkan batang hidungnya. Pak Ibnu, ayah Alea pun merasa gelisah. Pria tua itu menghampiri Alea yang berada tidak jauh berdiri darinya."Lea, apa kamu tidak bisa memaksa Jonatan untuk menikahi kami atau pakai cara lain?" bisik sang ayah."Aku sudah melakukan berbagai hal, hanya saja semua gagal." Alea menarik napas panjang lalu membuang kasar.Pak Ibnu pun sudah mencoba menekan Ferdinand, hanya saja sahabat lamanya itu pun tidak bisa memaksa sang anak. Apalagi, dengan watak Jonathan yang keras, semua tidak bisa begitu saja memaksa dirinya."Setidaknya, kalau kamu menikah dengan Jonathan, tidak bekerja sebagai artis pun kamu bisa hidup dengan kekayaan mereka yang tidak akan habis," ujar ayah Alea."Aku sudah perhitungkan itu, Pa. Tidak usah cemas dengan hal itu," ujar Alea. Keduanya tersenyum membayangkan jika mereka tidak akan hidup susah jika menikah dengan keluarga Jonathan. Sama halnya dengan Ibunya Alea yang siap
"Nenek dan Papa kamu sering tak terduga. Apalagi Nenek, yang mood saja harus baik jika ingin menyampaikan sesuatu," ujar Bu Shafira mengingatkan.Alva menjadi cemas jika hal itu terjadi. Sang ayah pernah bicara siapa pun jodoh Alva, dirinya akan setuju saja. Namun, juga harus memenuhi beberapa syarat. "Aku tidak tahu harus seperti apa, Ma. Aku saja merasa kalah jika memang benar Berlian ada hubungan dengan CEO muda itu. Jonathan, pemilik Perusahaan megah di kota Jakarta." "Kemarin saat Mama berbincang dengan Berlian, dia bilang tidak sedang dekat dengan siapa pun. Hanya saja dia sedang tak mau memikirkan pernikahan." "Serius dia bicara hal itu?" Alva bertanya pada sang ibu."Kayanya memang sedang trauma, apalagi pernah mendapat perlakuan tidak baik." Bu Shafira jika menceritakan tentang Berlian, ia merasa iba. Hatinya seperti begitu tersiksa Karena mengingat jika anaknya seusia dengan Berlian.Alva menarik napas dalam, kenapa harus ia merasakan cinta seperti ini. Sejak dulu hingga
"Alva, sejak kapan di sini? Eh, maksud aku kenapa ada kamu pagi-pagi di restoran?" Berlian tergagap saat melihat sosok Alva yang sudah berdiri di hadapannya. Entah sudah berapa lama pun Alva tak menjawabnya. Hawa panas menjalar ke seluruh tubuh, ingin rasanya marah pada Berlian. Namun, dirinya tak memiliki hak untuk itu. "Va, aku masuk dulu," ujar Berlian."Aku baru saja datang bersama Mama. Hari ini aku dan beliau akan bertemu dengan investor untuk restoran ini. Aku sudah menjawab pertanyaan kamu, apa kamu tidak mau menjawab pertanyaan aku?" Berlian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia berharap Alva sudah melupakan pertanyaan itu, tapi malah tidak. Berlian pun bingung harus menceritakan dari mana bahkan apa harus jujur atau tidak."Kalau kamu tidak mau menjawab tidak masalah. Mungkin ini jawaban dari pertanyaan aku waktu itu," papar Alva."Pertanyaan apa?" "Aku mengerti kamu tidak akan menjawab pertanyaan aku karena kamu sudah memiliki Pak Jo di hati kamu. Iya, kan?" Alva men
"Ayah dari anak kamu? Jonathan ayahnya Cinta?" Alva seolah-olah tidak percaya dengan apa yang di katakan Berlian. Bahkan ia berharap Berlian hanya bercanda dan menipu dirinya. Tidak mungkin jika Jonathan ayah dari anak Berlian. Namun, wajah Berlian tidak seperti sedang bercanda."Apa ada yang salah dari ucapanku tadi?" tanya Berlian. Berlian bisa melihat dari raut wajahnya Alva jika pria iti sama sekali tidak percaya. Bahkan semua orang pun mungkin akan sepeti Alva yang tak percaya jika dirinya berhubungan dengan pria bernama Jonathan."Aku sudah menduga, jika aku bercerita pun tak akan ada yang percaya. Tapi, hal yang aku katakan itu memang sebenarnya. Aku bukan mencari pria kaya yang akan menjadi suamiku, tapi pada kenyataannya aku belum bisa lepas dari masa lalu," papar Berlian. "Bukan aku tidak percaya, tapi aku ---""Sama saja, pasti kamu akan bilang tidak mungkin Cinta adalah anak dari Jonathan. Jangankan kamu, aku saja saat tahu pun hampir tak percaya." Alva merasa tidak en
"Iya aku akan ke sana. Buat laporan dulu."Berlian menulis balasan pada Jonathan, jika tidak seperti itu mungkin pria itu akan terus mengirim atau menghubunginya. Tidak mau menjadi bahan tontonan kembali seperti saat itu."Kenapa lagi kamu Berlian?" tanya Mbak Desi.Berlian tidak menjawab, hanya saja dia berpikir seandainya bisa mencurahkan segala-galanya yang ada di hati pada rekan kerjanya itu. Mungkin ia akan sedikit lega, tapi dirinya belum percaya pada semua orang yang ia kenal."Kalau kamu mau, Mbak bisa mendengarkan ceritamu atau kalau kamu mau mungkin aku bisa membantu mencari solusi." "Terima kasih ya mbak sudah peduli sama aku. Saat Ini aku belum bisa bercerita sama mbak," ujar Berlian.Mbak Desi mengerti dengan sikap Berlian, baru saja berkenalan dan tidak mungkin berlian menceritakan masalah pribadinya dengan orang baru. Berlian pun gegas merapikan pekerjaannya dan closing uang. Keberadaan Jonatan di luar membuatnya tertekan, apalagi ada Alva di dalam juga. Tidak butuh
"Bisa kok kalau tanpa menyebut nama kamu, tapi jangan salahkan aku jika Cinta kubawa langsung dan jangan pernah menemuinya lagi," ujar Jonathan."Tega kamu, aku yang mengandung dan melahirkan." Berlian begitu emosi. Dua orang itu selalu saja bertengkar, entah mereka masih menyimpan rasa atau tidak. Berlian yang selalu emosi jika bertemu dengan Jonathan, baginya pria masa lalu itu sangat menyebalkan. Baru saja menekan dirinya demi kepentingan sendiri.Berbeda dengan Jonathan, pria itu menganggap Berlian sangat keras kepala dan susah diatur. Apalagi saat wanita itu kekeh tak mau bicara jika Cinta adalah anaknya. "Tega enggak tega, itu urusanku. Lagi pula bukannya itu yang kamu mau, kan? Tidak di publikasikan jika kamu ibu kandungnya Cinta." Dengan santai Jonathan kembali mengemudikan mobilnya. Jonathan tidak peduli dengan ocehan wanita di sebelahnya, kini ia berpikir bagaimana membuat pertunangan sekaligus pernikahan itu batal. "Aku hanya tidak mau di bully satu perusahaan. Aku tida