“Jika aku memberimu satu permainan menarik, apa kamu bersedia memaafkan aku sepenuhnya, Gista?”Alis Gista berkerut. “Permainan? Maksudmu apa lagi, Akash?”Akash melangkah pelan, suaranya nyaris seperti bisikan yang menusuk telinga. “Kali ini … aku nggak akan menjadi pihak yang mendominasi. Aku akan biarkan kamu mengendalikan semuanya. Kamu bisa menjadi dominannya, sementara aku submisifnya.”Gista mengerjap. Raut wajahnya campuran antara bingung dan waspada. “Submisif? Dominan? Aku nggak ngerti. Kamu ngomong apa, sih?”Senyum Akash samar, seperti seseorang yang tengah menyembunyikan rahasia. Dia meraih ponsel di meja, lalu mengetik sesuatu. “Aku tunjukkan.”Gista mendekat, setengah enggan, setengah penasaran. Rasa kesalnya masih ada. Namun, rasa penasaran rupanya membuatnya luluh.Dia memandang layar ponsel Akash yang menampilkan beberapa artikel tentang istilah-istilah asing. Kata-kata itu seolah melompat ke matanya: dominant, submissive, control, power play.Pipi Gista merona. “Kam
Gista gelisah. Dia merasa tak tenang setelah puas bercinta dengan Akash. Harusnya sekarang dia terlelap seperti kucing yang kekenyangan. Akash amat sangat mampu memuaskan rasa laparnya akan seks.Namun, itulah yang membuat Gista jadi khawatir. Dia merasa ….“Ini salah,” gumamnya lirih.Jam dinding sudah menunjukkan pukul satu malam. Dia beringsut pelan keluar dari pelukan Akash. Dipandanginya pria tampan yang terlelap pulas di sampingnya.“Kenapa tiap kita debat, kamu selalu bujuk aku pakai seks?” tanya Gista lirih.Perlahan tanpa suara Gista turun dari tempat tidur. Dia berjalan ke balkon. Namun, ponsel Akash yang berpendar di nakas menarik perhatiannya.Ada telepon dari penulis horor yang sedang naik daun. Gista mengernyit. “Kurang kerjaan banget nelepon cowok jam segini. Reject aja kali, ya. Tapi entar Akash marah.”Ponsel mati. Gista menghela napas lega. Namun, tidak lama panggilan itu kembali datang. Gista mengernyit. Tanpa basa-basi, dia menekan tombol merah dan membalik layar
“Aku ingin menciummu … di bibir … di dada … di perut … dan di sini ….” Gista tersentak. Dia memejamkan mata, menikmati sentuhan dan tekanan lembut jari-jari Akash di kewanitaannya. Tanpa sadar Gista mengerang dan melempar kepala ke belakang, bersandar pada dada bidang Akash yang berdiri di belakangnya. “Suka? Kamu suka disentuh di sini? Kamu suka dimasuki, Gista?” Pertanyaan ca bul itu membuat Gista terangsang. Dia mengangguk, menggigit bibir saat jari Akash menyusup ke balik celana dalamnya, lalu mendesah puas setelah jari itu bertemu dengan kehangatan di dalam dirinya. Satu jari masuk. Dua jari masuk. Gista terengah saat permainan jari Akash makin cepat. Napasnya memburu. Sedikit lagi. Ya, sedikit lagi. Dan …. “Sial!” Gista tersentak kaget karena mendengar alarmnya berdering sangat keras. Tangannya meraba-raba nakas dan mematikan benda menyebalkan itu. Jam enam pagi. Gista terbangun dengan penampilan berantakan. Dia duduk di tempat tidur. Rambut acak-acakan, pakaian tersingka
“Gista belum terima bunganya? Leo, lo gimana, sih? Gue kasih kerjaan enteng aja lo nggak bisa.”Leo memainkan jari-jari tangannya. Dia menghindari kontak mata dengan Akash.“Leo, lo kenapa lagi?”Pria itu langsung mundur saat Akash berjalan mendekatinya. Suaranya gugup. “Kash, gue bisa jelasin.”Akash berhenti melangkah. Matanya menyipit. “Apa?”“Jadi, gini …. Gue udah kasih buket bunga raksasa ke Miss Gista. Sumpah, gue sendiri yang pesen ke florist. Gue juga antar sendiri. Terus ….”“Terus?” Akash tak sabar.“Gue letakin buketnya di teras Miss Gista. Ponsel gue ketinggalan di mobil. Niatnya cuma mau ambil ponsel doang, tapi pas balik ke rumah Miss Gista ….”Kerut dalam muncul di dahi Akash. Matanya menyipit curiga. Di depannya Leo terlihat panik. Berkali-kali dia membuang muka ke arah lain.“Pas gue mau balik, ada Arvin datang. Dia … dia ambil buketnya, buang kartunya, dan kasih rangkaian bunganya ke Miss Gista–Kash, Kash, jangan marah.”Wajah Leo pucat. Bagian depan kemejanya dicen
“Duh, kenapa dompet pakai ketinggalan segala?”Gista kembali ke apartemen. Namun, di depan pintu dia berhenti. Sayup-sayup terdengar suara Akash bicara. Telinganya langsung menempel ke daun pintu, sengaja menguping pembicaraan Akash.“Ya, aku paham. Aku sudah atur semuanya.”Nada bicara Akash sangat kaku, bukan seperti Akash yang biasa menggodanya, apalagi seperti Akash yang beberapa menit lalu bersitegang dengannya di apartemen.“Anda pikir, aku punya opsi untuk menolak undangan itu? Kita semua tahu, kalau aku nggak datang, saham Salim Publishing bisa jatuh.”Gista menahan diri. Tangannya masih menggantung di udara, belum jadi menekan kunci. Jantungnya berdegup aneh, seperti baru saja masuk ke ranah yang bukan miliknya.“Tidak perlu khawatir soal laporan keuangan. Aku akan periksa ulang. Aku tidak pernah gagal. Anda tahu itu.”Nada suara Akash meninggi, meski masih terkendali. Sepertiny
“Shit! Gista! Kamu ketat banget.”Akash mencengkeram panggul wanitanya. Di atasnya, Gista bergerak seperti orang tengah menaiki kuda ….… tepatnya Gista sedang menaiki dirinya.Wanita itu bergerak lincah, berputar, maju mundur, dan di dalam sana Akash terpelintir kenikmatan.Dia mengernyitkan dahi, menahan klimaksnya datang lebih cepat. Tangannya pasti meninggalkan bekas merah di panggul Gista. Namun, Akash tak peduli hal itu.Dia harus menahan diri. Setidaknya sampai Gista mencapai puncak untuk ketiga kalinya.“Lebih cepat, Sayang.” Akash menyemangati.Dia meraih punggung Gista, melahap payu dara wanitanya. Gista mengerang keras, bersahutan dengan desahan sensual dari layar televisi yang menampilkan adegan serupa.Napas Akash memburu. Dia harus bertahan, tetapi Gista membuatnya nyaris kehilangan kendali.Dering keras ponsel Gista mengusik konsentrasinya. Wanitanya masih terus bergerak di atasnya, tampan tidak terpengaruh dengan suara jeritan ponselnya. Namun, Akash tidak bisa.Dia me