Bara terdiam sejenak. Ia tahu betul, setiap langkahnya selalu disertai konsekuensi. Dan ia paham benar apa yang menantinya jika ia memilih untuk menemui Milena saat ini. Apalagi kalau bukan drama pertunangan mereka yang akan kembali disorot, menjadi konsumsi publik yang memuakkan."Ini yang Opa inginkan. Aku muncul di sana, berdiri di sisi Milena, memberi kesan bahwa aku calon suami setia." Ia mendengus dalam hati, muak dengan permainan panggung yang dirancang oleh kakeknya.Bara menoleh pada Sofyan. Matanya tajam, dingin, seperti saat ia menjatuhkan vonis akhir dalam ruang rapat dewan direksi. "Sofyan, katakan pada Opa Sigit bahwa aku tidak akan datang. Dan katakan juga, aku tidak ingin terikat apa pun lagi dengan Milena."Nada suaranya tegas, final. Tangannya mempererat genggamannya pada Cheryl, seolah menegaskan pilihannya. Ia tidak akan berpaling dari istrinya lagi, tak peduli berapa banyak tekanan yang datang dari luar.“Tapi, Tuan—” Sofyan mencoba menyela, namun Bara segera memo
Cheryl langsung memeluk Bara dan menangis terisak dalam dekapan pria itu. Tubuhnya gemetar, bahunya naik-turun menahan sedu yang meledak tanpa bisa dihentikan. Air matanya membasahi dada pria yang kini ia peluk seerat mungkin, seolah hanya dekapan itu yang mampu menenangkan badai di dalam hatinya."Kamu tak perlu melakukan ini, Bara. Seharusnya kamu tak perlu bertindak sejauh ini," ucapnya sambil tersedu-sedu. Ia menenggelamkan wajahnya di dada Bara, merasa begitu kecil namun begitu aman dalam pelukan itu.Bara balas memeluk Cheryl lebih erat, seakan tak ingin melepaskannya barang sedetik pun. Napasnya hangat menyentuh kulit kepala Cheryl saat ia berkata, "Aku mencintaimu, Cheryl. Aku akan melakukan apa pun untuk mempertahankan pernikahan kita."Ucapan Bara membuat Cheryl semakin tersedu. Tangisnya semakin dalam, mengalir bersama keyakinan yang baru saja tertanam kuat dalam dirinya. Kini ia percaya, sangat percaya bahwa Bara benar-benar serius menikahinya. Semua keraguan yang selama i
Milena membeku. Darahnya seakan berhenti mengalir. Kata-kata Bara menggema dalam kepalanya, menusuk seperti duri di dada. “Aku jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama.”Milena menggeleng seraya bergumam pelan, “Semudah itukah… kau memalingkan hatimu, Bara? Bukankah kau juga pernah bilang cinta padaku? Hanya padaku…?”“Milena, cukup! Jangan rendahkan dirimu seperti ini di depan laki-laki yang sudah menolakmu!” seru Nyonya Dania, tak sanggup menyembunyikan amarah dan rasa malunya. “Mama tidak pernah mengajarkanmu untuk bersikap serendah ini!”Sedangkan Tuan Adiguna hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya, namun kerutan di wajahnya cukup bicara banyak, bahwa ia tak menyukai arah situasi ini.“Aku mencintaimu, Bara! Tidak bisakah kau melihat betapa besarnya cintaku padamu?” tangis Milena pecah. Ia sudah tak peduli pada harga diri, pada omelan ibunya. Sebab baginya kehilangan Bara terasa lebih menakutkan daripada apa pun.“Aku tak pernah mengeluh padamu soal sakitku, kan
Bara tahu apa maksud Milena. Ia tahu itu bukan tentang pekerjaan. Itu tentang penundukan. Tentang mempermalukan. Tentang membalas dendam dengan cara paling elegan namun menyakitkan.Lelaki itu berdiri tegap di samping Cheryl. Matanya terpaku pada wajah kakeknya, lalu beralih tajam ke arah Milena yang duduk di atas kursi rodanya dengan ekspresi puas, seolah baru saja memenangkan permainan yang telah dirancangnya sejak awal.‘Brengsek. Mereka boleh saja menekanku, aku siap menghadapi mereka dengan cara apapun. Tapi mereka tidak boleh melakukan ini pada Cheryl, pada istri yang kucintai,’ geramnya dalam hati.Dadanya terasa mengencang, seolah ada bara api yang menyala dan membakar dari dalam. Otot rahangnya menegang seperti kawat baja yang hampir putus. Ia melihat segalanya dalam gerak lambat: tatapan Milena yang seperti menelan Cheryl hidup-hidup, ekspresi Tuan Sigit yang dingin dan menghakimi, serta Cheryl yang berdiri kaku di sampingnya, dengan bahu sedikit bergetar dan sorot mata yang
Milena terpana di atas kursi rodanya. Ia duduk tegak, punggung lurus seolah tak ingin memberi celah sedikit pun bagi rasa lemah untuk terlihat. Jari-jarinya yang terletak di pangkuan sempat mengepal, namun segera ia renggangkan kembali dengan tenang, menjaga penampilannya tetap anggun.“Dari mana kamu mendapat cincin dan kalung itu, Cheryl?” ucapnya lirih.Nada suaranya tak meninggi, tapi mengandung ketegasan yang dingin dan menusuk. Tidak perlu berteriak. Kalimat itu meluncur ringan, namun cukup nyaring terdengar.Hening mendadak menyelimuti udara, bersama semua mata yang kini memandang ke arah Cheryl.Sorot mata Milena tajam, dingin, dan menyala dengan kekecewaan yang berusaha ia redam. Tubuhnya mungkin tak mampu melangkah mendekat, tapi keangkuhan dan harga dirinya tetap tegak berdiri. Kepalanya sedikit dimiringkan, seolah tengah menilai seseorang yang telah melewati batas.“Itu… milikku,” lanjutnya dengan suara yang sedikit lebih berat. “Bara membelikannya untukku di Paris. Kamu m
Di dapur, Cheryl tersentak. Suara Bara terdengar jelas, bulat, dan tanpa ragu. Kalimat itu, “Dia sangat berharga untukku,” menghempas dirinya seperti angin kencang yang datang tanpa aba-aba.Tubuhnya membeku, seolah waktu berhenti tepat saat kalimat itu mengalun dari bibir pria yang diam-diam telah menjadi pusat dari segala yang ia jaga. Dadanya bergetar hebat, seolah jantungnya menabrak dinding rusuk berulang kali. Sebuah rasa hangat meledak dari dalam dadanya, menyebar cepat hingga membuat jemarinya gemetar dan kakinya nyaris tak berpijak. Ia tak pernah berani membayangkan akan mendengar pengakuan itu secara terbuka. Dan ketika itu terjadi… rasanya terlalu indah untuk menjadi nyata.Namun kebahagiaan itu tak datang sendirian.Secepat gelombang hangat itu menyapu tubuhnya, datang pula dingin yang menggigit, mencengkeram tengkuknya dengan kuku-kuku tajam bernama ketakutan. Ditambah, suara berat Tuan Sigit yang menyusul kemudian, menyayat udara seperti belati.“Cheryl berharga? Seber
Di ruang makan, semua mata kini tertuju pada Bara. Sorot terkejut tergambar jelas di wajah Tuan Sigit. Bahkan, Nyonya Dania yang semula tertawa ringan, kini mematung dalam diam. Tapi yang paling mencolok adalah Milena, tangannya yang semula santai menggenggam pegangan kursi rodanya kini menegang. Jari-jarinya mencengkeram plastik pelapis kursi seperti mencoba mencari pegangan atas realita yang tiba-tiba berubah dingin.Bara menatap ke depan, tak bergerak. Biarpun dalam dadanya berdegup kencang, namun wajahnya tetap tenang, seperti topeng yang sudah lama ia pelajari untuk dikenakan. Ia tahu apa yang baru saja ia ucapkan bisa menimbulkan riak yang lebih dari sekadar kemarahan orangtua Milena dan kakeknya. Tapi prioritasnya saat ini adalah mempertahankan Cheryl. Masih lekat dalam ingatannya ketegaran yang ia lihat di mata wanita itu ketika berpaling, adalah sesuatu yang tak bisa lagi ia abaikan. Tidak. Bara tak ingin kehilangan Cheryl, tidak sekarang atau besok. Jika ia harus melawan
Air hangat yang menyapu kulitnya seperti selimut lembut dari langit, membuat Cheryl perlahan merasa tenang. Uap tipis memenuhi kamar mandi, membungkus tubuhnya dalam kehangatan, cukup menenangkan badai yang bergemuruh dalam pikirannya. Ia menutup mata, membiarkan air itu jatuh dari bahunya, meresap hingga ke pori-pori, seakan bisa membilas luka yang tinggal karena pernikahan sirinya dengan Bara kini berada di ujung jurang.Cheryl lelah. Letih yang tak lagi bisa ditawar. Dan kali ini, ia memilih menyerah. Karena apa gunanya mempertahankan sebuah ikatan yang bahkan hukum pun tidak mengakuinya? Terlebih, Bara telah resmi bertunangan dengan Milena. Di depan keluarga besar mereka, di hadapan dunia. Cheryl kalah. Dan kekalahan itu terasa begitu nyata, seperti pecahan kaca yang menusuk setiap inci hatinya.Selesai mandi, Cheryl melangkah pelan ke arah lemari. Jemarinya menyentuh gaun-gaun indah, pakaian serba mahal yang dibelikan Bara, yang pernah membuatnya merasa dicintai, membuatnya sep
Bara menggertakkan rahang. Rasanya, ia ingin sekali membanting pintu dapur, berteriak, bahkan mengusir semua orang dari rumah ini. Tapi ia tahu, semua itu hanya bisa ia lakukan dalam khayalannya saja. Ia menunduk sejenak, mengatur napas. Menelan bulat-bulat kekecewaan yang belum sempat ia sembuhkan pagi ini. Kemudian, ia meletakkan kembali nampan ke atas meja. Matanya masih menatap makanan yang ingin ia sajikan untuk Cheryl itu beberapa detik, penuh rasa berat yang tak terkatakan, sebelum akhirnya ia berbalik dan berjalan menuju ruang tamu. Setiap langkahnya bergema dalam kesunyian rumah, dan setiap detik terasa seperti pengkhianatan terhadap niat awalnya hari ini, yang ingin mempersembahkan waktunya penuh untuk Cheryl. Tapi kini ia harus menghadapi sesuatu yang tak ia undang. Begitu sampai di ambang ruang tamu, Bara menarik napas dalam-dalam. Ia menegakkan tubuh, mengatur raut wajah, dan melangkah masuk. Tuan Sigit berdiri dengan angkuh, seperti biasa. Di sebelahnya, Milen