"Nggak mau."Suara Cheryl terdengar tegas, membuat Bara sedikit tersentak. Sekilas, ada keterkejutan di mata pria itu, seolah tak menyangka bakal menerima penolakan sekeras itu dari seorang Cheryl."Bagaimanapun, momennya sudah beda, Bara. Mahar pernikahan nggak bisa ditukar gitu aja. Itu milikku, hakku.” Sorot mata Cheryl menyiratkan keteguhan yang tak tergoyahkan. “Nggak peduli itu bekas siapa, tapi sekarang itu sudah jadi milikku. Dan milikku akan tetap menjadi milikku,” tegasnya.Tatapan mereka bertemu. Bara menatapnya lekat-lekat, rahangnya mengencang, seakan mencari celah untuk membantah. Tapi kepala Cheryl tetap tegak, sorot matanya menantang, menyiratkan bahwa ia tak akan mundur satu langkah pun."Tapi, Cheryl, ini lebih bagus dan yang pasti kubeli baru hanya untukmu. Aku ingin yang terbaik buatmu, sayangku." Bara membujuk, suaranya lebih lembut, penuh harap.Cheryl menggeleng. "Bara, aku bicara tentang momen. Pernikahan kita adalah momen yang tak bisa diulang, sudah terjadi,
Matahari baru saja naik ketika jet pribadi itu meninggalkan landasan, melesat meninggalkan Jakarta menuju Venesia. Langit biru cerah membentang luas di luar jendela, sementara di dalam kabin yang mewah, suasana terasa sunyi, hanya diiringi suara mesin yang halus.Tuan Sigit duduk dengan tenang di kursinya, menyeruput teh hangatnya dengan elegan. Di seberangnya, Bara sibuk membaca dokumen di tangannya, meski sorot matanya menunjukkan pikirannya melayang ke tempat lain.“Kudengar, perempuan itu datang menemuimu di kantor,” suara Tuan Sigit memecah keheningan.Bara menutup dokumen yang dipegangnya, menoleh dengan ekspresi datar. “Dia mencoba membujukku agar menemui Papa. Katanya, sedang sakit.”Tuan Sigit meletakkan cangkirnya dengan gerakan ringan. “Dan kau datang?” tanyanya, meneliti cucunya dengan pandangan penuh selidik.Bara menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Aku tidak sepemurah hati itu, Opa tahu.”Senyum tipis muncul di wajah Tuan Sigit. “Bagus.” Ia menarik napas panjang, lalu mengg
Suara dengungan mesin pesawat memenuhi kabin, menciptakan kesunyian yang justru semakin menyesakkan. Bara duduk tegak, jemarinya tanpa sadar menegang di sandaran kursi, sementara tatapannya tetap terkunci pada sosok Tuan Sigit di depannya.Pria itu tampak tenang, terlalu tenang. Seakan ia sedang menikmati situasi ini, membiarkan ketegangan merambat perlahan, menyusup ke setiap sudut ruangan sempit ini.“Kau bisa lebih dari ini, Bara,” suara Tuan Sigit akhirnya terdengar, datar, tanpa emosi. “Tapi aku ingin tahu... sejauh mana batas kecerdasanmu.”Bara tidak menjawab. Ia tahu, pria itu tidak sedang mencari jawaban.Tuan Sigit menyandarkan punggungnya dengan santai, memandang Bara dengan tatapan yang sulit diartikan. “Hmm. Beberapa hal masih menjadi misteri bagiku.” Ia berhenti sejenak, sengaja membiarkan jeda yang cukup lama. Bara merasakan tatapan itu seolah menguliti dirinya perlahan.“Aku ingin percaya bahwa kau tidak menyembunyikan sesuatu yang tak seharusnya, Nak.”Napas Bara ter
Rolls-Royce Cullinan hitam itu melaju mulus di sepanjang jalan utama Jakarta. Di dalam kabin yang kedap suara, Dr. Joshua Valen bersandar santai di kursi belakang dengan tablet di tangannya. Cahaya lembut dari layar memantulkan bayangan samar di kaca mobil, menyoroti rahang tegas dan sorot mata tajamnya yang tengah fokus membaca laporan keuangan rumah sakitnya.Bintang Hospital Group, jaringan rumah sakit elite yang dipimpinnya, baru saja menyelesaikan ekspansi di Surabaya. Laporan di tangannya merinci peningkatan jumlah pasien VIP dan pengadaan peralatan medis baru dari Jerman. Namun, ada satu bagian yang menarik perhatiannya, laporan tentang kemajuan proyek rumah sakit khusus orthopedi yang sedang dibangun di kawasan BSD. Biaya pembangunan sedikit membengkak, dan ia perlu memastikan bahwa tak ada kebocoran dana yang tak perlu.Tiba-tiba, getaran halus dari teleponnya menginterupsi perhatiannya. Nama Axel muncul di layar.“Halo?”"Om Valen, aku sudah transfer uang yang waktu itu kupi
Samar-samar, Cheryl merasakan cahaya putih menusuk kelopak matanya yang masih berat. Aroma antiseptik khas rumah sakit langsung menyergap hidungnya begitu ia mulai sadar sepenuhnya. Langit-langit putih bersih di atasnya terasa asing, begitu pula suara bip mesin medis yang terdengar pelan di sekitarnya.Matanya berkedip beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya sebelum akhirnya ia tersadar sepenuhnya, bahwa dirinya sedang berbaring di ranjang rumah sakit.“Kok aku di sini sih?” gumamnya lirih.Refleks, ia mencoba bangkit, tapi baru saja tubuhnya terangkat beberapa sentimeter, seseorang menahan bahunya.“Pelan-pelan saja, jangan langsung bangun. Nanti malah sakit kepala.”Cheryl menoleh, baru menyadari keberadaan pria yang berdiri di samping ranjangnya. Ia mengerjap, kebingungannya semakin menjadi. “Kamu... siapa?” Pria itu dengan tenang menjawab, “Ojek kamu tadi menabrak mobilnya dokter Joshua. Dan aku Reno, asisten pribadinya dokter Joshua. Beliau memintaku mengurusmu, m
Cheryl tercengang.Sosok dokter di hadapannya begitu tampan. Terlalu tampan. Seperti tokoh komik yang mewujud nyata dalam balutan jas putih yang tersemat anggun di tubuhnya yang tinggi tegap dan atletis. Rahangnya tegas, hidungnya mancung, dan sorot matanya tetap tajam di balik kacamata.Ada sesuatu dalam cara dokter itu menatapnya, tatapan yang begitu lembut dan menghargai. Jenis kelembutan yang mampu mengoyahkan hati siapa pun tanpa aba-aba.Tatapannya turun ke dada pria itu, pada bordiran rapi di atas saku jasnya: dr. Joshua Valen, Sp.OT, FICS, MBA.Seketika, ada sesuatu dalam ingatannya yang tersentak. Ah. Jadi ini dokter Joshua Valen. Ia ingat pernah bertemu dengannya.Malam itu. Saat ia baru saja selesai menjalani visum di rumah sakit, ditemani Bara.Saat itu, dokter ini sempat mengiranya sebagai Baby. Dan itu sukses menyulut rasa cemburu sekaligus kesal dalam dirinya. Karena kala itu, Cheryl masih mengira Baby adalah kekasih Bara.“Bagaimana kabarmu, Cheryl?”Suara dokter itu m
Langit senja perlahan memudar, meninggalkan semburat jingga yang masih membekas di cakrawala. Lampu-lampu di sepanjang kanal Venesia mulai menyala, memantulkan cahaya keemasan di atas permukaan air yang bergelombang lembut saat gondola-gondola berlalu. Aroma asin laut berpadu dengan wangi kopi Italia dan anggur merah dari restoran-restoran di tepi kanal, menambah nuansa khas kota terapung ini.Di balkon pribadi sebuah restoran eksklusif yang menghadap Grand Canal, perjamuan kecil berlangsung dalam suasana yang hangat. Namun, di balik senyum dan percakapan ringan, ada ketegangan yang menyelimuti ruangan. Di meja yang tertata elegan dengan taplak linen putih dan lilin-lilin kecil yang berkelip lembut, orangtua Milena, yaitu Adiguna Wongso dan Dania, duduk berdampingan, berhadapan langsung dengan Rudi Wongso dan Warda Salim yang merupakan kakek dan neneknya Milena.Sementara Tuan Sigit duduk di sisi lain meja dengan ekspresi tenang dan penuh wibawa. Pemandangan Venesia yang memukau se
Cahaya matahari pagi merayap masuk melalui tirai tipis berwarna gading, menciptakan bayangan lembut di ruangan perawatan VIP yang didominasi nuansa beige dan krem. Dindingnya tidak sekadar putih polos seperti kamar pasien biasa, melainkan dihiasi aksen kayu yang memberikan kesan lebih hangat dan nyaman.Cheryl menarik napas dalam, mencoba mengabaikan rasa sakit yang mulai terasa semakin nyata. Kecelakaan kemarin... baru sekarang efeknya benar-benar menyiksanya. Ia menggigit bibir, berusaha menahan rintihan saat memaksa tubuhnya untuk bangkit. Namun, begitu kakinya menyentuh lantai, sensasi nyeri yang menusuk membuatnya meringis.Perlahan, ia berjalan tertatih ke kamar mandi. Begitu cermin besar di dalam ruangan itu memantulkan bayangannya, ia tertegun. Memar-memar kebiruan menghiasi kulitnya, di bahu, di lengan, bahkan di pinggang. Beberapa luka kecil juga terlihat di pelipisnya, samar tapi tetap mengingatkan akan benturan keras yang ia alami.Cheryl menekan jari-jarinya ke sisi tubu
Bara menggertakkan rahang. Rasanya, ia ingin sekali membanting pintu dapur, berteriak, bahkan mengusir semua orang dari rumah ini. Tapi ia tahu, semua itu hanya bisa ia lakukan dalam khayalannya saja. Ia menunduk sejenak, mengatur napas. Menelan bulat-bulat kekecewaan yang belum sempat ia sembuhkan pagi ini. Kemudian, ia meletakkan kembali nampan ke atas meja. Matanya masih menatap makanan yang ingin ia sajikan untuk Cheryl itu beberapa detik, penuh rasa berat yang tak terkatakan, sebelum akhirnya ia berbalik dan berjalan menuju ruang tamu.Setiap langkahnya bergema dalam kesunyian rumah, dan setiap detik terasa seperti pengkhianatan terhadap niat awalnya hari ini, yang ingin mempersembahkan waktunya penuh untuk Cheryl. Tapi kini ia harus menghadapi sesuatu yang tak ia undang.Begitu sampai di ambang ruang tamu, Bara menarik napas dalam-dalam. Ia menegakkan tubuh, mengatur raut wajah, dan melangkah masuk.Tuan Sigit berdiri dengan angkuh, seperti biasa. Di sebelahnya, Milena duduk d
Cahaya pagi yang samar menyusup melalui sela tirai, mengguratkan warna keemasan di dinding kamar. Cheryl mengerjapkan mata pelan, merasakan sisa perih di sudut-sudutnya. Tubuhnya masih berat, pikirannya buram. Tapi saat pandangannya mulai fokus, jantungnya terhenti sejenak ketika menyadari bahwa Bara adalah sosok yang pertama kali ia lihat hari ini.Lelaki itu duduk di sisi tempat tidur, diam, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, antara penyesalan dan kelegaan.Cheryl tersentak bangun, napasnya tercekat. Untuk sesaat, begitu saja, ia hampir merentangkan tangan, ingin menarik lelaki itu dalam pelukannya, mencari hangat yang dulu selalu menenangkan. Tapi kesadaran datang seperti tamparan keras.Lelaki ini... lelaki inilah yang membuatnya lelah menangis semalaman."Kenapa kamu di sini?" suaranya serak, hampir berbisik, lebih kepada dirinya sendiri daripada untuk didengar Bara.“Aku… nggak mau jauh dari kamu. Aku mau kamu tetap sama aku, Cheryl. Apapun yang terjadi. Demi kamu,
Cheryl tak langsung menyalakan lampu saat memasuki kamarnya. Ia berdiri dalam gelap, membiarkan sepi menyambutnya seperti pelukan dingin dari dunia yang telah kehilangan warna.Napasnya membeku di udara, berat dan tersendat, seolah paru-parunya pun enggan menerima kenyataan. Yang paling menyakitkan bukanlah ditinggalkan, melainkan kenyataan bahwa ia sendirilah yang memilih pergi dari pria yang masih ia cintai, tapi tak sanggup lagi ia percaya.Ia teringat pada hari pertama ia mengizinkan dirinya mencintai Bara. Pada senyum lembut pria itu. Pada pelukan hangatnya yang dulu terasa seperti rumah. Tapi kini semua kenangan itu terasa seperti belati, menyayat tanpa ampun.Cheryl perlahan merosot ke lantai, membiarkan tubuhnya ambruk dalam keheningan yang memekakkan. Tangannya terulur ke arah ranjang… tempat di mana ia pernah menyerahkan seluruh dirinya, bukan hanya tubuh, tapi juga cinta, keyakinan, dan kehormatan.Masih terngiang bagaimana malam pertama mereka terjadi hari itu…"Bara. Kita
“Bertunangan dengan Milena bukan keputusan hatiku. Itu keputusan keluarga. Mereka menyatukan dua perusahaan besar melalui pertunangan itu, dan aku… aku terlalu lemah untuk menolaknya. Tapi aku bersumpah, Cheryl, tidak sedetik pun aku mencintai Milena. Hanya kamu, Sayang. Cuma kamu yang kucintai.”Ucapan itu menghantam Cheryl seperti badai yang tak bisa dihindari. Meski suara Bara bergetar, penuh penyesalan, hatinya tetap menolak untuk luluh. Pria itu berdiri di hadapannya, memohon dimengerti. Namun yang Cheryl rasakan hanya sesak. Seolah seluruh dadanya dihantam palu kebenaran yang selama ini coba ia tolak.Tubuhnya mulai gemetar. Bukan hanya karena marah atau kecewa, tapi karena sesuatu dalam dirinya mulai goyah. Dinding-dinding yang selama ini ia bangun rapat untuk menjaga hatinya tetap aman, kini retak perlahan.“Jika aku terang-terangan melawan Opa, Apex bisa hancur sebentar lagi… sebab untuk saat ini, aku masih membutuhkan Opa untuk membuat Apex tetap berdiri. Opa akan membantuku
Begitu Bara melangkah masuk ke dalam kamar mereka, ia menutup pintu perlahan dengan kakinya, membiarkan sunyi mengalir mengisi ruangan.Lampu di langit-langit memancarkan cahaya hangat, membungkus ruangan dalam bayangan keemasan. Namun, di balik kehangatan yang tampak, ada hawa dingin yang perlahan menggerogoti perasaan Cheryl. Dulu, ruangan ini terasa hidup oleh kebersamaan mereka, penuh dengan canda, tawa, dan detak cinta yang nyata. Tapi kini ruangan ini tak lebih seperti kurungan bagi Cheryl.Kamar ini memang pernah menjadi tempat perlindungan teraman bagi Cheryl. Tempat di mana tawa dan bisikan penuh cinta pernah mengisi setiap sudutnya. Tempat di mana ia bisa merasa dimiliki, dicintai, dan dicari. Tempat yang selama beberapa hari ini ia rindukan.Namun kini, setelah kembali ke kamar ini lagi… hatinya justru teriris pedih. Fakta tentang pertunangan Bara dan Milena kembali terasa menghujam jantungnya. Sebentar lagi, kamar ini mungkin tak lagi menjadi milik mereka berdua. Akan a
Begitu roda Mercedes-Maybach GLS 600 berkilau melewati gerbang utama, rumah Bara menjulang megah di tengah senja. SUV obsidian black itu meluncur mulus di atas jalan berbatu, gril krom besar memantulkan cahaya temaram, sementara emblem Maybach di kap depan berkilau bagai mahkota. Velg multi-spoke berpendar setiap kali roda berputar, menegaskan aura eksklusif yang membungkus mobil ini.Di dalam kabin beraroma kulit Nappa dan kayu oak, Cheryl memalingkan wajah ke jendela, menatap senja yang memburam. Tubuhnya kaku, bahunya menegang, membangun benteng tak kasat mata di sekeliling dirinya.Di sebelahnya, Bara duduk gelisah. Satu kakinya bergerak kecil, mengetuk-ngetuk lantai karpet seolah melampiaskan ketegangan yang ia tahan. Tangannya sempat terulur, hampir saja menyentuh punggung tangan Cheryl, namun ia menarik kembali.Keheningan di antara mereka terasa berat, nyaris mencekik. Bara bisa merasakan kemarahan Cheryl mengisi udara seperti listrik statis, menusuk kulitnya tanpa suara. Ia
Tuan Sigit masih terpaku di tempatnya. Ponsel di tangannya terasa dingin, nyaris membeku. Telepon itu sudah diputus sepihak oleh Valen. Dan untuk pertama kalinya, seseorang berani menutup telepon lebih dulu darinya. Lebih dari itu, untuk pertama kalinya pula... Tuan Sigit tidak bisa berbuat apa-apa.Rahangnya mengeras. Otot-ototnya menegang. Ia menggertakkan gigi, geram sekaligus tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.“Bisa-bisanya selama ini aku tidak tahu kalau Valen adalah cucunya Tuan Januar?” desisnya, nyaris seperti gumaman pahit yang tercekat di tenggorokan. Matanya menajam, penuh kemarahan yang tak bisa dilampiaskan.Nama itu—Januar Sutanto—bergema di kepalanya seperti dentang lonceng. Sosok legendaris yang tak sekadar berpengaruh di dunia bisnis, tapi juga menjadi tokoh panutan lintas generasi. Pendiam, karismatik, dan dikenal karena jaringan kekuasaan yang begitu luas, bahkan para pejabat tinggi pun menunduk saat berbicara dengannya. Dalam diamnya, Tuan Januar menan
Setelah beberapa basa-basi ringan, Tuan Sigit akhirnya menyentuh inti pembicaraan. Suaranya terdengar lebih serius, mengandung harap sekaligus tekanan yang tak tersamar.“Dok, kau adalah salah satu dokter ortopedi terbaik di Asia Tenggara yang pernah kukenal.” Ia berhenti sejenak, memberi jeda pada kalimatnya, seakan ingin memastikan Valen mendengarkan dengan saksama. “Karena itu, aku sangat berharap kau bersedia membantu calon menantuku. Ia menderita Spondilitis Ankilosa, dan kondisinya kian memburuk. Apakah Bara sudah menemuimu dan membicarakan hal ini?”Valen terdiam sejenak. Ada keraguan yang bergemuruh dalam pikirannya. Akan sangat mudah baginya untuk menjawab ‘tidak’ dan menjaga jarak dari drama keluarga Wardhana, kisah yang selalu berujung rumit. Akan lebih tenang hidupnya jika tak banyak ikut campur ke dalam masalah mereka.Sayangnya, hati Valen tak bisa sedingin itu. Ia telah mengenal Bara terlalu lama untuk bersikap acuh. Ia menyayangi pria itu layaknya adik sendiri, dan ba
“Ayo kita pulang, kita bicarakan ini di rumah,” ajak Bara, suaranya lembut tapi tegas, penuh harap, seolah ia ingin mengangkat mereka keluar dari jurang yang baru saja mereka tatap bersama.Cheryl tak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, berat, seperti menarik semua keraguan dari dalam dadanya.“Pulang?” gumamnya lirih. Ada jeda dalam suaranya, keengganan yang tak bisa ia tutupi. “Kamu pikir aku bisa kembali ke rumah itu tanpa membayangkan bakal ada wanita lain yang juga akan menjadi istrimu?”Bara menggertakkan rahangnya pelan. “Sayang, kumohon. Aku tahu aku sudah keterlaluan. Tapi aku nggak ingin rumah itu kosong tanpamu, Cheryl. Aku butuh kamu di sana, Cheryl… tanpa kamu, rumah itu seperti kuburan bagiku.”Cheryl menoleh perlahan. Matanya basah, tapi kali ini tak ada air mata yang jatuh. Hanya pandangan penuh luka yang menggores dalam. “Kamu harus mulai belajar untuk tidak membutuhkan aku lagi, Bara. Demikian juga aku. Kita harus mulai membiasakan diri untuk tidak saling m