Dari tempatnya duduk di sudut bar, Reno mengawasi Cheryl yang tertawa kecil, membiarkan kepalanya terayun ke kanan dan kiri seperti balon helium yang baru saja dia nyanyikan.Sesekali senyum tipis lolos dari bibir Reno.“Bahkan saat mabuk pun dia tetap terlihat manis. Pantas saja bikin Mas Axel tergila-gila sampai tega meninju Omnya sendiri,” gumamnya, setengah miris, setengah geli.Jarum jam di pergelangan tangannya terus bergerak, menandai waktu yang meluruh bersama denting gelas dan irama jazz yang mengalun di bar itu.Beberapa tamu sudah berganti, bartender tetap sibuk bekerja, dan Cheryl… perlahan kepalanya tampak terkulai di atas meja bar, bahu mungilnya merosot. Masih meracau, menggumamkan potongan lagu anak-anak yang makin tak jelas nadanya.Reno tetap menunggu hingga beberapa jam. Akhirnya, ia mendekat saat Cheryl sudah tak bergerak lagi, entah ketiduran atau pingsan. Tangannya terulur, siap menahan tubuh gadis itu kalau benar-benar tumbang di kursi tinggi.Tapi rupanya suda
“Reno, kamu cepat pergilah… awasi dan jaga Cheryl. Pastikan dia aman,” tegas Valen. Suaranya datar tapi serak di ujung, seolah menahan denyut yang menancap di dadanya sendiri. Tatapannya masih terpaku pada pintu yang baru saja menelan punggung Cheryl.“Baik, Dok.” Reno mengangguk cepat dan segera keluar dari kamar, meskipun matanya sedikit was-was saat memandang Axel. Khawatir emosi anak itu bisa meledak lagi kapan saja dan bisa melukai tuannya.Tapi melihat ketenangan di mata Valen, Reno percaya sang dokter bisa menjaga dirinya sendiri. Sepeninggalan Reno, Valen menghela napas panjang, lalu ikut duduk di lantai, berhadapan dengan Axel. Ditepuknya lembut pundak si keponakan dengan segenap kasih sayangnya. Sikapnya tenang terkendali, meredam gelombang yang bisa menenggelamkan mereka berdua.“Axel. Demi Tuhan—” Suara Valen nyaris pecah, tapi di ujungnya tetap terdengar tegas dan berwibawa. “Om betul-betul baru tahu saat makan siang di rumahmu, bahwa Cheryl-lah orangnya. Om juga kaget,
Keributan dan teriakan di luar kamar mandi memukul jantung Cheryl keras-keras.‘Hah, apaan tuh?’ Ia langsung menutup kuping, matanya terpejam rapat, seolah suara benturan dan teriakan di luar sana bisa lenyap begitu saja.“Astaga… kenapa hal semacam ini harus terjadi sekarang sih!” erangnya sambil menekan telinganya lebih rapat. “Aku lagi bete, tau!”Tapi bentakan Axel, suara tinju menghantam, dan erangan Valen merobek pertahanannya untuk pura-pura tak mendengar apa-apa.Cheryl akhirnya bangkit, tangannya sedikit gemetar saat meraih kenop pintu.Begitu pintu terbuka, suara ‘BRAK!’ kembali meledak. Valen terhuyung ke dinding, bahunya menghantam lemari dengan bunyi pekak. Sementara itu satu tangan Axel masih terangkat, wajahnya merah, napasnya berat, mata nyalangnya menatap Valen seperti memandang musuh bebuyutan. Reno sigap menahan pergelangan tangannya, tapi Axel meronta sekuat urat.‘Sialan. Akhirnya yang kutakutkan terjadi. Bahkan ini lebih buruk dari yang kubayangkan.’Pikiran Ch
Hati Axel panas membara.Saat Reno tadi berkata, “Saya antar bajunya Dokter Joshua dulu ya, Mas. Tunggu sebentar di sini, saya nggak lama kok. Cuma mau turun ke lantai 18,” Axel hanya mengangguk sambil menahan senyum tipis, padahal bara api di dadanya seketika meledak.“Baju buat Om Valen? Di lantai 18 dengan Cheryl?” desis Axel dalam hati, kedua matanya menyipit, menatap punggung Reno yang berbalik meninggalkannya di lorong hotel.“Mereka… check in?”Ada yang tersayat di hatinya. Cheryl, gadis yang di matanya tampak mahal dan polos, apakah ternyata semurah itu? Apakah kehormatan gadis yang ia cintai sejak SMA itu cuma seharga materi yang telah diberikan oleh omnya?Axel teringat bagaimana dulu diam-diam ia membuntuti Cheryl saat pulang sekolah sendirian, hanya untuk memastikan gadis itu betul-betul aman sampai di rumah. Namun, semua kenangan itu kini bagai ditertawakan Valen.Ia mengepalkan tangan, menahan amarah yang rasanya bisa meledak di tempat.Begitu Reno menjauh, Axel menajamk
Mimi mendorong pintu kamar Baby pelan, nyaris tanpa suara. Dua pelayan lain mengikuti di belakangnya, langkah mereka teratur, seragam, seperti pasukan kecil yang bergerak dengan satu komando.Di sudut kasur, Baby meringkuk. Rambutnya berantakan, mata membesar memandangi pintu yang tiba-tiba terbuka. Napasnya memburu. Ia tampak seperti anak kucing basah yang tersudut, siap mencakar siapa pun yang mendekat.Begitu Mimi melangkah ke dalam, Baby sontak bangkit. Kakinya terantuk sudut ranjang, tapi ia tak peduli. Suaranya pecah jadi jeritan.“Apa yang kalian lakukan?! Kenapa masuk-masuk kamarku tanpa izin?!”Mimi tak menjawab. Ia hanya menoleh pada salah satu pelayan, memberi aba-aba singkat.Pelayan di belakangnya segera membuka lemari, menarik gantungan baju satu per satu. Suara gesekan gantungan menambah panas di kepala Baby.“STOP IT!” jerit Baby. Tangannya meraih bantal, melemparkannya ke arah Mimi, tapi Mimi tak berhenti. Bantal itu jatuh di kaki pelayan yang sibuk melipat baju.“Ka
Nyonya Anne hanya tersenyum penuh makna.“Tapi kamu dan Baby tidak memiliki ikatan darah, Bara. Kalian sah-sah saja kalau menikah. Lagipula… pertunanganmu dengan Milena juga sudah tidak mungkin dilanjutkan, bukan?”Bara diam. Diamnya tajam seperti pisau basah baru diangkat dari batu asah. Rahangnya menegang. Otot lehernya berdenyut, seolah menahan sesuatu yang hampir tumpah.Dadanya terasa dihantam batu. Berat. Panas. Kata-kata Nyonya Anne berputar di kepalanya seperti rantai besi—membelenggunya lagi di sudut tanggung jawab yang seharusnya bukan miliknya.Ia menahan napas. Menelan dengus marah yang nyaris meledak. Matanya terarah lurus pada Nyonya Anne. Tatapannya dingin, membakar, menguliti sisa keberanian di wajah wanita itu.Dan di sela retak benaknya, Bara mendengar pesan kakeknya yang masih menancap di dasar kepalanya.“Jangan terlalu menghukum dirimu, Nak. Tak perlu jadi martir. Kematian Sabira sama sekali bukan salahmu.”Seketika, sisa sabarnya runtuh.Bara mencondongkan tubuh.