Cheryl menutup telepon dan meletakkan ponselnya di dalam tas. Tidak ada helaan napas panjang, tidak ada ekspresi kecewa—hanya gerakan biasa, seolah pembicaraan barusan hanyalah urusan sepele.Tangannya meraih buku menu. Ia membukanya perlahan, matanya menyusuri deretan nama hidangan tanpa terburu-buru, seperti seseorang yang sudah tahu apa yang diinginkan.Malam ini, ia tidak menunggu Valen, hanya sekadar datang karena diundang. Baginya tak mengapa jika Valen bakal terlambat atau tidak, bahkan jika tak datang pun Cheryl tak merasa kecewa — mungkin dulu iya, tapi sekarang tidak. Ia sudah lama menyadari bahwa hati lelaki itu bukan untuknya. Valen hanya meminjamkan sedikit waktunya, itu pun jika pekerjaan mengizinkan.Mungkin Valen memang sudah ditakdirkan sebagai penyembuh. Hingga hatinya seakan tidak bisa terkontaminasi oleh cinta selain pada pasien dan profesinya. Tapi itu tidak membuat Cheryl merasa patah hati, sebab hatinya memang sudah lebih dulu patah sebelum bertemu dengan pria
Seorang dokter ortopedi muda, Dr. Raka, berdiri di sisi ruangan konferensi lantai enam Bintang Hospital. Di layar besar, terpampang citra MRI bahu kanan seorang pria berusia 32 tahun—korban kecelakaan lalu lintas tiga bulan lalu.“Pasien mengalami rotator cuff tear grade IV dengan kerusakan pada supraspinatus tendon yang cukup signifikan,” ujar Raka sambil menunjuk area merah pada gambar MRI. “Terdapat pula Hill-Sachs lesion di bagian posterior kepala humerus akibat dislokasi anterior berulang. Mobilitas bahu saat ini terbatas, hanya sekitar 30 derajat abduksi aktif, disertai nyeri skala V menurut VAS.”Valen duduk di barisan depan, tampak berwibawa dalam balutan jas dokternya. Di hadapannya, sebuah tablet hitam terbuka pada rekam medis pasien. Tatapannya teduh tapi tajam, menyimak setiap kata, sesekali ia menggoyang-goyangkan stylus dengan jarinya.Dr. Raka melanjutkan, “Metode terapi yang saya ajukan adalah arthroscopic rotator cuff repair menggunakan teknik double-row dengan tambah
Cheryl keluar dari gedung JCC Senayan dengan langkah ringan, gaun wisudanya bergoyang anggun tertiup angin siang. Ia langsung menuju area parkir, tempat Honda Jazz abu-abu metalik miliknya menunggu.Mobil berdesain modern dan sporty itu sudah beberapa bulan ini menjadi teman setianya di tengah kesibukan kota, mudah bermanuver di jalanan padat dan tetap irit bahan bakar. Desainnya yang sleek dan aerodinamis cocok sekali dengan Cheryl yang mandiri dan sibuk. Cheryl membeli mobil itu dengan uang nafkah bulanan dari Bara — yang tak pernah telat ditransfer Bara ke rekeningnya setiap bulan, hingga hari perceraian mereka.Selama itu, Cheryl membiarkan transferan bulanan dari Bara mengendap di satu rekening khusus, nyaris tak tersentuh. Sampai suatu hari, saat iseng memeriksa rekening tersebut, ia hampir tak percaya melihat angka saldonya yang mencapai 1,8 miliar. “Gila! Ternyata dia rutin transfer seratus juta per bulan buat aku? Selama 18 bulan pernikahan kami? Tak pernah lewat satu bulan
Pagi itu, gedung Jakarta Convention Center di Senayan dipenuhi oleh riuh rendah para wisudawan, keluarga, dan tamu undangan acara wisuda Universitas Buana Nusantara, salah satu kampus swasta terbaik di Jakarta yang memiliki program afiliasi internasional.Cheryl duduk di antara deretan kursi yang penuh oleh para calon wisudawan dan wisudawati yang mengenakan toga hitam dengan pita warna biru laut, simbol program Magister Manajemen yang mereka tempuh. Dalam beberapa saat lagi, ia akan meraih gelar MBA, hasil dari program afiliasi internasional yang dijalankan kampusnya."Fakultas Ekonomi dan Bisnis.”Suara MC menggema. Satu per satu nama wisudawan dan wisudawati dari program S1, yang terdiri dari ratusan orang, mulai dipanggil. Cheryl sesekali ikut bertepuk tangan untuk mereka. Hingga tiba juga saatnya.“Program Studi Magister Manajemen.” Satu per satu nama wisudawan dan wisudawati mulai dipanggil. Dan akhirnya…. “Saudari Cheryl Anindita. Indeks Prestasi Kumulatif 3,87. Predikat Cu
Cheryl memandangi layar ponselnya beberapa saat setelah telepon dengan Valen terputus. Suara Valen yang hangat dan penuh perhatian biasanya bisa membuat hatinya tenang. Tapi entah mengapa malam ini justru membuat dadanya terasa… kosong. Pikirannya pun langsung melayang keluar kamar, tertambat pada sosok Bara.Tatapan terakhir Bara saat ia mengangkat telepon tadi… sorot mata yang diam tapi seakan menjerit tak terima, masih terekam jelas dalam benaknya. Ada kilatan luka di sana.Dan kini, Cheryl merasa gelisah. Tiba-tiba ada sejumput rasa bersalah yang mencubit-cubit hatinya tanpa ampun.Tanpa pikir panjang lagi, Cheryl melemparkan ponselnya ke atas ranjang begitu saja, lalu melangkah cepat keluar dari kamar.“Bara?” panggilnya sambil menuju dapur.Namun, ruangan itu sudah kosong.Sunyi.Hanya dua cangkir teh yang masih mengepulkan sisa uap di atas meja. Cheryl terhenyak. Jantungnya mulai berdetak tak karuan.Ia segera menuju kamar mandi dan mengetuk pintunya dengan cepat. “Bara? Kamu
Pintu kamar mandi terbuka disertai suara ‘klik’ dari handle yang diputar perlahan. Bara keluar dengan ekspresi super santai, tangan kanan masih menyeka tetesan air dari wajahnya. Begitu ia melangkah ke koridor—‘Plak!’Tabokan panas Cheryl mendarat di lengannya tanpa aba-aba."Pipis doang lama banget, heran!" semprot gadis itu, suaranya melengking seperti ketel mendidih. Sambil memelototi Bara dengan ekspresi sewot, Cheryl membanting pintu kamar mandi sambil menarik napas sekeras mungkin, seolah ingin membuang semua kekesalan yang menumpuk di dada.‘Brak! Klik!’Bara hanya menganga sesaat, lalu mengusap-usap lengannya yang barusan kena tabok. “Heran, dia hobi banget ngomel sih? Padahal belum jadi emak-emak,” gerutunya sambil mencibir kecil. Tapi senyum di ujung bibirnya tidak bisa disembunyikan.“Tapi, lebih heran lagi aku… kok bisa-bisanya ya suka sama cewek cerewet kayak dia?” Bara geleng-geleng kepala sambil melangkah menuju ruang tamu. Cinta memang absurd!Sesampainya di ruang ta