Sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah dengan handuk, Cheryl berjalan keluar dari kamar mandi. Uap hangat masih melekat di kulitnya, menyisakan aroma sabun yang lembut memenuhi udara. Ia tersenyum saat matanya bertemu tatap dengan Bara yang sedang menerima telepon. Namun Bara tak membalas senyumnya, lelaki itu justru segera mengalihkan pandangannya ke arah jendela.Cheryl tertegun di tempat, memandang Bara yang kini berdiri membelakanginya, tubuh lelaki itu diam di dekat jendela. Ia pun tahu, Bara sedang terlibat pembicaraan penting.Setelah Bara terlihat selesai, Cheryl bertanya, “Siapa yang menelepon?” nada suaranya santai, seolah tak ingin betul-betul tahu. Bara akhirnya menoleh dan tersenyum padanya tanpa menjawab apa-apa. Suaminya itu hanya mengedikkan bahunya, acuh tak acuh, seakan telepon tadi bukanlah sesuatu yang penting.“Kamu cantik banget habis mandi kayak gini,” gumam Bara seraya meraih pinggang Cheryl, memeluknya erat, lalu menunduk, mengendus lembut ceruk lehe
Bara berdiri di dekat jendela kamarnya, ponsel masih melekat di telinga. Pandangannya sesekali melirik ke arah kamar mandi di mana Cheryl sedang membersihkan diri usai percintaan panas mereka. Suara air yang mengalir terdengar samar, tapi cukup untuk membuat pikirannya sedikit terpecah. Ia berharap suara shower itu cukup menutupi percakapannya.Dia menurunkan sedikit volume suaranya, tak ingin Cheryl mendengar isi pembicaraan yang sedang berlangsung. Apa pun yang dibicarakan dengan Nyonya Dania, bukanlah sesuatu yang perlu Cheryl tahu. Istrinya tak seharusnya dibebani dengan masalah dari masa lalunya."Ini tak ada sangkut pautnya dengan istriku, Tante. Kenapa bawa-bawa Cheryl?" ucapnya pelan namun tajam. Tangannya yang menggenggam ponsel bergetar menahan emosi, sementara mata Bara memejam sejenak, menahan gemuruh kemarahan yang mulai mendesak dari dalam dadanya.“Tentu saja ini semua karena dia. Kamu tidak mungkin mencampakkan Milena begitu saja kalau bukan karena perempuan itu!” "A
Helikopter medis mendarat mulus di helipad lantai paling atas sebuah rumah sakit ortopedi terbaik di Jakarta, yang masih merupakan jaringan dari Bintang Hospital Group. Angin dari baling-balingnya menerbangkan debu halus dan ujung jas para staf medis yang sudah berjajar rapi di area pendaratan VIP.Sebuah tandu khusus diturunkan dengan cepat dari perut helikopter. Di atasnya, Milena terbaring kaku, wajahnya pucat pasi, rahangnya menggertak menahan rasa sakit yang menyayat hingga ke sumsum.“Stabilkan kepala! Jangan lepas penyangga spinalnya!” teriak salah satu paramedis yang berlari ke sisi tandu.“Brace cervikal masih aman!” sahut rekannya yang berjaga di bagian kaki tandu.“Arahkan brankar ke lorong isolasi! Jaga tulang belakang tetap sejajar, jangan ada rotasi mendadak!”Tandu berpindah ke brankar darurat, lalu tim medis membawanya melalui jalur khusus yang menghindari area umum, langsung menuju unit gawat darurat privat. Roda berdecit pelan di atas lantai mengilap, diiringi napas
Cheryl mendorong pelan tubuh Bara yang memeluknya. "Hah, gila apa?" Gerutunya pelan, tapi cukup jelas untuk membuat Bara mengangkat kepala.Bara menatapnya, sedikit bingung dengan reaksi Cheryl yang tiba-tiba menjauh. “Kok gila, sih?” tanyanya, nada suaranya terdengar lebih rendah, lebih hati-hati. “Apa salahnya kalau aku pengen punya anak dari kamu?”Cheryl bangkit duduk, menarik selimut menutupi tubuhnya, lalu mengalihkan pandangan ke arah jendela yang memantulkan cahaya pagi yang hangat. Matanya menatap jauh, tapi pikirannya justru berkelindan pada kejadian yang baru-baru ini merundungnya.“Bara, ini bukan soal mau punya anak. Ini soal kita sanggup atau nggak menghadapi semua konsekuensinya.”Bara ikut duduk, menyentuh lembut lengan Cheryl. “Aku serius. Aku nggak main-main waktu bilang aku cinta kamu. Dan aku pengen ada bagian dari kamu dan aku di dunia ini. Seseorang yang bisa kita jaga bersama, yang lahir dari cinta kita.”“Tapi jangan bikin kamu lupa satu hal,” potong Cheryl, ki
Bara melangkah menuju lorong panjang yang menghubungkan ruang makan dengan kamar utamanya. Tangan Cheryl terpeluk erat di lehernya, sementara Bara memegang tubuhnya dengan penuh kewaspadaan, seakan takut kehilangan momen ini.Di sepanjang lorong, para pelayan yang melihat mereka langsung menunduk, memberi ruang dan menghormati privasi sang tuan dan nyonya. Tidak ada yang berani mengganggu mereka. Dalam rumah ini, Bara merasa bebas untuk bertindak sesukanya, dan mulai saat ini, dia memilih untuk menikmati setiap detik kebersamaannya dengan Cheryl.Bara mencuri satu kecupan singkat di bibir Cheryl, dengan lembut namun penuh hasrat. “Kamu tahu, Cher, aku sering memimpikan saat seperti ini,” katanya dengan suara yang teredam, hampir berbisik.Cheryl memandang Bara dengan tatapan hangat. “Seperti apa?”Bara mencium bibir Cheryl lagi, kali ini lebih lama, lebih dalam, menikmati rasa ciumannya yang membuat dadanya berdebar. “Saat aku bisa bebas menciummu setiap kali aku ingin, tak peduli ada
Bara terdiam sejenak. Ia tahu betul, setiap langkahnya selalu disertai konsekuensi. Dan ia paham benar apa yang menantinya jika ia memilih untuk menemui Milena saat ini. Apalagi kalau bukan drama pertunangan mereka yang akan kembali disorot, menjadi konsumsi publik yang memuakkan."Ini yang Opa inginkan. Aku muncul di sana, berdiri di sisi Milena, memberi kesan bahwa aku calon suami setia." Ia mendengus dalam hati, muak dengan permainan panggung yang dirancang oleh kakeknya.Bara menoleh pada Sofyan. Matanya tajam, dingin, seperti saat ia menjatuhkan vonis akhir dalam ruang rapat dewan direksi. "Sofyan, katakan pada Opa Sigit bahwa aku tidak akan datang. Dan katakan juga, aku tidak ingin terikat apa pun lagi dengan Milena."Nada suaranya tegas, final. Tangannya mempererat genggamannya pada Cheryl, seolah menegaskan pilihannya. Ia tidak akan berpaling dari istrinya lagi, tak peduli berapa banyak tekanan yang datang dari luar.“Tapi, Tuan—” Sofyan mencoba menyela, namun Bara segera memo
Cheryl langsung memeluk Bara dan menangis terisak dalam dekapan pria itu. Tubuhnya gemetar, bahunya naik-turun menahan sedu yang meledak tanpa bisa dihentikan. Air matanya membasahi dada pria yang kini ia peluk seerat mungkin, seolah hanya dekapan itu yang mampu menenangkan badai di dalam hatinya."Kamu tak perlu melakukan ini, Bara. Seharusnya kamu tak perlu bertindak sejauh ini," ucapnya sambil tersedu-sedu. Ia menenggelamkan wajahnya di dada Bara, merasa begitu kecil namun begitu aman dalam pelukan itu.Bara balas memeluk Cheryl lebih erat, seakan tak ingin melepaskannya barang sedetik pun. Napasnya hangat menyentuh kulit kepala Cheryl saat ia berkata, "Aku mencintaimu, Cheryl. Aku akan melakukan apa pun untuk mempertahankan pernikahan kita."Ucapan Bara membuat Cheryl semakin tersedu. Tangisnya semakin dalam, mengalir bersama keyakinan yang baru saja tertanam kuat dalam dirinya. Kini ia percaya, sangat percaya bahwa Bara benar-benar serius menikahinya. Semua keraguan yang selama i
Milena membeku. Darahnya seakan berhenti mengalir. Kata-kata Bara menggema dalam kepalanya, menusuk seperti duri di dada. “Aku jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama.”Milena menggeleng seraya bergumam pelan, “Semudah itukah… kau memalingkan hatimu, Bara? Bukankah kau juga pernah bilang cinta padaku? Hanya padaku…?”“Milena, cukup! Jangan rendahkan dirimu seperti ini di depan laki-laki yang sudah menolakmu!” seru Nyonya Dania, tak sanggup menyembunyikan amarah dan rasa malunya. “Mama tidak pernah mengajarkanmu untuk bersikap serendah ini!”Sedangkan Tuan Adiguna hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya, namun kerutan di wajahnya cukup bicara banyak, bahwa ia tak menyukai arah situasi ini.“Aku mencintaimu, Bara! Tidak bisakah kau melihat betapa besarnya cintaku padamu?” tangis Milena pecah. Ia sudah tak peduli pada harga diri, pada omelan ibunya. Sebab baginya kehilangan Bara terasa lebih menakutkan daripada apa pun.“Aku tak pernah mengeluh padamu soal sakitku, kan
Bara tahu apa maksud Milena. Ia tahu itu bukan tentang pekerjaan. Itu tentang penundukan. Tentang mempermalukan. Tentang membalas dendam dengan cara paling elegan namun menyakitkan.Lelaki itu berdiri tegap di samping Cheryl. Matanya terpaku pada wajah kakeknya, lalu beralih tajam ke arah Milena yang duduk di atas kursi rodanya dengan ekspresi puas, seolah baru saja memenangkan permainan yang telah dirancangnya sejak awal.‘Brengsek. Mereka boleh saja menekanku, aku siap menghadapi mereka dengan cara apapun. Tapi mereka tidak boleh melakukan ini pada Cheryl, pada istri yang kucintai,’ geramnya dalam hati.Dadanya terasa mengencang, seolah ada bara api yang menyala dan membakar dari dalam. Otot rahangnya menegang seperti kawat baja yang hampir putus. Ia melihat segalanya dalam gerak lambat: tatapan Milena yang seperti menelan Cheryl hidup-hidup, ekspresi Tuan Sigit yang dingin dan menghakimi, serta Cheryl yang berdiri kaku di sampingnya, dengan bahu sedikit bergetar dan sorot mata yang