Udara di ruang kerja Bara masih hangat oleh jejak-jejak gairah. Aroma tubuh Cheryl, samar-samar bercampur dengan wangi kulit sofa dan parfum maskulin Bara, menciptakan atmosfer yang liar dan memabukkan.Tubuh Cheryl masih berada dalam pelukan Bara, pipinya menempel ringan di dada bidang pria itu, yang mulai tenang dari debar memuncak barusan.“Gila…,” bisik Cheryl, senyumnya terlukis lelah tapi puas. “Kita akhirnya... betul-betul melakukannya di sini.”Nada suaranya rendah, sedikit serak, dan entah kenapa terdengar begitu menggiurkan di telinga Bara.Bara menunduk, bibirnya mengecup lembut sudut bibir Cheryl yang terlihat penuh. “Seru, kan?” gumamnya, senyum nakal terbit di wajah tampannya.Cheryl hanya tertawa kecil, sebelum menghela napas dan mendorong pelan dada bidang itu. “Katanya… waktumu sempit? Banyak yang harus kamu urus untuk Apex. Kamu harus siap-siap rapat, kan?”Bara memutar mata malas, masih ingin menahan Cheryl dalam pelukannya, namun wanita itu sudah bangkit dari sofa
Bara duduk di balik meja kerjanya. Tangannya bertumpu pada pelipis, sementara layar laptop di depannya menampilkan grafik, tabel, dan catatan analisa yang tak henti bergulir. Laporan dari direktur keuangan, staf ahli strategi pasar, hingga konsultan merger terpampang jelas, menunggu untuk ditindaklanjuti.Namun matanya kosong. Fokusnya buyar. Pikirannya tidak betul-betul tertuju pada pekerjaan. Dia mencoba menyusuri data: skenario tanpa buyback, angka-angkanya jelas menunjukkan tekanan leverage yang tinggi dalam jangka menengah. Opsi kedua, buyback total, secara teori akan menenangkan pasar, tapi memperkecil likuiditas. Sementara skema ketiga, buyback parsial disertai narasi penguatan pasar, masuk akal, tapi sangat bergantung pada timing dan sentimen publik.Logikanya memetakan semua itu, seperti biasa. Cepat, dingin, presisi. Tapi emosinya? Berantakan.“Sial,” gumamnya, setengah menggeram. “Istriku… betul-betul keras kepala.”Matanya berpindah sejenak ke sisi meja, di mana ponselnya
Di sebuah area tangga darurat di lantai 20-an Apex Tower, suara langkah kaki nyaris tak terdengar di tempat itu. Hanya desau angin dari ventilasi dan isakan lirih yang memecah keheningan.Cheryl duduk di anak tangga ketiga dari atas, tubuhnya membungkuk, wajahnya tersembunyi di atas kedua lutut. Bahunya naik-turun, terguncang oleh tangis. Tangannya menggenggam tisu yang setengah basah, kusut, sementara beberapa helai rambutnya menempel di pipi yang basah oleh air mata.Bukan tangisan keras yang meledak-ledak, tapi tangisan yang tertahan, dalam, penuh sesak. Seperti tangisan seseorang yang terlalu lama memendam rasa sakit tanpa tahu cara meluapkannya."Aku nggak boleh ngopi sama Axel, katanya? Kenapa? Takut Bara marah?" gumamnya, suaranya serak dan getir. "Tapi nggak ada yang takut kalau aku marah? Apa cuma Bara yang berhak marah? Karena dia kaya? Karena dia punya segalanya, terus bebas marah? Sedangkan aku yang nggak punya apa-apa… nggak berhak marah, ya?"Suaranya menggema kecil di
Bara melangkah cepat, setengah berlari, sangat tergesa-gesa, seperti hendak menghadiri rapat dewan darurat yang akan menentukan nasib perusahaan yang sedang di ambang krisis.Beberapa pegawai yang berpapasan refleks menunduk memberi hormat, tapi pria itu tak menoleh, apalagi membalas. Tatapannya tertuju lurus, tajam seperti panah yang telah dikunci pada satu sasaran: lift VIP.Para pegawai saling melempar pandang. Wajah sang CEO yang biasanya dingin dan tenang, kini dipenuhi ketegangan. Lengan kemeja panjangnya digulung hingga ke siku, dasinya sedikit kendur, dan rambutnya sedikit acak-acakan karena ia telah berkali-kali menyugar rambutnya. Itu semua tanda bahwa sang CEO terlalu sibuk untuk sekedar memperhatikan penampilannya, yang biasanya selalu terjaga rapi dan tanpa cela.Dalam situasi Apex yang sedang rawan, pemandangan ini tampak seperti isyarat siaga satu. “Lihat. Pak Bara nggak pernah kelihatan kacau seperti itu.”“Iya, kelihatannya tegang banget. Belum pernah aku melihatnya
Cheryl keluar dari ruangan Bara dengan hati terbakar panas. Sakit bukan main. "Oh. Dia tetap makan siang dengan Baby,” gerutunya. Sialan. Bara jelas-jelas sudah membaca pesannya, tapi lelaki itu tak menggubris. Tak menghargai perasaannya.“Adik mana coba yang suka gerayangan mesra ke kakaknya sendiri? Mana kakaknya juga kelihatan nyaman-nyaman aja. Keterlaluan," geramnya.Langkah Cheryl menghentak cepat di lorong. Tumit sepatunya beradu keras dengan lantai kantor yang dingin. Napasnya memburu karena emosi yang mendidih dalam dada.Bahkan ia sama sekali tak menoleh ke meja Nina. Lupa untuk berbasa-basi pada sekretaris Bara yang gila hormat itu.Nina yang melihat Cheryl melintasinya begitu sapa langsung mendongak dari balik layar komputernya. Senyumnya yang sudah setengah terbentuk langsung menguap. Matanya menyipit, bibirnya manyun tak terima.“Gila ya? Cuma asisten pribadi doang… yang tugasnya nggak jauh beda sama pembantu, tapi sombong banget sama aku yang jelas-jelas sekretarisnya
Ruang rapat dipenuhi ketegangan. Grafik saham Apex yang merah menyala terpampang di layar besar, simbol dari aksi jual masif dan rumor yang makin tak terkendali. Beberapa direktur tampak gelisah, mengetuk-ngetuk pena atau menunduk pada layar laptop masing-masing.Di kursi eksekutif utama, Bara duduk dengan ketenangan yang terjaga baik. Aura kepemimpinannya tetap menyala seperti biasa meskipun ia sedang ditenggelamkan dalam lautan masalah.“Status kontrak kita dengan Tuan Sigit per hari ini?” tanya Bara, suaranya datar namun berlapis ketegangan.Direktur Legal mengangkat wajahnya. “Belum ada pemberitahuan resmi, Pak. Tapi kuasa hukum beliau sudah menyampaikan niat keluar total dari kepemilikan. Dan yang paling krusial, mereka sedang menyoal klausul exit yang dulu kita sepakati secara tertutup, dengan interpretasi yang bisa merugikan kita.”“Detailnya?” Bara menunggu sambil mengetuk-ngetukkan ujung jari telunjuknya di meja. Tatapannya sempat tertuju ke ponselnya yang menyala. Satu notif