Udara malam menyelimuti bagian sisi halaman rumah Bara yang luas dengan keheningan, yang hanya sesekali dipecah oleh gemericik air dari pancuran kecil di kolam. Cheryl duduk di tepi kolam dengan punggung sedikit membungkuk, kedua lengannya melingkari lutut, menatap pantulan wajahnya di permukaan air yang jernih. Cahaya bulan jatuh samar ke permukaan, menciptakan ilusi gerakan setiap kali angin berembus pelan. Di dalam kepalanya, pikiran berputar tentang Axel. Tentang janji yang ia ucapkan dengan nada penuh keyakinan—akan membantunya mendapatkan pekerjaan di Bintang Hospital. Harapan Cheryl bertumpu pada janji itu. Bukan sekadar untuk mengisi waktu atau mencari kesibukan, tapi untuk sesuatu yang lebih dalam. Harga diri. Keinginannya untuk tidak sekadar menjadi penghuni pasif di rumah Bara, seorang istri dalam nama tanpa fungsi nyata. Ia butuh pijakan, sesuatu yang bisa membuktikan bahwa dirinya lebih dari sekadar aksesori dalam kehidupan Bara.Dering nyaring tiba-tiba memecah kehe
Bara memasuki halaman rumahnya dengan langkah tegap. Malam telah jatuh sempurna, memandikan setiap sudut bangunan megah itu dalam cahaya lampu-lampu kristal yang menggantung dari langit-langit tinggi. Pilar-pilar kokoh menopang balkon di lantai dua, memberikan kesan aristokratik yang angkuh. Dinding-dindingnya dipenuhi kaca besar yang memantulkan kilauan lampu taman, sementara lantai marmer yang mengilap menjadi alas yang menyerap langkah-langkahnya yang tenang namun penuh ketegasan.Di dalam, aula luas menyambut dengan kemewahan yang hampir berlebihan. Langit-langit tinggi dihiasi ukiran detail berwarna emas, memberikan sentuhan klasik yang elegan. Sofa berbahan kulit asli tertata sempurna di ruang tamu, menghadap perapian yang hanya sesekali dinyalakan untuk menambah atmosfer. Aroma mawar dari vas kristal di atas meja panjang tercium samar, menciptakan perpaduan sempurna antara kemegahan dan kehangatan.Niat Bara untuk segera mencari Cheryl terhenti ketika matanya menangkap sosok
Cheryl mengikuti Bara menyusuri lorong rumahnya yang megah, langkah kakinya menggema ringan di lantai marmer yang mengkilap sempurna. Ia tidak tahu pasti apa yang membuatnya tetap berjalan di belakang pria itu—apakah rasa penasaran, atau sekadar kesadaran bahwa menolak tidak akan ada gunanya.Hingga akhirnya, Bara berhenti di depan sebuah pintu tinggi. Dengan gerakan santai namun penuh kendali, ia membuka pintu tersebut dengan menempelkan sidik jarinya, memperlihatkan ruangan luas yang langsung membuat Cheryl terpaku.Tidak ada rak buku klasik atau dekorasi berlebihan, namun semuanya terasa modern dan futuristik.Di tengah ruangan, sebuah meja kerja panjang berdiri kokoh, terbuat dari kaca hitam mengilap. Di atasnya, beberapa tumpukan dokumen tersusun rapi, bersanding dengan sederet perangkat elektronik canggih—laptop tipis dengan logo eksklusif dan monitor berlayar datar yang besar, tampak seperti sistem kontrol dalam film-film sci-fi.Aroma kayu cendana bercampur bau maskulin yang
"Baiklah... katakan sekarang."Suaranya terdengar datar, tanpa getar emosi sedikit pun. Seolah ia telah mengubur segala perasaan jauh ke dalam lubuk hatinya."Aku siap mendengar talak cerai darimu. Setelah itu, kita akan bersikap seolah pernikahan ini tak pernah ada."Bara terdiam.Seketika, ada sesuatu yang bergemuruh dalam dadanya. Getaran itu datang tiba-tiba, menyerang tanpa aba-aba, mengguncang sesuatu di dalam dirinya yang selama ini terkunci rapat. Rasa asing itu merayap perlahan, menyusup ke setiap sudut kesadarannya, mencengkeram kuat, hingga untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa kehilangan kendali atas emosinya sendiri.Tatapannya jatuh pada Cheryl—gadis yang kini duduk di depannya dengan kepala tegak. Tegas. Seolah ingin menunjukkan ketegaran, biarpun sisa air mata yang masih membekas di pipinya mengkhianati semua itu.Sial.Tatapan itu... mengganggunya. Mengusiknya dengan cara yang bahkan tak bisa ia pahami.Bukan karena ia tidak suka melihat wanita menan
Cheryl mengamati dokumen di tangannya. Tatapannya bergerak dari lembaran kertas itu kembali ke wajah Bara, mencari sesuatu—keraguan, ketidakyakinan, atau mungkin secuil emosi yang bisa memberinya alasan untuk menolak. Namun, yang ia lihat hanyalah ekspresi datar pria itu, seperti biasa, tertutup dan sulit ditebak.“Jadi, ini tentang reputasimu?” suaranya terdengar datar, tapi matanya menyimpan luka yang tak ia tunjukkan.Bara menarik napas dalam. Ia bersandar sedikit ke kursinya, mengusap dagunya sebelum akhirnya menatap Cheryl dengan sorot yang lebih serius. “Aku tidak akan mengatakannya seperti itu.” Ia mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja sebelum melanjutkan, “Aku hanya ingin memastikan segalanya tetap terkendali. Pernikahan ini tidak perlu menjadi konsumsi publik, karena aku tidak ingin ada gosip atau spekulasi yang bisa merusak citraku—atau pun citramu.”Cheryl tersenyum kecil, namun bukan senyum yang menunjukkan kebahagiaan. Ia meletakkan dokumen itu di atas meja, mengusap permuk
Ruangan itu terasa berat, sarat dengan ketegangan yang menggantung di udara. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah gesekan halus pena di atas kertas, menciptakan irama monoton yang yang seakan menegaskan keseriusan situasi.Bara duduk tegap, posturnya mencerminkan kendali mutlak. Jemarinya yang kokoh menggenggam pena, siap mengukir kesepakatan yang tak bisa ditarik kembali. Tatapan matanya tajam, nyaris tanpa emosi, seperti lautan tenang yang menyimpan pusaran di dasarnya. Sesekali, ia mengetukkan pena ke meja, menunggu Cheryl berbicara.Sementara itu, Cheryl bersandar ke kursinya, menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya waspada. Ada ketegangan yang membungkus dirinya, seolah ia bersiap menghadapi sesuatu yang tidak terduga. Ia menggigit bibirnya pelan, sebuah kebiasaan lama saat ia merasa tidak nyaman.“Baik,” suara Bara terdengar datar, terkendali, seakan ia tengah membahas kontrak bisnis biasa. “Kita perlu menyepakati beberapa hal dalam pernikahan ini. Aku tidak ingin a
Selesai membuat kesepakatan, Cheryl pun pamit untuk kembali ke kamarnya. Tubuhnya terasa lelah setelah perdebatan panjang yang akhirnya menghasilkan keputusan yang, setidaknya, bisa diterima kedua belah pihak. Ia ingin segera berbaring di tempat tidur dan mengistirahatkan pikirannya. Namun, langkahnya terhenti ketika suara Bara terdengar dari belakang."Temani aku makan malam dulu."Cheryl menoleh, menghela napas pendek. "Harus ya, kita makan bersama? Aku sudah makan tadi, sepertinya aku mau langsung tidur saja setelah ini."Bara hanya mengangkat sebelah alisnya, ekspresi tenangnya sama sekali tidak tergoyahkan. "Berhubung kesepakatan ini belum final, jadi aku perlu menambahkan satu poin lagi tentang makan bersama."Cheryl menyipitkan mata, merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan pernyataan itu. "Makan bersama? Memangnya kenapa itu harus masuk dalam perjanjian?""Ini bagian dari tugasku mengurusmu, Cheryl," jawab Bara santai, tetapi suaranya mengandung ketegasan yang sulit dibanta
Cheryl meletakkan piring di atas meja makan yang diterangi cahaya lilin lembut. Bara duduk di seberangnya dengan sikap santai, seolah ini hanyalah makan malam biasa.Tapi bagi Cheryl, makan malam ini terasa berbeda. Mungkin karena atmosfer hangat yang diciptakan oleh cahaya temaram, atau mungkin karena ini pertama kalinya ia duduk makan malam seperti ini—berdua saja dengan seorang pria selain ayahnya.Aroma bawang putih dan cabai yang ditumis dalam minyak zaitun memenuhi udara, menggoda inderanya. Bara telah menyajikan sepiring Aglio e Olio dengan Udang—pasta yang tampak sederhana namun kaya rasa. Spaghetti yang mengilap karena minyak zaitun berpadu dengan udang panggang berwarna keemasan, dihiasi taburan peterseli segar dan serpihan cabai kering.Cheryl menelan ludah. Ia tidak menyangka pria yang dikenal dingin dan serius seperti Bara bisa memasak sesuatu yang terlihat begitu menggugah selera.Dengan sedikit ragu, ia melilit spaghetti di garpunya dan memasukkan ke dalam mulut. Begit
Milena membeku. Darahnya seakan berhenti mengalir. Kata-kata Bara menggema dalam kepalanya, menusuk seperti duri di dada. “Aku jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama.”Milena menggeleng seraya bergumam pelan, “Semudah itukah… kau memalingkan hatimu, Bara? Bukankah kau juga pernah bilang cinta padaku? Hanya padaku…?”“Milena, cukup! Jangan rendahkan dirimu seperti ini di depan laki-laki yang sudah menolakmu!” seru Nyonya Dania, tak sanggup menyembunyikan amarah dan rasa malunya. “Mama tidak pernah mengajarkanmu untuk bersikap serendah ini!”Sedangkan Tuan Adiguna hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya, namun kerutan di wajahnya cukup bicara banyak, bahwa ia tak menyukai arah situasi ini.“Aku mencintaimu, Bara! Tidak bisakah kau melihat betapa besarnya cintaku padamu?” tangis Milena pecah. Ia sudah tak peduli pada harga diri, pada omelan ibunya. Sebab baginya kehilangan Bara terasa lebih menakutkan daripada apa pun.“Aku tak pernah mengeluh padamu soal sakitku, kan
Bara tahu apa maksud Milena. Ia tahu itu bukan tentang pekerjaan. Itu tentang penundukan. Tentang mempermalukan. Tentang membalas dendam dengan cara paling elegan namun menyakitkan.Lelaki itu berdiri tegap di samping Cheryl. Matanya terpaku pada wajah kakeknya, lalu beralih tajam ke arah Milena yang duduk di atas kursi rodanya dengan ekspresi puas, seolah baru saja memenangkan permainan yang telah dirancangnya sejak awal.‘Brengsek. Mereka boleh saja menekanku, aku siap menghadapi mereka dengan cara apapun. Tapi mereka tidak boleh melakukan ini pada Cheryl, pada istri yang kucintai,’ geramnya dalam hati.Dadanya terasa mengencang, seolah ada bara api yang menyala dan membakar dari dalam. Otot rahangnya menegang seperti kawat baja yang hampir putus. Ia melihat segalanya dalam gerak lambat: tatapan Milena yang seperti menelan Cheryl hidup-hidup, ekspresi Tuan Sigit yang dingin dan menghakimi, serta Cheryl yang berdiri kaku di sampingnya, dengan bahu sedikit bergetar dan sorot mata yang
Milena terpana di atas kursi rodanya. Ia duduk tegak, punggung lurus seolah tak ingin memberi celah sedikit pun bagi rasa lemah untuk terlihat. Jari-jarinya yang terletak di pangkuan sempat mengepal, namun segera ia renggangkan kembali dengan tenang, menjaga penampilannya tetap anggun.“Dari mana kamu mendapat cincin dan kalung itu, Cheryl?” ucapnya lirih.Nada suaranya tak meninggi, tapi mengandung ketegasan yang dingin dan menusuk. Tidak perlu berteriak. Kalimat itu meluncur ringan, namun cukup nyaring terdengar.Hening mendadak menyelimuti udara, bersama semua mata yang kini memandang ke arah Cheryl.Sorot mata Milena tajam, dingin, dan menyala dengan kekecewaan yang berusaha ia redam. Tubuhnya mungkin tak mampu melangkah mendekat, tapi keangkuhan dan harga dirinya tetap tegak berdiri. Kepalanya sedikit dimiringkan, seolah tengah menilai seseorang yang telah melewati batas.“Itu… milikku,” lanjutnya dengan suara yang sedikit lebih berat. “Bara membelikannya untukku di Paris. Kamu m
Di dapur, Cheryl tersentak. Suara Bara terdengar jelas, bulat, dan tanpa ragu. Kalimat itu, “Dia sangat berharga untukku,” menghempas dirinya seperti angin kencang yang datang tanpa aba-aba.Tubuhnya membeku, seolah waktu berhenti tepat saat kalimat itu mengalun dari bibir pria yang diam-diam telah menjadi pusat dari segala yang ia jaga. Dadanya bergetar hebat, seolah jantungnya menabrak dinding rusuk berulang kali. Sebuah rasa hangat meledak dari dalam dadanya, menyebar cepat hingga membuat jemarinya gemetar dan kakinya nyaris tak berpijak. Ia tak pernah berani membayangkan akan mendengar pengakuan itu secara terbuka. Dan ketika itu terjadi… rasanya terlalu indah untuk menjadi nyata.Namun kebahagiaan itu tak datang sendirian.Secepat gelombang hangat itu menyapu tubuhnya, datang pula dingin yang menggigit, mencengkeram tengkuknya dengan kuku-kuku tajam bernama ketakutan. Ditambah, suara berat Tuan Sigit yang menyusul kemudian, menyayat udara seperti belati.“Cheryl berharga? Seber
Di ruang makan, semua mata kini tertuju pada Bara. Sorot terkejut tergambar jelas di wajah Tuan Sigit. Bahkan, Nyonya Dania yang semula tertawa ringan, kini mematung dalam diam. Tapi yang paling mencolok adalah Milena, tangannya yang semula santai menggenggam pegangan kursi rodanya kini menegang. Jari-jarinya mencengkeram plastik pelapis kursi seperti mencoba mencari pegangan atas realita yang tiba-tiba berubah dingin.Bara menatap ke depan, tak bergerak. Biarpun dalam dadanya berdegup kencang, namun wajahnya tetap tenang, seperti topeng yang sudah lama ia pelajari untuk dikenakan. Ia tahu apa yang baru saja ia ucapkan bisa menimbulkan riak yang lebih dari sekadar kemarahan orangtua Milena dan kakeknya. Tapi prioritasnya saat ini adalah mempertahankan Cheryl. Masih lekat dalam ingatannya ketegaran yang ia lihat di mata wanita itu ketika berpaling, adalah sesuatu yang tak bisa lagi ia abaikan. Tidak. Bara tak ingin kehilangan Cheryl, tidak sekarang atau besok. Jika ia harus melawan
Air hangat yang menyapu kulitnya seperti selimut lembut dari langit, membuat Cheryl perlahan merasa tenang. Uap tipis memenuhi kamar mandi, membungkus tubuhnya dalam kehangatan, cukup menenangkan badai yang bergemuruh dalam pikirannya. Ia menutup mata, membiarkan air itu jatuh dari bahunya, meresap hingga ke pori-pori, seakan bisa membilas luka yang tinggal karena pernikahan sirinya dengan Bara kini berada di ujung jurang.Cheryl lelah. Letih yang tak lagi bisa ditawar. Dan kali ini, ia memilih menyerah. Karena apa gunanya mempertahankan sebuah ikatan yang bahkan hukum pun tidak mengakuinya? Terlebih, Bara telah resmi bertunangan dengan Milena. Di depan keluarga besar mereka, di hadapan dunia. Cheryl kalah. Dan kekalahan itu terasa begitu nyata, seperti pecahan kaca yang menusuk setiap inci hatinya.Selesai mandi, Cheryl melangkah pelan ke arah lemari. Jemarinya menyentuh gaun-gaun indah, pakaian serba mahal yang dibelikan Bara, yang pernah membuatnya merasa dicintai, membuatnya sep
Bara menggertakkan rahang. Rasanya, ia ingin sekali membanting pintu dapur, berteriak, bahkan mengusir semua orang dari rumah ini. Tapi ia tahu, semua itu hanya bisa ia lakukan dalam khayalannya saja. Ia menunduk sejenak, mengatur napas. Menelan bulat-bulat kekecewaan yang belum sempat ia sembuhkan pagi ini. Kemudian, ia meletakkan kembali nampan ke atas meja. Matanya masih menatap makanan yang ingin ia sajikan untuk Cheryl itu beberapa detik, penuh rasa berat yang tak terkatakan, sebelum akhirnya ia berbalik dan berjalan menuju ruang tamu. Setiap langkahnya bergema dalam kesunyian rumah, dan setiap detik terasa seperti pengkhianatan terhadap niat awalnya hari ini, yang ingin mempersembahkan waktunya penuh untuk Cheryl. Tapi kini ia harus menghadapi sesuatu yang tak ia undang. Begitu sampai di ambang ruang tamu, Bara menarik napas dalam-dalam. Ia menegakkan tubuh, mengatur raut wajah, dan melangkah masuk. Tuan Sigit berdiri dengan angkuh, seperti biasa. Di sebelahnya, Milen
Cahaya pagi yang samar menyusup melalui sela tirai, mengguratkan warna keemasan di dinding kamar. Cheryl mengerjapkan mata pelan, merasakan sisa perih di sudut-sudutnya. Tubuhnya masih berat, pikirannya buram. Tapi saat pandangannya mulai fokus, jantungnya terhenti sejenak ketika menyadari bahwa Bara adalah sosok yang pertama kali ia lihat hari ini.Lelaki itu duduk di sisi tempat tidur, diam, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, antara penyesalan dan kelegaan.Cheryl tersentak bangun, napasnya tercekat. Untuk sesaat, begitu saja, ia hampir merentangkan tangan, ingin menarik lelaki itu dalam pelukannya, mencari hangat yang dulu selalu menenangkan. Tapi kesadaran datang seperti tamparan keras.Lelaki ini... lelaki inilah yang membuatnya lelah menangis semalaman."Kenapa kamu di sini?" suaranya serak, hampir berbisik, lebih kepada dirinya sendiri daripada untuk didengar Bara.“Aku… nggak mau jauh dari kamu. Aku mau kamu tetap sama aku, Cheryl. Apapun yang terjadi. Demi kamu,
Cheryl tak langsung menyalakan lampu saat memasuki kamarnya. Ia berdiri dalam gelap, membiarkan sepi menyambutnya seperti pelukan dingin dari dunia yang telah kehilangan warna.Napasnya membeku di udara, berat dan tersendat, seolah paru-parunya pun enggan menerima kenyataan. Yang paling menyakitkan bukanlah ditinggalkan, melainkan kenyataan bahwa ia sendirilah yang memilih pergi dari pria yang masih ia cintai, tapi tak sanggup lagi ia percaya.Ia teringat pada hari pertama ia mengizinkan dirinya mencintai Bara. Pada senyum lembut pria itu. Pada pelukan hangatnya yang dulu terasa seperti rumah. Tapi kini semua kenangan itu terasa seperti belati, menyayat tanpa ampun.Cheryl perlahan merosot ke lantai, membiarkan tubuhnya ambruk dalam keheningan yang memekakkan. Tangannya terulur ke arah ranjang… tempat di mana ia pernah menyerahkan seluruh dirinya, bukan hanya tubuh, tapi juga cinta, keyakinan, dan kehormatan.Masih terngiang bagaimana malam pertama mereka terjadi hari itu…"Bara. Kita