“Keluar dari kamarku…!” Cheryl berteriak dengan wajah merah padam penuh emosi. “Pergi sana...! Aku nggak sudi lihat kamu lagi. Lagian ngapain sih kamu iseng banget masuk-masuk kamarku?" usirnya sambil menarik lengan Bara yang jatuh terlentang di atas ranjang akibat menghindari pukulan gulingnya yang tanpa ampun.
“Oke-oke! Aku pergi… tapi kamu ikut.”
“Tidak akan!” bentak Cheryl, ia menarik lengan Bara semakin keras agar lekas menyingkir dari ranjangnya, ia bertekad mengusirnya.
Akan tetapi, tubuh Bara yang jauh lebih besar dan kuat justru membuatnya kesulitan, tarikannya seolah tak berarti, yang ada Cheryl malah kehilangan keseimbangan hingga jatuh terjerembab tepat di atas tubuh Bara.
Seketika jarak di antara mereka lenyap. Kedekatan itu mengunci mereka berdua dalam sekejap.
Cheryl terhenyak ketika merasakan buah dadanya menekan dada Bara yang bidang.
Keduanya seketika saling menatap dalam kebisuan, jantungnya berdegup kencang bagai sedang berlomba.
“Ka-kamu… baik-baik saja?” suara Bara yang biasanya tegas mendominasi tiba-tiba berubah serak dan gugup.
Dan Cheryl, yang biasanya cerewet, mendadak seperti kehilangan seluruh kata-katanya. Gadis itu hanya mengangguk kikuk sambil cepat-cepat menyingkir dari atas tubuh Bara.
Setelah Cheryl berguling menjauh, mereka terdiam dalam kebisuan yang canggung.
Cheryl duduk di ujung ranjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang belum juga berhenti berpacu.
Sementara itu, Bara perlahan bangkit, duduk bersandar dengan napas yang tampaknya masih belum teratur, sepertinya ia juga belum pulih dari situasi canggung tadi.
Untuk beberapa saat, keduanya hanya saling melirik dalam keheningan.
Cheryl merasakan wajahnya memanas, sementara pikirannya penuh dengan apa yang baru saja terjadi. Ia ingin berkata sesuatu untuk memecah suasana. Namun, kata-kata itu menguap begitu saja setiap kali ia mencoba membuka mulut.
Cheryl mengambil bantalnya yang teronggok di kaki ranjang, berpura-pura merapikannya. Ia berusaha bersikap biasa saja, mengabaikan gemuruh aneh dalam dadanya.
Kejadian tadi membuatnya ‘terpaksa’ melihat wajah Bara dengan jarak yang begitu dekat. Setiap detail wajahnya ternyata memiliki daya tarik tersendiri. Hidungnya yang mancung, garis rahangnya yang tegas, sedikit belahan di dagunya, dan sorot matanya yang gelap tetapi lembut di saat bersamaan.
Bara... rupanya jauh lebih tampan dari yang ia perhatikan secara sekilas lalu saja selama ini. Rambut hitamnya yang biasanya tersisir rapi terlihat sedikit berantakan, membuatnya tampak lebih santai dan manusiawi. Bahkan sekadar memikirkan itu membuat perasaan Cheryl jadi tak menentu, seperti ada yang menggelitik lembut di dalam dadanya.
Di sisi lain, Bara… sesekali melirik ke arah Cheryl. Dengan gerakan canggung, pria itu meraih ujung lengan kemejanya, menggulungnya hingga siku. Gerakan itu seperti dilakukannya tanpa sadar, seperti sebuah cara untuk mengalihkan pikirannya dari suasana aneh yang baru saja tercipta.
Mereka berdua masih terdiam, masing-masing seakan tengah tersesat dalam pikiran yang bergemuruh.
Cheryl menghela napas panjang, berusaha keras menahan diri agar tak terpesona oleh ketampanan Bara.
“Huh, ganteng sih ganteng… tapi egoisnya kebangetan! Apa bagusnya?” Cheryl menggerutu dalam hati. Meski demikian, rona di pipinya tetap membara.
Bara akhirnya berdeham, seolah mencoba memecah kebisuan. “Jadi… aku diusir? Beneran harus cabut sekarang?” tanyanya dengan nada ringan, mencoba menetralkan suasana.
Cheryl menatapnya sekilas. “Iya… sebelum aku benar-benar melemparmu, bukan pakai guling lagi, tapi pakai kamus tebalku,” balasnya dengan suara yang kembali sengak.
Bara mengangkat kedua tangan ke atas kepalanya, seolah menyerah. “Baiklah, mungkin kamu lagi butuh ‘me-time’ sama…,” dia melirik guling bergambar wajah idol K-Pop yang tadi dipakai Cheryl untuk menyerangnya, “…ayang Jungkook-mu.”
Deg!
‘Ayang Jungkook’… sebutan itu biasanya dipakai Pak Bondan untuk menggoda Cheryl.
Kini, mendengar Bara menggunakan sebutan yang sama untuk meledeknya, membuat hati Cheryl tiba-tiba bergetar dalam kehangatan. Tiba-tiba dia… sangat merindukan kehadiran bapak yang sudah tiada!
“Halah… nangis lagi.” Bara geleng-geleng kepala melihat air mata kembali menetesi pipi Cheryl. Tak salah ia menyebut gadis itu cengeng, bukan? Mudah sekali menangis.
“Oke. Kukasih kamu tambahan waktu tiga hari,” lanjut Bara, mengabaikan isak tangis Cheryl. “Kemasi barang-barang yang mau kamu bawa ke rumahku. Kalau butuh bantuan, bilang aja ke Sofyan. Telepon dia. Nanti biar dia kirim orang buat bantu-bantu kamu.”
Sambil menyeka air mata di pipinya, Cheryl menjawab tegas, “Sudah kubilang, aku nggak mau pindah ke rumahmu. Ini rumahku, aku akan tetap di sini.”
Bara menatapnya dengan mata menyipit, mencoba mengurai makna di balik keras kepalanya itu. “Cheryl, kamu nggak capek ya, terus-terusan aja ngeyel?”
“Kamu juga nggak ada capek-capeknya ya? Ngeyel terus nyuruh aku pindah ke rumahmu?”
Bara menarik napas panjang, menyadari gadis di hadapannya tak hanya keras kepala, tapi juga tak kenal lelah dalam memperjuangkan keinginannya.
Di tengah ketegangan yang mulai terjadi, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu ruang tamu. Cheryl dan Bara saling berpandangan sesaat.
“Siapa sih yang datang malam-malam begini?” Cheryl bergumam sambil bangkit menuju ruang tamu dan membuka pintunya.
“Eh, Pak Asep?” Cheryl mencoba tersenyum, meski hatinya tiba-tiba saja gelisah.
Pak Asep adalah pemilik rumah yang sudah 15 tahun ini ia tempati bersama mendiang bapaknya.
Perasaannya tiba-tiba tidak enak. Ia tahu, Pak Asep datang pasti bukan untuk sekadar mengucapkan belasungkawa, sebab mereka sudah bertemu saat pemakaman bapaknya, seminggu yang lalu.
“Mari... masuk, Pak."
“Terima kasih, Neng. Maaf ya... saya datangnya kemalaman, sebenarnya saya baru balik dari Bandung... nengokin anak yang lagi kuliah di sana. Padahal pengen bisa ikut tahlilan di sini, tapi malah kena macet parah tadi. Sampai sini ternyata malah udah bubar acaranya."
Setelah berbasa-basi, Pak Asep akhirnya menjelaskan maksud kedatangannya.
“Saya cuma sebentar kok, apalagi ini sudah malam. Jadi begini, Neng Cheryl… saya ingin membicarakan soal sewa rumah ini.” Pak Asep berhenti sejenak, kemudian melanjutkan dengan nada serius. ”Sudah dua tahun... Pak Bondan belum melunasi biaya sewa rumah ini.”
Mata Cheryl melebar, terkejut mendengar penuturan itu. “Dua… dua tahun, Pak?”
***
Cheryl berdiri di depan rumah. Ia menatap lama kepergian mobil Valen yang perlahan menjauh, seolah masih menyimpan jejak bayangan pria itu di benaknya. Kedua tangannya terlipat di atas perut, seolah mencari pegangan pada dirinya sendiri. Helaan napas panjang lolos dari bibirnya, diikuti senyum tipis.“Terima kasih untuk segalanya, Val,” gumamnya pelan, hanya dirinya sendiri yang bisa mendengar.Ia pun berbalik, bersiap melangkah masuk kembali ke dalam rumah. Namun baru beberapa langkah, suara klakson pendek terdengar di belakangnya, cukup nyaring untuk menghentikan geraknya. Cheryl spontan menoleh, keningnya langsung berkerut.Sebuah mobil mewah terparkir tepat di depan pagar rumah. Dari balik kaca jendela yang perlahan diturunkan, tampak seorang pria dengan kacamata hitam berpakaian kasual, melambaikan tangan padanya.“Bara…?” Cheryl membeku di tempat. Napasnya tercekat ketika melihat Bara turun dari mobil dengan langkah mantap sambil menjinjing sebuah tas di tangan. Pria itu menge
Cheryl membeku. Terdiam, tapi tidak sepenuhnya terkejut. Kotak beludru berisi cincin berlian itu bukan hal baru baginya—ini bukan kali pertama Valen melamarnya. Yang membuatnya tercekat justru karena kini, setelah lima tahun berlalu, dokter itu masih membawa harapan yang sama.Cheryl menunduk, mencoba menyembunyikan gelombang perasaan yang campur aduk di dadanya. Hening beberapa detik terasa seperti selamanya.“Dok,” suaranya lirih, bergetar, tapi tegas. Perlahan ia mengangkat wajah, menatap mata Valen yang dipenuhi harap sekaligus rasa takut. “Terima kasih… karena masih menyimpan keinginan yang sama setelah beberapa tahun berlalu.”Valen bergeming, hanya menunggu. Kotak itu masih terbuka di tangannya, cincin berlian berkilau cantik di dalamnya.Cheryl menarik napas panjang. Dulu ia menolak lamaran Valen karena ingin merasakan hidup sebagai lajang. Ingin bekerja, meraih impiannya sebagai wanita karir dan independen, tanpa terikat oleh janji apa pun, dengan pria mana pun. Dia hanya ing
Pintu rumah Cheryl terbuka perlahan, dan di ambang pintu berdirilah wanita itu dengan mata sedikit terbelalak, seperti tak percaya melihat keberadaan sosok di hadapannya setelah sekian lama. “Dokter Joshua?” Mata sang dokter menatap Cheryl cukup lama, seakan ingin mengabadikan setiap detail. Lima tahun bukan waktu yang sebentar, dan kini ia bisa melihat perubahan yang tak bisa hanya ditangkap dari ingatan. Rambut panjang Cheryl cuma dicepol asal-asalan, tapi justru menambah kesan anggun yang menambah kecantikan alaminya. Valen menelan napas dalam-dalam, hatinya sedikit berdebar. Ia memperhatikan gurat-gurat kedewasaan di wajah Cheryl. Ia sadar, betapa banyak hal yang sepertinya telah dialami Cheryl, betapa dunia telah membentuknya, dan betapa menarik sosoknya kini.Hening sejenak memenuhi ruang di antara mereka, kecanggungan yang samar namun manis. Valen akhirnya membuka mulut, suaranya rendah namun tegas. “Boleh aku masuk?”Pertanyaan itu memecah keheningan, dan Cheryl tersenyum
Suara langkah kaki yang dulu tak pernah ia bayangkan kembali terdengar di ruangan itu. Milena Wongso berdiri tegak di hadapan cermin panjang, tubuhnya masih sedikit kaku tapi tatapannya penuh binar-binar asa.Lebih dari lima tahun lalu ia datang dengan brankar yang diturunkan dari helikopter, dalam kondisi pingsan dan kesakitan luar biasa. Kini, perempuan itu mampu melangkah tanpa bantuan, seakan dunia memberinya hidup kedua.Valen berdiri di sisi ruangan, tangannya bersedekap, menatap dengan sorot mata yang tak lagi sekadar seorang dokter, tapi juga seorang saksi atas keajaiban perjuangan manusia. Baginya, ini bukan hanya tentang prosedur medis, obat-obatan, atau serangkaian fisioterapi yang melelahkan. Ini tentang kesabaran, disiplin, dan keyakinan yang mereka bangun bersama.“Bagaimana rasanya?” tanya Valen, suaranya tenang namun ada getar tipis di baliknya.Milena menoleh, senyumnya merekah di antara air mata yang jatuh. “Rasanya… seperti aku lahir kembali, Dok. Aku bisa berjalan
Ruang kerja Cheryl penuh dengan tumpukan laporan pasar dan grafik yang memenuhi layar monitornya. Tangan kirinya menandai data fluktuasi pengguna pada laporan mingguan, sementara tangan kanannya menggulir cepat presentasi berisi trend sistem pembayaran digital di Asia Tenggara yang berubah nyaris setiap pekan, seakan menuntutnya untuk selalu tiga langkah lebih maju.Belum sempat ia menyesap kopi yang mulai dingin, ponselnya bergetar. Nama “Bara – Apex” terpampang jelas. “Halo, Pak Bara?” Cheryl segera menerima panggilan itu dengan nada profesional.“Bu Cheryl,” panggilan itu menyusup lembut ke telinganya, terlalu lembut untuk seorang CEO dari perusahaan mitra yang hanya memiliki urusan pekerjaan dengannya.“Aku baru menerima notifikasi sistem. Integrasi payment gateway tahap dua sudah berjalan, tapi ada lonjakan trafik yang tidak biasa dari pihak merchant,” lanjut Bara terdengar tegas namun tenang, kali ini terasa profesional.Cheryl langsung beranjak ke layar kedua, menampilkan dasbo
Bara memandang sedan yang membawa Cheryl pulang kembali ke kantornya. Setelah mobil mewah itu melesat pergi, ia menarik napas panjang, lalu berbalik masuk lagi ke dalam restoran. Langkahnya tegap, menuju ke sebuah meja di mana Ani tampak asyik menikmati jus jeruk yang baru saja diantar pelayan.“Puas mengacaukan makan siangku?” tegur Bara, duduk di hadapan desainer cantik itu dengan wajah kaku.Ani terkekeh pelan, kepalanya sedikit dimiringkan dengan senyum penuh rasa puas. “Jadi dia yang namanya Cheryl?” tanyanya antusias, seolah baru menemukan rahasia besar. Ia menggeleng pelan sambil menatap Bara dengan mata berbinar.“Pantas saja membuatmu gila. Cantik, cerdas, dan aura keras kepalanya… persis seperti kamu.”Bara meraih gelas air di meja, meneguknya habis. Rahangnya mengeras, masih jengkel karena momen makan siangnya bersama Cheryl jadi selesai lebih cepat dari yang ia harap gara-gara kehadiran Ani yang tiba-tiba.Ani mencondongkan tubuh ke depan, tangannya menopang dagu, matanya