Bara menatap Cheryl lebih dalam, seolah menelusuri emosi yang tersembunyi di balik wajahnya yang cantik tapi keras.
“Aku sudah mengikat janji. Dan aku akan bertanggung jawab pada janji itu, terlepas dari perasaanku terhadapmu atau orang lain. Aku nggak main-main dengan janji ini, Cheryl. I'm committed.”Cheryl tersenyum sinis. “Menikahiku… berarti kamu selingkuh dari pacarmu, loh! Tapi dengan pedenya kamu bilang… I’m committed? Bullshit!” Ada hinaan dalam suara dan tatapan Cheryl pada Bara.“Kenapa kamu masih memaksakan pernikahan ini, sih?” Cheryl memulai lagi dengan suara tajam. “Bukankah lebih baik kamu fokus menyelamatkan hubunganmu dengan si “Baby” yang sudah lama kamu kenal, daripada mengikat diri dengan wanita asing seperti aku?”“Oke Cheryl, cukup,” ucap Bara dengan nada rendah, namun tegas. “Aku nggak peduli berapa lama kita saling mengenal. Satu hal yang pasti, aku nggak akan mengkhianati janjiku pada bapakmu untuk menjagamu. Itu alasan kenapa aku ingin tetap mempertahankan pernikahan ini.”“Hanya karena... janji?” seru Cheryl dengan sorot kesal yang menyala-nyala di matanya."Janjiku ke bapakmu." Bara menyahut datar. "Bapakmu, Cheryl...," lanjutnya kali ini penuh penekanan. Ia menghela napas panjang, berusaha tetap tenang meski Cheryl memandangnya dengan penuh kemarahan. Ia melipat tangannya, kemudian berbicara dengan suara rendah yang sarat akan ketegasan.
“Cheryl, aku tahu ini sulit untuk kamu terima. Tapi… janji adalah janji.” Bara menatap Cheryl dengan sorot mata serius, seolah-olah pernyataan itu adalah satu-satunya hal yang terpenting. “Aku sudah berjanji pada bapakmu untuk menikahimu.""Kurasa Bapak nggak kepikiran kalau kamu bakal punya pacar di tengah pernikahan kita. So... please! Stop pakai alasan telanjur janji ke Bapak." “Cheryl. Bagaimanapun ini tanggung jawab yang sudah aku ambil sejak awal.” Bara menarik napas panjang, seolah sedang mengumpulkan kesabarannya. “Oke, aku tahu ini nggak mudah buat kamu. Tapi ada hal yang lebih besar dari sekadar perasaan pribadi kita."Cheryl berdecak sebal. “Oh, jadi menurutmu ini hanya soal perasaan pribadiku saja? Kamu pikir aku nggak ngerti apa itu tanggung jawab?” Ia melipat tangannya di depan dada, memandang Bara dengan penuh kekecewaan.“Come on..., ini hidupku. Kamu jangan mengacaukan hidupku!”
“Aku nggak pernah bermaksud mengacaukan hidupmu, Cheryl.”“Tapi itu yang kamu lakukan!” Suara Cheryl meninggi, terdengar bergetar oleh emosi. “Kamu mengikatku dengan pernikahan ini. Sementara kamu sendiri punya hubungan di luar sana. Apa aku harus terus bertahan dalam pernikahan macam ini? Ceraikan aku. Itu satu-satunya hal yang masuk akal sekarang.”Bara menatap Cheryl dengan lebih tegas. “Pernikahan ini memang tidak masuk akal, tapi begitulah... terkadang hidup disinggahi hal-hal yang nggak masuk akal,” ucapnya pelan, namun penuh keteguhan.“Tapi ini sama aja penjara buat aku... juga kamu!” Cheryl menukas penuh amarah. “Kamu mau hidup seperti dipenjara? Aku sih nggak mau!”
Bara balas menatap Cheryl dengan ekspresi keras. “Whatever you said… Aku telanjur terikat janji ke bapakmu buat ngurusin kamu."Cheryl memejamkan mata sesaat, suaranya mulai lirih dan berbalut kelelahan. “Kamu tuh ya? Sejak tadi bicara tentang janji dan tanggung jawab, tapi bagaimana dengan… si “Baby” itu? Kamu mau menggantung hubungan kalian?”Bara terdiam sejenak sebelum menjawab, ada kilatan geli di matanya yang sulit ia sembunyikan. “Cheryl… Kamu tahu kan, poligami itu hal yang sah-sah saja? Jadi kalau aku nanti menikahi si “Baby” dan tetap mempertahankan pernikahan kita, bukankah itu bisa jadi solusi?”“Heh! Jangan gila, ya!” Cheryl mengambil bantal di sampingnya dan melemparnya kuat-kuat kepada Bara. “Apanya yang gila? Poligami itu kan bisa jadi bentuk tanggung jawabku ke pacarku.... Aku berkomitmen padamu…. juga kepadanya. I’m committed, right?”"Dasar brengseeek!" jerit Cheryl sambil meraih guling dan memukuli Bara.
Bara terkekeh sambil menangkis guling yang kini dipukulkan berulang kali oleh Cheryl kepadanya. “Dasar bajingan gila! Bisa-bisanya Bapak pengen banget aku nikah sama kamu! Sama laki-laki sinting nggak ngotak kayak gini…?” Sambil terus memukuli Bara dengan guling, Cheryl menangis tersedu-sedu. Hatinya meledak oleh kekesalan teramat sangat. Ditambah mendengar suara tawa Bara yang terasa begitu miskin simpati. 'Dasar nggak punya hati!'Poligami. Kata itu bagaikan bayangan gelap yang selalu menghantuinya, bahkan sejak ia masih kecil. Ia tumbuh dengan cerita-cerita pilu tentang istri-istri yang dipaksa berbagi kasih, tentang air mata yang tumpah setiap malam di balik pintu-pintu tertutup.
Baginya, poligami bukan sekadar kata, itu adalah simbol pengkhianatan yang menorehkan luka dalam. Itu adalah momok paling menakutkan baginya, tapi... Bara malah dengan terang-terangan dan begitu enteng mengatakannya.
Cheryl merasa seolah-olah ia dipaksa berdiri di tepi jurang, dipaksa menghadapi ketakutannya yang paling mendasar. Bara seperti ancaman bagi Cheryl, ancaman yang bisa menggiringnya ke dalam mimpi buruk yang selama ini ia hindari.
Demi apa, bisa-bisanya dia menikah dengan lelaki macam ini...?!
***Mimi mendorong pintu kamar Baby pelan, nyaris tanpa suara. Dua pelayan lain mengikuti di belakangnya, langkah mereka teratur, seragam, seperti pasukan kecil yang bergerak dengan satu komando.Di sudut kasur, Baby meringkuk. Rambutnya berantakan, mata membesar memandangi pintu yang tiba-tiba terbuka. Napasnya memburu. Ia tampak seperti anak kucing basah yang tersudut, siap mencakar siapa pun yang mendekat.Begitu Mimi melangkah ke dalam, Baby sontak bangkit. Kakinya terantuk sudut ranjang, tapi ia tak peduli. Suaranya pecah jadi jeritan.“Apa yang kalian lakukan?! Kenapa masuk-masuk kamarku tanpa izin?!”Mimi tak menjawab. Ia hanya menoleh pada salah satu pelayan, memberi aba-aba singkat.Pelayan di belakangnya segera membuka lemari, menarik gantungan baju satu per satu. Suara gesekan gantungan menambah panas di kepala Baby.“STOP IT!” jerit Baby. Tangannya meraih bantal, melemparkannya ke arah Mimi, tapi Mimi tak berhenti. Bantal itu jatuh di kaki pelayan yang sibuk melipat baju.“Ka
Nyonya Anne hanya tersenyum penuh makna.“Tapi kamu dan Baby tidak memiliki ikatan darah, Bara. Kalian sah-sah saja kalau menikah. Lagipula… pertunanganmu dengan Milena juga sudah tidak mungkin dilanjutkan, bukan?”Bara diam. Diamnya tajam seperti pisau basah baru diangkat dari batu asah. Rahangnya menegang. Otot lehernya berdenyut, seolah menahan sesuatu yang hampir tumpah.Dadanya terasa dihantam batu. Berat. Panas. Kata-kata Nyonya Anne berputar di kepalanya seperti rantai besi—membelenggunya lagi di sudut tanggung jawab yang seharusnya bukan miliknya.Ia menahan napas. Menelan dengus marah yang nyaris meledak. Matanya terarah lurus pada Nyonya Anne. Tatapannya dingin, membakar, menguliti sisa keberanian di wajah wanita itu.Dan di sela retak benaknya, Bara mendengar pesan kakeknya yang masih menancap di dasar kepalanya.“Jangan terlalu menghukum dirimu, Nak. Tak perlu jadi martir. Kematian Sabira sama sekali bukan salahmu.”Seketika, sisa sabarnya runtuh.Bara mencondongkan tubuh.
Bara sampai di rumahnya. Lampu-lampu gantung kristal di foyer memantulkan kilau ke seluruh lantai marmer, menelan bayangan Bara yang baru pulang melewati pintu besar dari kayu jati solid. Beberapa pelayan berdiri berjejer, menyambut serempak dengan anggukan hormat. “Selamat datang, Tuan.”Bara hanya mengangguk, dingin. Wibawanya sudah cukup jadi jawaban untuk mereka.Di ruang tamu utama, Tuan Tomi dan Nyonya Anne duduk di atas sofa panjang berbalut beludru krem keemasan dengan sandaran berukir halus. Beberapa bantal dekorasi berlapis sutra tersebar di sisi-sisinya, menciptakan kontras mewah dengan meja tamu berpermukaan marmer putih yang di atasnya mengepul teko teh porselen bermotif biru tua.Mereka tampak terlalu santai di sana, menyesap teh seolah berkunjung ke vila musim panas, bukan di rumah orang yang telah berbaik hati menampung putri mereka—yang kini mengunci diri di sebuah kamar sambil menangis karena ketakutan mereka datang.Bara menapaki permadani Persia yang merentang di a
Bara baru saja selesai berpakaian ketika ponselnya mulai bergetar di nakas. Layar itu menampilkan satu nama yang jarang muncul. “Mimi”.Kepala pelayan di rumahnya, wanita setengah baya yang selalu bicara seperlunya. Kalau Mimi menekan tombol call, pasti ada yang sedang tidak beres di rumahnya.Bara mendesah pendek. Satu bagian dari otaknya berteriak: “Jangan angkat. Nikmati malammu barang lima menit lagi.” Tapi, tangannya sudah bergerak duluan.“Ya, Mimi?” Suaranya keluar dingin. Seperti biasa. Dia selalu terdengar seperti pria yang tak bisa disentuh.“Maaf mengganggu, Tuan. Tapi ini mendesak. Orangtua Nona Baby datang ke rumah. Mereka ingin bertemu dengan Nona Baby, tapi Nona Baby justru mengunci diri di kamar, menangis sambil menjerit-jerit. Saya tidak bisa menanganinya sendiri. Pak Sofyan juga belum datang.”Sial.Malamnya hancur dalam detik. Bara mendongak, menatap langit-langit kamar hotel yang bagai menekannya. Dia ingin marah, tapi apa gunanya?“Aku bahkan baru mau istirahat
Reno berdiri di tengah ruangan suite, tangannya merapikan kerah kemejanya yang kusut sedikit. Beberapa kru dekorasi baru saja merapikan pita terakhir, lalu mengecek ulang balon yang bertuliskan huruf emas: “Happy Graduation, Dear Cheryl.”“Sudah siap, Pak Reno,” lapor seorang anggota tim asisten pribadi Valen. Sementara kru dekorasi dengan cekatan membereskan sampah dan merapikan ruangan. Reno menoleh, tatapannya menyisir tiap sudut ruangan. Pita satin sudah terpasang manis di pojok. Kue putih tampak cantik di meja sudut. Kotak hadiah berlapis kertas emas pun sudah siap menunggu.“Good job. Kalian bisa pulang sekarang. Terima kasih,” ujarnya sambil menepuk bahu anak buahnya itu.Semua orang langsung mengangguk, berkemas cepat tanpa banyak bicara. Suara pintu suite terbuka lalu tertutup lagi, meninggalkan Reno sendirian.Reno baru saja hendak memastikan pita terakhir di balon tidak miring, ketika ponselnya tiba-tiba bergetar di saku celana. Layar menyala, menampilkan nama “Dokter Josh
Cheryl terpaku di depan cermin meja rias. Ia sudah memakai piyama tidurnya. Rambutnya sudah selesai dikeringkan dengan hair dryer.Ia menggigit bibir bawahnya—bibir yang masih tampak bengkak, merah, lembap. Jejak ciuman Valen yang menempel begitu dalam, seolah masih menekan syaraf di belakang tengkuknya.Dan saat ia melirik sekilas, tatapannya membentur plakat yang tadi diserahkan oleh Bara.Ia langsung menunduk, seolah tak sanggup memandang lebih lama lagi. Entah kenapa, ada yang terasa aneh. Dadanya tiba-tiba berdegup kencang, tapi bukan karena ciuman tadi. Ada sesuatu yang berdesir di balik tulang rusuknya—sebuah rasa bersalah yang bahkan sulit ia beri nama.Ia tak menyangkal, bahwa ia memang tenggelam. Nyaris hanyut di bawah sentuhan Valen yang lembut tapi menuntut. Ia bahkan mendesah, menikmati dan membalas ciuman itu. “Astaga,” gumamnya sambil menangkupkan telapak tangannya di wajah. Sungguh. Ia merasa bersalah pada Valen. “Gara-gara mimpi sialan!” erangnya menyalahkan diri