Awan tampak meringis sambil memegangi pistolnya. Mukanya benar-benar sangat menyedihkan. "Rayaa!" Teriaknya tertahan, karena tak ingin orang diluar ruangannya mendengar dan berhambur masuk lalu melihat kondisinya saat ini. "Sudah ku bilang, menjauh lah dariku. Jangan karena aku masih mencintaimu, kamu pikir aku sudi jadi simpananmu." Jawab Raya pasti. "Kamu masih mencintaiku?" Awan kini langsung berdiri dengan sempurna, namun masih sedikit meringis karena sesuatu dibawah sana benar-benar sakit akibat tendangan Raya yang tiba-tiba itu. "Ha? Eh, enggak siapa bilang?" Raya mendadak salah tingkah, dia keceplosan. "Barusan kamu bilang." Awan semakin jahil untuk menggodanya. Pipi Raya yang berubah menjadi merah seperti tomat membuat dia tak akan berhenti untuk menjahili gadis itu. "Kamu salah dengar, makanya jangan mesum aja jadi orang." "Mana ada aku mesum. Kamu cinta aku, iya kan? Udah lama loh, Ya! Tujuh tahun, ingat nggak. Kamu yang mutusin aku, ternyata kamu juga yang belum move
"Gilak kau, Ray. Sumpah! Hahaa..." Ucap Meisya ketika mereka berada di kantin. "Nanti dikira nya kau ngasi hadiah jahanam itu untuk kalian pulak." Sambung Meisya lagi. "Ish... amit-amitlah kak. Hahaa... Dia itu cinta mati sama istrinya. Jadi gak bakalan deh. Kemarin dia sempet curhat dikit gitu lah. Jadi yauda aku kasi hadiah itu aja, biar aku di cap sebagai karyawan yang paling pengertian. Agar dia juga segera membantu ku untuk proses pengunduran diri. Hmm... semoga aja." Ucap Raya panjang kali lebar. "Pasti tadi malam udah dipakai itu sama istrinya. Ahahha..." Gelak tawa Meisya semakin menjadi membuat kantin yang memang sudah berisik menjadi semakin berisik saja. Sedetik kemudian Meisya merubah ekspresi nya menjadi sedih dan bertana. "Kau serius mau ngundurin diri?" Tanya Meisya dengan raut wajah sendu yang hanya di jawab anggukan kepala oleh Raya. "Ishh... gadak lah kawan ku lagi Raya." Rengek Meisya sambil menarik-narik lengan baju Raya. "Kakak bikin aku sedih aja. Banyak gi
"Apa ini, Raya?" Tanya Awan ketika Raya menyerahkan amplop berwarna coklat kepadanya. "Buka saja sendiri." Ucap Raya ketus. Awan pun langsung meraih amplop itu dan membukanya dan isinya adalah selembar surat. Tanpa membaca seluruhnya Awan tahu kalau itu surat pengunduran diri. Maka dia langsung saja merobek surat beserta dengan amplopnya. "Eh... Itu..." Raya menelan kembali kata-katanya, dan mengepalkan telapak tangannya sekuat mungkin. Lalu memasang wajah geram sambil melotot ke arah Awan. "Awas bola matanya lompat!" Seru Awan sambil cekikikan karena melihat ekspresi Raya. "Aku gak peduli, mau kamu robek atau apakan surat pengunduran diri itu. Mulai hari ini aku berhenti jadi karyawan desain mu. Titik!" Ucap Raya lalu berbalik dan membanting pintu ruangan Awan dengan keras. "Raya." Panggil mama Awan yang baru saja keluar dari lift. Membuat Raya mematung dan salah tingkah karena sudah berlaku tidak sopan. "Mama." Raya ragu-ragu melangkahkan kaki nya menyambut wanita selaruh baya
"Kamu sudah mulai berani sama saya, Albert?" Tanya Awan dingin setelah kedua wanita muda itu pergi. "Maaf, Pak! Saya sudah kasi kode tapi bapak tidak merespon. Itu sebab nya saya melakukannya." Jawab Albert sambil menunduk dan berusaha menyembunyikan senyumnya. "Kamu kembali kekantor duluan." Ucap Awan sambil melambaikan tangannya kepada Albert. "Baik, Pak! Permisi." Jawab Albert kemudian berlalu pergi meninggalkan Awan yang masih asik dengan dunia nya itu. Sepanjang meeting dia tidak fokus dan terus saja mencuri pandang ke arah Raya di bawah sana. "Masih seperti dulu." Ucapnya sambil tersenyum kecil. Namun tak lama senyum itu pudar ketika melihat Raya dihampiri seorang pria muda berkulit putih dengan pakaian casual. Celana jeans ponggol, kaos oblong dan mengenakan sendal gunung. Raya tampak tersenyum menyambut pria itu. Dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman kemudian mereka duduk. Tampak akrab sekali membuat api di dada Awan berkobar. Perlahan rahangnya mengeras dan tangann
"Selamat malam, Tante." Sapa Tomi dan langsung mengecup pipi tantenya alias mama Awan yang sedang sibuk menata makanan di atas meja makan. "Kalau dateng itu Assalamu'alaikum." Jawab mama Awan pada putra dari adik bungsunya itu. "Auhh! Galak amat sih, Tan?" Keluh Tomi yang baru saja di pukul tangannya karena berusaha menyomot makanan yang sudah ia susun rapi di atas meja. "Cuci tangan kamu dulu, baru sentuh makanan ini." Omel tante nya. "Galak bener! Kasian kamu, Wan. Dikelilingi wanita galak." Ejek Tomi pada Awan dan langsung kabur ke westafel untuk mencuci tangannya. Awan hanya mendesah pasrah mendengar ocehan sepupunya itu. "Kok bisa bareng sama dia?" Tanya mama Awan pada putranya. "Gak sengaja nemu di pinggir jalan, yauda aku pungut aja." Jawab Awan santai sambil melepas jas nya, dan meletakkan tasnya di kursi sebelah nya. Lalu berusaha untuk mengambil makanan yang ada diatas meja. Plakkk!! "Akh... Mama!" Protes Awan. "Yang tadi berlaku juga untuk kamu. Pergi cuci tangan m
"Gue tegasi sama lo, jangan macem-macem atau lo gak akan pernah bisa balik ke Indonesia lagi samlai kapanpun." Ancam Awan setelah mendengarkan semua cerita dari Tomi. Yang diancam malah tertawa nyengir sambil mengutak atik ponselnya. Kali ini Awan semakin yakin bahwa apa yang ada didalam hati Raya sama dengan dirinya. Tapi dia sedikit frustasi, kenapa Raya harus menganggap serius omongannya di lobi bersama wanita itu. Dia kembali mengacak-ngacak rambutnya sendiri karena tak kunjung menemukan cara bagaimana untuk menjelaskan kepada Raya. Sebab setiap kali melihat Raya, bawaannya sellau saja gemas ingin mengusilin Raya. Hingga berakhir dengan kemarahan Raya yang tak terbendung. "Ini apaan? Aku gak mau ya jadi sekretaris pribadimu." Bentak Raya begitu menerobos keruangan Awan. Namun dia kaget karena melihat ada Tomi sedang tiduran di sofa sambil memejamkan mata dengan handsfree melekat di telinganya. Sehingga Tomi tak menyadari kalau Raya ada disana. "Memang kamu punya hak apa untuk
Drttt... drttt... Ponsel Raya bergetar saat dia sedang berada di taman kota duduk santai seorang diri untuk menenangkan hati dan pikirannya. Dia melihat deretan huruf indah membentuk nama Awan disana. Jika saja ini bukan panggilan yang ke 29 mungkin dia tidak akan mengangkatnya. Mengingat dia tau betapa gigihnya pria itu sekarang. Pria itu tidak akan menghentikan panggilannya jika dia tidak segera menjawabnya. "Hmm... " Jawab Raya malas begitu dia mengeser tombol hijau dan menempelkan bebda pipih itu ke telinganya. "Kamu dimana, Ya?" Terdengar suara Awan dengan intonasi tinggi, namun terdapat juga nada khawatir disana. Membuat hati Raya berdesir mendengarnya. "Ditaman kota. Jangan ganggu aku dan jangan kirim orang mu kesini. Aku ingin sendiri." Raya langsung mematikan ponselnya dan menyimpannya di saku celana bahan yang ia kenakan. Dan dia kembali menikmati waktunya untuk meresapi apa yang sudah dia alami selama tiga tahun ini. Terlintas beberapa kejadian yang lalu dibenaknya. Be
"Ya, bu. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya pria itu sopan. Dengan sikap acuhnya Awan berpura-pura melanjutkan pekerjaannya yang seolah mengabaikan pembicaraan antara Raya dan asistennya itu. Namun saat ini dia sedang memfokuskan pendengarannya."Bisa kamu sampaikan pada CEO mu itu, untuk tidak mencampur adukkan masalah pribadi dengan kantor?" Ucap Gadis itu tanpa melirik sedikit pun kepada Awan. Awan mengalihkan pandangannya dengan perlahan menatap kepada gadis itu. "Albert, katakan padanya. Mulai sekarang dia sekretaris pribadi saya. Dan sudah seharusnya dia menyelesaikan semua tugas yang saya berikan." Ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari Raya, namun Raya seakan tak sudi menatapnya. Dia terus menatap lurus kepada Albert. "Baiklah, bilang pada nya. Apakah sebelum ini dia pernah memberikan tugas sebanyak ini kepada para sekretarisnya di luar sana?" Tunjuk Raya kearah pintu yang sedikit terbuka. Dapat dia lihat bahwa dua orang gadis yang tak lain adalah sekretaris Awan tertangk