"Suster, tolong bicara lebih jelas," desak perempuan itu saking tidak sabarnya."Bayi ibu telah meninggal."Deg!"Apa?" Perempuan itu bergumam linglung. "Maksud suster apa?""Bayi ibu sudah meninggal." Perempuan itu membeku. Tampak sangat terguncang dengan apa yang diucapkan sang suster.'Bayi ibu sudah meninggal. Bayi ibu sudah meninggal. Bayi ibu sudah meninggal.'Kalimat itu terus terngiang-ngiang di telinga sampai dia tidak bisa mendengar suara orang lain.Bisa dibayangkan bagaimana hancurnya hati wanita itu saat mengetahui bayi yang telah dikandung sembilan bulan lamanya ternyata sudah meninggal. Padahal jelas-jelas dia sempat mendengar suara tangisan bayinya sebelum pingsan."Bohong kan, Sus. Pasti bohong! Jelas-jelas tadi saya dengar suara bayi saya. Tolong beritahu saya di mana bayi saya, Sus." Perempuan itu berteriak histeris."Bayiku di mana bayiku. Dimana? Hiks ... Hiks ... Hiks ...."Tangisan pilu tidak dapat dia bendung. Pikiran penuh akan suara bayi yang hanya beberapa
"Loh Pak Agas?" Nara memandang terkejut pada Agas.Setelah Nara bersuara, ekspresi seram di wajah Agas melunak digantikan kernyitan di dahinya yang menandakan Agas sedang bingung."Nara?" kata Agas dengan nada bicara seperti bertanya apakah orang di hadapannya itu benar-benar Nara.Nara pun tidak kalah bingung karena tidak mengerti mengapa Agas tidak mengenali wajahnya sama sekali dan langsung menuduh Nara sebagai penculik."Kok bapak gak ngenalin saya gini sih?" tanya Nara dengan heran."Gimana saya bisa ngenalin kamu kalau mukamu aja kayak begitu." Agas menjawab sambil menunjuk wajah Nara."Kayak gitu gimana?" tanya Nara lagi yang tidak mengerti ucapan Agas."Mending kamu ngaca dulu deh." Agas menyerahkan ponselnya yang sudah berada di fitur kamera.Otomatis Nara bisa langsung melihat bagaimana keadaan wajahnya sendiri. Nara berteriak kaget. Hampir tidak mengenali wajahnya sendiri. "Kok muka saya begini?"Saat ini Nara melihat wajahnya sendiri yang ternodai make up yang menor."Maaf
"Apa?" Nara dan Agas kompak berteriak kaget."Kok kamu ngomongnya gitu?" Agas bertanya bingung.Bima kemudian menjawab dengan kepala tertunduk. "Habisnya mama enggak pulang-pulang. Mama enggak sayang sama aku."Tampak Agas menarik napas panjang sebelum menanggapi perkataan Bima. "Enggak begitu. Papa sama mama sayang banget sama Bima. Cuman kami punya kesibukan aja. Maafin kami ya, Nak."Nara yang melihat Bima murung jadi tidak tega. "Bima, kamu pulang dulu ya sama papa kamu. Nanti kalau mau main sama tante, bisa datang ke sini."Bima memandang Nara dengan tatapan seperti mencari tahu apakah Nara bicara dengan jujur atau tidak."Yaudah, Bima pulang dulu sama papa. Nanti kalau Bima mau main sama tante cantik harus mau ya.""Iya." Nara mengangguk mengiyakan."Janji kelingking," pinta Bima sambil mengarahkan kelingkingnya pada Nara."Janji kelingking," balas Nara menuruti permintaan Bima.Setelah itu Bima akhirnya mau pulang bersama Agas."Terima kasih ya, Nara. Kamu sudah jagain Bima sej
Nara akhirnya tidak sanggup menghadapi situasi canggung ini. Dia sigap berdiri lalu berkata pada Bima. "Maaf ya Bima. Ada yang harus tante kerjakan. Kamu lanjut makan sama papa kamu aja ya."Bima tampak sedih ketika mendengarnya. "Tapi kan aku belum selesai makan, tante.""Maaf ya Bima," ucap Nara dengan ekspresi tidak enak.Agas yang sadar kalau Nara merasa terbebani dengan sikap Bima akhirnya ikut bicara. "Ya sudah kamu balik aja, Nara. Bima masih ada saya kok yang urus. Maaf ya tadi repotin kamu.""Kalau begitu saya pamit dulu ya, Pak." Nara berkata pada Agas lalu beralih pada Bima. "Tante pergi dulu. Nanti kita main lagi ya, Bima."Akhirnya Bima tidak menahan Nara pergi meskipun anak itu terlihat tidak rela. Kemudian Nara pun keluar dari ruangan Agas dengan lancar.~~~"Nara ...."Nara berhenti sejenak setelah mendengar seseorang memanggil namanya. Kemudian dia berbalik dan mendapati Agas sedang berjalan ke arahnya."Iya, Pak?" tanya Nara dengan sopan."Saya minta maaf tadi Bima j
Nara benar-benar dibuat panik karena Bima yang tiba-tiba kesakitan. Airmata Bima terasa seperti pisau yang menyayat hatinya. Nara berusaha keras menenangkan Bima yang kulitnya sudah muncul ruam-ruam kemerahan.Alergi. Itulah yang langsung terlintas di pikiran Nara karena itu dia sigap menggendong Bima untuk membawanya ke rumah sakit.Untungnya masih ada motor milik Lia yang belum Nara kembalikan sehingga dia tidak susah mencari kendaraan lain untuk mengantarkan Bima ke rumah sakit."Sakit, tante. Gatal sekali," erang Bima sambil menangis."Sabar dulu ya Bima. Bentar lagi kita sampai di rumah sakit," ucap Nara dengan tetap fokus menyetir.Tidak lama kemudian Nara akhirnya sampai di rumah sakit terdekat dari rumahnya. Nara segera membawa Bima ke UGD."Suster, tolong keponakan saya. Dia kayaknya alergi," ujar Nara pada salah satu suster yang penjaga.Beruntung saat itu tidak banyak pasien yang datang ke IGD sehingga Bima bisa segera ditangani."Sakiitt, tante. Hiks ..."Nara tidak tega m
"Maaf, tadi saya enggak sengaja," ucap Agas yang terkejut saat dirinya membuka pintu tanpa terduga bibirnya tidak sengaja mengecup dahi Nara.Sementara Nara juga sama terkejutnya saat merasakan bibir Agas menyentuh dahinya. Kepalanya menunduk saking malunya."Eng ...." Nara benar-benar salah tingkah.Sebenarnya Agas juga merasa malu tetapi dia juga cemas dengan keadaan anaknya jadi segera bertanya pada Nara. "Bagaimana keadaan Bima?"Pertanyaan Agas membuat suasana canggung mereka memudar. Nara segera menjawab, "Sudah membaik. Maafkan saya, Pak. Saya tidak tahu kalau Bima itu alergi udang."Agas sama sekali tidak menunjukkan kemarahan sama sekali. "Jangankan kamu, saya sebagai ayahnya juga tidak tahu. Jadi jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri." "Ngomong-ngomong, cepat sekali bapak sampai. Saya pikir Mbak Tasya yang akan lebih dulu tiba," kata Nara."Saya lagi jalan ke arah rumah kamu pas Mbak Tasya nelpon. Jadi put
Nara membekap bibirnya sendiri karena tidak bisa berkata-kata."Anaknya Mas Adam?" tanya Nara memastikan.Lia mengangguk lemah. "Aku harus bagaimana, Ra?"Nara sama sekali tidak tahu harus menanggapinya. "Rencana Mbak Lia bagaimana?" tanya Nara."Aku tidak mau memiliki anak dari orang seperti Adam, tapi setelah aku hamil begini, tidak mungkin aku menggugurkannya." Lia berkata begitu. "Dan aku juga tidak mau memberitahu Adam. Ini anakku sendiri. Bukan anaknya.""Kalau begitu jangan beritahu Mas Adam." Nara pun setuju dan mendukung keputusan Lia."Masalahnya, bagaimana caraku menghadapi papa? Kalau papa tahu bisa-bisa aku dipaksa nikah sama Adam. Aku enggak mau nikah sama Adam." Mendengar itu membuat Nara ikut pusing karena dia tahu papanya Lia itu orang yang tegas. Kadang-kadang Nara saja masih merasa segan kalau bertemu dengan papanya Lia."Gimana kalau Mbak Lia sembunyi dulu," ucap Nara mencoba memberikan salam."Tidak mungkin. Pekerjaanku ini tidak bisa ditinggal sampai berbulan-b
"Saya ibunya Agas. Neneknya Bima. Kamu yang namanya Nara ya? Yang kata seringkali dibilang tante cantik sama Bima?" ucap seorang wanita paruh baya yang memperkenalkan dirinya sebagai ibu dari Agas.Nara buru-buru menyalami ibu Agas. "Maaf tante. Aku baru bangun.""Enggak papa. Ini masih pagi. Lagian tante ngerti kok kalau kamu pasti capek setelah jagain Bima. Makasih ya perhatiannya," ucap ibu Agas dengan senyuman ramah.Nara membalas senyumannya dengan sopan sambil berkata, "Aku seneng kok tante bisa nemenin Bima. Dia anak yang menggemaskan."Ibu Agas tampak senang mendengar pendapat Nara tentang cucunya. Senyumannya tampak semakin lebar. "Memang anak itu selalu bikin orang terhibur.""Iya, tante." Nara berkata sambil melirik ke sekelilingnya, mencari keberadaan Agas yang sedari Nara bangun tidak tampak juga."Nyari Agas?" tanya ibu Agas seperti biasa menebak isi pikiran Nara."Iya, tante. Tadi malam kayaknya nginep juga," jawab Nara terus terang meski bisa dibilang tadi malam itu su