Share

Bab 82

Satria buru-buru berlari melewati koridor rumah sakit karena ingin segera sampai. Akhirnya dia tiba di ruang rawat Nara.

"Bagaimana keadaan Nara, Dok?" Satria langsung bertanya pada dokter yang ternyata masih ada di ruangan Nara.

"Oh sudah datang rupanya," kata dokter itu mengenali Satria karena memang sudah sering bertemu di rumah sakit ini.

"Keadaannya sudah membaik. Hanya perlu hati-hati merawatnya karena pasien mematahkan tulang rusuknya saat terjatuh."

"Saya akan merawatnya dengan baik, Dok."

Dokter itu tidak berlama-lama di ruangan Nara karena masih memiliki banyak pasien yang harus diperiksa. Meninggalkan Satria berdua dengan Nara yang masih belum sadarkan diri.

"Jangan buat saya khawatir, Nara," kata Satria dengan suara pelan dan lirih.

Untungnya Nara pulih dengan baik. Meski kesehatan mentalnya bermasalah. Satria tetap merawatnya dengan tulus meskipun mereka tidak memiliki hubungan apa-apa.

Sementara itu di tempat lain, hubungan yang dijalin oleh Ervan dengan Nadia berjalan dengan lambat. Meski hampir setiap hari Nadia selalu datang ke kantor Ervan. Namun bukan berarti hubungan mereka berkembang menjadi lebih erat. Ervan masih terkesan menghindari Nadia.

"Kamu kenapa sih? Bukannya kita ini pacaran?" tanya Nadia di suatu kesempatan karena terus menghadapi sikap Ervan.

"Kita kan pura-pura ...."

Nadia tersentak, baru menyadari kalau Ervan hanya menganggap hubungan mereka sebagai kepura-puraan. Padahal ....

"Apa lo berharap sesuatu yang lebih dari itu?"

Perkataan Ervan yang diucapkan dengan nada datar terasa menusuk hati Nadia. Baru setelah itu dia menyadari kalau Ervan ternyata merasa terganggu dengan hubungan mereka yang seperti ini.

Mungkin bagi Ervan, hubungan mereka ini adalah sebuah paksaan yang tidak dia inginkan.

Nadia melangkah mundur dengan tatapan nanar sebelum kemudian pergi meninggalkan Ervan sendirian.

Dan Ervan membiarkan saja Nadia pergi tanpa berniat untuk mencegahnya. Dia merasa inilah yang terbaik untuk mereka.

Jujur saja, sampai detik ini Ervan masih terbayang-bayang pernyataan cinta dari Nadia hari itu. Sama sekali tidak terlupakan.

Entah mengapa, momen itu membuat Ervan gelisah. Padahal Ervan ingin dengan tegas mengatakan kalau dia tidak punya perasaan apa-apa pada Nadia. Tapi rasanya bibirnya terasa kelu, seperti ada yang menahannya untuk mengatakan itu.

Kalau ditanya apa perasaan yang dia rasakan pada Nadia, Ervan sendiri bingung harus menjabarkannya dengan cara seperti apa.

Awalnya dia hanya menganggap Nadia sebagai 'adik' dari temannya. Lambat laun, Nadia bukan sekadar adik dari teman tetapi sudah dia anggap seperti adiknya sendiri meskipun kelakuannya yang kadang-kadang bikin jengkel.

Sekarang, setelah mendapat pengakuan dari Nadia, Ervan menyadari kalau perasaannya terhadap Nadia tidaklah sesederhana yang dia pikirkan. Namun Ervan sendiri masih susah untuk mendefinisikannya juga. Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah dia jatuh cinta pada Nadia? Kalau benar begitu, kapan itu terjadi?

"Akhhhhhhh ... Bikin bingung aja...."

~~~

Sementara itu di tempat lain, Agas baru saja pulang ke rumahnya dan mendapati Riri ternyata ada di rumah dan sedang bermain dengan Bima.

Kedua alis Agas bertautan heran. Merasa tidak biasanya Riri mau meladeni Bima. Saat Agas sedang memandangi keduanya tanpa suara, rupanya Bima masih menyadari kedatangan ayahnya itu.

Anak itu langsung menghentikan aktivitasnya dan langsung berlari menerjang Agas dengan penuh semangat.

"Papaaaa ...," katanya, menghambur ke pelukan ayahnya dan Agas pun menyambutnya dengan sama antusiasnya.

"Udah makan?" tanya Agas dengan senyuman penuh kasih sayang.

"Udah, Pa. Sama mama," jawab Bima.

Agas tidak tahu mengapa, merasa asing dengan suasana seperti ini. Padahal dulu dia berharap bisa anaknya mendapatkan kasih sayang dari ibunya, terlepas dari kenyataan kalau Agas sendiri tidak memiliki perasaan pada wanita itu.

Dia tetap berharap anaknya mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya. Tapi sekarang, di saat dia harusnya senang karena Riri mau berinisiatif mendekatkan diri dengan Bima, namun entah mengapa Agas justru merasa ragu dan curiga. Aneh, pikirnya.

"Agas, sudah pulang? Sudah makan malam?" Riri tiba-tiba bicara dengan nada lembut.

Agas sampai terkejut sendiri. Namun itu hanya sebentar sebelum akhirnya dia menolaknya karena sudah makan di kantor.

Agas menggendong Bima lalu berjalan menuju kamar anaknya tanpa mengucapkan apa-apa pada Riri.

"Sudah malam, ayo papa antar ke kamar tidur," kata Agas pada anaknya.

"Tapi Bima lagi main sama mama, pa." Bima menjawab dengan nada enggan.

"Nanti bisa dilanjut besok," kata Agas.

Akhirnya Bima menurut dan membiarkan ayahnya membawanya menuju ke kamar. Setelah sampai di kamar, Agas meminta Bima menggosok gigi dulu lalu menemani anaknya sampai tertidur.

Setelah yakin Bima sudah terlelap, barulah Agas keluar dari sana dan menuju ke kamarnya sendiri. Agas tidak melihat keberadaan Riri dan sebenarnya tidak terlalu peduli juga.

Sampai di kamar, Agas langsung pergi menuju ke kamar mandi karena dia ingin membersihkan tubuhnya yang lengket setelah seharian bekerja.

Baru saja beberapa detik dia ada di sana, tiba-tiba terdengar suara pintu terkunci. Refleks Agas berbalik dan mendapati kehadiran Riri.

Mata Agas langsung terbelalak saat melihat langsung kelakuan Riri yang menurutnya gila.

"Apa yang kamu lakukan?!" teriak Agas dengan muka kesal.

"Bagaimana tubuhku? Menggoda bukan?" jawab Riri tanpa merasa takut dan justru memamerkan bentuk tubuhnya yang tidak tertutupi sehelai benang.

"Dasar gila!" umpat Agas sangat merasa benci dengan wanita di hadapannya.

"Yakin kau tidak tergoda?" kata Riri yang malah berjalan mendekat. "Sentuh aku seperti yang dulu pernah kamu lakukan sebelum menikah dulu."

Agas menggertakkan gigi sambil memandang wanita di hadapannya dengan tatapan benci. Jika tatapan bisa membunuh, mungkin Riri sudahlah mati dari tadi.

"Kau akan menyesal, Riri ...."

°••• Bersambung ••°

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status