Satria buru-buru berlari melewati koridor rumah sakit karena ingin segera sampai. Akhirnya dia tiba di ruang rawat Nara.
"Bagaimana keadaan Nara, Dok?" Satria langsung bertanya pada dokter yang ternyata masih ada di ruangan Nara. "Oh sudah datang rupanya," kata dokter itu mengenali Satria karena memang sudah sering bertemu di rumah sakit ini. "Keadaannya sudah membaik. Hanya perlu hati-hati merawatnya karena pasien mematahkan tulang rusuknya saat terjatuh." "Saya akan merawatnya dengan baik, Dok." Dokter itu tidak berlama-lama di ruangan Nara karena masih memiliki banyak pasien yang harus diperiksa. Meninggalkan Satria berdua dengan Nara yang masih belum sadarkan diri. "Jangan buat saya khawatir, Nara," kata Satria dengan suara pelan dan lirih. Untungnya Nara pulih dengan baik. Meski kesehatan mentalnya bermasalah. Satria tetap merawatnya dengan tulus meskipun mereka tidak memiliki hubungan apa-apa. Sementara itu di tempat lain, hubungan yang dijalin oleh Ervan dengan Nadia berjalan dengan lambat. Meski hampir setiap hari Nadia selalu datang ke kantor Ervan. Namun bukan berarti hubungan mereka berkembang menjadi lebih erat. Ervan masih terkesan menghindari Nadia. "Kamu kenapa sih? Bukannya kita ini pacaran?" tanya Nadia di suatu kesempatan karena terus menghadapi sikap Ervan. "Kita kan pura-pura ...." Nadia tersentak, baru menyadari kalau Ervan hanya menganggap hubungan mereka sebagai kepura-puraan. Padahal .... "Apa lo berharap sesuatu yang lebih dari itu?" Perkataan Ervan yang diucapkan dengan nada datar terasa menusuk hati Nadia. Baru setelah itu dia menyadari kalau Ervan ternyata merasa terganggu dengan hubungan mereka yang seperti ini. Mungkin bagi Ervan, hubungan mereka ini adalah sebuah paksaan yang tidak dia inginkan. Nadia melangkah mundur dengan tatapan nanar sebelum kemudian pergi meninggalkan Ervan sendirian. Dan Ervan membiarkan saja Nadia pergi tanpa berniat untuk mencegahnya. Dia merasa inilah yang terbaik untuk mereka. Jujur saja, sampai detik ini Ervan masih terbayang-bayang pernyataan cinta dari Nadia hari itu. Sama sekali tidak terlupakan. Entah mengapa, momen itu membuat Ervan gelisah. Padahal Ervan ingin dengan tegas mengatakan kalau dia tidak punya perasaan apa-apa pada Nadia. Tapi rasanya bibirnya terasa kelu, seperti ada yang menahannya untuk mengatakan itu. Kalau ditanya apa perasaan yang dia rasakan pada Nadia, Ervan sendiri bingung harus menjabarkannya dengan cara seperti apa. Awalnya dia hanya menganggap Nadia sebagai 'adik' dari temannya. Lambat laun, Nadia bukan sekadar adik dari teman tetapi sudah dia anggap seperti adiknya sendiri meskipun kelakuannya yang kadang-kadang bikin jengkel. Sekarang, setelah mendapat pengakuan dari Nadia, Ervan menyadari kalau perasaannya terhadap Nadia tidaklah sesederhana yang dia pikirkan. Namun Ervan sendiri masih susah untuk mendefinisikannya juga. Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah dia jatuh cinta pada Nadia? Kalau benar begitu, kapan itu terjadi? "Akhhhhhhh ... Bikin bingung aja...." ~~~ Sementara itu di tempat lain, Agas baru saja pulang ke rumahnya dan mendapati Riri ternyata ada di rumah dan sedang bermain dengan Bima. Kedua alis Agas bertautan heran. Merasa tidak biasanya Riri mau meladeni Bima. Saat Agas sedang memandangi keduanya tanpa suara, rupanya Bima masih menyadari kedatangan ayahnya itu. Anak itu langsung menghentikan aktivitasnya dan langsung berlari menerjang Agas dengan penuh semangat. "Papaaaa ...," katanya, menghambur ke pelukan ayahnya dan Agas pun menyambutnya dengan sama antusiasnya. "Udah makan?" tanya Agas dengan senyuman penuh kasih sayang. "Udah, Pa. Sama mama," jawab Bima. Agas tidak tahu mengapa, merasa asing dengan suasana seperti ini. Padahal dulu dia berharap bisa anaknya mendapatkan kasih sayang dari ibunya, terlepas dari kenyataan kalau Agas sendiri tidak memiliki perasaan pada wanita itu. Dia tetap berharap anaknya mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya. Tapi sekarang, di saat dia harusnya senang karena Riri mau berinisiatif mendekatkan diri dengan Bima, namun entah mengapa Agas justru merasa ragu dan curiga. Aneh, pikirnya. "Agas, sudah pulang? Sudah makan malam?" Riri tiba-tiba bicara dengan nada lembut. Agas sampai terkejut sendiri. Namun itu hanya sebentar sebelum akhirnya dia menolaknya karena sudah makan di kantor. Agas menggendong Bima lalu berjalan menuju kamar anaknya tanpa mengucapkan apa-apa pada Riri. "Sudah malam, ayo papa antar ke kamar tidur," kata Agas pada anaknya. "Tapi Bima lagi main sama mama, pa." Bima menjawab dengan nada enggan. "Nanti bisa dilanjut besok," kata Agas. Akhirnya Bima menurut dan membiarkan ayahnya membawanya menuju ke kamar. Setelah sampai di kamar, Agas meminta Bima menggosok gigi dulu lalu menemani anaknya sampai tertidur. Setelah yakin Bima sudah terlelap, barulah Agas keluar dari sana dan menuju ke kamarnya sendiri. Agas tidak melihat keberadaan Riri dan sebenarnya tidak terlalu peduli juga. Sampai di kamar, Agas langsung pergi menuju ke kamar mandi karena dia ingin membersihkan tubuhnya yang lengket setelah seharian bekerja. Baru saja beberapa detik dia ada di sana, tiba-tiba terdengar suara pintu terkunci. Refleks Agas berbalik dan mendapati kehadiran Riri. Mata Agas langsung terbelalak saat melihat langsung kelakuan Riri yang menurutnya gila. "Apa yang kamu lakukan?!" teriak Agas dengan muka kesal. "Bagaimana tubuhku? Menggoda bukan?" jawab Riri tanpa merasa takut dan justru memamerkan bentuk tubuhnya yang tidak tertutupi sehelai benang. "Dasar gila!" umpat Agas sangat merasa benci dengan wanita di hadapannya. "Yakin kau tidak tergoda?" kata Riri yang malah berjalan mendekat. "Sentuh aku seperti yang dulu pernah kamu lakukan sebelum menikah dulu." Agas menggertakkan gigi sambil memandang wanita di hadapannya dengan tatapan benci. Jika tatapan bisa membunuh, mungkin Riri sudahlah mati dari tadi. "Kau akan menyesal, Riri ...." °••• Bersambung ••°Amarah Agas menggebu-gebu. Tanpa mempedulikan lagi kalau wanita di hadapannya ini adalah ibu dari anaknya, Agas mendorong Riri ke samping lalu menendang pintu kamar mandinya sampai roboh.Riri yang terdorong, tidaklah terluka tapi tentu saja dia merasa kaget dengan reaksi Agas yang keras. Hal itu membuat Riri semakin merasa benci pada Agas dan wanita yang dicintai Agas."Segitunya kamu sama aku, gak pernah memberi aku kesempatan sama sekali. Bagaimana aku tidak membencimu dan wanita itu karena ini," ujar Riri pada suami yang telah melenggang pergi. "Kamu akan membayar penghinaan, Agas!"Sementara itu, Agas berjalan dengan langkah cepat yang panjang menuju mobil yang sebelumnya telah dia masukkan ke garasi.Tanpa kata, Agas mengeluarkan kembali SUV Hitam miliknya untuk pergi dari rumahnya sendiri. Dia perlu waktu untuk menenangkan diri lebih dulu.~~~"Makan ya, satu suap aja," bujuk Satria yang saat ini sedang berusaha membuat Nara makan.Namun sayangnya Nara tidak menanggapinya dan h
"Satria gak mau dijodohkan sama siapapun itu," kata Satria, entah sudah berapa kali dia mengatakan itu seminggu belakangan ini.Sejak Risa yang datang ke ruang rawat Nara untuk menyampaikan pesan mamanya Satria, ternyata kejutan yang dimaksud oleh Risa itu mengenai perjodohan yang direncanakan oleh kedua orangtua Satria.Sungguh gagasan yang membuat Satria sakit kepala. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa kedua orangtuanya begitu ngotot untuk menjodohkannya. Memangnya dia tidak bisa mencarinya sendiri?"Kali ini harus mau," kata papanya Satria yang bernama Umar. "Papa udah janji sama sahabat papa.""Yang bikin janji papa, kenapa aku yang harus jadi korban?" sahut Satria merasa tidak adil."Coba aja ketemu dulu," kata Umar."Gak mau. Pokoknya gak mau," balas Satria dengan tegas. Setelah mengatakan hal itu, Satria pamit pergi."Anak itu, benar-benar," ujar Umar dengan geram, tapi tidak menghentikan anaknya pergi."Sudahlah, Pa. Kalau Satrianya gak mau, jangan dipaksa," ucap istri Umar
"Sampai sekarang, gak ada kabar apapun dari Nara. Apa dia baik-baik saja?" gumam Lia dengan sedih.Aldi, yang saat ini sedang berada di samping Lia, berusaha menghibur calon istrinya agar tenang."Jangan khawatir, Nara pasti baik-baik aja," kata Aldi sambil menghapus airmata sang kekasih.Lia menatap Aldi dalam diam. Dia merasa tersentuh dengan perhatian Aldi yang lembut. Hal itu membuatnya teringat dengan kebaikan Aldi yang mau menunda pernikahan mereka sampai ada kabar yang jelas.Sudah berbulan-bulan, kabar itu masih tidak jelas. Lia bertanya-tanya mau ditunda seberapa lama lagi. Dia merasa bersalah pada Aldi dan keluarganya akan keinginannya yang egois ini."Kenapa diem aja?" tanya Aldi yang merasakan tatapan Lia yang intens."Ayo lanjutkan rencana pernikahan kita berdua," kata Lia dengan yakin, setelah dipikir-pikir, mungkin ini yang seharusnya dia lakukan.Mata Aldi sedikit mengerjap saat mendengar penuturan Lia. Dia diam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "Jangan dipaksak
Agas buru-buru pergi ke rumah sakit setelah menerima kabar dari wali kelas kalau anaknya pingsan."Gimana keadaan Bima, Bu guru?" tanya Agas pada wali kelas Bima karena saat dia sampai di sana, Agas hanya melihat gurunya Bima saja."Sudah ditangani oleh dokter tadi, Pak Agas. Anu ...," ucap sang guru, tampak masih memiliki sesuatu yang belum dikatakan."Ada apa, Bu guru? Apa masih ada hal penting yang perlu saya tahu?" tanya Agas tanpa menyudutkan. "Katakan saja, Bu."Meski awalnya ragu, akhirnya wali kelas Bima mengatakannya. "Pak Agas, kondisi Bima tidak sesederhana yang kita pikirkan.""Maksudnya bagaimana Bu guru? Apa anak saya punya penyakit serius?" Agas bertanya dengan ekspresi yang tampak masih tenang, walaupun sebenarnya di dalam hati dia sedang cemas.Mana mungkin dia bisa tenang-tenang saja di saat anak semata wayangnya sedang sakit ini."Ada tanda-tanda kekerasan di tubuh Bima.""Apa?!" Agas membeku. "Maksudnya bagaimana, Bu? Saya gak pernah lihat ...."Sebelum Agas menyel
Satria memandang perempuan di hadapannya dengan sorot mata yang tajam. Sementara perempuan itu tampak santai-santai saja."Gue pinjem bentar, kamar mandinya," ujar perempuan itu sambil berjalan melewatinya.Satria sampai terbengong-bengong, meski hanya sesaat karena dia langsung melontarkan pertanyaan lagi. "Heh, lo itu siapa sih? Masuk ke kamar orang sembarangan. Maling ya?"Ucapan 'Maling ya?' seakan jadi pemicu, perempuan langsung berbalik cepat dengan wajah galak. "Apa lo bilang? Siapa yang lo panggil maling?""Elo! Siapa lagi?" sahut Satria tidak kalah galak. "Sekarang jawab pertanyaan gue, elo itu siapa? Kenapa elo ada di kamar gue?!"Perempuan itu tampak tertegun. Tatapannya yang galak melemah berganti rasa heran. "Jangan-jangan ...."Alis Satria mengerut dan matanya terus memandang wajah perempuan itu tanpa mengalihkan pandangan, tampak jelas pria itu sedang menunggu apa yang akan selanjutnya dikatakan perempuan itu."Jangan-jangan elo gak ngenalin wajah adek kandung lu sendir
"Permisi, Pak. Saya dari kantin, datang untuk mengantar makan siang bapak." Nara berbicara seperti itu sambil melihat ke arah seseorang yang duduk di balik meja Ceo.Alangkah terkejutnya Nara ketika menyadari orang yang berada di hadapannya itu adalah teman yang dia kenal sewaktu SMP. Sepertinya bukan Nara saja yang terkejut, pria itu pun sama-sama menunjukkan ekspresi terkejut walau hanya sebentar saat memandang Nara.Pantas saja namanya sama karena memang ternyata orang yang sama. Agas Pratama, ketua OSIS se-angkatan dengan Nara. Saat itu pun Nara kebetulan menjabat sebagai wakil OSIS-nya.Agas ini memiliki wajah yang tampan namun sayang ekspresinya selalu datar seperti papan tulis.Dulu Nara sempat naksir dengan Agas. Alasannya cukup klise. Karena tampan. Meski jarang senyum tapi justru tetap cool di mata para siswi sewaktu itu termasuk di mata Nara. Namun kemudian ada kejadian yang membuat perasaan Nara pada Agas berubah dari suka diam-diam menjadi jengkel setiap melihatnya.Hal i
Siapa sangka seorang Ceo seperti Agas, makan siang di kantin perusahaan, berbaur dengan pegawai lain. Seperti tidak ada batasan jabatan di sini."Nara antarkan puding ini ke Pak Agas yang duduk di sebelah sana," ucap Bu Anggi, penanggung jawab kantin tempat Nara bekerja.Kantin yang dijalankan perusahaan untuk menyediakan makanan kepada karyawannya sehingga mereka bisa makan siang di sana tanpa membayar karena sudah termasuk fasilitas dari perusahaan.Nara berjalan sambil membawa puding dengan hati-hati. Sampai akhirnya cukup dekat dengan tempat Agas duduk. ”Permisi Pak Agas, ini puding untuk Anda," ucap Nara dengan sopan. Agas yang melihat kedatangan Nara hanya mengangguk singkat tanpa bicara. Nara paham betul apa maksudnya. Jadi dia langsung saja meletakkan puding tersebut di meja."Apa ada hal lain yang perlu saya bantu, Pak?" tanya Nara."Tidak perlu. Silahkan kembali bekerja," jawab Agas demikian.Nara mengangguk mengerti.Baru saja dia akan berbalik, namun sebelum dia tahu apa
"Kamu ...." Ternyata perempuan yang tadi menabraknya itu menemui Nara. Lalu membungkuk sambil dengan perasaan bersalah. "Saya benar-benar minta maaf, Mbak," ucapnya. Nara membalas dengan sopan. "Tidak perlu minta maaf, Mbak. Saya mengerti. Namanya juga gak sengaja." "Terima kasih, Mbak." ~~~ Sebulan kemudian, saat Nara baru saja menerima gaji pertamanya. Dia membelikan kue kesukaan dari sahabatnya, Lia. Kue Matcha yang menjadi favorit Lia, Nara beli spesial untuk berterima kasih. Karena sebelumnya Lia telah membantunya mendapatkan pekerjaan Nara sekarang ini. Mereka janjian bertemu di Kafe Star, tempat biasa mereka nongkrong. Nara telah tiba sekitar setengah jam yang lalu. Namun Lia masih belum tiba juga. Meski begitu Nara masih bersedia menunggu lebih lama karena dia juga tahu jalanan Jakarta macetnya minta ampun. Sayangnya pesan masuk membuat penantian Nara menjadi sia-sia karena isi dari pesan itu menjelaskan kalau Lia tidak bisa datang karena ada pasien darurat. Tapi a