Zahwa pamit membersihkan diri. Sedangkan Arsan sudah dari tadi mandi dan ganti baju. Zahwa sekarang sudah lebih segar. Dia keluar dari kamarnya sudah wangi. Harum bau sabun mandi tercium di indra penciuman Arsan. Hatinya begitu bergetar hanya mencium aroma sabun mandi Zahwa saja. Ah, begitulah kalau jatuh cinta. Selalu melakukan hal gila.
“Mas, kau besok harus berangkat pagi banget ‘kan? Kenapa tidak istirahat?” tanya Zahwa sambil mengambilkan makan untuknya.
“Terima kasih, Za. Tidak apa-apa. Dari pada di rumah malah bosan. Aku main sama Keano saja.” Mereka sudah selesai makan malam. Keano pamit ke kamarnya. Anak laki-laki itu selalu pengertian jika terkait dengan Arsan dan juga mamanya. Dia akan memberikan ruang untuk keduanya. Keano berharap jika Arsan menjadi ayahnya saja. Sebab terlihat laki-laki itu sangat baik terhadap dirinya dan juga mamanya.
“Mas, hati-hati di tempat yang baru, ya?” Arsan tersenyum. Ternyata Zahra mengkhawatirkan dirinya.
“Kau mengkhawatirkan aku?” tanya Arsan.
“Hufff, tentu saja.” Arsan menyangga dagunya. Dia memandang intens ke arah wajah Zahwa.
“Za, permintaanku masih berlaku. Kau tidak mau jika kita merajut rumah tangga? Aku membutuhkanmu, Za. Untuk semuanya.” Zahra menunduk. Dia tidak tahu harus jawab apa? Harus menolak tapi nyatanya dia sendiri juga menyayangi Arsan. Mau menerima, dia memiliki trauma yang dia sendiri tidak dapat mengatasinya.
“Ah, Mas. Kita sudah pernah membahasnya. Aku sedang tidak ingin berumah tangga saat ini. Aku ....” Tawa kecut Arsan terdengar. Dia meraih jemari Zahra dan mengatikan dengan miliknya.
“It’s okay. I understand your sadness. Aku akan menunggu hingga kau siap.” Zahwa memandangnya sangat lekat. Terbuat dari apa lelaki ini. Dia bahkan tidak pernah menyerah. Zahwa sudah membuatnya menunggu selama sebelas tahun sejak pertemuan mereka. Tapi lelaki itu tidak menyerah juga.
“Jangan menungguku lagi, Mas. Kau berhak memiliki wanita mana pun yang segaris denganmu. Jangan pernah menungguku. Karena aku sendiri tidak yakin kapan? Jangan membuat aku merasa bersalah.” Arsan menarik tangan Zahwa yang tadi digenggam jemarinya. Dia memeluk tubuh Zahwa dengan erat. Tubuhnya terasa bergetar. Arsan sendiri sudah menduga, bahwa Zahwa ketakutan dengan makhluk yang bernama lelaki karena pengalaman pahitnya itu.
“Aku hanya ingin kamu. Kalau kamu tidak bisa, maka aku tidak memaksa. Jangan merasa terbebani. Tapi ijinkan aku untuk tetap menyayangi kalian.” Arsan membisikkan kata itu tepat ditelinganya. Zahwa merasa meneduh. Ingin rasanya dia menerima lelaki berparas tampan itu. Tapi rasa takut lebih mendominasi.
Malam semakin menjelang. Arsan pamit pulang. satu kecupan mendarat di kening wanita itu. Zahwa tidak menolaknya. Entah perasaan apa ini? Semua terasa sangat menyakitkan. Mereka saling cinta tapi luput untuk bersama. Zahwa masuk ke dalam rumah dengan gontai. Ternyata diam-diam Keano belum tidur. Dia bersedakap di pintu tengah sambil melihat ke arah ibunya.
“Kenapa mama tidak mau menikah dengan Om Arsan? Bukankah dia baik, Ma? Mau mencari laki-laki di mana lagi?” Nevan membuat Zahwa melonjak karena kaget.
“Kamu belum tidur? Dengarkan, Key. Menikah itu tidak hanya dibutuhkan baik dan bertanggung jawab saja. lebih dari pada itu. Kau belum mengerti.” Keano membuang wajahnya ke samping dia melepaskan tangannya yang bersedekap kemudian berjalan mendekat ke arah ibunya. Dia bersandar di dinding dan mengalihkan tangannya ke saku. Kakinya menapak di tembok.
Kenano tidak habis pikir dengan ibunya tersebut. Apa susahnya menerima seorang Arsan? Toh dia baik?“Apalagi yang dibutuhkan? Bukannya bertanggung jawab lebih dari pada segalanya? Ah, Mama memang sangat payah.” Zahwa tertawa mendengar celoteh anaknya. Ya, Keano memang lebih dapat berpikir dewasa dari pada usianya. Kekerasan hidup yang ditunjukkan oleh Zahwa dan didikannya untuk mandiri membuat Keano dapat berpikir lebih logis dan lebih bijak dari pada usianya.“Kau tidak mengenal mama ternyata.” Keano memicingkan matanya.“Are you kidding? I know you very well enough. Sembilan bulan lebih dalam perutmu, dilanjut sepuluh tahun? Masih sanksi untuk mengakui bahwa aku sangat memahami, Mama?” Keano menyenderkan tubuhnya di dinding, sedangkan Zahwa mengambil kemoceng untuk membersihkan ruangan.“Aku bantu.” Zahwa memberikan kemoceng itu. Wanita itu m
“Apalagi yang dibutuhkan? Bukannya bertanggung jawab lebih dari pada segalanya? Ah, Mama memang sangat payah.” Zahwa tertawa mendengar celoteh anaknya. Ya, Keano memang lebih dapat berpikir dewasa dari pada usianya. Kekerasan hidup yang ditunjukkan oleh Zahwa dan didikannya untuk mandiri membuat Keano dapat berpikir lebih logis dan lebih bijak dari pada usianya.“Kau tidak mengenal mama ternyata.” Keano memicingkan matanya.“Are you kidding? I know you very well enough. Sembilan bulan lebih dalam perutmu, dilanjut sepuluh tahun? Masih sanksi untuk mengakui bahwa aku sangat memahami, Mama?” Keano menyenderkan tubuhnya di dinding, sedangkan Zahwa mengambil kemoceng untuk membersihkan ruangan.“Aku bantu.” Zahwa memberikan kemoceng itu. Wanita itu memang terbiasa bersih-bersih pada malam hari kalau tidak lelah. Keano selalu membantunya. Zahwa mengambil sapu dan juga p
Zahwa melaju ke ruang rapat. Dia memberikan semua bahan yang tadi sudah diperbanyak ke semua meja. Setelah semuanya selesai, dia mengembuskan napas lega. Datanglah orang pertama. Biasanya Arsan akan datang tepat setelah dia masuk ruangan rapat dan membantunya. Tapi hari ini tidak ada dia. Maka yang datang adalah Angkasa. Dia seorang Direktur Pemasaran yang juga care dengan Zahwa. Bedanya lelaki itu hanya menyukai Zahwa karena jinerjanya saja, tidak ada embel-embel ingin memiliki seperti Arsan. “Ah, Zahwa. Kau selalu sempurna melakukannya. Masih butuh bantuan?” tawar Angkasa. “Pak Angkasa, kuanggap itu pujian. Belum ada yang harus Bapak bantu. Jika ada, hanya doakan saya tidak grogi sehingga melakukan kesalahan fatal.” Angkasa tertawa renyah mendengarnya. Lelaki yang lebih tua beberapa tahun dari dirinya itu duduk di barisan kursi depan. Ruang rapat itu berbentuk later U. Angkasa duduk di sebelah kiri, paling dekat dengan LCD.
Zahwa melaju ke ruang rapat. Dia memberikan semua bahan yang tadi sudah diperbanyak ke semua meja. Setelah semuanya selesai, dia mengembuskan napas lega. Datanglah orang pertama. Biasanya Arsan akan datang tepat setelah dia masuk ruangan rapat dan membantunya. Tapi hari ini tidak ada dia. Maka yang datang adalah Angkasa. Dia seorang Direktur Pemasaran yang juga care dengan Zahwa. Bedanya lelaki itu hanya menyukai Zahwa karena jinerjanya saja, tidak ada embel-embel ingin memiliki seperti Arsan.“Ah, Zahwa. Kau selalu sempurna melakukannya. Masih butuh bantuan?” tawar Angkasa.“Pak Angkasa, kuanggap itu pujian. Belum ada yang harus Bapak bantu. Jika ada, hanya doakan saya tidak grogi sehingga melakukan kesalahan fatal.” Angkasa tertawa renyah mendengarnya. Lelaki yang lebih tua beberapa tahun dari dirinya itu duduk di barisan kursi depan. Ruang rapat itu berbentuk later U. Angkasa duduk di sebelah kiri, paling dekat dengan LCD.Zah
Melihat Andra yang tidak tepuk tangan, moderator mennayakan apakah yang harus diperbaiki dari presentasi hari ini. “Tidak ada. Mungkin bisa ditutup dan melakukan langkah selanjutnya.” Andra memilih untuk mengakhrinya karena dia sudah sangat penasaran dengan siapa sosok wanita di depannya? Akhirnya mereka bubar. Damian masih terpaku di tempatnya, sampai sebuah telepon mengekutkannya. Lelaki itu keluar dari ruangan.“Zahwa, kau melakukannya dengan sangat bagus.” Angkasa memberikan selamat dan menjabat tangannya.“Ah, ini berkat bantuan dari tim. Sekarang setelah ini tinggal bagian Bapak yang mengeksekusi.” Angkasa setuju. Mereka berbincang bersama, sampai sebuah telepon masuk dan menderingkan ponsel Zahwa.“Iya, Ibu. Dengan saya sendiri.” Angkasa pamit untuk meninggalkan Zahwa terlebih dahulu. Dia tidak mau menguping privasi Zahwa. Wanita itu mengangguk dan mempersilakan Angkas untuk meninggalkannya.“Oh
“Oh, baiklah jika begitu. Kita bertemu di pengadilan!” Zahwa bangkit dan menarik tangan putranya. Dia baru melepaskan setelah sampai di parkiran. Wanita itu membukakan pintu untuk sang putra. Sedangkan Damian hanya diam dan memandang punggung wanita itu meninggalkan kafe itu.“Masuk, Sayang.” Zahwa berputar untuk sampai di ruang kemudi. Mereka melaju dalam diam sampai Keano buka suara.“Ma, Keano nggak salah. The spoiled child who went ahead, Ma.” Kenao terlihat mmbela diri.“Mama tahu. Makanya membelamu.” Zahwa tersenyum untuk menyembunyikan kegundahannya. Bukan, bukan dia tidak tahu. Dia tidak mau lagi bermasalah dengn keluarga Dawson. Dia sangat paham putranya tidak bersalah. Keano adalah anak yang sangat patuh dan dewasa. Tidak mungkin dia membuat masalah jika tidak didahului.“Ma, lebih baik aku minta maaf saja sama mereka. Dari pada ha
Esok harinya berjalan seperti biasa. Keano sekolah dan Zahwa ke kantor. Di sekolah, Keano lebih banyak diam dan bermain di lapangan. Malas banget harus berurusan dengan Gladis. Walaupun kemarin sudah ada pertemuan antara dirinya bahkan para orang tua, tapi wanita itu tetap saja mengganggunya.“Keano!” Lelaki kelas lima itu menoleh ke arah sumber suara.“Ada apa Alicia?” Keano membiarkan bolanya pergi. Dia mendekati gadis itu ke pingir lapangan. Lelaki itu meraih botol air mineral yang disodorkan oleh Alicia. Ya, Alicia dan Keano berteman sejak masih TK.“Gue denger Lo dan Gladis berantem lagi?” Keano tersenyum kecut sambil menutup botol air mineral itu.“Biasa anak manja.” Alicia menoleh ke arak Keano yang baru saja duduk di dekatnya dengan kaki yang diluruskan.“Emang, ya? Gadis itu pingin tah, ihhh ... gue bener-bener gedeg banget lihat tuh anak sok kaya sendiri.” Keano hanya menggidigka
“Ganteng buat apa kalau jutek?” Zahwa berjalan mendahului Ingrid. Dia langsung berjalan jenjang menuju ke lift. Dada Zahwa sangat kencang berdetak mendengar Andra yang memanggilnya. Bukan karena dia takut ditegur tentang dirinya yang tidak menunduk. Namun lebih dari pada itu. Dia takut jika Andra mengenalinya.“Za, Lo dipanggil Pak Andra ‘kan? Kenapa masih di sini?” Ingrid yang tertinggal di belakang sudah sampai di kubikelnya.“Hufff, gue nggak akan datang. Ya kali karena gue nggak mau nunduk dia jadi hukum? Gila hormat banget dia.” Zahwa menolak untuk ke ruangan Andra. Jujur dia ingin resign, akan tetapi ini sangat menyesakkan dada. Jika dia mengenalinya, maka secara otomatis dia akan lari kembali. Tidak mau lagi berurusan dengan keluarga Dawson.“Ih, berani banget kamu menolak si ganteng. Dia ‘kan bos kita, Za. Suka-suka dia mau ngapain aja. Kita sebagai bawahan tinggal nurut. Kau ‘kan bisa minta maaf sama dia.” Zahwa mengedikkan