Share

Wanita Berkaca mata, Siapa Kamu?

“Dor! Hayo memeperhatikan siapa?” Ya, lelaki yang memperhatikan Zahwa tersebut adalah Damian Dawson kakak kandung Andra Dawson. Dia merasa mngenal dan dekat dengan Zahwa tapi sudah lupa di mananya?

“Kamu itu ngagetin. Mau makan siang di kantin nggak?” Andra mengerutkan keningnya. Damian? Mau makan siang di kantin kantor? Ada apa gerangan ini? Timbul kecurigaan dalam hati Andra. Ya, jawabannya tentu karena Damian penasaran dengan wanita yang menabraknya tadi pagi. Suaranya mengingatkan pada seseorang. Hanya saja, dia belum tahu identitasnya dan belum ingat.

“Tidak salah? Berisik, lho. Apalagi nanti karyawan bakalan histeris.” Damian merasa ragu, sehingga dia menurut pada Andra. Dia tidak jadi ke kantin kantor. Tapi memang Andra sudah memesan menu makan siang. Tidak berapa lama mereka mendapatkan makan siangnya.

Sedangkan Arsan dan juga Zahwa baru saja sampai ke kantin. Mereka memesan soto kesukaan Zahwa. Akhirnya pesanan mereka datang. “Za, kalau aku pergi, kamu harus janji jangan telat makan siangnya.” Arsan mengingatkan Zahra sambil sesekali menyeruput kuah soto tersebut.

“Ah, kenapa kamu bawel banget sih? Tenang saja, ada Ingrid. Kamu bisa pergi dengan nyaman. Hmmm, kamu memang benar mau keluar?” tanya Zahwa.

“Kamu mendengar gosip dari mana? Memang benar. Tapi lebih tepatnya bukan keluar. Hanya dipindahkan ke kota lain. Sepertinya Dawson International Corp membuka cabang baru. Kita ‘kan sudah membahasnya kemarin?” Zahwa memicingkan matanya. Dia tidak percaya bahwa lelaki itu akan dipindahkan ke lokasi yang masih baru dan perlu usaha lagi.

“Apa? Kamu tidak menolak gitu? Bukankah karir kamu gemilang di sini? Tidak mudah menstabilkan keadaan. Apalagi terus meningkat. Selama kamu menjabat, bukankah belum pernah sekali pun harga saham turun? Tidakkah itu jadi pertimbangan?” Zahwa masih berusaha agar Arsan mempertimbangkannya. Entahlah, dia merasa kehilangan. Belum pergi saja, sudah merasa jauh. Wanita dengan poni pendek itu menenggak air putih sedikit untuk mendorong makanan masuk ke dalam lambungnya.

“Kau menerimanya saja? Di perusahaan baru, berarti kamu mulai dari nol, Mas. Tidakkah kau merasa mereka memperalatmu?” Arsan terkekeh. Tapi di sisi lain dia merasa sedikit bahagia karena Zahwa khawatir kepadanya.

“Aku memang dibayar untuk itu, Za. ‘Kan kamu tahu. Jangan khawatir, setiap ahir minggu aku akan mengunjungi kalian. Selesaikan makanmu, atau nanti akan pulang lebih sore.” Zahwa mengangguk.

“Kapan kamu mulai pindah?” tanya Zahwa. Sebenarnya itu tujuan Zahwa. Dia harus mempersiapkan diri hidup tanpa Arsan di perusahaan ini. Ah, Arsan tidak peka sepertinya. Zahwa mengulang-ulangnya dengan maksud agar lelaki itu membatalkan tujuannya untuk pindah tugas.

“Besok kita sudah mulai berkantor berbeda.” Zahwa mengangguk. Dia menghabiskan makanannya kemudian meminum air putih. Sedangkan Arsan sudah menyelesaikannya dari tadi. Zahwa akan membayar ke kasir, tapi Arsan sudah menyodorkan uang terlebih dahulu. Selalu demikian. Zahwa tidak suka jika Arsan terlalu memberikan gratisan padanya. Lelaki itu sudah baik padanya sejak dia ... ah peristiwa itu selalu membuatnya sakit yang tida berkesudahan. Walau karena hal itu dia mendapatkan Keano. Walau musibah itu membuatnya hancur berkeping-keping, tapi dia bersyulur sudah diberikan seluruh kebaikan dari anak tersebut. Dia jadi mempunyai keluarga.

Zahwa dan Arsan sudah kembali ke tempatnya masing-masing. Arsan langsung pamit pulang. sedangkan Zahwa melanjutkan pekerjaannya. Dia dengans erius mengerjakan desain tersebut. “Za, apa kalian akan sering bertemu?” tanya Ingrid kemudian.

“Apa maksudmu, In?” tanya Zahwa sambil terus fokus ke arah komputernya. Ada beberapa desan yang hampir selesai dia kerjakan.

“Maksudku, seperti hari ini. Apa kalian akan sering makan siang bareng? Memangnya si ganteng dipindahkan ke mana?” Ingrid sesekali menoleh ke arah Zahwa.

“Oh, maksudmu Arsan? Kayaknya nggak deh. Dia ‘kan dipindahkan ke Bandung.” Zahwa tidak menoleh sedikit pun.

“Kamu bakal kangen pasti. Hmmm, Za, kenapa nggak menikah saja, sih? Bukankah kalian sudah sangat akrab?” tanya Ingrid.

“Hufff, In ... kau sudah tanya berapa kali? Menikah tidak semudah beli tempe goreng. Ada banyak yang harus dipikirkan.” Ya, bukan hanya soal kebersamaan. Tapi lebih dari pada itu. Terutama, soal sex dan seluruh yang berbau hubungan badan. Itu yang sampai hari ini belum bisa dia yakin bisa melakukannya. Bukan dia tidak menyukai Arsan. Lelaki itu sempurna untuk dijadikan pendamping hidup. Tampan, baik hati, kharismatik, mapan itu yang terpenting. Namun dia tidak yakin dapat membahagiakan seorang Arsan. Kekurangan ada pada dirinya.

“Iya, iya. Hanya saja aku masih heran saja kurangnya Arsan apa, sehingga kamu ragu padanya.” Zahwa menoleh ke arah Ingrid. Seakan dia ingin berteriak.

“Bukan dia yang kurang. Tapi aku. Tidakah kau lihat kesempurnaan dia? Sedangkan aku?” Zahwa tidak bisa melanjutkan perkataannya. Jika mengingat semua tentang kekuarangannya, peristiwa masa silam selalu hadir kembali diotaknya. Mereka mengobrol sambil bekerja. Tak terasa sudah sore. Mereka mengemas barang-barang bersiap untuk pulang.

“Kak, kau tidak pulang?”Andra mengingatkan kakaknya tersebut.

“Pulang? I-iya sebentar lagi.” Kali ini gelagat Damian sangat mencurigakan ini diluar kebiasaannya. Duduk tenang di kantor, tanpa melakukan apa pun. Hanya memantengi CCTV yang abru saja diminta aksesnya.

“Ayo kita pulang!” Lagi-lagi Andra melihat aksi kakaknya tersebut dengan perasaan heran. Namun Andra mengikutinya saja. Mereka mengikuti Ingrid dan juga Zahwa dari belakang.

“Kak, apa yang kau lakukan? Lift kita ada di sebelah kanan.” Damian tergagap dan mengikuti Andra saja. Dia berharap saat keluar mereka berbarengan. Namun ternyata lift milik eksekutif yang sampai lebih dulu. Damian melongok kiri kanan, mereka belum nampak atau malah sudah pergi.

“Kak, sebenarnya kamu cari siapa?” tanya Andra akhirnya tidak tahan melihat tingkah lelaki tiga puluh tiga tahun itu.

“Tidak ada. Mari pulang!” Damian menyerah. Dia meninggalkan kentor itu bersama adiknya, dengan masih meninggalkan rasa penasaran pada wanita yang menabraknya tadi siang. Tidak berapa lama, Ingrid dan Zahwa keluar dari lift tersebut.

“Za, kamu bareng aku saja, ya?” kata Ingrid.

“Aku bawa mobil.” Mereka saling berpisah saat sampai di tempat parkir. Zahwa menyetir dengan sedikit tergesa-gesa karena sudah sangat sore. Dia terlambat kali ini karena desainnya harus dipresentasikan besok. Ah, sungguh sangat melelahkan. Zahwa sudah sampai di rumah ketika lepas dari kemacetan selama setengah jam. Ingrid mengerutkan kening. Rupanya Arsan tidak pulang ke rumah. Dia memilih ke rumahnya Zahwa untuk bermain kepada Keano. Terlihat mobil Arsan sudah bertengger di halaman rumahnya.

“Tuh Mama pulang, Om.” Keano membukakan pintu untuk Zahwa. Terlihat wanita itu melepas sepatu hitamnya dan menjinjingnya.

“Ma, ada Om Arsan dari tadi. Mama kok pulang terlambat? Ke mana dulu?” tanya Keano.

“Keano, biarkan mamamu istirahat dulu.” Keano menurut. Anak laki-laki itu menuangkan air putih untuk sang mama. Zahwa tersenyum dan menenggak air tersebut.

  “Terima kasih, ya? Kalian seru amat main apa?” tany Zahwa.

“Main gemes, Ma. Kami sudah masak lho.” Zahwa mengangguk. Dia berjalan untuk mengembalikan sepatu pada rak sepatu untuk meletakkan sepatunya.  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status