Share

Kemarahan

Mobil Mercedes S class hitam sudah terparkir dengan rapih di parkiran VIP apartemen Pacific Place, terlihat dari kaca spion depan raut wajah Emil yang kesal karena perjanjian kontraknya dengan investor besar dari Jepang tertunda hanya karena masalah sepele.

“Sial!”

Lee menundukan kepalanya, pasrah. Jika Emil sudah marah tidak ada satupun yang berani untuk menjawab perkataannya sekalipun Lee orang paling dekat dengannya di kantor.

“Chef sialan itu. Arrgghh,,,” ucapnya geram sambil mengepalkan tangannya erat-erat.

Emil masih bergeming di posisinya, Lee langsung menekan lantai 27 untuk segera membawa bosnya ini ke dalam kamarnya. Otaknya berputar memikirkan cara untuk meredam amarah Emil, satu-satunya cara ampuh adalah membuatkan black coffe racikannya sendiri.

Suara denting menandakan lift sudah sampai pada unit apartemen mewah Emil. Lee langsung segera menekan kode pada gagang pintu, mempercepat gerakan jarinya karena Emil semakin tidak bisa terkendali.

“Saya mau besok sudah bertemu dengan chef itu. Tolong kerahkan beberapa karyawan!” perintah Emil tegas.

“Ayolah, ini sudah di kamar. Tenangkan pikiran sejenak, apakah kamu mau aku buatkan black coffe?” Lee berusaha mencairkan suasana.

Sambil menunggu Lee meracik kopi kesukaannya Emil memutuskan untuk membersihkan seluruh badannya dengan mandi. Ia sudah membuka seluruh pakaiannya, terlihat pada kaca tubuh perut kotak-kotak dan bulu di dadanya yang merekah ruah.

Jemarinya yang kokoh langsung menekan suhu pada digital showernya, di bawah pancuran air ia merilekskan pikirannya membuang segala kekesalannya terkait kontrak kerja.

Matanya ia pejamkan, tiba-tiba saja bayangan wajah perempuan yang ia saja tidak tahu namanya muncul. Bola matanya yang bulat dengan warna hitam pekat, rambut coklatnya yang terurai dengan berantakan serta harum manisnya jelas dibayangan itu.

“Sial. Pikiran apa lagi ini? Mengapa bayangan perempuan itu selalu menghantui saya,” gumam Emil.

Setelah selesai membersihkan diri dan memakai piyama berwarna biru tua Emil langsung minum kopi yang sudah disiapkan oleh Lee.

“Aku pulang dulu.”

“Apakah ingin memakai jasa mobil online?”

“Tidak perlu. Saya ingin menikmati udara malam menggunakan motor,” jelas Lee.

* * *

Tidak sampai satu jam Lee sudah sampai di apartemennya. Apartemen dengan nuansa hijau daun yang sudah ia tempati selama 3 tahun ini, tidak megah dan tidak semewah apartemen bosnya tetapi sangat nyaman untuk Lee.

Sebelum masuk ke dalam apartemen Lee menyempatkan diri untuk membeli satu bungkus rokok pada mini market yang ada di kanan apartemen. Ia berjalan terburu-buru dengan langkah kaki yang lebar karena mengingat belum mengunggah pekerjaan hari ini.

“Maaf, maaf. Saya tidak lihat,” ucap Lee memohon karena baru saja menabrak seorang perempuan yang sedang sibuk dengan ponselnya.

Lee bisa merasakan napas hangat dari wajah perempuan itu. Wajah yang cantik luar biasa, cukup dekat hingga mata kecoklatannya mampu membuat Lee terpana.

Perempuan itu sibuk mencari ponselnya yang terlempar entah kemana, Lee yang terburu-buru hanya bisa meminta maaf lalu pergi meninggalkannya.

* * *

Emil melangkah masuk ke kantornya dengan langkah yang cepat, menghempaskan dirinya di atas kursi kerja yang nyaman. Pikirannya masih kesal tentang chef itu, ia sudah memerintahkan Lee untuk mengerahkan staffnya mencari nama dan mendatangkan chef tersebut kehadapannya hari ini.

“Selamat pagi pak, saya ingin memberi report semalam saham perusahaan kita turun,” ujar salah satu manager keuangan di SeaFood.

Ternyata pemberitaan  tentang perusahaan SeaFood yang gagal dengan proyek barunya sudah beredar membuat beberapa investor besar asal Indonesia menarik sahamnya.

Belum sempat Emil menjawab pernyataan dari staff keuangan, pintu ruangannya sudah terbuka terlihat pria tinggi dengan ciri khas kaca mata bulat masuk ke dalam dengan menundukan wajahnya.

“Selamat pagi pak, apakah saya mengganggu?”

“Tidak.”

“Begini pak, saya sudah mengerahkan beberapa staff untuk mencari chef tersebut dan pernyataan dari resto bahwa hari ini ia sedang libur dan pihak resto tidak mau memberikan alamat rumah chef kepada kami.”

Suasana panas semakin terasa pada ruangan AC central dengan suhu -16 derajat. Sungguh hari yang menjengkelkan, setelah menyuruh mereka berdua keluar dari ruangannya Emil langsung merenggakan badan dan melirik jam tangan berwarna silver dengan lapisan tembaga di sekelilingnya.

Sudah jam 12 siang, itu berarti lebih dari 5 jam ia bergelut dengan kemarahan yang ada. Emil berdiri lalu melangkahkan kakinya untuk keluar dari kantornya dengan harapan akan mendapatkan ide cemerlang.

“Tidak punya mata?!”

Suara kencang membentak seorang office boy yang baru saja menumpahkan sedikit air kotor pada sepatu pantofel mahal milik Emil, membuat karyawan lainnya berhenti sejenak dan menoleh ke arah suara itu.

Pemuda itu hanya bisa menundukan wajahnya, ia tidak tahu bahwa atasannya sedang diserang berbagai masalah sejak kemarin. Emil nyaris meluapkan semua emosinya kepada office boy sebelum ia menyadari bahwa tindakannya adalah salah.

Emil mengambil napas dalam untuk mengembalikan kesadarannya, ia mengutuk dirinya sendiri sambil berjalan ke ruangannya.

“Emil?” sesosok perempuan berkacamata muncul di baliknya. Senyum yang sudah lama tidak ia lihat membuat dirinya langsung menghentikan langkahnya.

"Ya?"

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status