“Selamat atas pernikahannya!” ucap Viona sambil berjabat tangan kepada teman kuliahnya yang hari ini menggelar acara pernikahan dengan sangat meriah dan mewah di gedung yang mahal.
Dress hitam polos melekat pada tubuh Viona, tas kecil yang ia selempangkan pada pundaknya serta sepatu penny loafers berwarna hitam semakin mempermanis penampilannya. Rambutnya yang sengaja ia ikat setengah juga semakin mempercantik dirinya.
Saat itu Viona hanya datang sendirian karena sahabatnya Kai ada rapat mendadak.
Suara kerucukan perut terdengar menandakan dirinya kelaparan karena sejak pulang kerja ia belum mengunyah makanan sedikitpun, saat ia hendak mengambil makanan pundaknya terasa ditepuk dari belakang.
“Oooh,,, Yuri?!” sapa Viona karena mendapati Yuri dengan suami dan anaknya yang berada di stroller berwarna biru tua.
Viona sebenarnya malas bertemu dengan Yuri karena beberapa kali dirinya bertemu pertanyaannya tidak jauh dari soal pernikahan.
Umur Viona sekarang memang sudah menginjak 30 tahun mungkin bagi beberapa orang itu adalah umur yang sudah matang untuk menikah bagi perempuan, tetapi menurut Viona tidak ada umur yang tepat untuk melakukan pernikahan karena pernikahan dilakukan jika seseorang sudah siap secara mental dan fisik.
“Hallo, apa kabar?”
“Baik, kalian?”
“Baik, apakah kamu sendirian datang kesini? Kemana kekasihmu?” tanya Yuri dengan nada yang seperti sedang mengintrograsi.
“Sendiri saja, Kai sedang ada rapat mendadak dari kantornya,” jawab Viona. Lekukan senyuman yang ia tampilkan tidak menutupi betapa malasnya harus menjawab pertanyaan ini.
“Wah! Kapan kamu bisa menikah jika kekasih saja tidak punya? Ingat umur kamu sekarang sudah menginjak 26 tahun, apakah kamu mau menjadi perawan tua?” seru Yuri.
Kata-katanya sangat menusuk bagi setiap perempuan yang mendengar tetapi bagi Viona itu adalah hal yang sudah biasa dan dijadikan seperti angin yang hanya masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.
Setelah menyantap makanan Viona langsung memutuskan untuk pulang menggunakan bus karena tarif taxi yang lebih mahal jika malam hari. Di dalam bus otak dan hatinya seperti berbicara sendiri mengenai pertanyaan Yuri tentang pernikahan, lamunannya seolah menemani dirinya untuk sampai ke rumah.
“Apakah pernikahan itu penting? Jika diberikan penilaian apakah akan mendapat nilai 10?”
“Ahh! Pernikahan itu tidak wajib! Banyak sepasang kekasih menikah lalu memutuskan untuk berpisah. Apakah perceraian juga hal yang mereka pikirkan saat memutuskan untuk menikah?!”
Bus menggerus aspal dengan kecepatan yang tinggi karena jalan yang semakin sepi, semilir angin yang masuk melalui celah jendela membuat jemari Viona saling bertaut untuk menghangatkan. Sesekali kepalanya terbentur jendela karena rasa kantuk yang tidak bisa ia tahan.
Sesampainya di rumah Viona mendapati sang ayah yang baru saja pulang kerja dan langsung duduk di sofa tua ruang tamunya dengan sigap Viona langsung membuatkan teh hangat.
“Ayah, apakah pernikahan adalah hal yang dapat menciptakan kebahagiaan?” tanya Viona kepada ayahnya secara tiba-tiba.
Ayah yang mendengar pertanyaan itu langsung membulatkan matanya dan membenarkan posisi duduknya.
“Pernikahan akan menyenangkan dan membahagiakan jika kamu bertemu dengan orang yang tepat.”
“Lantas, apakah ibu dan ayah bukan pasangan yang tepat?”
“Mengapa kalian berdua memutuskan untuk bercerai?” tanya Viona menekan setiap kata kuat-kuat.
Ayah melambaikan tangannya untuk memerintahkan Viona duduk di sebelahnya.
“Ayah dan ibu memang mempunyai cinta yang kuat, tetapi keadaan ekonomi dan tuntutan hidup yang membuat ibumu memutuskan untuk menceraikan ayah.”
“Berarti ibu yang tidak bisa melihat ayah sebagai orang yang tepat,” jawab Viona membuat ayahnya menggelengkan kepala. Seketika bayangan masa lalu bersama dengan mantan istrinya terlihat jelas.
* * *
“Pak Emil, tadi ada telepon dari ibu Kim lalu ia menitipkan pesan bahwa akhir pekan ini akan ada acara makan malam keluarga inti,” ucap Lee yang baru saja masuk kedalam ruangan bernuansa minimalis modern dengan nuansa hitam abu-abu.
Mendengar pesan tersebut ada kekhawatiran mendasar dalam diri Emil, kecemasan yang bergumul di kepalanya membuat debar jantungnya berdetak cepat memikirkan pertanyaan yang akan dilontarkan oleh kedua orang tuanya mengenai pernikahan.
“Apakah akhir pekan ini ada rapat?” tanya Emil menanyakan jadwalnya karena ia berharap akan ada rapat sehingga tidak ikut makan malam keluarga.
“Tidak ada, pak.”
Emil memandangi pantulannya di kaca, ada sedikit kekecewaan karena kali ini ia tidak bisa menghindar dari acara keluarga. Terdengar suara dering telepon, terpampang dengan jelas nama Aneta di layar kaca ponselnya.
“Hallo, akhirnya telepon saya dijawab oleh anak yang paling sibuk ini.”
“Hallo?” ucap Aneta lagi karena tidak ada jawaban dari anaknya.
Emil masih berusaha menenangkan dirinya, menarik nafas panjang berulang dan perlahan.
“Ya, bu. Saya akan usahakan bisa datang pada makan malam keluarga inti, karena akhir-akhir ini banyak pekerjaan yang belum saya selesaikan,” jelas Emil kepada ibunya.
* * *
Akhir pekan telah tiba pertanda acara makan malam akan dilaksanakan. Baju kaos polo berwarna biru tua serta jeans sudah tertata rapih di atas kasur, asisten pribadinya memang lihai dalam memilih warna untuk bosnya.
Sesampainya di rumah megah bernuansa american classic yang dikelilingi dengan tanaman indah, supir pribadi Emil memberhentikan mobil sport berwarna hitam mengkilap tepat di depan pintu rumah kedua orang tua Emil.
Karpet berbulu terasa lembut di bawah sepatunya, Emil benar-benar merasa khawatir dengan apa yang akan terjadi pada meja makan.
Beberapa menit makan malam dimulai belum ada tanda-tanda kedua orang tuanya membicarakan tentang pernikahan atau perjodohan, sesekali Emil menarik nafasnya karena merasa lega.
“Ayah sudah siapkan anak perempuan yang akan dijodohkan kepadamu beberapa darinya adalah anak dari teman ayah sendiri,” ucap pak Kim membuat Emil yang saat itu sedang menyuruput sup langsung tersedak.
“Ayah?! Bisakah aku merasa tenang sedikit saja dengan tidak membicarakan tentang pernikahan!” ucap Emil kepada pak Kim membuat kakanya dan ibunya langsung membulatkan matanya.
“Emil! Ayah ini sudah tua, ayah ingin melihat kamu dengan istrimu dan cucu-cucu bermain di rumah ini! Apakah ayah salah?” bela pak Kim seraya membulatkan matanya dengan seram, istrinya yang berada di sebelahnya langsung mengelus pundak suaminya.
Emil melihat ayahnya mulai marah langsung meninggalkan meja makan begitu saja karena malas memperpanjang keributan, ia langsung mengambil ponselnya dan menelpon supirnya untuk menjemputnya segera.
Di perjalanan Emil hanya diam dan memikirkan perkataan orang tuanya, apakah dirinya salah jika bersikap seperti itu? Apakah pernikahan dan perjodohan menjadi sebuah kewajiban yang harus ia turuti? Apakah pernikahan akan berjalan baik jika berawal dari keterpaksaan?
Meski begitu ada rasa penyesalan di dalam dirinya karena telah berlaku kasar kepada sang ayah dan membuat suasana makan malam tidak menyenangkan. Perjalanan membawanya pada pikiran yang melayang memikirkan kerenggangan yang akan terjadi pada kedua orang tuanya.
Viona baru saja tiba di studio masak yang di sewa oleh perusahaan milik Emil. Terlihat dari kejauhan kitchen set dengan gaya minimalis yang didominasi dengan sentuhan warna hitam dan putih, alat dapur yang mahal membuat hati Viona bergetar.“Astaga. Aku harus sesempurna mungkin untuk tampil hari ini,” gumam Viona.Kakinya melangkah lebih dalam lagi untuk melihat situasi yang ada di sana, terlihat belum begitu banyak orang yang akan menontonya hari ini.“Dengan chef Viona?”Viona menganggukan kepalanya pelan dengan penuh kebingungan.“Mari ikut saya, sebelum tampil chef di minta untuk memakai make-up terlebih dahulu.”Seorang make-up artis sudah memoleskan foundation ke wajah mungil milik Viona, dilanjutkan dengan alis serta lipstik yang sedikit mencolok tidak lupa di belakangnya ada hairstylist yang juga merapihkan rambutnya.Hampir satu jam Viona di dalam ruangan make-up membuat dirinya sudah kelelahan, beberapa kali ia menghembuskan nafasnya karena belum memasak tetapi energinya sud
Semua mata tertuju pada sosok perempuan yang berada di sisi kanan Emil, dress berwarna putih tulang melekat dengan cantik di tubuh Viona. Telinganya dihiasi dengan anting dan jari mungilnya juga dihiasi dengan cincin berwarna perak.“Selamat malam,” sapa Emil kepada seluruh anggota keluarganya dengan menggenggam erat tangan kiri Viona.Meja makan dengan material berlapis emas dipadu padankan dengan warna burgundy membuat nuansa glamor di rumah ini semakin terasa, lampu kristal yang menjuntai tepat di tengah-tengah meja semakin mempercantik ruangan.“Mari duduk, honey,” ucap Emil, tangannya sibuk menarik bangku untuk mempersilahkan Viona duduk.Mata Viona melirik ke arah laki-laki tua yang berada di ujung meja makan, kerutan di wajahnya menandakan bahwa sedikit ada kekecewaan. Mungkin kesal karena rencana perjodohannya gagal lagi?“Perkenalkan ini Viona,” ucap Emil dengan senyuman yang lebar tanpa ada rasa canggung.Di sisi lain, ada Viona yang masih kebingungan harus bersikap seperti
Setelah kecanggungan terjadi di dalam ruang kerjanya, Emil berusaha untuk mengembalikan suasana cair dengan membicarakan kontrak kerja karena mengingat tinggal satu hari lagi sang investor Jepang akan terbang kembali ke Jakarta untuk menemui Viona.Viona dengan gugup dan hati yang masih berdebar tidak karuan berusaha menjawab semua pertanyaan Emil dengan lantang.“Jadi apa yang akan kamu persiapkan untuk presentasi masak besok?”“Sudah siap semua, sesuai dengan arahan Bapak dan akan saya tambahkan beberapa menu untuk di presentasikan karena mengingat yang datang adalah tamu dari Jepang saya ingin memperkenalkan makanan Indonesia sebanyak mungkin,” jawab Viona padahal sebenarnya ia sama sekali belum mempersiapkan apapun termasuk makanan tambahan yang ia sebutkan tadi.Emil tersenyum bangga kepada chef sekaligus perempuan yang ia kagumi, untuk pertama kalinya ia tidak hanya sekadar senang karena proyek kerjanya lancar melainkan ada sosok lain yang membuat dirinya semakin semangat mendap
Viona sudah berada di dalam gedung megah di perusahaan SeaFood, setelah semalaman suntuk menanyakan pendapat Kai mengenai ponsel bosnya yang tertinggal di rumahnya hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengembalikan ponsel tersebut ke kantornya. Semalam, setelah Emil pergi dari rumahnya ia tidak bisa tidur dan langsung menelpon Kai menceritakan kegilaan bosnya terhadap dirinya hingga akhirnya terucap satu kata dari bibir Kai.“Mungkin ia menyukaimu?”Sepatu kanvas berwarna hijau yang sudah lusuh menginjak lantai yang terbuat dari marmer mahal dan coraknya yang indah. Mata Viona berusaha mencari di mana laki-laki yang mempunyai ponsel ini, beberapa kali dirinya di cegat oleh satpam karena melihat pakaiannya yang tidak mencerminkan bahwa ia adalah salah satu karyawan dari perusahaan ini.“Eh, apakah kamu chef yang di restoran itu?”Viona menoleh dengan cepat ketika mendengar suara laki-laki yang mengenalinya. Lee yang kala itu baru saja pulang dari rapat di luar bersama dengan client meny
Viona mengekor Emil dari belakang menuju lift meskipun hatinya tidak ingin pulang bersama dengan laki-laki ini, ia berusaha untuk menghargai tawarannya.Di dalam lift Viona berusaha untuk menjaga jarak dengan Emil ia benar-benar tidak ingin mempermalukan laki-laki ini jika mungkin saja bertemu dengan rekan kerjanya. Viona memilih berdiri di sudut lift dengan wajah yang ia tundukan, tiba-tiba saja pintu lift terbuka dan hampir 6 orang masuk secara bersamaan membuat tubuh Viona dan Emil berdekatan.Deg!Emil secara tidak sengaja memegang tangan Viona erat karena dorongan dari orang lain, lift hampir penuh dengan keringat yang semakin memunculkan buliran yang banyak Viona diam berusaha untuk tidak melakukan hal bodoh.Setelah lift berdenting mereka berdua keluar menuju lobby untuk meminta vallet membawakan mobil milik Emil. Setelah Emil menyebutkan nama, beberapa menit kemudian vallet langsung membawakan mobil milik Emil.Sebuah mobil sport berwarna hitam yang ramping dari luar saja suda
Lampu kristal yang menjutai sesekali bergerak dengan pelan ketika pendingin ruangan berputar mengenai sisinya, aroma ruangan yang harum menyegarkan membuat Viona semakin merasa tidak layak berada di sini. Sesekali ia mengendus ketiaknya untuk memastikan parfum yang ia pakai masih tercium dengan segar.Matanya mencoba untuk mencari laki-laki yang mengundangnya ke sini, seorang pelayan menghampiri dirinya dengan ramah.“Selamat malam, ada yang bisa dibantu, Nona?”Seumur hidup Viona tidak pernah di perlakukan sebaik ini oleh pelayan, ia bergumam di dalah hatinya menjadi orang kaya memang selalu di pandang dan di hargai!“Table nomer 8?”Seorang pelayan laki-laki membantunya untuk mencari meja nomer 8, di tengah langkah kakinya jantungnya berdebar melihat arsitektur yang mahal dan juga tanda tangan kontrak yang akan ia lakukan malam ini.