Share

4. Selamat tinggal

Duduk selama satu setengah jam perjalanan ke Kota B, mata bengkak Karen menatap keluar jendela di sampingnya. Pemandangan laut sunyi membentang luas jauh di hadapannya, . “Hotel Seaside Lodge?” ejanya saat melewati papan petunjuk arah raksasa di pinggir jalan.

“Anda ingin ke sana?” tanya supir yang mendengarnya dengan baik.

“Apa laut di sana bisa dinikmati lewat hotel itu?”

Sopir tertawa riang dan menjawab, “Laut yang sepi dan cantik, tentu anda dapat menikmatinya di sana.”

Karen menutup matanya sejenak, merenungkan apa yang dia inginkan sebelum akhirnya membuka mata dan menatap mata sopir, melalui kaca depan mobil. “Aku akan turun di sana!”

***

Karen menaruh tas yang dia gunakan dengan baik di sofa Hotel sederhana itu, Hotel kecil itu bukan berupa gedung-gedung tinggi melainkan ruma-rumah kecil yang berjajar rapi, dengan desain menyerupai gubuk, namun kokoh, bersih dan berkelas. Karen membuka jendela kayu dengan pelan, kembali terpaku pada cahaya bulan yang memberikan warna biru gemerlap pada ombak-ombak tenang.

Hembusan napas kagum, keluar dari bibir bengkaknya. Tanpa banyak mempersiapkan sesuatu, Karen langsung keluar dan mengunci pintu penginapannya, dengan kaki telanjang dia mengikuti jalan berlampu menuju pantai, rasa geli dan dingin dari pasir membuatnya berhenti di bibir pantai, membiarkan air laut menghampiri mata kakinya.

Baju putih dan panjang yang dia kenakan berayun-ayun mengikuti angin tenang malam itu. Tidak peduli dengan tampilannya, Karen duduk di atas pasir basah itu seorang diri, dia menghadap bulan dengan dagu yang bertumpu pada kedua tangan yang memeluk kakinya.

“Bulannya cantik sekali…,” gumamnya Kagum, tatapannya kemudian beralih pada gelombang kecil yang datang dan pergi di kakinya, suara ombak yang tenang membuatnya merasa sedang mendengar dongeng.

“Dulu aku hanya orang yang tidak punya apa-apa?” Berasal dari panti asuhan yang kecil membuatnya harus bersikap dewasa, apalagi tidak banyak bantuan sosial yang datang sementara setiap bulan ada anak baru yang bergabung, dia yang sudah bersekolah SMA waktu itu langsung mencari pekerjaan dan membantu panti asuhan itu.

Biaya sekolah yang semakin naik, anak panti yang terus bertambah, membuatnya memutuskan berhenti sekolah. Waktu yang dia punya selain sekolah adalah kerja paruh waktu, dia berusaha keras karena mata-mata rapuh yang kelaparan terus menyambutnya pulang. Kehidupannya terbantu berkat Jones yang membantunya membiayai sekolahnya sampai lulus, Karen berterima kasih karena Jones dia dapat lulus SMA dengan nilai yang baik. Tetapi dia tidak melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi. Dia tidak ingin merepotkan pria itu lagi, setelah dua tahun berlalu, Jones datang ke tempat kerja Karen dan melamarnya. Karen begitu bahagia karena dia juga sangat menyukai Jones.

“Tapi sekarang dia membuangku!” rintihnya sambil menyembunyikan wajahnya di antara kedua tangannya. “Dia tidak mencintaiku, tidak pernah sama sekali.”

Karen berdiri seraya menarik dan menghembuskan napasnya perlahan, seolah terhipnotis oleh bulan, Karen melangkahkan kakinya menuju kegelapan laut. Seperti bayi penyu yang terus maju menuju cahaya bulan, kini badan Karen perlahan termakan oleh dalamnya lautan sunyi itu, telinganya yang hanya mendengarkan suara ombak tidak dapat menangkap suara lain.

“Aku akan pergi meninggalkanmu untuk selamanya! Ibu. Maaf sudah menyia nyiakan nyawa yang kau lahirkan,” batinya sebelum dia mengangkat kaki dan mulai menyerahkan dirinya kepada ombak malam.

Rasa dingin semakin menjalar keseluruh tubuh rapuhnya, oksigen yang semakin menipis memuatnya menyerah untuk menahan napas, membiarkan hal itu membuat air masuk kedalam paru-parunya.

“Hey? Bertahanlah!” suara berat itu adalah suara terakhir yang dia dengar sebelum kesadarannya benar-benar menghilang.

Pantai yang tadinya tenang kini dihiasi suara jeritan dari pengunjung hotel, suara sirine ambulan membuat semuanya tampak tegang, seorang pria berpakaian formal tampak menggendong seorang wanita dan memberikannya kepada petugas kesehatan, Wajah cemas pria tampan itu membuat para pengunjung hampir salah fokus.

“Selamatkan dia!” ucapnya dengan tangan yang mengepal kuat. Dada bidangnya naik-turun mengikuti irama napasnya yang tidak teratur. Wajah datarnya tampak mengeras.

Petugas segera menyalakan sirine ambulan dan bergerak cepat untuk menolong nyawa yang ada di dalamnya.

***

Karen duduk sambil merangkul kedua lututnya, di ruangan serba putih itu dia melihat mendiang ibunya datang dari kejauhan, kakinya yang kuat langsung menerobos ke pelukan sang bunda.

"Maaf karena menyusulmu terlalu cepat, Bu. Tapi aku ingin bahagia juga, setidaknya di sini, bersama ibu!"

Tangan halus itu mengelus kepalanya dengan lembut, memberikan kehangatan di hatinya. "Karen! Kebahagiaanmu bukan hanya dia, bukan juga anak-anak di panti asuhan, apalagi Ibumu ini!"

"Hmm?" gumamnya mendoak menatap wajah cantik ibunya.

"Di luar sana banyak hal yang belum kau temui, jangan terlalu takut pada hal yang tidak kau kenal." Wanita itu melonggarkan pelukan mereka dan mengelus lembut air mata anaknya yang jatuh.

"Maaf sudah meninggalkanmu sendiri di dunia kejam itu, maaf karena membuatmu menderita sampai-sampai kau ingin segera menyusulku. Tapi Anakku, tolong bertahanlah lebih lama lagi, demi ibu dan masa depanmu, jadilah Karen yang kuat, ibu akan selalu mendukungmu!"

***

Perawat tampak sangat sering keluar masuk dari kamar tempat Karen dirawat, pemantauan tanda-tanda vital sangat sering dilakukan. Cairan infus masih terpasang di badan Karen yang lemah.

Seorang perawat datang untuk memeriksa Karen terkejut saat melihat mata Karen terbuka dan menatap lemah matanya.

“Saya mau pulang!” lirihnya kecil. Air matanya keluar setelah dia membuka matanya. "Ah? Aku lupa tidak ada tempat untuk pulang," batinnya

“Maaf Nona Karen, Nona masih perlu beberapa perawatan, setelah selesai barulah Nona bisa pulang.”

“Aku baik-baik saja.” Karen mencoba meyakinkan dengan berbicara setegas yang dia bisa.

Suara langkah kaki mendekat, Karen mengikuti kemana arah mata Perawat itu menuju. Dokter yang tampaknya sudah berumur itu duduk menggantikan sang Perawat, sedangkan Perawat tadi berpamitan dengan sopan dan meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan itu.

“Selamat malam Nona Karen, saya Dokter Bahar. Hari ini saya ingin mendengar cerita tentang Nona, jika bersedia…. ” Suara lembut dan dalam Dokter itu membuat Karen seketika merasa nyaman dan santai.

Pembicaraan berlangsung cukup lama, namun Dokter Psikolog itu tidak berhasil mendapatkan kepercayaan Karen, dia tidak membicarakan banyak masalah kecuali mengatakan jika dia membenci dirinya. Meski begitu Dokter itu tetap memberikan pendapat yang membangun kembali suara hati Karen.

“Dokter. Apa aku bisa melupakan seseorang yang aku cintai selama sembilan tahun?”

“Cinta itu bagian dari manusia, tidak ada yang salah tentang itu. Jadi melupakan cinta adalah hal yang sulit, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Nona bisa mulai dengan mencari kesibukan yang Nona sukai, mulailah hobi baru dan tulis kesibukan Nona di jurnal harian. Namun, Nona harus ingat bahwa melupakan bukan berarti menghapus kenangan itu, Nona bisa mengambil pelajaran berharga dan yakinlah bahwa Nona berharga dan berhak mencintai dan dicintai. ”

Karen sesekali merenung dan meresapi perkataan dokter Psikolog itu, entah perkataan itu menusuknya, namun dirinya masih tidak bisa menerima semua yang terjadi. "Terima kasih, Dok."

Dokter itu tersenyum dan berkata lagi, "Nona pasti bisa memilih jalan yang lebih baik."

Karen menatap tetesan infus di sampingnya, dalam hati dia berkata, “Aku ingin tahu hari esok. Mungkin esok aku bisa menghapusnya”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status