Duduk selama satu setengah jam perjalanan ke Kota B, mata bengkak Karen menatap keluar jendela di sampingnya. Pemandangan laut sunyi membentang luas jauh di hadapannya, . “Hotel Seaside Lodge?” ejanya saat melewati papan petunjuk arah raksasa di pinggir jalan.
“Anda ingin ke sana?” tanya supir yang mendengarnya dengan baik.“Apa laut di sana bisa dinikmati lewat hotel itu?”Sopir tertawa riang dan menjawab, “Laut yang sepi dan cantik, tentu anda dapat menikmatinya di sana.”Karen menutup matanya sejenak, merenungkan apa yang dia inginkan sebelum akhirnya membuka mata dan menatap mata sopir, melalui kaca depan mobil. “Aku akan turun di sana!”***Karen menaruh tas yang dia gunakan dengan baik di sofa Hotel sederhana itu, Hotel kecil itu bukan berupa gedung-gedung tinggi melainkan ruma-rumah kecil yang berjajar rapi, dengan desain menyerupai gubuk, namun kokoh, bersih dan berkelas. Karen membuka jendela kayu dengan pelan, kembali terpaku pada cahaya bulan yang memberikan warna biru gemerlap pada ombak-ombak tenang.Hembusan napas kagum, keluar dari bibir bengkaknya. Tanpa banyak mempersiapkan sesuatu, Karen langsung keluar dan mengunci pintu penginapannya, dengan kaki telanjang dia mengikuti jalan berlampu menuju pantai, rasa geli dan dingin dari pasir membuatnya berhenti di bibir pantai, membiarkan air laut menghampiri mata kakinya.Baju putih dan panjang yang dia kenakan berayun-ayun mengikuti angin tenang malam itu. Tidak peduli dengan tampilannya, Karen duduk di atas pasir basah itu seorang diri, dia menghadap bulan dengan dagu yang bertumpu pada kedua tangan yang memeluk kakinya.“Bulannya cantik sekali…,” gumamnya Kagum, tatapannya kemudian beralih pada gelombang kecil yang datang dan pergi di kakinya, suara ombak yang tenang membuatnya merasa sedang mendengar dongeng.“Dulu aku hanya orang yang tidak punya apa-apa?” Berasal dari panti asuhan yang kecil membuatnya harus bersikap dewasa, apalagi tidak banyak bantuan sosial yang datang sementara setiap bulan ada anak baru yang bergabung, dia yang sudah bersekolah SMA waktu itu langsung mencari pekerjaan dan membantu panti asuhan itu.Biaya sekolah yang semakin naik, anak panti yang terus bertambah, membuatnya memutuskan berhenti sekolah. Waktu yang dia punya selain sekolah adalah kerja paruh waktu, dia berusaha keras karena mata-mata rapuh yang kelaparan terus menyambutnya pulang. Kehidupannya terbantu berkat Jones yang membantunya membiayai sekolahnya sampai lulus, Karen berterima kasih karena Jones dia dapat lulus SMA dengan nilai yang baik. Tetapi dia tidak melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi. Dia tidak ingin merepotkan pria itu lagi, setelah dua tahun berlalu, Jones datang ke tempat kerja Karen dan melamarnya. Karen begitu bahagia karena dia juga sangat menyukai Jones.“Tapi sekarang dia membuangku!” rintihnya sambil menyembunyikan wajahnya di antara kedua tangannya. “Dia tidak mencintaiku, tidak pernah sama sekali.”Karen berdiri seraya menarik dan menghembuskan napasnya perlahan, seolah terhipnotis oleh bulan, Karen melangkahkan kakinya menuju kegelapan laut. Seperti bayi penyu yang terus maju menuju cahaya bulan, kini badan Karen perlahan termakan oleh dalamnya lautan sunyi itu, telinganya yang hanya mendengarkan suara ombak tidak dapat menangkap suara lain.“Aku akan pergi meninggalkanmu untuk selamanya! Ibu. Maaf sudah menyia nyiakan nyawa yang kau lahirkan,” batinya sebelum dia mengangkat kaki dan mulai menyerahkan dirinya kepada ombak malam.Rasa dingin semakin menjalar keseluruh tubuh rapuhnya, oksigen yang semakin menipis memuatnya menyerah untuk menahan napas, membiarkan hal itu membuat air masuk kedalam paru-parunya.“Hey? Bertahanlah!” suara berat itu adalah suara terakhir yang dia dengar sebelum kesadarannya benar-benar menghilang.Pantai yang tadinya tenang kini dihiasi suara jeritan dari pengunjung hotel, suara sirine ambulan membuat semuanya tampak tegang, seorang pria berpakaian formal tampak menggendong seorang wanita dan memberikannya kepada petugas kesehatan, Wajah cemas pria tampan itu membuat para pengunjung hampir salah fokus.“Selamatkan dia!” ucapnya dengan tangan yang mengepal kuat. Dada bidangnya naik-turun mengikuti irama napasnya yang tidak teratur. Wajah datarnya tampak mengeras.Petugas segera menyalakan sirine ambulan dan bergerak cepat untuk menolong nyawa yang ada di dalamnya.***Karen duduk sambil merangkul kedua lututnya, di ruangan serba putih itu dia melihat mendiang ibunya datang dari kejauhan, kakinya yang kuat langsung menerobos ke pelukan sang bunda."Maaf karena menyusulmu terlalu cepat, Bu. Tapi aku ingin bahagia juga, setidaknya di sini, bersama ibu!"Tangan halus itu mengelus kepalanya dengan lembut, memberikan kehangatan di hatinya. "Karen! Kebahagiaanmu bukan hanya dia, bukan juga anak-anak di panti asuhan, apalagi Ibumu ini!""Hmm?" gumamnya mendoak menatap wajah cantik ibunya."Di luar sana banyak hal yang belum kau temui, jangan terlalu takut pada hal yang tidak kau kenal." Wanita itu melonggarkan pelukan mereka dan mengelus lembut air mata anaknya yang jatuh."Maaf sudah meninggalkanmu sendiri di dunia kejam itu, maaf karena membuatmu menderita sampai-sampai kau ingin segera menyusulku. Tapi Anakku, tolong bertahanlah lebih lama lagi, demi ibu dan masa depanmu, jadilah Karen yang kuat, ibu akan selalu mendukungmu!"***Perawat tampak sangat sering keluar masuk dari kamar tempat Karen dirawat, pemantauan tanda-tanda vital sangat sering dilakukan. Cairan infus masih terpasang di badan Karen yang lemah.Seorang perawat datang untuk memeriksa Karen terkejut saat melihat mata Karen terbuka dan menatap lemah matanya.“Saya mau pulang!” lirihnya kecil. Air matanya keluar setelah dia membuka matanya. "Ah? Aku lupa tidak ada tempat untuk pulang," batinnya“Maaf Nona Karen, Nona masih perlu beberapa perawatan, setelah selesai barulah Nona bisa pulang.”“Aku baik-baik saja.” Karen mencoba meyakinkan dengan berbicara setegas yang dia bisa.Suara langkah kaki mendekat, Karen mengikuti kemana arah mata Perawat itu menuju. Dokter yang tampaknya sudah berumur itu duduk menggantikan sang Perawat, sedangkan Perawat tadi berpamitan dengan sopan dan meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan itu.“Selamat malam Nona Karen, saya Dokter Bahar. Hari ini saya ingin mendengar cerita tentang Nona, jika bersedia…. ” Suara lembut dan dalam Dokter itu membuat Karen seketika merasa nyaman dan santai.Pembicaraan berlangsung cukup lama, namun Dokter Psikolog itu tidak berhasil mendapatkan kepercayaan Karen, dia tidak membicarakan banyak masalah kecuali mengatakan jika dia membenci dirinya. Meski begitu Dokter itu tetap memberikan pendapat yang membangun kembali suara hati Karen.“Dokter. Apa aku bisa melupakan seseorang yang aku cintai selama sembilan tahun?”“Cinta itu bagian dari manusia, tidak ada yang salah tentang itu. Jadi melupakan cinta adalah hal yang sulit, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Nona bisa mulai dengan mencari kesibukan yang Nona sukai, mulailah hobi baru dan tulis kesibukan Nona di jurnal harian. Namun, Nona harus ingat bahwa melupakan bukan berarti menghapus kenangan itu, Nona bisa mengambil pelajaran berharga dan yakinlah bahwa Nona berharga dan berhak mencintai dan dicintai. ”Karen sesekali merenung dan meresapi perkataan dokter Psikolog itu, entah perkataan itu menusuknya, namun dirinya masih tidak bisa menerima semua yang terjadi. "Terima kasih, Dok."Dokter itu tersenyum dan berkata lagi, "Nona pasti bisa memilih jalan yang lebih baik."Karen menatap tetesan infus di sampingnya, dalam hati dia berkata, “Aku ingin tahu hari esok. Mungkin esok aku bisa menghapusnya”"Hubungi Saya jika Nona memerlukan bantuan, rumah sakit ini pasti akan membantu!" Ucap Dokter Bahar yang mengantar Karen. Setelah yakin Karen dapat pulang hari ini, dia juga berniat mengantar pasiennya sampai ke depan lobby. Karen tersenyum tipis. "Tentu. Terima kasih banyak untuk semuanya. " Dokter tua itu mengangguk sambil melambai-lampai kecil sampai mobil hitam itu menghilang di balik tembok rumah sakit. Dia mengambil HP nya dan memanggil seseorang. "Nona itu sudah pulang," jelasnya singkat. Di sebuah rumah putih bertingkat dua, dengan desain minimalis dan sederhana. Karen masuk dan menaruh kopernya di samping sofa. Ruang tamu sederhana yang berdekatan dengan dapur tampak didominasi warna putih dan sage. Dia tampak senang karena rumah yang dibeli sudah rapi dan sesuai dengan keinginannya. "Hah… aku tidak menyesal, sepertinya aku hanya tinggal menaruh baju dan melihat halaman luar." Karen mengangkat tas dan kopernya ke lantai dua melalui tangga di belakang dapur, dia membuka
"Baik... " Karen menerima box yang berisi satu espresso dingin.Saat keluar dari kafe Karen lagi-lagi membuka sedikit mulutnya. Melihat gedung raksasa itu membuat badannya merinding. Beralih ke lampu zebracroos yang berubah hijau dia berjalan mendekati pintu masuk gedung Shambara."Selamat pagi! Ada yang bisa Saya bantu?" Satpam berwajah ramah itu sedikit mengagetkan Karen. Meski begitu Karen tetap tersenyum manis seperti biasanya."Pagi. Saya mau mengantarkan kopi pesanan Tuan Ian Shambara," jawabnya lembut meski dia sedikit takut karena badan tinggi si Satpam."Direktur Yan ada di atas, Nona bisa langsung naik lift yang ada di tengah."Karen mengangguk dan berterima kasih. "Direktur Yan? Ian? Haruskah aku memanggilnya seperti itu juga?" batinnya.Sepanjang perjalanan ke atas, Karen terus bergelayutan dalam pikirannya sendiri. Sementara orang-orang di sana sesekali melihat ke arahnya.Saat sampai di atas, pintu lift terbuka lebar memperlihatkan ruangan dengan dinding berwarna coklat m
Pertanyaan itu membuat Karen menjauhkan HP-nya. Membaca nama pemilik nomor. Nama Jessica termampang jelas di layarnya, dia segera menjawab, ["I- Iya maaf aku terlambat."] Meski menjawab cepat Karen tidak bisa menyembunyikan suara seraknya.["Kau yakin?"]["Iya...."]Suara serak dan tarikan napas yang tersumbat-sumbat, membuat Jessica memerlukan waktu untuk berkata, ["Kau sedang sakit. Kau boleh izin selama seminggu. Pastikan kau minum obat dan istirahat yang cukup."]["Ta-tapi ak-"]Kata 'aku baru saja bekerja' terpotong segera.["Tidak usah memikirkan itu, bagaimanapun kesehatan karyawan kami lebih penting. Istirahat lah dan jangan sungkan menghubungi kami kalau kau perlu bantuan."]Setelah sambungan telepon itu terputus, Karen menerima pesan dari Jessica.[Ini nomor-nomor karyawan Buzz Bean Caffe, jangan sungkan meminta bantuan. Aku beri tahu satu rahasia karyawan kita, mereka suka libur:)]Membaca i
Wanita licik itu terkejut dan kesal, tetapi akhirnya mengalah dan pergi dengan wajah yang merah padam, sementara situasi kembali berubah seperti semua."Maaf sudah menyebabkan kekacauan," kata Ian sambil berdiri tegap namun tetap sopan."Tidak apa-apa. Apa itu pacarmu?" tanya Jessica tanpa basa basi. Mendengar itu Sonia dan Karen segera pamit undur diri. Mereka sama sekali tidak tertarik mendengar percakapan itu. "Tidak, dia rekan kerja." Matanya masih menempel pada Karen yang masuk ke Coffee station.Bagaimana dia bisa kencan. Ibunya saja sering marah karena dia lebih mementingkan pekerjaannya. Ibunya pernah mengomeli dan menyuruhnya menikahi pekerjaannya karena tidak mau kencan buta."Hah... Kau ini, lain kali jangan diam saja!" Jessica berbicara santai setelah mengehembuskan napas kasar. "Sudahlah," lanjutnya pergi menyusul Karen dan Sonia. Jessica terlalu lelah untuk mencampuri urusan teman lamanya itu.Ian bangkit dan pergi keluar dengan tangan yang di masukan ke dalam Saku. "Lag
Senyum itu memang menawan, tetapi di mata Karen itu hanyalah sebuah seringai yang di palsukan menjadi senyuman cerah, secerah mentari pagi. Mengerikan dan membuatnya tidak nyaman."Ini pesanan Anda," ucapnya memasang senyum terpaksa. Tangan putihnya menjulurkan dua kopi yang dipesan Ian.Pria itu tidak mengambil minumannya, dia malah menatap Karen dengan sudut mata yang menyempit dan mengintimidasi.Mendapat tekanan itu Karen mengepalkan satu tangannya di belakang, berusaha menguasai diri agar tetap terlihat santai."Siapa namamu?" tanyanya kembali tersenyum, namun mata itu menatap lurus dan dalam ke arahnya."Karen.""Damian Valo, panggil saja Damian!"Damian merupakan pengusaha muda yang terkenal memiliki citra luar yang baik. Keluarga Valo menjadi bagian dari bisnis Shambara Global. Mereka sudah menjalin kerja sama selama dua tahun."Em... Baik tuan Damian."Karen kemudian mendapati Damian yang bergerak mundur memberikan ruang untuk Karen. Dengan tangan mengepal kuat Karen masuk ked
'Copat?' Mata jelinya segera memantau dan menilai situasi. Jauh di belakangnya ada seorang ibu yang berlari mengejar pria bermasker.Wajah Karen memucat. Jantungnya berdetak cepat menimbulkan rasa tidak pasti di hatinya. Tangannya yang kecil menggenggam kuat-kuat tas di tangannya. Hatinya dapat merasakan bagaimana Ibu itu berusaha keras mengambil tasnya, saat pencuri itu semakin dekat dengan segenap keberanian dia menyandung kaki pencuri itu."WANITA SIALAN!" maki Pria itu setelah tersungkur jauh, terlihat jelas bagaimana sikunya terkikis oleh aspal trotoar yang kasar.Bergulat dengan ketakutannya sendiri Karen mengambil tas itu dengan cepat. Tetapi ternyata tidak segampang yang dia kira. Hanya perlu beberapa detik sebelum penjahat itu menarik kembali tas merah itu dari tangannya.Orang-orang yang berusaha membantu terlambat membantu Karen. Pencuri itu tampak lihai mencari tempat untuk kabur. Karen melihat kukunya yang patah karena berusaha mempertahankan tas itu.Rasa sakit yang begi
Aliran dingin dan gelap terasa merembes dari kepala ke pipinya. Kesadarannya menurun drastis, meski begitu tangannya yang kurus tetap memeluk erat tas merah itu sekuat tenaga.Badannya tergeletak tak berdaya di tembok. Matanya tertutup tepat saat darah dingin di kepalanya masuk ke matanya. Hal yang terakhir dia dengar adalah suara ramai dari sebelah kanannya. Orang-orang yang datang segera menghubungi ambulance. Pencuri berhasil diserahkan ke pihak berwajib tanpa ada cedera--akibat main hakim sendiri.15 menit kemudian Karen berhasil di bawa ke rumah sakit terdekat. Sekantong darah dimasukan ke pembuluh darahnya secara perlahan melalui infus."Apa dia terluka parah?" tanya Wanita tua pemilik tas merah itu. Matanya memandang gadis malang yang terluka karenanya."Hasil tesnya baik. Tidak ada luka dalam. Hanya perlu 3 jahitan di kepalanya."Setengah jam berlalu. Wanita tua masih tengah memegang tas merahnya sambil duduk menunggu gadis kurus itu bangun. Mata wanita itu kemudian beralih ke
Karen kembali ke caffe station dengan cepat. Matanya yang tidak seceria saat dia pergi membuat Sonia menyilangkan tangan dan lanjut memarahinya."Sudah ku katakan tadi, jangan pergi ke seberang." Sonia mengeleng dua kali sebelum akhirnya berjalan pergi dengan kesal.Karen hanya membalas dengan senyuman tipis. Mengingat berita pernikahan Jones dan Celina yang baru muncul setelah sekian lama, membuat Karen yang mengingat kembali hari di mana keluarga Elvano tanpa ampun memojokannya untuk berpisah dengan Jones.Di kota ini akhirnya dia sedikit demi sedikit menyembuhkan pikirannya. Berusaha menanamkan sugesti jika dia perempuan yang layak mencintai dan dicintai meski tidak dapat mengandung bayi kecil sebagaimana mestinya.Tetapi saat dia mulai merasakan kembali kepercayaan dirinya dan menemukan kehangatan baru di hatinya, dengan kejam alam bawah sadarnya memberi ribuan rasa yang menjatuhkan kepercayaan itu.'Apa aku pantas mencintai orang lain?'***Ian membaca beberapa berkas yang menump