Karen membayangkan bagaimana jika dia melompat dari balkonnya sendiri. Mungkin dia akan mematahkan kakinya atau yang terburuk dia akan koma dan bangun lagi, hanya memikirkannya saja sudah membuatnya tertawa sendiri.
“Huh… aku pasti sudah gila.”
Karen duduk di balkon dan menikmati sinar matahari menghangatkan tubuhnya yang kurus, tulang-tulangnya terlihat, membuatnya tampak seperti orang yang belum pernah makan. Dia menarik napas dan melihat jauh ke jalan yang sepi. Gerbang rumahnya memotong kebisingan jalan, menyebabkan kesunyian yang tak tertahankan di hatinya.
Karen tidak tahu apakah dia bisa menerima itu semua, dia setuju dengan kontrak untuk menikah, tapi hatinya tidak bisa menerimanya, apa yang akan terjadi padanya lusa.
“Saya ingin kembali dan mengubah segalanya? Tapi aku tidak sempurna.” Air mata yang terus mengalir di pipi kurus Karen membuatnya kehilangan kekuatannya. Sekali lagi, tubuhnya yang lelah secara fisik dan mental tertidur lelap.
***
Karen membuka matanya yang bengkak, tatapan sipitnya menangkap pemandangan jingga yang cantik, hidungnya memerah dan napasnya terasa panas, kepalanya terasa sangat berat, bahkan matanya terasa sakit saat dibuka lebar.
Badannya merasa begitu kedinginan saat diterpa angin senja. Dengan langkah pelan dia masuk dan menutup rapat-rapat jendelanya sembari terus menunduk. Saat mengangkat pandangannya, mata merahnya terbuka lebar saat melihat Jones berdiri dengan kedua tangan yang masuk kedalam saku celananya, tatapan dingin itu membuatnya merasa takut sekaligus senang. Dia berjalan mendekati pria itu.
“Kudengar kau memanggil Celin bermulut kotor?” tanya Jones dingin, tanpa merasa iba dengan kondisi Karen yang berantakan.
Karen berhenti melangkah dan menarik napas dalam. “Aku tidak tahu bagaimana cara dia mengatakan hal itu padamu, tapi dia yang mulai duluan.” Karen berusaha membela dirinya setelah duduk nyaman di tempat tidur, kepalanya begitu sakit dan badannya benar-benar tidak dapat menopang tubuhnya sendiri.
Jones melangkah maju dan memegang dahi Karen merasakan punggung tangannya menghangat. Karen tertegun, namun dia tidak merasa senang, sentuhan dingin itu malah mengundang air matanya yang tidak kering itu. Jones tampak menarik napas dan pergi menuju laci, dia mengambil obat dan melemparkannya ke samping Karen. Tanpa mengatakan sesuatu dia tampak hendak meninggalkan ruangan.
“Jones?”
Jones berhenti dan menengok kebelakang, suara rapuh Karen membuatnya sedikit bersabar.
“Apa kau bisa membatalkan pernikahanmu, besok?” Tangisannya terkunci, dia mengatakan itu dengan berat karena kesehatannya sangat buruk. “Mungkin kau masih bisa memikirkan itu kembali?” lanjutnya. Dia tahu dia egois karena ingin mempertahankan suaminya sendiri, disisi lain suaminya ingin menikahi perempuan yang tengah mengandung anaknya sendiri. Akalnya mulai membenarkan perkara itu, tapi dia benar-benar tidak menginginkan pernikahan lain dalam keluarganya.
Hembusan napas dari bibir tipis Jones terdengar telah memberikan jawaban atas pertanyaanya. “Kau sudah menandatangani kontrak itu, kau bisa tenang karena aku tidak akan mengusirmu keluar, besok kami akan tetap menikah, terima saja kenyataan itu baik-baik! Setelah menikah kami akan pindah, kau bisa melakukan apa saja dengan rumah ini, aku akan berkunjung jika membutuhkanmu.”
Perkataan itu ditangkap dengan baik oleh kedua telinganya, persis seperti dua orang yang tengah membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan bisnis. Mata yang hanya dapat terbuka sedikit menatap Jones yang menyandarkan punggungnya ke pintu kamar, rasa sakit di pelipis matanya membuat Karen kembali menurunkan pandangan.
“Kalau begitu, malam ini apa kau membutuhkanku?” tanyanya kecil. Karen tidak ingin ditinggalkan, dia tidak ingin sendiri lagi.
“Aku tidak membutuhkanmu sekarang, malam ini kami akan pergi ke hotel, kau bisa tidur sendiri!” jawab Jones dengan alis yang berdekatan.
Karen berdiri dengan napas panasnya, mendekati suaminya dan memegang tangan kanan nya dengan kedua tangannya. menempelkan tangan dingin itu ke pipinya, menyerap rasa dingin dan nyaman itu.
“Sebelum kau pergi, aku ingin bertanya sesuatu?”
Jones hanya diam dan membiarkan tangan nya diperlakukan lembut oleh Karen, dia menunggu apa yang akan ditanyakan wanita itu.
“Apa kau yakin tidak mencintaiku sama sekali? tolong pikirkan sebentar sebelum menjawabnya” Karen menundukan kepala dan menutup matanya, bersiap mendengarkan jawaban dari pertanyaan terakhirnya malam itu.
Jones kembali berdiri tegak dan menarik tangannya dari genggaman Karen. “Aku hanya membutuhkanmu!”
Telinganya berdengung saat mendengar jawaban itu, namun hatinya saat itu tampak sudah mengira jawaban dari sang suami. Karen menatap lekat-lekat mata hitam yang tidak menunjukan keraguan itu, membiarkan pelipisnya dikuasai rasa sakit. Dengan berat hati, Karen tersenyum dan melebarkan jarak dari suaminya.
“Semoga kau bisa bahagia!” ucapnya dengan senyuman penuh arti.
Tanpa menjawab, Jones membuka pintu dan keluar dengan santai. Tetapi dia sempat terpaku oleh berkataan yang diberikan Karen berikutnya. Pintu tertutup sempurna dan dia tidak lagi membukanya, dia melangkah menuju keluar menuju mobilnya yang sudah diisi oleh Celin dan Ibunya.
“Apa dia berteriak seperti orang gila?” tanya Ibu Jones yang menduga hal tersebut.
“Tidak, dia terlihat baik-baik saja! Dia hanya boneka yang tidak memiliki tujuan.” Jones menjawab santai sambil menjalankan mobil hitam dan mahalnya itu. Dia mengingat kembali apa yang dikatakan Karen. “Aku mencintaimu, tapi hari ini aku ingin berhenti. Selamat jalan!” Kalimat itu terus ada dipikirannya. Di matanya, ekspresi wajah Karen yang tersenyum saat mengatakan itu terlihat sangat jelas kepalsuannya.
***
Matanya terus menatap lampu mobil Jones yang semakin menghilang dari balik tirai. Karen mengemas beberapa pakaiannya dengan lambat. Setelah tiga puluh menit Karen berdiri dan membawa tas kecilnya keluar, dia menatap kamar sunyinya untuk terakhir kali.
Kakinya yang sedikit gontai menelusuri setiap celah ruang kerja suaminya. Di hadapannya sudah ada surat cerai yang diambilnya dari laci Jones, dia menarik napas dan menggores surat itu dengan tinta yang tidak akan dapat dihapus lagi, setelah selesai Karen meninggalkan surat itu di atas meja dan pergi keluar.
"Maaf sudah memaksamu bertahan, Karen. Sekarang mari kita meninggalkan mereka semua!" Karen menggosok-gosok dadanya yang sakit.
Lagi-lagi matanya memandang rumah besar itu, ruangan yang awalnya penuh tawa mereka kini hanya menyisakan dirinya dan gema yang menjawab langkah kakinya. Kesunyian mengantarkannya keluar dari rumah itu. Rumah pertamanya setelah keluar dari panti asuhan.
Sebelum masuk ke dalam taksi, Karen berbalik dan berbisik. “Terima kasih sudah menjagaku dari dunia luar, terima kasih sudah menjadi tempatku pulang, tapi hari ini kita harus berpisah, ku harap dia menjagamu dengan baik, aku tidak akan melupakanmu. Selamat tinggal!”
Saat Karen masuk, Pengemudi menanyakan kemana Karen akan pergi. “Kota B,” jawabnya singkat.
Mobil melaju meninggalkan rumah besar yang sudah tidak memiliki tuan itu. Menuju Kota B yang berjarak dua jam dari Kota A tempatnya tinggal. Karen ingin mengatakan Sampai jumpa seperti biasanya, namun kali ini dia tidak yakin akan kembali, jadi kata-kata selamat tinggal lebih menjanjikan untuk rumah itu.
Mata merahnya menatap keluar jendela, melihat malam tanpa bintang yang seolah tidak ingin menghiburnya.
“Apa Anda punya tempat untuk pulang?” tanya Karen pada Sopir yang begitu tenang. Rambut-rambut putih tampak menjajah rambut hitam yang masih mendominasi di rambutnya.
Sopir itu tersenyum lembut sembari tetap menyetir dengan tenang, dia kemudian menjawab pertanyaan Karen dengan hati-hati. “Saya punya rumah, tapi rumah itu tidak lagi bisa disebut rumah, karena keluarga saya sudah meninggal. Tawa dan suara istri saya sudah tidak ada di sana. Tapi akhirnya saya memutuskan hidup sebagai supir, karena pekerjaan ini saya banyak bertemu dengan orang-orang yang memiliki berbagai masalah, mereka terkadang berbagi cerita dengan saya. Saya senang mendengar dan menjawab pertanyaan mereka, selama saya menemukan hal yang membuat saya bahagia saya merasa dapat pulang meski tidak di rumah.” Supir itu menatap mata penumpangnya yang sembab. “Nona harus bersemangat dan menemukannya juga?” lanjutnya.
Karen mengangguk dan menghapus air matanya, meski sebenarnya perkataan itu belum dapat dibuktikan olehnya yang tidak punya hal itu.
“Aku ingin menghilang dari kehidupannya, menghilang dari ingatannya dan pergi tanpa jejak.”
Duduk selama satu setengah jam perjalanan ke Kota B, mata bengkak Karen menatap keluar jendela di sampingnya. Pemandangan laut sunyi membentang luas jauh di hadapannya, . “Hotel Seaside Lodge?” ejanya saat melewati papan petunjuk arah raksasa di pinggir jalan. “Anda ingin ke sana?” tanya supir yang mendengarnya dengan baik. “Apa laut di sana bisa dinikmati lewat hotel itu?” Sopir tertawa riang dan menjawab, “Laut yang sepi dan cantik, tentu anda dapat menikmatinya di sana.” Karen menutup matanya sejenak, merenungkan apa yang dia inginkan sebelum akhirnya membuka mata dan menatap mata sopir, melalui kaca depan mobil. “Aku akan turun di sana!” *** Karen menaruh tas yang dia gunakan dengan baik di sofa Hotel sederhana itu, Hotel kecil itu bukan berupa gedung-gedung tinggi melainkan ruma-rumah kecil yang berjajar rapi, dengan desain menyerupai gubuk, namun kokoh, bersih dan berkelas. Karen membuka jendela kayu dengan pelan, kembali terpaku pada cahaya bulan yang memberikan warna bir
"Hubungi Saya jika Nona memerlukan bantuan, rumah sakit ini pasti akan membantu!" Ucap Dokter Bahar yang mengantar Karen. Setelah yakin Karen dapat pulang hari ini, dia juga berniat mengantar pasiennya sampai ke depan lobby. Karen tersenyum tipis. "Tentu. Terima kasih banyak untuk semuanya. " Dokter tua itu mengangguk sambil melambai-lampai kecil sampai mobil hitam itu menghilang di balik tembok rumah sakit. Dia mengambil HP nya dan memanggil seseorang. "Nona itu sudah pulang," jelasnya singkat. Di sebuah rumah putih bertingkat dua, dengan desain minimalis dan sederhana. Karen masuk dan menaruh kopernya di samping sofa. Ruang tamu sederhana yang berdekatan dengan dapur tampak didominasi warna putih dan sage. Dia tampak senang karena rumah yang dibeli sudah rapi dan sesuai dengan keinginannya. "Hah… aku tidak menyesal, sepertinya aku hanya tinggal menaruh baju dan melihat halaman luar." Karen mengangkat tas dan kopernya ke lantai dua melalui tangga di belakang dapur, dia membuka
"Baik... " Karen menerima box yang berisi satu espresso dingin.Saat keluar dari kafe Karen lagi-lagi membuka sedikit mulutnya. Melihat gedung raksasa itu membuat badannya merinding. Beralih ke lampu zebracroos yang berubah hijau dia berjalan mendekati pintu masuk gedung Shambara."Selamat pagi! Ada yang bisa Saya bantu?" Satpam berwajah ramah itu sedikit mengagetkan Karen. Meski begitu Karen tetap tersenyum manis seperti biasanya."Pagi. Saya mau mengantarkan kopi pesanan Tuan Ian Shambara," jawabnya lembut meski dia sedikit takut karena badan tinggi si Satpam."Direktur Yan ada di atas, Nona bisa langsung naik lift yang ada di tengah."Karen mengangguk dan berterima kasih. "Direktur Yan? Ian? Haruskah aku memanggilnya seperti itu juga?" batinnya.Sepanjang perjalanan ke atas, Karen terus bergelayutan dalam pikirannya sendiri. Sementara orang-orang di sana sesekali melihat ke arahnya.Saat sampai di atas, pintu lift terbuka lebar memperlihatkan ruangan dengan dinding berwarna coklat m
Pertanyaan itu membuat Karen menjauhkan HP-nya. Membaca nama pemilik nomor. Nama Jessica termampang jelas di layarnya, dia segera menjawab, ["I- Iya maaf aku terlambat."] Meski menjawab cepat Karen tidak bisa menyembunyikan suara seraknya.["Kau yakin?"]["Iya...."]Suara serak dan tarikan napas yang tersumbat-sumbat, membuat Jessica memerlukan waktu untuk berkata, ["Kau sedang sakit. Kau boleh izin selama seminggu. Pastikan kau minum obat dan istirahat yang cukup."]["Ta-tapi ak-"]Kata 'aku baru saja bekerja' terpotong segera.["Tidak usah memikirkan itu, bagaimanapun kesehatan karyawan kami lebih penting. Istirahat lah dan jangan sungkan menghubungi kami kalau kau perlu bantuan."]Setelah sambungan telepon itu terputus, Karen menerima pesan dari Jessica.[Ini nomor-nomor karyawan Buzz Bean Caffe, jangan sungkan meminta bantuan. Aku beri tahu satu rahasia karyawan kita, mereka suka libur:)]Membaca i
Wanita licik itu terkejut dan kesal, tetapi akhirnya mengalah dan pergi dengan wajah yang merah padam, sementara situasi kembali berubah seperti semua."Maaf sudah menyebabkan kekacauan," kata Ian sambil berdiri tegap namun tetap sopan."Tidak apa-apa. Apa itu pacarmu?" tanya Jessica tanpa basa basi. Mendengar itu Sonia dan Karen segera pamit undur diri. Mereka sama sekali tidak tertarik mendengar percakapan itu. "Tidak, dia rekan kerja." Matanya masih menempel pada Karen yang masuk ke Coffee station.Bagaimana dia bisa kencan. Ibunya saja sering marah karena dia lebih mementingkan pekerjaannya. Ibunya pernah mengomeli dan menyuruhnya menikahi pekerjaannya karena tidak mau kencan buta."Hah... Kau ini, lain kali jangan diam saja!" Jessica berbicara santai setelah mengehembuskan napas kasar. "Sudahlah," lanjutnya pergi menyusul Karen dan Sonia. Jessica terlalu lelah untuk mencampuri urusan teman lamanya itu.Ian bangkit dan pergi keluar dengan tangan yang di masukan ke dalam Saku. "Lag
Senyum itu memang menawan, tetapi di mata Karen itu hanyalah sebuah seringai yang di palsukan menjadi senyuman cerah, secerah mentari pagi. Mengerikan dan membuatnya tidak nyaman."Ini pesanan Anda," ucapnya memasang senyum terpaksa. Tangan putihnya menjulurkan dua kopi yang dipesan Ian.Pria itu tidak mengambil minumannya, dia malah menatap Karen dengan sudut mata yang menyempit dan mengintimidasi.Mendapat tekanan itu Karen mengepalkan satu tangannya di belakang, berusaha menguasai diri agar tetap terlihat santai."Siapa namamu?" tanyanya kembali tersenyum, namun mata itu menatap lurus dan dalam ke arahnya."Karen.""Damian Valo, panggil saja Damian!"Damian merupakan pengusaha muda yang terkenal memiliki citra luar yang baik. Keluarga Valo menjadi bagian dari bisnis Shambara Global. Mereka sudah menjalin kerja sama selama dua tahun."Em... Baik tuan Damian."Karen kemudian mendapati Damian yang bergerak mundur memberikan ruang untuk Karen. Dengan tangan mengepal kuat Karen masuk ked
'Copat?' Mata jelinya segera memantau dan menilai situasi. Jauh di belakangnya ada seorang ibu yang berlari mengejar pria bermasker.Wajah Karen memucat. Jantungnya berdetak cepat menimbulkan rasa tidak pasti di hatinya. Tangannya yang kecil menggenggam kuat-kuat tas di tangannya. Hatinya dapat merasakan bagaimana Ibu itu berusaha keras mengambil tasnya, saat pencuri itu semakin dekat dengan segenap keberanian dia menyandung kaki pencuri itu."WANITA SIALAN!" maki Pria itu setelah tersungkur jauh, terlihat jelas bagaimana sikunya terkikis oleh aspal trotoar yang kasar.Bergulat dengan ketakutannya sendiri Karen mengambil tas itu dengan cepat. Tetapi ternyata tidak segampang yang dia kira. Hanya perlu beberapa detik sebelum penjahat itu menarik kembali tas merah itu dari tangannya.Orang-orang yang berusaha membantu terlambat membantu Karen. Pencuri itu tampak lihai mencari tempat untuk kabur. Karen melihat kukunya yang patah karena berusaha mempertahankan tas itu.Rasa sakit yang begi
Aliran dingin dan gelap terasa merembes dari kepala ke pipinya. Kesadarannya menurun drastis, meski begitu tangannya yang kurus tetap memeluk erat tas merah itu sekuat tenaga.Badannya tergeletak tak berdaya di tembok. Matanya tertutup tepat saat darah dingin di kepalanya masuk ke matanya. Hal yang terakhir dia dengar adalah suara ramai dari sebelah kanannya. Orang-orang yang datang segera menghubungi ambulance. Pencuri berhasil diserahkan ke pihak berwajib tanpa ada cedera--akibat main hakim sendiri.15 menit kemudian Karen berhasil di bawa ke rumah sakit terdekat. Sekantong darah dimasukan ke pembuluh darahnya secara perlahan melalui infus."Apa dia terluka parah?" tanya Wanita tua pemilik tas merah itu. Matanya memandang gadis malang yang terluka karenanya."Hasil tesnya baik. Tidak ada luka dalam. Hanya perlu 3 jahitan di kepalanya."Setengah jam berlalu. Wanita tua masih tengah memegang tas merahnya sambil duduk menunggu gadis kurus itu bangun. Mata wanita itu kemudian beralih ke