Share

8. Apa itu Pacarmu?

Wanita licik itu terkejut dan kesal, tetapi akhirnya mengalah dan pergi dengan wajah yang merah padam, sementara situasi kembali berubah seperti semua.

"Maaf sudah menyebabkan kekacauan," kata Ian sambil berdiri tegap namun tetap sopan.

"Tidak apa-apa. Apa itu pacarmu?" tanya Jessica tanpa basa basi. Mendengar itu Sonia dan Karen segera pamit undur diri. Mereka sama sekali tidak tertarik mendengar percakapan itu.

"Tidak, dia rekan kerja." Matanya masih menempel pada Karen yang masuk ke Coffee station.

Bagaimana dia bisa kencan. Ibunya saja sering marah karena dia lebih mementingkan pekerjaannya. Ibunya pernah mengomeli dan menyuruhnya menikahi pekerjaannya karena tidak mau kencan buta.

"Hah... Kau ini, lain kali jangan diam saja!" Jessica berbicara santai setelah mengehembuskan napas kasar. "Sudahlah," lanjutnya pergi menyusul Karen dan Sonia. Jessica terlalu lelah untuk mencampuri urusan teman lamanya itu.

Ian bangkit dan pergi keluar dengan tangan yang di masukan ke dalam Saku. "Lagi pula dia tadi sangat bersemangat, aku tidak perlu mengganggunya," pikirnya.

***

Di hari libur bekerja Karen memutuskan keluar rumah dan singgah di kafe kopi sederhana di dekat rumahnya. Suasana tenang dan hijau berhasil menghilangkan kejenuhannya hari itu.

Mengingat kejadian waktu lalu membuat Karen sedikit malu. Jessica mengomelinya karena menuduh Ian mengabaikan kekasihnya di depan banyak orang, padahal itu tuduhan yang tidak pantas.

"Tolong matcha latte, satu!" pesannya untuk minuman takeaway.

Pegawai pria tersebut tampak terkejut melihat kecantikan Karen. Orang yang tidak mengenalnya pasti mengira dia remaja berumur 19 tahun, padahal dia sudah berumur 24 tahun.

Karen hanya tersenyum melihat tingkah kaku pegawai itu, dia segera duduk dan menunggu pesanannya. Sesekali matanya memeriksa keadaan kafe yang tenang, suara pengunjung yang sibuk dengan urusan pekerjaan membuat suasana nyaman bagi pengunjung lain.

Mendengar namanya di panggil, Karen berjalan menuju caffe station dan mengambil minuman miliknya. Saat hendak pergi dia segera berbalik saat namanya di panggil.

"Maaf tapi pesanan Anda tertukar dengan Tuan ini," ucap Pria itu sopan.

Karen kembali dan melihat siapa yang di maksud. Dia sedikit terkejut melihat Ian berdiri menghadapnya. Aura mengintimidasinya sangat kuat meski ekspresi pria itu sedatar halaman rumahnya.

"Ah... Maafkan saya. Ini!" ucap Karen memasang senyum ramah biasa, namun orang yang melihatnya entah kenapa selalu mendapat kehangatan batin.

Ian mengambil kopi itu dan memberikan kopi Karen yang juga ada di tangannya. Setelah itu mereka keluar bersama-sama. Rasa canggung menguasai diri Karen, membuat waktu singkat terasa begitu lama.

"Kalau begitu saya permisi!"

Belum sempat pergi lagi-lagi Karen terhenti oleh suara berat Ian. "Maaf untuk kejadian beberapa hari lalu, jika tidak keberatan ayo makan bersama!"

"Ah...." Karen tampak bingung. Kenapa dia yang meminta maaf padahal wanita itu yang salah. "Tidak apa-apa, saya baik-baik saja," tolaknya halus. Wajah ramahnya tetap di balas datar oleh Ian.

"Kalau begitu biar saya antar."

"Tidak perlu, rumah saya dekat!"

"Kalau begitu!" ucapnya seraya menganguk singkat. Belum sempat dia pergi jauh. Karen berlari dan mencicit kecil.

"Em. Sebenarnya saya juga harus meminta maaf." Karen berhenti di hadapan Ian yang tinggi menjulang. Matanya terangkat untuk menatap mata dingin bersudut tajam itu.

"Maaf, karena tidak sopan dan marah-marah saat di kafe!" Lanjutnya dengan penuh kerendahan dan kesadaran.

Bibir Ian terangkat sedikit. Pemandangan itu membuat Karen memalingkan matanya beberapa kali.

"Itu cukup menghibur, lain kali saya ingin melihatnya lagi!"

Karen membeku dalam pikirannya sendiri, sibuk mendefisinisikam arti perkataan itu. Sementara Ian sudah masuk mobil dan melambai kecil kearahnya.

Beberapa detik kemudian dia tersadar dan berjalan kembali ke rumah. "Aku tidak paham!" pikirnya. Setelah itu dia tidak membiarkan hal itu menguasai isi otaknya yang sudah cukup tenang akhir-akhir ini.

***

"Huh.... Ayo Karen," batinnya menyoraki dirinya yang tengah berdiri di depan pintu hitam ruangan Ian. Sudah beberapa kali dia mengantarkan kopi ke tempat itu, tetapi jantungnya terus berpacu cepat di luar kendalinya.

"Ah Hallo, apa Anda ingin mengantar kopi?" seorang pria tampan tersenyum tipis padanya. Poni rapi di dahinya terlihat cocok untuk senyum tipis itu.

"Benar."

"Direktur Yan ada di ruang rapat, mari ikut saya!"

Karen ingin berhenti dan mengatakan, 'bisa tidak kau saja yang menghantarkan ini?'. Tapi dia memutuskan untuk melakukan kewajibannya sampai tuntas.

Kaki panjang pria itu membuat Karen berjalan dengan cepat. Menyadari itu pria di hadapannya berjalan dengan sedikit lebih lambat.

"Saya Suhan, Sekretaris Direktur Yan," jelasnya ramah.

"Saya Karen."

Sekretaris? Karen mengingat ada Sisil sebagai sekretaris 2. Itu artinya Suhan adalah sekretaris 1, dan Karen yakin orang ini sangat dekat dengan Ian.

Mereka tiba di depan ruang yang sedikit terbuka. Suhan berbalik badan dengan senyum tipisnya. "Rapatnya baru selesai. Dia ada di dalam, silahkan masuk!"

Karen masuk dan menoleh ke belakang, pintunya sudah ditutup rapat dan Suhan tidak mengikutinya ke dalam. Matanya beralih kembali ke depan dan melihat Ian duduk di kursi tengah dengan meja panjang di hadapannya.

Entah kenapa kali ini jantungnya tampak normal dan tenang. Kaca-kaca besar membuat penerangan alami dan ruangan itu terasa memiliki sisi yang tidak terbatas.

"Selamat siang, ini kopinya."

Karen meletakan kopi itu sedikit jauh dari dokumen-dokumen Ian. Memastikan kopinya sudah berdiri tegak dan tidak mengganggu.

"Bagaimana hari ini?" tanya Ian menatap Karen tanpa ekspresi. Tangannya menarik kopi espresso kesukaan mendekat.

Karen balas menatap dengan alis berkerut. "Hari ini?"

"Apa kau baik-baik saja?"

"Ah. Saya baik," jawabnya sopan. Karen kebingungan, entah apa yang membuat orang di hadapannya menanyakan itu. Biasanya mereka tidak pernah bercakap-cakap seperti ini.

Karen memberanikan diri bertanya, "Apa ada yang salah?"

Ian masih menatap lekat-lekat matanya, itu membuat Karen penuh tanya. 'Apa ada sesuatu di wajahku?'

"Tidak ada!"

"Mm? Kau sakit?" tanya Karen sambil memiringkan kepalanya. Menatap apakah manusia tanpa ekspresi di hadapannya akan memasang mimik wajah lain jika sakit.

"Tidak apa-apa, terima kasih kopinya," ucap Ian sedikit tersenyum. Sangat tipis dan tak terlihat di mata Karen. Karen segera pamit keluar sambil menggelangkan kepalanya pelan.

Keesokan harinya Karen bekerja seperti biasa, menggunakan seragam yang sama, tapi tentu bukan seragam kemarin, karena Jessica memberinya 3 setel baju seragam.

Beberapa kali saat senggang dia pergi ke toilet dan merapikan rambutnya. Meski rambutnya tidak mudah berantakan, tapi dia hanya berusaha tetap tapi.

Saat kembali ke caffe station Sonia menyodorkan dua kopi atas nama Ian Shambara. "Dua?" Bisanya hanya satu espresso tetapi sekarang ada satu Americano.

"Mungkin ada tamu!" Sonia menjawab sambil mengangkat bahunya yang kecil, dia kembali membuat pesanan lainnya.

Karen melap tangannya dan keluar bersama pesanan di tangannya. Saat sampai di depan pintu hitam itu seperti biasa dia memenekan bel seperti biasa.

Suara pintu terbuka, saat dia ingin membuka pintu itu, seseorang sudah membukanya dengan wajah penuh senyuman, pria dengan kemeja putih berlapis rompi hitam seukuran dengan bentuk badan tegapnya.

"Hallo?" sapanya ramah dengan senyuman lebar. Senyum itu membuat matanya menjadi berbentuk sabit.

BEEHAPPY

Holaaa~~~ Sebucin apa Ian Shambara kalau nanti jatuh cinta ya? BTW, makasih banyak sudah baca sampai BAB 8, see u next chapter~~~

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status