Wanita licik itu terkejut dan kesal, tetapi akhirnya mengalah dan pergi dengan wajah yang merah padam, sementara situasi kembali berubah seperti semua.
"Maaf sudah menyebabkan kekacauan," kata Ian sambil berdiri tegap namun tetap sopan."Tidak apa-apa. Apa itu pacarmu?" tanya Jessica tanpa basa basi. Mendengar itu Sonia dan Karen segera pamit undur diri. Mereka sama sekali tidak tertarik mendengar percakapan itu."Tidak, dia rekan kerja." Matanya masih menempel pada Karen yang masuk ke Coffee station.Bagaimana dia bisa kencan. Ibunya saja sering marah karena dia lebih mementingkan pekerjaannya. Ibunya pernah mengomeli dan menyuruhnya menikahi pekerjaannya karena tidak mau kencan buta."Hah... Kau ini, lain kali jangan diam saja!" Jessica berbicara santai setelah mengehembuskan napas kasar. "Sudahlah," lanjutnya pergi menyusul Karen dan Sonia. Jessica terlalu lelah untuk mencampuri urusan teman lamanya itu.Ian bangkit dan pergi keluar dengan tangan yang di masukan ke dalam Saku. "Lagi pula dia tadi sangat bersemangat, aku tidak perlu mengganggunya," pikirnya.***Di hari libur bekerja Karen memutuskan keluar rumah dan singgah di kafe kopi sederhana di dekat rumahnya. Suasana tenang dan hijau berhasil menghilangkan kejenuhannya hari itu.Mengingat kejadian waktu lalu membuat Karen sedikit malu. Jessica mengomelinya karena menuduh Ian mengabaikan kekasihnya di depan banyak orang, padahal itu tuduhan yang tidak pantas."Tolong matcha latte, satu!" pesannya untuk minuman takeaway.Pegawai pria tersebut tampak terkejut melihat kecantikan Karen. Orang yang tidak mengenalnya pasti mengira dia remaja berumur 19 tahun, padahal dia sudah berumur 24 tahun.Karen hanya tersenyum melihat tingkah kaku pegawai itu, dia segera duduk dan menunggu pesanannya. Sesekali matanya memeriksa keadaan kafe yang tenang, suara pengunjung yang sibuk dengan urusan pekerjaan membuat suasana nyaman bagi pengunjung lain.Mendengar namanya di panggil, Karen berjalan menuju caffe station dan mengambil minuman miliknya. Saat hendak pergi dia segera berbalik saat namanya di panggil."Maaf tapi pesanan Anda tertukar dengan Tuan ini," ucap Pria itu sopan.Karen kembali dan melihat siapa yang di maksud. Dia sedikit terkejut melihat Ian berdiri menghadapnya. Aura mengintimidasinya sangat kuat meski ekspresi pria itu sedatar halaman rumahnya."Ah... Maafkan saya. Ini!" ucap Karen memasang senyum ramah biasa, namun orang yang melihatnya entah kenapa selalu mendapat kehangatan batin.Ian mengambil kopi itu dan memberikan kopi Karen yang juga ada di tangannya. Setelah itu mereka keluar bersama-sama. Rasa canggung menguasai diri Karen, membuat waktu singkat terasa begitu lama."Kalau begitu saya permisi!"Belum sempat pergi lagi-lagi Karen terhenti oleh suara berat Ian. "Maaf untuk kejadian beberapa hari lalu, jika tidak keberatan ayo makan bersama!""Ah...." Karen tampak bingung. Kenapa dia yang meminta maaf padahal wanita itu yang salah. "Tidak apa-apa, saya baik-baik saja," tolaknya halus. Wajah ramahnya tetap di balas datar oleh Ian."Kalau begitu biar saya antar.""Tidak perlu, rumah saya dekat!""Kalau begitu!" ucapnya seraya menganguk singkat. Belum sempat dia pergi jauh. Karen berlari dan mencicit kecil."Em. Sebenarnya saya juga harus meminta maaf." Karen berhenti di hadapan Ian yang tinggi menjulang. Matanya terangkat untuk menatap mata dingin bersudut tajam itu."Maaf, karena tidak sopan dan marah-marah saat di kafe!" Lanjutnya dengan penuh kerendahan dan kesadaran.Bibir Ian terangkat sedikit. Pemandangan itu membuat Karen memalingkan matanya beberapa kali."Itu cukup menghibur, lain kali saya ingin melihatnya lagi!"Karen membeku dalam pikirannya sendiri, sibuk mendefisinisikam arti perkataan itu. Sementara Ian sudah masuk mobil dan melambai kecil kearahnya.Beberapa detik kemudian dia tersadar dan berjalan kembali ke rumah. "Aku tidak paham!" pikirnya. Setelah itu dia tidak membiarkan hal itu menguasai isi otaknya yang sudah cukup tenang akhir-akhir ini.***"Huh.... Ayo Karen," batinnya menyoraki dirinya yang tengah berdiri di depan pintu hitam ruangan Ian. Sudah beberapa kali dia mengantarkan kopi ke tempat itu, tetapi jantungnya terus berpacu cepat di luar kendalinya."Ah Hallo, apa Anda ingin mengantar kopi?" seorang pria tampan tersenyum tipis padanya. Poni rapi di dahinya terlihat cocok untuk senyum tipis itu."Benar.""Direktur Yan ada di ruang rapat, mari ikut saya!"Karen ingin berhenti dan mengatakan, 'bisa tidak kau saja yang menghantarkan ini?'. Tapi dia memutuskan untuk melakukan kewajibannya sampai tuntas.Kaki panjang pria itu membuat Karen berjalan dengan cepat. Menyadari itu pria di hadapannya berjalan dengan sedikit lebih lambat."Saya Suhan, Sekretaris Direktur Yan," jelasnya ramah."Saya Karen."Sekretaris? Karen mengingat ada Sisil sebagai sekretaris 2. Itu artinya Suhan adalah sekretaris 1, dan Karen yakin orang ini sangat dekat dengan Ian.Mereka tiba di depan ruang yang sedikit terbuka. Suhan berbalik badan dengan senyum tipisnya. "Rapatnya baru selesai. Dia ada di dalam, silahkan masuk!"Karen masuk dan menoleh ke belakang, pintunya sudah ditutup rapat dan Suhan tidak mengikutinya ke dalam. Matanya beralih kembali ke depan dan melihat Ian duduk di kursi tengah dengan meja panjang di hadapannya.Entah kenapa kali ini jantungnya tampak normal dan tenang. Kaca-kaca besar membuat penerangan alami dan ruangan itu terasa memiliki sisi yang tidak terbatas."Selamat siang, ini kopinya."Karen meletakan kopi itu sedikit jauh dari dokumen-dokumen Ian. Memastikan kopinya sudah berdiri tegak dan tidak mengganggu."Bagaimana hari ini?" tanya Ian menatap Karen tanpa ekspresi. Tangannya menarik kopi espresso kesukaan mendekat.Karen balas menatap dengan alis berkerut. "Hari ini?""Apa kau baik-baik saja?""Ah. Saya baik," jawabnya sopan. Karen kebingungan, entah apa yang membuat orang di hadapannya menanyakan itu. Biasanya mereka tidak pernah bercakap-cakap seperti ini.Karen memberanikan diri bertanya, "Apa ada yang salah?"Ian masih menatap lekat-lekat matanya, itu membuat Karen penuh tanya. 'Apa ada sesuatu di wajahku?'"Tidak ada!""Mm? Kau sakit?" tanya Karen sambil memiringkan kepalanya. Menatap apakah manusia tanpa ekspresi di hadapannya akan memasang mimik wajah lain jika sakit."Tidak apa-apa, terima kasih kopinya," ucap Ian sedikit tersenyum. Sangat tipis dan tak terlihat di mata Karen. Karen segera pamit keluar sambil menggelangkan kepalanya pelan.Keesokan harinya Karen bekerja seperti biasa, menggunakan seragam yang sama, tapi tentu bukan seragam kemarin, karena Jessica memberinya 3 setel baju seragam.Beberapa kali saat senggang dia pergi ke toilet dan merapikan rambutnya. Meski rambutnya tidak mudah berantakan, tapi dia hanya berusaha tetap tapi.Saat kembali ke caffe station Sonia menyodorkan dua kopi atas nama Ian Shambara. "Dua?" Bisanya hanya satu espresso tetapi sekarang ada satu Americano."Mungkin ada tamu!" Sonia menjawab sambil mengangkat bahunya yang kecil, dia kembali membuat pesanan lainnya.Karen melap tangannya dan keluar bersama pesanan di tangannya. Saat sampai di depan pintu hitam itu seperti biasa dia memenekan bel seperti biasa.Suara pintu terbuka, saat dia ingin membuka pintu itu, seseorang sudah membukanya dengan wajah penuh senyuman, pria dengan kemeja putih berlapis rompi hitam seukuran dengan bentuk badan tegapnya."Hallo?" sapanya ramah dengan senyuman lebar. Senyum itu membuat matanya menjadi berbentuk sabit.Holaaa~~~ Sebucin apa Ian Shambara kalau nanti jatuh cinta ya? BTW, makasih banyak sudah baca sampai BAB 8, see u next chapter~~~
Senyum itu memang menawan, tetapi di mata Karen itu hanyalah sebuah seringai yang di palsukan menjadi senyuman cerah, secerah mentari pagi. Mengerikan dan membuatnya tidak nyaman."Ini pesanan Anda," ucapnya memasang senyum terpaksa. Tangan putihnya menjulurkan dua kopi yang dipesan Ian.Pria itu tidak mengambil minumannya, dia malah menatap Karen dengan sudut mata yang menyempit dan mengintimidasi.Mendapat tekanan itu Karen mengepalkan satu tangannya di belakang, berusaha menguasai diri agar tetap terlihat santai."Siapa namamu?" tanyanya kembali tersenyum, namun mata itu menatap lurus dan dalam ke arahnya."Karen.""Damian Valo, panggil saja Damian!"Damian merupakan pengusaha muda yang terkenal memiliki citra luar yang baik. Keluarga Valo menjadi bagian dari bisnis Shambara Global. Mereka sudah menjalin kerja sama selama dua tahun."Em... Baik tuan Damian."Karen kemudian mendapati Damian yang bergerak mundur memberikan ruang untuk Karen. Dengan tangan mengepal kuat Karen masuk ked
'Copat?' Mata jelinya segera memantau dan menilai situasi. Jauh di belakangnya ada seorang ibu yang berlari mengejar pria bermasker.Wajah Karen memucat. Jantungnya berdetak cepat menimbulkan rasa tidak pasti di hatinya. Tangannya yang kecil menggenggam kuat-kuat tas di tangannya. Hatinya dapat merasakan bagaimana Ibu itu berusaha keras mengambil tasnya, saat pencuri itu semakin dekat dengan segenap keberanian dia menyandung kaki pencuri itu."WANITA SIALAN!" maki Pria itu setelah tersungkur jauh, terlihat jelas bagaimana sikunya terkikis oleh aspal trotoar yang kasar.Bergulat dengan ketakutannya sendiri Karen mengambil tas itu dengan cepat. Tetapi ternyata tidak segampang yang dia kira. Hanya perlu beberapa detik sebelum penjahat itu menarik kembali tas merah itu dari tangannya.Orang-orang yang berusaha membantu terlambat membantu Karen. Pencuri itu tampak lihai mencari tempat untuk kabur. Karen melihat kukunya yang patah karena berusaha mempertahankan tas itu.Rasa sakit yang begi
Aliran dingin dan gelap terasa merembes dari kepala ke pipinya. Kesadarannya menurun drastis, meski begitu tangannya yang kurus tetap memeluk erat tas merah itu sekuat tenaga.Badannya tergeletak tak berdaya di tembok. Matanya tertutup tepat saat darah dingin di kepalanya masuk ke matanya. Hal yang terakhir dia dengar adalah suara ramai dari sebelah kanannya. Orang-orang yang datang segera menghubungi ambulance. Pencuri berhasil diserahkan ke pihak berwajib tanpa ada cedera--akibat main hakim sendiri.15 menit kemudian Karen berhasil di bawa ke rumah sakit terdekat. Sekantong darah dimasukan ke pembuluh darahnya secara perlahan melalui infus."Apa dia terluka parah?" tanya Wanita tua pemilik tas merah itu. Matanya memandang gadis malang yang terluka karenanya."Hasil tesnya baik. Tidak ada luka dalam. Hanya perlu 3 jahitan di kepalanya."Setengah jam berlalu. Wanita tua masih tengah memegang tas merahnya sambil duduk menunggu gadis kurus itu bangun. Mata wanita itu kemudian beralih ke
Karen kembali ke caffe station dengan cepat. Matanya yang tidak seceria saat dia pergi membuat Sonia menyilangkan tangan dan lanjut memarahinya."Sudah ku katakan tadi, jangan pergi ke seberang." Sonia mengeleng dua kali sebelum akhirnya berjalan pergi dengan kesal.Karen hanya membalas dengan senyuman tipis. Mengingat berita pernikahan Jones dan Celina yang baru muncul setelah sekian lama, membuat Karen yang mengingat kembali hari di mana keluarga Elvano tanpa ampun memojokannya untuk berpisah dengan Jones.Di kota ini akhirnya dia sedikit demi sedikit menyembuhkan pikirannya. Berusaha menanamkan sugesti jika dia perempuan yang layak mencintai dan dicintai meski tidak dapat mengandung bayi kecil sebagaimana mestinya.Tetapi saat dia mulai merasakan kembali kepercayaan dirinya dan menemukan kehangatan baru di hatinya, dengan kejam alam bawah sadarnya memberi ribuan rasa yang menjatuhkan kepercayaan itu.'Apa aku pantas mencintai orang lain?'***Ian membaca beberapa berkas yang menump
30 Menit Sebelumnya.Di villa pribadi yang megah dan nyaman, seorang Pria dengan mata tajam dan dingin keluar dari kamar mandi. Handuk yang terlilit di pinggang sempitnya terlihat basah oleh aliran air yang membasahi kedelapan roti sobeknya.Setelah berolahraga dan mandi. Dia membaca pesan dari ibu yang memaksanya untuk ikut makan malam.'Lagi?' Ian melempar telponnya ke kasur dengan sangat gusar. Sudah berapa kali ibunya mengajak makan malam dan berakhir menjodohkannya. Wanita-wanita yang mekiriknya dengan pandangan kagum dan mata penuh nafsu membuatnya ingin memuntahkan muka kedua mereka.Demi uangnya mereka bahkan bersikap seperti serigala lapar yang hendak kawin, setelah memberikan uang dan membuat mereka untuk diam pergi jauh, wanita-wanita kelelawar itu segera pergi dengan penuh kebahagian seperti penjilat handal.Bahkan jika mereka kembali mengemis dan memperlakukannya seperti pengusaha mesum, dia tidak segan-segan menyelidiki semua keburukan mereka dan mengancam akan menyebark
Keesokan harinya Karen bekerja seperti biasa. Saat sampai dia segera menganti baju dan tidak lupa menutupi bekas luka di dahinya dengan headscarf coklat.Matanya terlihat sedikit membengkak. Bibirnya memerah secara alami juga terlihat membengkak. Bukannya membuat dia terlihat jelek hal itu justru membuatnya tampak lebih mempesona.Karena yang lain belum datang dia mengambil berinisiatif untuk menyiapkan segala keperluan dibagian caffe station."Selamat pagi!" sapa Karen kepada pelanggan pertama yang masuk dengan terburu-buru. Sebenarnya mereka belum buka, tetapi melihat wajah cemas pelanggan itu, Karen memutuskan untuk mendengar pesanannya."Maaf mengganggu... padahal kafenya belum buka. Tapi bisa saya memesan ini, kami sangat memerlukannya," ucap seorang wanita tua dengan wajah yang kusam.Melihat itu Karen tidak dapat menolak. Dia segera menjawab dan menyuruh Ibu itu untuk duduk dan menunggu.Jari-jari beningnya bergerak rapi m
Damian berbalik dan melambai-lambaikan tangannya sedikit. "Kenapa?" tanyanya setelah mendapat penegasan tidak beralasan dari Ian."Cari saja perempuan lain!" Ian berkata dengan mengontrol emosinya. Napas panjang dikeluarkan dari bibir tipisnya.Damian menasukan tangannya ke kantong celana, berdiri tegap, bahu lebar dan pinggang sempit membuat posturnya begitu kekar, seolah tidak nyata."Karena dia milikmu?" godanya yang langsung mendapat tatapan tajam dari Ian.Damian tidak memberikan kesempatan untuk lawannya berbicara. Sebelum pergi dia mengucapkan, "Sampai jumpa!"'Aku akan datang padanya ketika dia berguna.'***Di Buzz Bean Caffe. Karen membersihkan peralatan dengan hati yang gembira. Hari ini mereka tutup lebih awal karena malam nanti akan ada pesta kecil yang di adakan oleh Jessica.Semua karyawan sangat senang, mereka bergegas pulang untuk bersiap-siap. Karen yang terakhir membersihkan caffe st
Ian duduk dengan nyaman. Mata tajamnya melihat sekeliling dengan cepat. Suasana restoran yang sedikit ramai membuat kepalanya berdenyut. Dia benar-benar tidak suka keramaian."Direktur Yan. Ini minumannya!"Ian mengangkat matanya, menatap mata Yura yang penuh make up dengan perasaan bosan, lalu beralih pada minuman merah yang diletakkannya ke atas meja."Setelah ini kau bisa pergi!" Usir Ian terus terang. Tajam dan berat.Yura tersenyum kikuk, sudut bibirnya berkedut beberapa kali demi mempertahankan senyum palsunya. "Tentu! Setelah minumannya habis," jawabnya centil. Matanya memandang lembut pria beraura dominant di hadapannya ini.Senyum licik terpampang jelas di wajahnya. Disembunyikan dengan elok di balik gelas kaca yang berisi anggur merah, senada dengan lipsticknya."Hmm." Suara singkat itu terdengar sebagai jawaban.Ian menatap gelas kaca itu dengan malas. Jika bukan karena menghormati pertemuan terakhir yang mere