Pertanyaan itu membuat Karen menjauhkan HP-nya. Membaca nama pemilik nomor. Nama Jessica termampang jelas di layarnya, dia segera menjawab, ["I- Iya maaf aku terlambat."] Meski menjawab cepat Karen tidak bisa menyembunyikan suara seraknya.
["Kau yakin?"]["Iya...."]Suara serak dan tarikan napas yang tersumbat-sumbat, membuat Jessica memerlukan waktu untuk berkata, ["Kau sedang sakit. Kau boleh izin selama seminggu. Pastikan kau minum obat dan istirahat yang cukup."]["Ta-tapi ak-"]Kata 'aku baru saja bekerja' terpotong segera.["Tidak usah memikirkan itu, bagaimanapun kesehatan karyawan kami lebih penting. Istirahat lah dan jangan sungkan menghubungi kami kalau kau perlu bantuan."]Setelah sambungan telepon itu terputus, Karen menerima pesan dari Jessica.[Ini nomor-nomor karyawan Buzz Bean Caffe, jangan sungkan meminta bantuan. Aku beri tahu satu rahasia karyawan kita, mereka suka libur:)]Membaca itu membuat Karen tersenyum. 'Syukurlah aku tidak salah pilih pekerjaan.'Setelah berpakaian tebal dengan cepat dia meminum obat. Membungkus dirinya di dalam selimut tebal. Di ruangan yang dibiarkan tetap terang itu, Karen tertidur pulas setelah berharap tidak akan bermimpi buruk lagi.***"Oh Karen? ku dengar kau sakit. Apa kau yakin sudah bisa bekerja?" Sonia yang tengah menyiapkan kopi di coffee station mengerutkan keningnya. Jelas baginya bagaimana wajah karen yang kusut dengan mata bengkak.Karen mendekat ke Sonia sambil tersenyum, sementara kedua tangannya mengikatkan headscarf coklat ke kepalanya. Warna coklat senada dengan celana mereka itu tampak pas membela poni rata dan rambut lurusnya.Kafe mereka tampak ramai meski banyak tempat duduk kosong, meski begitu hal itu memang karena Kafenya yang besar, meski karyawan kafe ini banyak Karen tetap merasa bersalah.Sonia yang melihat wajah muram Karen berkata, "Hah... kau ini, jangan di pikirkan. Ini antar saja ke meja 28!" Sonia tampak memukul-mukul ringan punggung Karen.Tanpa banyak tanya Karen mengambil kopi itu kemudian memasang senyum ramah untuk para pelanggan. Setelah mengantar kopi ke meja 28, dia balik ke sempat Sonia yang sibuk membuat kopi.Karen diam berdiri menunggu kopi itu. Seminggu dia beristirahat selama itu juga rekan-rekannya sibuk sampai malam. Sambil berpikir tangan kanannya sedikit demi sedikit mengikis kuku-kuku jari kirinya."Kau potong rambut?" tanya Sonia yang ternyata sudah memberikan kopi tadi ke karyawan lain untuk di antar."Iya. Karena aku pikir lebih baik, lagi pula beberapa hari ini aku tidak merawatnya dengan baik.""Pfftt.... Seharusnya kau ajak aku. Ku pikir potongan itu sangat cocok untukmu, kau terlihat lebih segar. Tapi sekarang kau sedang memikirkan apa? Kau tau matamu itu bengkak."Sambil memegang rambut lurusnya yang dia potong 5 cm di bawah telinga Karen menjawab, "Aku sudah beristirahat selama seminggu ini. Maaf!"Sonia mendengar dengan seksama, saat pesanan baru datang dia segera membuatnya sambil berbicara dengan Karen. "Sudahlah, kami juga sering istirahat jika sakit. Karen... kau tau aku pemarah, jika kau terus memendam emosimu, suatu hari nanti itu akan meledak-ledak. Cobalah lebih jujur."Karen terdiam. Menangkap kalimat itu dengan sangat baik. Tangannya berhenti melukai kukunya dan beralih menggenggam tangannya kuat-kuat."Kau benar, aku permisi dulu. Terima kasih Sonia!" Karen tersenyum tulus sebelum akhirnya pergi ke toilet dan berkaca dengan benar."Ah! Mataku bengkak sekali." Karen membersihkan wajahnya sampai semua make upnya luntur. Tidak lupa mengeringkannya dengan tisu. Mengukir senyum yang penuh arti.Wajah mulus tanpa jerawat itu terlihat sehat dan bersinar meski tanpa riasan. "Ini lebih baik!" ujarnya. "Aku tidak memerlukan barang-barang itu lagi!" Pikirnya, kecuali sunscreen.Saat jam siang matanya tampak kembali seperti biasa. Senyum Karen yang sangat menyilaukan membuat beberapa pelanggan pria terkesima. Mata mereka beberapa tertangkap mengikuti kemana Karen bolak-balik dari caffe station ke meja pelanggan.Sonia yang melihat dari kejauhan hanya menggelang sambil tersenyum. Setelah itu dia memberitahu keadaan kafe pada Jessica yang masih dalam perjalanan. Mendengar itu Jessica merasa lega.Setelah meletakan kopi di meja yang ada di dekat pintu. Karen mendengar suara bel berdencing tanda ada tamu yang baru masuk. Dia berbalik badan dan menyapa pelanggan dengan senyum ramah."Selamat datang!"Mata jelinya bertemu dengan mata dingin seorang pria yang dia pernah temui di lantas atas Shambara Global. Setelah pria itu lewat, Karen mendapat tatapan tajam dari wanita yang ada di belakang Ian. Sebesar mungkin dia mengontrol ekspresinya untuk tetap tersenyum.'Apa-apaan?' Batinnya. Dia mulai kesal dan menahan emosi. Meski dia pandai mengontrol emosi, Karen adalah tipe orang yang tidak suka di tatap seperti itu.Dia bukan lintah yang menjijikan. Tatapan itu mengingatkannya pada seseorang wanita yang dulu menganggapnya sebagai anak perempuan tersayangnya, namun kini mungkin dia sudah melupakannya."Hah... sudahlah!" Karen kembali mengantar pesanan ke meja-meja lainnya."Meja 51!" gumam Karen setelah membaca meja selanjutnya. Dia berjalan dan melihat jika meja itu adalah meja wanita yang menatap tajam dirinya tadi.Karen berjalan dengan hati-hati, membawa dua cangkir kopi panas di tangan. Setiap langkahnya dijaga dengan hati-hati agar tidak ada yang tumpah.Namun, saat hendak sampai ke meja 51, tiba-tiba saja kaki wanita itu menyenggol kakinya. Karen yang merasakan hambatan tiba-tiba itu dengan cepat kehilangan keseimbangan, akibatnya kopi panas itu meluncur ke meja dan alirannya sampi ke baju wanita itu.Wanita itu memasang wajah terkejut dan segera melihat ke arah Karen dengan pandangan marah. "Panas-panas! Kau sengaja menumpahkannya kan?" Jerit wanita itu dengan nada sakit di sengaja.'Dasar sinting,' Dalam momen yang penuh tekanan amarah itu. Tanpa ragu, dia mengambil sebotol air putih dari meja sebelah dan dengan cepat menuangkannya ke arah wanita licik tersebut.Air berkilauan terjatuh dengan kekuatan yang cukup untuk membuat wanita itu terkejut dan menghentikan semua ucapan marahnya. Dalam keberanian yang tak terduga, Karen melihat wanita itu dengan tajam, sambil mengatakan dengan tegas, "Anda beruntung saya menyelamatkan Anda. Jadi sebaiknya Anda berterima kasih daripada playing victim."Ian yang duduk dengan nyaman tampak memasang wajah datar dan menonton pertengkaran di hadapannya dalam diam, entah dia tidak peduli atau apa. Tapi matanya hanya fokus pada Karen yang setengah membelakanginya.Wanita licik itu, dengan wajah memerah mulai memarahi Karen dengan nada yang menggertak. "Kamu tidak punya hak untuk menyiramiku dengan air! Liat saja nanti. Berani-beraninya melawan saya!" serunya dengan suara tinggi.Namun, Karen yang tidak gentar, menatapnya dengan tajam dan menjawab pelan sambil tersenyum, "Saya hanya memberikan pelajaran kepada orang yang membutuhkannya."Karen beralih menatap Ian yang memasang wajah tanpa ekspresi itu. "Sebaiknya Anda lebih perhatian kepada pasangan Anda. Lihat saja sekarang dia mencari perhatian Anda."Mendengar itu dari wajah marah Karen yang memerah, membuat Ian tertawa riangan. Tidak lama setelah itu dia menutup mulutnya dan memasang wajah datarnya lagi.Belum sempat Ian menjawab, Sonia sudah datang bersama Jessica. Jessica mencoba menengahi situasi dengan menawarkan ganti rugi atas insiden yang tidak terduga. Karen bahkan menjelaskan bagaimana wanita itu sengaja menyandung kakinya.Wanita licik itu akhirnya menolak tawaran Jessica dengan angkuh, menyatakan bahwa dia tidak butuh belas kasihan dan ingin pergi."Ayo kita cari kafe lain!" ucap wanita itu kepada Ian. Suaranya seketika berubah rendah dan lembut. Mendengar itu membuat Karen mengerutkan matanya jijik.Ian melihat jam tangannya, tanpa menatap lawan bicaranya Ian menjawab dingin. "Kau bisa pergi sendiri!"Suatu hari di saat matahari sudah mulai menghilangkan keganasan suhunya, Ian dan seorang anak kecil tengah berjalan santai di tepi laut.Pasir putih dan lembab kadang menempel di telapak kaki mungil anak kecil tersebut. Ian yang melihat itu segera tersenyum dan berjongkok."Kyle. Kemari!" panggilnya pada Anak laki-laki tersebut.Kyle yang awalnya asik berlarian segera berbalik dan berlari cepat ke arah Ian."Papa ada kerang di sana!" teriak Anak umur 5 tahun tersebut.Ian menggosok-gosokkan rambut Kyle lembut. "Mau ambil dan berikan ke mama?" tanyanya sembari melipat celana Kyle agar tidak basah."AMBIL...." Kyle segera mengambil kerang putih di pantai dengan cepat.Wajah tembem dan putihnya terlihat menyatu dengan warna pasir. Matanya yang hitam pekat menatap kerang yang tidak berawak tersebut dengan rasa penasaran. Tetapi dia segera kembali dan memegang tangan ayahnya."Kyle rindu mama!"Ian tertawa. "Kau yang menangis minta keluar dan sekarang sudah rindu mama.""Kyle tidak akan kel
Karen merasakan telapak tangannya dibanjiri oleh keringat, bukan karena takut tetapi karena malam ini adalah malam pertama pernikahan mereka. Bahkan saat berjalan menuju kamar hotel kakinya tidak berhenti bergetar.Sementara itu Ian masih menggenggam tangannya dengan erat, membimbing jalan menuju ruangan besar yang sudah ada di depan matanya saat ini.Saat melihat ruangan yang cantik itu sungguh membuatnya merasa akan segera meledak dan jatuh ke lantai, tetapi saat dia tidak fokus Ian segera mengangkat seluruh badanya di depan dada kokoh tersebut."Kau sangat gugup ha?" Ian melihat ke atas di mana dia mengangkat Karen lebih tinggi dari biasanya.Wajah Karen sepenuhnya memerah, wajah tampan Ian yang tengah mengangkat badannya saat ini benar-benar diluar nalar. Sangat-sangat tampan bak pangeran dari kerajaan fantasy."Ian... kita lakukan lain kali saja en. Aku pikir aku akan gila-- Aaa?" Karen merosot sampai ke pinggang Ian."Aku akan berhati-hati!" Ian menatap mata Karen dalam. Menungg
Sore hari di rumah Ian yang sunyi. Ruang besarnya terasa kosong bahkan saat dua manusia berlawanan jenis tengah duduk berseberangan. Sementara seorang pria duduk di kamarnya sambil menghadap cctv yang menyoroti kedua lawan jenis tersebut.Dia melihat kedua orang tersebut berbicara meski dia tidak bisa mendengarnya. Hatinya tidak bisa tenang, dia benar-benar fokus untuk siap mengirim kematian jika pria di ruangan sana berani maju selangkah.Dia sangat menghormati keputusan Karen. Senyum di wajah gadis itu saat ini membuatnya sadar jika gadis itu membuatnya semakin terinspirasi untuk lebih kuat dan kuat.Di ruang lain. Karen dan Jones duduk berseberangan. Sebuah meja kaca hitam memisahkan mereka.Karen merasakan jantungnya berdetak kencang, bukan karena dia masih mencintai Jones ataupun takut padanya, tetapi karena keberaniannya saat ini membuatnya seolah-olah bisa menyeberangi lautan seorang diri.Jones mengamati tampilan Karen yang hangat, tetapi mata gadis itu tampak layu, syal yang t
Ian dan Karen sama-sama mempersiapkan beberapa keperluan untuk pindah ke Negara tempat perusahaan cabang Shambara berada. Jadwal penerbangan tinggal 2 hari lagi, tidak terlalu mendadak sehingga Karen masih dapat meyakinkan diri untuk pergi."Karen, Ibuku sebentar lagi sampai. Aku pergi dulu ya!" ucap Ian segera mengecup dahi Karen dan pergi.Karen hanya melambai di depan pintu mengantarkan Ian. Tepat saat Ian pergi sebuah mobil putih yang Karen tau masuk ke halaman rumahnya.Dia menaikkan bibirnya beberapa kali, memastikan senyumnya lebih baik dan terlihat tulus."Karen! Ayo masuk." Nyonya Abel dengan cepat membawa Karen ke meja makan. Dia mengeluarkan semua makanan yang dia bawa dari rumah."Berat badanmu turun lagi! Ck ck ck, kau harus banyak makan!" Nyonya Abel memberikan semangkuk nasi ke hadapan Karen.Karen melihat nasi putih dan hangat itu dengan tatapan tidak berselera. Tetapi setelah beberapa menit dia akhirnya mengambil sendok dan nasi."Karen. Ayo keluar!" Tanpa persetujuan
Karen merasa badannya akan remuk jika Ian tidak melonggarkan pelukannya. Dia mengambil napas dalam agar badannya dapat membesar untuk menciptakan sedikit ruang.Matanya memerah, namun air matanya tampak kering dan tertahan, hidungnya memancarkan asam yang membuat Karen mengigit bibir lebih kuat."Ian...." Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi hatinya semakin berat dan berat, hanya nama Ian yang akhirnya keluar dari bibir kecilnya."Apa ini perbuatan Jones?" Ian bertanya dengan suara rendah, setenang apapun dia berusaha mengontrol suaranya agar tidak menyakiti Karen, dia pasti akan membuat Karen mengeluarkan reaksi jujur dari tubuhnya.Mendengar nama itu. Tubuh Karen yang awalnya lemah kembali bergetar, kesadarannya menipis sementara tangannya menggenggam baju Ian dengan sangat kuat.Di balik pikirannya yang kacau, dia masih memperhatikan perilaku Ian. Tidak ingin pria ini pergi dan melakukan sesuatu yang tidak diharapkan.Ian merasakan rahangnya menjadi keras, bahkan tanpa Karen mengadu
"Karen! Aku akan pergi, jangan lakukan oke?"Karen membuka mata dan melihat jelas jika Jones sedang menangis. Melihat pria itu menangis dan pergi membuat Karen merasa dapat sedikit bernapas lega. Dia segera turun dan mengunci pintu kamar, masuk ke bathubnya dan memendam seluruh badannya.'Aku memang seharusnya tidak dilahirkan, maaf Ibu... seharusnya aku tidak mengatakan ini, seharusnya bukan aku yang jadi anakmu, dengan begitu aku tidak perlu membuat janji yang tidak bisa aku tepati!'***Ian memutar balik arah mobilnya tepat saat Karen menutup telpon, dia tidak tahu kenapa, yang pasti dia harus memastikan jika Karen baik-baik saja.Kewaspadaannya meningkat tepat saat matanya dengan jelas melihat gerbang dan pintu depan rumah Karen yang terbuka lebar. Dia segera masuk ke halamam dan memarkir mobil.Dia masuk ke rumah dengan harapan tidak ada hal buruk yang terjadi. Rumah itu tampak sunyi dan sofanya sedikit berantakan, Ian menggelngkan kepalanya sembari berjalan cepat menuju kamar Ka