Ruangan yang biasa dipakai untuk tempat makan, kini dijadikan tempat rapat dadakan. Sangat niat, mereka bahkan menghadirkan papan tulis dan proyektor untuk memudahkan rapat yang mereka adakan. Otak dari itu semua adalah Levin dan Owen.Karena Levin yang paling pandai dalam hal bisnis dan paling sering melakukan meeting daripada suami-suami Quen yang lain, maka Levin ditunjuk untuk menjadi pemimpin rapat."Pemegang saham memiliki peranan besar untuk memutuskan setiap proyek bisa berjalan ataukah tidak. Itulah sebabnya, keberpihakan mereka sangatlah penting untuk Quen. Jika para pemegang saham tidak menyukainya, bisa-bisa istri kita tercinta akan didepak dari perusahaan," jelas Levin kepada para suami Quen yang duduk dengan anteng di kursi masing-masing. Mereka terlihat amat serius menyimak penjelasan Levin."Dan karena itulah," ujar Levin lagi dengan intonasi yang menyenangkan untuk didengar. "Aku sudah mendata para pemegang saham di Chevalier Inc." Pria itu mena
Quen baru saja selesai membersihkan dirinya. Wanita itu keluar dari kamar mandi usai mengenakan pakaian tifur dan mengeringkan rambut. Setelah seharian ini merasa kesal karena ulah Gwen yang membuatnya terpojok, berendam di dalam air hangat membuatnya merasa lebih rileks. Juga, meski masih kesal, tetapi mengingat kelima suaminya membantu dalam misi pembalasan dendam, dia juga merasa excited menantikan saat-saat dirinya akan menang.Perempuan itu mengerutkan kening saat dirinya melihat sebuah benda seperti astronot di atas nakas kamar Vinson. Sementara di sudut ranjang, Vinson duduk sambil memainkan ponsel. Begitu sadar bahwa Quen telah selesai mandi, Vinson tersenyum menatap istrinya, lantas meletakkan ponselnya di atas bantal. Malam ini memang giliran Quen untuk tidur dengan Vinson.Quen mengambil benda yang menurutnya aneh tersebut. Dengan alis mengerut, wanita itu menatap benda itu dengan saksama. "Apa ini?" tanya Quen, menyuarakan tanya yang ada di kepalanya.
Quen jelas terkejut mendengar ucapan Vinson, sebab sebelumnya dia tidak pernah tahu sama sekali bahwa Vinson memiliki penyakit. Setahunya, pria itu sehat-sehat saja. Selama beberapa waktu tinggal bersama pun, Quen belum pernah melihat hal yang janggal dari pria itu."Apa maksudmu, Vin? Sakit apa?" tanya Quen. Meski begitu, wanita tersebut terdengar agak cemas. "Apakah penyakitnya parah dan membahayakan nyawa? Tidak, bukan?"Vinson tersenyum tipis. Tidak menyangka, bahwa di balik sikapnya yang galak dan suka marah-marah, rupanya Quen adalah seorang wanita yang lembut. Dia terlihat begitu khawatir setelah dirinya mengatakan memiliki penyakit."Tidak, Quen," balas Vinson tenang, agar Quen tidak begitu cemas. Pria itu mengambil jeda sejenak sebelum melanjutkan ceritanya. "Aku pernah mengalami kecelakaan parah bersama adikku ketika usiaku berumur 15 tahun."Quen kembali terhenyak mendengar informasi tersebut. "Kecelakaan?" lirih Quen. Matanya tampak membulat,
Zane menatap Brandon yang sudah berdiri di depan rumahnya ketika Zane datang untuk menemani pria paruh baya itu. Benar, hari ini adalah giliran Zane yang menemani ayah mertuanya. Quen sudah mengingatkan dirinya berkali-kali sejak kemarin malam. Bahkan tadi pagi pun, wanita tersebut terus saja mengulang informasi yang sama sampai Zane muak dibuatnya."Papa sudah menungguku sejak tadi?" tanya Zane begitu turun dari mobil untuk menjemput Brandon.Brandon tersenyum lebar. "Ya, tentu saja. Aku tidak sabar untuk menghabiskan waktu dengan menantuku hari ini, jadi aku bersiap-siap sejak satu jam lalu."Zane menyunggingkan senyum meski hanya samar saja. "Ke mana kita akan pergi?" tanya lelaki itu.Tanpa menjawab pertanyaan Zane, hanya senyum penuh arti yang dia tunjukkan, Brandon berjalan menuju mobil Zane. Mereka berdua masuk lalu duduk di posisi masing-masing."Kamu pandai melukis, bukan?" Brandon menoleh, menatap pada menantunya. Alih-alih menjawab perta
Queen of American Lakes, adalah panggilan untuk Danau George. Danau terbesar di Adirondacks. Perairan yang jernih dan menakjubkan, pulau-pulau kecil di tengah, serta gunung di sekitaran danau tersebut membuat pemandangan danau tersebut memanjakan mata. Siapa pun yang datang ke sana pasti akan betah dan ingin berlama-lama menikmati suasana asri itu.Siapa yang menyangka bahwa di tengah-tengah padatnya kota New York terdapat sebuah danau besar nan indah seperti Danau George? Menemukan danau tersebut sungguh seperti menemukan harta karun. Pun menurut Brandon yang baru pertama kalinya menginjakkan kaki di tempat itu. Menghabiskan waktu mudanya untuk bekerja, Brandon nyaris tidak tahu ada tempat-tempat yang menakjubkan di kota tempatnya tinggal dan sekitarnya."Wah. Kamu pandai memilih tempat untuk kita kunjungi, Nak," puji Brandon saat dia turun dari mobil dan melihat hamparan danau yang biru serta pemandangan alam sekitar yang begitu menyejukkan mata. Pria itu menarik napas dalam-dalam,
Matahari sudah mulai tenggelam di luar. Namun, Quen masih berkutat dengan pekerjaannya, di balik meja kebesaran miliknya dengan berbagai data di komputer. Wanita itu terlihat begitu serius mengamati semua teks di layar tersebut. Dia bahkan mungkin tak sadar sudah berapa jam yang dihabiskan di depan layar itu.Saat tengah fokus, di luar tiba-tiba seseorang mengetuk pintu ruangan Quen tiga kali. Membuat fokus Quen sedikit terinterupsi."Masuk," gumam Quen tanpa mengalihkan pandangannya dari deretan tulisan di komputer. Sesekali, keningnya mengkerut saking serius membaca semua teks di layar.Sementara, langkah kaki seseorang kian mendekat ke meja. Dari ekor matanya, Quen tahu dia adalah Arthur, sekretarisnya."Pekerjaanku sudah selesai untuk hari ini, Nona Muda," ucap Arthur melapor. Quen menurunkan kacamata anti radiasinya, meletakkannya di meja, lalu mengangkat wajah untuk memusatkan atensi pada sekretarisnya itu. "Apakah Anda masih membutuhkan bantuan?" tanya Arthur sopan.Quen meliri
Alamat restoran yang diberikan oleh Quen adalah Restoran Indonesia Wayan yang terletak di Kota Manhattan. Ialah restoran yang menyajikan makanan khas Indonesia seperti halnya nasi goreng, gado-gado, sop buntut, pepes ikan, dan sebagainya.Quen berjalan masuk, mencari kursi yang sudah ia reservasi sebelumnya. Namun begitu tiba, dia terkejut karena Ace sudah ada di sana, tengah bermain ponsel dan tidak menyadari kedatangannya "Bagaimana kau sudah tiba di sini?" tanya Quen, membuat Ace mengangkat wajah dan menatapnya.Ace menyunggingkan senyum simpul. "Blade Storm baru saja melakukan wawancara di area dekat sini. Jadi, aku datang lebih cepat. Bahkan tidak sampai lima menit hingga aku tiba."Quen mendesah kecewa. Dia pikir, dia yang akan datang pertama, tetapi Ace justru mendahuluinya."Kamu sudah tiba berapa lama?"Ace sedikit memicing, berpikir. "Mungkin sekitar lima menit atau lebih? Entahlah," dia jawab dengan tak yakin. "Kemarilah, Quen. Ayo, kita berfoto." Ajak Ace. Menarik Quen un
"Papa?" Quen masih memasang ekspresi terkejut melihat Brandon yang tiba-tiba saja berdiri di hadapan mereka semua dengan seulas senyum polos yang dia miliki."Papa datang bersamaku," kata Zane tanpa rasa bersalah sama sekali.Brandon mengangguk pelan. "Ya. Papa datang bersama dengan Zane," pungkas lelaki itu, mengamini. "Karena Papa datang terakhir dan membuat Zane jadi ikut terlambat, jadi Papa yang akan membayar."Zane dan Brandon berjalan menuju kursi yang kosong. Sayangnya, hanya ada sisa satu kursi di sana. Zane membiarkan Brandon yang duduk duluan. Sementara dirinya pergi untuk menemui pelayan dan meminta kursi tambahan.Tak berapa lama, pelayan datang membawa satu kursi untuk Zane dan juga buku menu. Mereka mulai memesan makanan satu per satu."Sebenarnya apa yang Papa lakukan sampai membuat Zane terlambat?" tanya Quen pada ayahnya.Brandon tersenyum penuh arti. "Papa mengajak Brandon menuju Danau George," dia jawab sambil melirik pada Zane."Benarkah? Danau George adalah harta