Home / Romansa / CEO Yang Hilang Ingatan / 10. Menyusun Rencana.

Share

10. Menyusun Rencana.

Author: Novica Ayu
last update Last Updated: 2021-03-29 07:47:05

"Saat mendengar kabar Kakak, kecelakaan dan jatuh ke sungai. Papa langsung terkena serangan jantung.

Aku tak perlu banyak orang untuk berada di sisiku. Cukuplah kedua orang ini menjadi alasan aku harus bertahan hidup. Mengambil apa yang seharusnya jadi milikku kembali. 

Tunggu pembalasanku Jhonny. 

"Bagaimana dengan si Jhonny, itu?"

"Alicia gak suka sama dia. Tiga hari setelah Kakak kecelakaan dia datang ke rumah ini. Seenaknya masuk rumah, dan menempati kamar paling ujung. Lelaki itu bilang dia adalah anak tertua ayah pada semua orang. Jhonny itu orang yang kasar. Suka lempar-lempar barang."

Jadi, seperti itu? Sepertinya dia adalah musuh dalam selimut yang mengambil kesempatan di tengah kesempitan. Firasatku mengatakan Jhonny bukan orang yang baik. Aku harus segera menyingkirkannya dari perusahaan Papa, dari kehidupanku. Sebelum semua terlambat. 

Papa terbatuk beberapa kali. Aku dan Alicia mendekat.

"Papa, are you okay?"

Alicia duduk di samping Papa tidur. Matanya berkaca-kaca. Gadis kecil itu terlihat sangat khawatir.

"Minum dulu, Pa."

Aku menyodorkan segelas air dari atas nakas. Di sebelah gelas tadi ada kotak kecil berisi beberapa butir obat.

"Ini obat apa, Pa? Kenapa belum diminum?"

"Papa malas minum obat."

Suaranya terdengar sangat lemah, "No. Papa, harus minum obat. Alex dan Alicia tidak mau kehilangan, Papa. Kami ingin Papa, sembuh."

Papa menarik dua sudut bibirnya membentuk garis datar. Sejenak ia menatapku dan Alicia bergantian.

Aku mengambil kotak obat tadi, "Ini Pa, minumlah."

"Iya, Papa harus sehat. Papa janji mau ngajak Alicia jalan-jalan ke Malaysia liburan sekolah nanti. Alicia ingin lihat Menara Petronas, Batu Caves, sama Zoo Negara Malaysia. Cepat sembuh Pa," pinta Alicia.

Nada suara Alicia parau, gadis kecil ini terlihat sangat takut kehilangan Papa. Dibalik sifat kekanak-kanakan dan manjanya ternyata dia gadis yang penyayang. 

Alicia membantu Papa bangun dari tidurnya. Setelah lelaki kesayangan kami duduk, Alicia mengambil kotak obat ditanganku, "Diminum Pa!"

Papa memasukkan tiga butir pil bersamaan. Lalu menenggak air putih di dalam gelas. Ia tersenyum padaku dan Alicia.

"Ayo kita keluar. Biar Papa, beristirahat!"

"Alicia sayang, Papa."

Aku menghentikan langkah, menoleh pada Ayah dan anak di atas ranjang itu. 

Alicia menatap Papa sejenak. Kembali menaikkan selimut menutupi tubuhnya. Adik perempuanku itu memeluk Papa yang terbaring di ranjang. Sementara, tangan kanan Papa mengelus rambutnya.

"Gadis cantik Papa."

Aku teringat pada Abah dan Wulan. Bagaimana kabar mereka? Kasih sayang yang sama antara seorang Ayah dan anak. Namun, berbeda cara menyampaikannya. 

Netraku menatap tumpukan map di atas meja belajar Papa. Aku kembali berbalik, mengambil salah satu map di tumpukan paling atas. Kontrak kerjasama The One Property dan Hotel Hilton. Tertulis di halaman kedua, rencana pembangunan gedung hotel selanjutnya di pulau Lombok. 

Aku menutup map itu. Meraih map hijau di tumpukan kedua. Struktur kepemimpinan The One Property. Ini yang kucari! Sepertinya di dalam map ini berisi hal-hal penting.

"Katanya ngajak keluar? Ayo, Papa mau istirahat."

Alicia menarik-narik lenganku. Kami berjalan menuju pintu, menutupnya kembali dengan perlahan agar Papa tak terbangun.

"Di mana kamarku?"

Alicia menatapku dengan tatapan aneh, "Apa Kakak, lupa dengan kamar sendiri?"

"Ehhmm, Kakak hanya ingin diantar ke kamar oleh adik tersayangku ini."

Mati aku. Bisa ketahuan kalau aku ini hilang ingatan. Untung saja bisa cepat mencari alasan. Nanti, jika ingatanku sudah benar-benar pulih aku akan bisa mengingat semuanya.

"Jadi Kakak benar-benar kecelakaan?"

"Hemmm …."

Aku menoleh menatap Alicia gadis itu terus berjalan. Aku tertinggal beberapa langkah di belakangnya. Dari kamar Papa, kami terus berjalan di lorong. Ada empat kamar saling berhadapan. 

"Lalu, selama ini Kakak, tinggal di mana?"

"Kenapa baru sekarang pulang ke rumah?"

"Pertanyaan yang mana dulu, yang harus Kakak jawab, nih?!"

Alicia berhenti, ia membalikkan badan. Alisnya mengernyit menatapku, "Jalan lama amat, sih?!"

Aku mengangkat bahu, "Bukannya kamu yang terlalu bersemangat?"

"Habis Alicia seneng, Kakak pulang ke rumah juga akhirnya."

Alicia mundur, kembali melingkarkan tangannya di lenganku. Mengajakku berjalan lebih cepat. 

"Ini kamar Kakak."

Aku menoleh, menatap sebuah kamar bercat putih, meraih kenop pintu.

"Thanks, sana, ganti baju."

"Gitu doank?"

Alicia mengernyitkan alisnya. Senyum di wajah gadis berumur enam belas tahun itu mengerucut. Terlihat kecewa. 

Tanpa menjawab aku segera masuk dan menutup pintu. Banyak hal yang harus kulakukan, "Lain kita ngobrol lagi Alicia," gumamku.

Entah adik perempuanku itu bisa mendengarnya atau tidak. Saat aku berbalik menatap kamar pribadiku, mata ini tak berkedip. 

Mengamati interior kamarku sendiri untuk beberapa saat. Ruangannya tak seluas milik Papa, namun cukup menjadi markas seorang lelaki. Ada ranjang besar, dengan nakas di samping kedua sisinya. Ada TV LED berukuran 32 inch. Televisi layar datar itu terpasang di dinding menghadap ke ranjang. Seperangkat game box di rak kecil di bawah TV LED tadi. Tertulis di atasnya PS5. 

Sebuah lemari pakaian dengan konsep open wardrobe berdiri kokoh di dinding yang menghadap ranjang tidur. Aku meraba lemari. Lemari ini menggabungkan dua material, yakni steel atau baja ringan dan kayu. 

Material steel atau baja ringan berwarna metalik digunakan sebagai material rangka lemari sementara kayu digunakan untuk penampang lemarinya. 

Satu sudut bibirku terangkat naik, lemari pakaian yang terkesan minimalis. Konsep open wardrobenya membuat siapa saja bisa melihat langsung isi lemariku. Tumpukan pakaian dan celana, juga beberapa jas yang digantung. Di bawahnya ada beberapa laci, terisi tas kerja, dompet, kacamata, dan topi. Ternyata aku ini suka memakai aksesori juga!

Di rumah Abah dan Wulan, aku hanya memiliki beberapa potong pakaian juga celana. Pantas, perempuan penjaga resepsionis itu menatapku heran. Matanya tak berkedip melihat celana jeans belel selutut yang kukenakan saat itu.

Aku segera duduk di tepi ranjang, mengamati beberapa map yang kubawa dari kamar Papa tadi. Membuka dan membacanya pelan-pelan. Mencari informasi.

Mataku membulat sempurna membaca sebuah peraturan penting perusahaan Papa. Pemilik sah The One Property adalah Abraham Lexzuardy, sebagai pemegang saham terbesar. Jika terjadi sesuatu hal pada kepemimpinan perusahaan diserahkan pada yang ditunjuk olehnya, atau melalui rapat dewan direksi.

"Kena kau, Jhonny!"

Aku akan mengambil tempatku kembali dan mengusirmu keluar dari rumahku. Enak saja anak haram yang tidak jelas sepertimu ingin merebut tempatku, menikmati semua kerja keras Papa.

"Tunggu pembalasanku!"

Meskipun aku belum ingat sepenuhnya tentang masa laluku. Namun, kilasan kenangan yang terputar di ingatan begitu nyata. 

Aku tahu ada sesuatu pada lelaki itu. Sesuatu yang jahat.

"Lihat saja, nanti!"

***

Naik mobil Mercedes, lewat jembatan layang. Hai para readers tersayang.

Lope sekebon buat kalian.

Ikuti terus kisah Ali, jangan lupa star vote dan tinggalkan jejak sepatah dua patah kata. Asal jangan kelen bergoyang patah-patah, ala Mbak artis itu. Ati2 encok...

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Noor Sukabumi
keren alur ceritanya
goodnovel comment avatar
Ropi Anto
anaknya 24 thn ko bapaknya umur 40 berarti pas punya anak 16thn dong
goodnovel comment avatar
Hariyanto
setiap buka baru kok kembali ke eposode 11 sih pdhal sdh sampe 40an
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • CEO Yang Hilang Ingatan   216. I Love You Wulan

    ~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."

  • CEO Yang Hilang Ingatan   215. Bertemu Ibu Wulan

    "Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.

  • CEO Yang Hilang Ingatan   214. Tujuan Bulan Madu Pertama

    "Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu

  • CEO Yang Hilang Ingatan   213. Tempat Ternyaman.

    ~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.

  • CEO Yang Hilang Ingatan   212. Tiba Di Hotel.

    KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.

  • CEO Yang Hilang Ingatan   211. Penerbangan Pertama Wulan.

    Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  

  • CEO Yang Hilang Ingatan   210. Ketakutan Wulan.

    ~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.

  • CEO Yang Hilang Ingatan   209. Ronde Tambahan

    Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.

  • CEO Yang Hilang Ingatan   208. Ronde Selanjutnya

    Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status