Share

4. Ceroboh!

Matahari yang tersembunyi dibalik awan mendung menampilkan cahaya remang, sangat indah seperti kilauan berlian. Waktu setelah hujan selalu membawa suasana yang berbeda, terasa aneh tapi Lyra menyukai perasaan seperti itu. Sambil terkantuk-kantuk, Lyra berusaha untuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum pukul 5 sore. Tapi apa boleh buat, sepertinya target itu tidak akan terpenuhi. Suasana setelah hujan di sore hari memang lebih cocok untuk tidur atau bersantai sambil memakan mie instan dan tontonan yang seru. Apa boleh buat, budak korporat seperti Lyra malah berkutat di depan komputer dengan beberapa berkas penting yang harus ia berikan pada CEO barunya, paling lambat besok.

"Ra, gue balik duluan ya, bye!" Kehali menepuk bahu Lyra pelan sebelum berpamitan.

Lyra hanya bisa mengangguk pasrah. Kehlani sudah mengirimkan laporan yang diminta kepada dirinya, kini Lyra harus melakukan pengecekan ulang sebelum menyatukan semua data dari para karyawan divisi perencanaan yang sudah ketua tim mereka berikan. Kehlani bahkan rela ikut lembur tanpa bayaran demi membantu Lyra, sebagai gantinya, Lyra akan membelikan kopi besok pagi.

Setelah beberapa menit mengamati, akhirnya Lyra bisa menghela nafas lega. "Selesai, tinggal aku kirim ke Pak CEO."

Ia berdiri sambil melakukan peregangan otot ringan, lehernya mengeluarkan bunyi renyah saat sedikit diputar. Terasa sangat memuaskan ketika kedua tangannya direntangkan setelah menghabiskan banyak menit di depan komputer dengan postur tubuh yang tak sempurna.

Lyra mencabut flashcdisknya dan berniat akan mengirimkan setelah sampai di rumah saja, otak dan tubuhnya sudah tidak ingin berada di kantor barang sedetikpun. Lyra menyambar tas bahunya dan berlalu dari ruangan. Satu-satunya hal yang ia harapkan sebagai seorang penakut hanya seorang teman di dalam lift, di jam pulang begini sangat berbeda dengan pagi hari, suasananya terlalu sepi.

Kepalanya melongok ke sebelah kiri, dinding kaca tebal nan transparan itu memperlihatkan bagian humas masih diisi beberapa orang yang tampak sibuk memindahkan barang satu dan lainnya.

Tidak heran, pasalnya Aldrich merasa penempatan ruangan kurang tepat dan aneh. Ia pun akhirnya memerintahkan bagian Management Keuangan untuk pindah ke lantai yang sama dengan dirinya, alhasil bagian Humas harus bertukr lantai karena tidak cukup ruang untuk menampung 2 divisi dengan karyawan yang terbilang banyak, ditambah ruang kerja CEO dan Sekretaris. Lyra merasa bersyukur karena bukan bagian Perencanaan dan Evaluasi yang dimintai pindah, jika tidak, maka pekerjaannya akan semakin banyak saja.

Ting.

Pintu lift terbuka dengan dua orang karyawati di dalamnya, Lyra tersenyum ramah, lalu masuk. Namun, ketika Lyra hendak menekan tombol untuk menutup pintu, dari depan sana Aldrich terlihat mengangkat tangan agar Lyra menahan lift untuk tetap terbuka.

Lyra menurut.

"Terima kasih." Ucap Al sambil melirik jam di tangannya dan berdiri di samping kiri Lyra.

Setelah itu, lift pun mulai bergerak turun. Sepertinya tujuan mereka sama, yaitu lantai pertama.

"Selamat sore, Pak!" Sapa dua karyawati yang berdiri di belakang.

Aldrich sedikit menengok dan mengangguk. "Sore."

Mata Lyra membola karena dirinya lupa untuk menyapa.

"Selamat sore, Pak!" Ujarnya telat. Itu lebih baik daripada tidak sama sekali, pikirnya.

Aldrich meliriknya sekilas tanpa memberi balasan atau bahkan sekedar anggukan, setidaknya salah satu dari yang pria itu berikan pada dua karyawati di belakang. Tapi, ya sudah.

"Saya akan menunggu kabar darimu." Ucap Aldrich, terlalu tiba-tiba sampai membuat Lyra mengernyitkan dahinya.

"Pak--"

Brugh.

"Ah!" Lyra memekik kaget begitu juga dua karyawati di belakangnya. Mata Lyra membelalak dengan tangan yang berpegangan erat pada lengan kekar berbalut jas hitam.

Lift berhenti ditengah perjalanan dengan begitu tiba-tiba hingga hampir membanting tubuh Lyra ke dindingnya, untung saja Aldrich langsung menarik tubuh gadis itu dan menghalau benturan dengan tangan kiri yang bertumpu pada dinding lift di sebelah kanan Lyra.

Nafas Lyra memburu, matanya menyiratkan rasa takut. Aldrich dapat merasakan kekhwatiran dari cengkeraman tangan pada lengan kanannya yang sedang merangkul tubuh ramping itu.

Lagi dan lagi, mereka beradu pandang dengan jarak yang jauh lebih dekat dari sebelumnya.

"Calm down." Ucap Al.

"Ma--maaf, Pak."

Lyra berucap pelan menarik diri dari rangkulan Aldrich dan mulai berpegangan sambil mengatur nafas. Terjebak di ruangan yang sempit bukanlah hal yang indah, dadanya mulai terasa sesak padahal tidak berdesakan.

Aldrich melihat ke arah dua karyawati yang sedang saling berpegangan tangan. "Kalian, tenanglah. Don't be panic. Sebentar lagi lift akan kembali menyala."

Apa yang Aldrich katakan benar-benar terjadi. Setelah beberapa menit terjebak, akhirnya lift kembali bergerak turun. Mereka menghela nafas lega.

Lyra terlihat mencuri-curi pandang Aldrich lewat ujung mata. "Ekspresinya bahkan tidak berubah sama sekali, dia memang tenang atau karena saking terkejutnya?" Hatinya bertanya-tanya.

Tangan Lyra terangkat, menepuk tangan Aldrich pelan. "Pak CEO, tenang saja."

Aldrich mengangkat sebelah alisnya, heran. Bukan dirinya yang merasa panik dan takut beberapa saat lalu, melainkan Lyra sendiri. Tapi, gadis itu malah berusaha menenangkan orang yang sudah menenangkan dan menyelamatkan dirinya dari terbentur.

Aneh. Pikir Aldrich. "Siapa yang tadi berpegangan erat dan nafas sedikit tersendat?"

Lyra terdiam, menahan malu.

"Tenangkan dirimu sendiri." Kata Aldrich.

Akhirnya, mereka sampai di lantai utama. Aldrich tampak melenggang terlebih dahulu dengan kaki jenjangnya yang satu kali langkahnya saja sama dengan dua langkah kecil kaki pendek Lyra.

"Adnan!" Panggil Lyra dengan tangan melambai-lambai pada temannya yang sedang berjalan menuju pintu kaca untuk keluar.

Lyra tersenyum lebar karena temannya masih setia menunggu. Ia pun berlari secepat mungkin, bahkan berhasil mendahului Aldrich tanpa dirinya sadari. Itu karena Lyra terlalu senang, melihat Adnan sama saja dengan mendapatkan tumpangan. Kesempatan menuju kemudahan adalah hal yang tidak pernah Lyra lewatkan.

Pria yang dipanggil Adnan pun berhenti. "Mau nebeng nih pasti." Gumannya menebak.

Lyra masih tersenyum sampai 'heel' sepatu sebelah kanannya goyah dan,

Ptakk.

Brugh!

Adnan yang terkejut melihat kawannya terjatuh pun langsung berlari menghampiri.

"Mari."

"Ayo!"

Dua ajakan itu terlontar bersamaan, membuat Lyra mengangkat kepala dan mendapati CEO Aldrich sedang mengulurkan tangan pada dirinya, begitu juga Adnan.

Ada apa ini? Kenapa rasanya seperti sedang berada dalam sebuah drama Korea?! Gumam Lyra dalam hati. Dan sekarang, dirinya bingung harus menerima uluran tangan yang mana.

Lyra mengangkat kedua tangannya untuk membalas masing-masing uluran. Tapi, belum sempat itu terjadi, Aldrich sudah berdiri tegak dan menarik tangannya.

"Selamat sore, Pak!" Sapa Adnan mengangguk pelan dengan tangan yang berusaha membantu Lyra bangun dari lantai.

"Jangan berlari-larian, ini bukan taman kanak-kanak." Ucap Aldrich. "Ceroboh." Tambahnya pelan namun masih bisa Lyra dengar, begitupun dengan Adnan.

Aldrich pun berlalu, ia sedang diburu waktu karena harus mengecek apartemen untuk dirinya tinggali selama mengurus perusahaan sang Ayah di sini. Rasanya canggung kalau harus tinggal satu rumah dengan Ibu sambung dan adik tiri perempuannya, mereka tidak terlalu dekat. Aldrich butuh waktu untuk menjadi akrab, yang terpenting adalah hubungan mereka tidak buruk dan tidak pernah menganggap satu sama lain musuh.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Reka Rukmiyati
ditunggu kelanjutannya,semangatttt
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status