Share

3. Are you in? I'm in.

Lyra tampak mengatur nafas yang terengah, keringat di pelipisnya pun masih setia menghiasi wajah pucatnya itu. Berlari sambil diburu waktu dan rasa panik sangatlah menguras energi, itu semua karena alarmnya gagal membangunkan. Tidak, itu salah Lyra sendiri yang terlalu nyaman dalam pelukan selimut sampai tidak bisa mendengar suara alarm.

Alhasil, Lyra tiba 10 menit setelah jam masuk kerja. Dan lebih sialnya lagi, hari ini adalah hari dimana pimpinan perusahaan yang baru datang. Makanya para karyawan di divisinya berdiri tegak menunggu atasan baru mereka memasuki ruangan divisi perencanaan dan evaluasi, Lyra berharap keterlambatannya tidak diketahui karena saat dirinya datang CEO baru itu sedang di divisi personalia yang berada di lantai yang sama.

"Selamat pagi!"

Deg.

"Selamat pagi, Pak. Selamat datang di perusahaan!" Balas para karyawan bersamaan.

Lyra masih tidak berani mengangkat wajahnya meskipun sudah sangat penasaran dengan wajah CEO baru di tempatnya bekerja, karena dari suaranya terdengar masih muda. Tapi rasa takut membuatnya lebih tertarik menatap ujung sepatu atau garis-garis di lantai.

Ketegangan dan rasa takut membuatnya tidak sadar bahwa CEO baru itu sedang berjalan ke arah dirinya yang sedang berdiri di meja paling ujung.

"I saw you coming late and sneaking around ketika saya sedang berada di ruangan lain." Kalimat itu terdengar datar, tapi terlalu dingin sampai-sampai membuat tubuh Lyra merinding.

Aldrich mengingat wajah gadis yang menunduk di hadapannya ini.

Lyra yang sibuk berdoa agar tidak ketahuan tersentak kaget karena malah didatangi. Kepalanya refleks menunduk semakin dalam untuk menyembunyikan wajahnya yang semakin pucat saja.

"Asisten manajer perencanaan dan evaluasi?" Suara berat itu membaca tag nama yang berada di atas meja. "Bukankah seharusnya kamu datang jauh lebih cepat dibandingkan saya atau karywan yang dibawah pantauanmu, benar kan? Atau justru kedatangan saya yang terlalu cepat dan mengganggu jam tidur kamu?" Rentetan kalimat yang atasannya ucapkan cukup menakutkan hingga membuat keringat dingin semakin bercucuran.

Asisten manajer, ya memang benar, tapi Lyra baru menjabatnya selama satu tahun. Tahun sebelumnya ia karyawa biasa di divisi perencanaan tersebut dan diangkat setelah asisten sebelumnya mengundurkan diri untuk menikah. Total baru dua tahun Lyra bekerja di perusahaan Prima Wicaksana, perusahaan yang bergerak dibidang manufaktur.

"Apa saya perlu mengubah jam masuk kerja?"

Lyra menggeleng, "Maafkan saya, Pak. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi, saya akan datang tepat waktu untuk besok dan seterusnya. Tolong, maafkan saya." Sesalnya dengan sungguh-sungguh.

Dari posisinya, Lyra bisa melihat sepasang sepatu hitam mengkilap itu mundur.

"Semuanya, saya, Aldrich Tama Wicaksana." Ujar pria tersebut.

Yang lain langsung ber-oh-ria dan paham kenapa pria dengan ketampanan paripurna serta usia terbilang muda bisa menjadi seorang pemimpin perusahaan, ternyata dia adalah putra pemilik bisnis itu sendiri.

Lyra masih tertunduk, dia terlalu takut untu mengangkat kepala.

"Memang benar, saya jauh lebih muda dari pimpinan sebelumnya, tapi percayalah saya bisa menjalankan tanggung jawab besar ini sebaik mungkin." Ucap Aldrich. "Saya bertujuan ingin memajukan perusahaan ini, tapi melihat kedisiplinan yang terjadi membuat saya ragu bisa mencapai hal itu. Untuk kedepannya, saya akan menindaktegas keterlambatan atau kelalayan lainnya, hal sepele akan jadi besar kalau menjadi sebuah kebiasaan." Aldrich menatap ke arah Lyra yang semakin tertunduk karena merasa tersindir.

Aldrich masih mengingat Lyra dengan jelas. Baru 2 hari yang lalu ia menolong gadis itu dan sekarang memarahinya, hidup memang tidak bisa diprediksi.

"Baiklah, itu saja." Ucap Al. "Dan kamu, Lyra, temui saya di ruangan." Ujarnya yang kemudian berlalu.

Lyra mengangkat wajahnya tepat ketika Aldrich berbalik, ia hanya bisa menelan semua pembelaan diri dan menatap punggung tegap itu berlalu.

Seseorang menepuk bahunya pelan, dia, Kehlani, teman yang paling dekat. Dan kebetulan mereka tinggal di lingkungan yang sama, apartemen yang mereka sewa berada di satu gedung. Bedanya adalah Kehlani tinggal bersama suami sedangkan Lyra sendirian. Ya, sebagian besar rekan kerjanya sudah berumah tangga dan paling tidak sudah memiliki kekasih.

Lyra tidak begitu peduli, dirinya hanya fokus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang sebatangkara. Ia benar-benar sendirian setelah Tante yang menjadi pengganti orangtuanya meninggal dunia saat Lyra baru memasuk perguruan tinggi. Lyra mulai merasa kesepian hingga asal memilih kekasih, seperti Blake. Pria yang sudah berkali-kali menghancurkan hatinya hingga membuat Lyra takut untuk memercayakan lagi hatinya pada seseorang.

Lutut Lyra terasa lemas, ia pun duduk sambil menelungkup di atas meja.

"Ra, tenang ... Gak usah takut. Sana, temuin dulu pak Al. Dia ganteng loh, itung-itung cuci mata. Dimarahin bentarmah gak pa-pa."

Ucapan Kehlani membuat Lyra tertawa sendiri. Menertawakan nasib buruk dan mengubah tragedi menjadi komedi sudah menjadi kebiasaan bagi Lyra karena itu membuat semuanya terasa jauh lebih mudah untuk dilalui.

Lyra berdiri sambil menarik nafas, "By the way, Lan, pak Manajer kok gak keliatan? Pak Darmawan-mah kebiasan deh, di waktu-waktu kayak gini suka gak masuk." Ia kesal sendiri karena kalau Manajernya tidak masuk, maka Lyra lah yang bertanggung jawab secara penuh.

"Udah, jangan dulu mikirin yang lain. Sekarang, lo temuin pak Aldrich, takutnya dia makin marah kalo nunggu lama." Kata Kehlani mengingatkan.

Lyra mengangguk, kemudian berlalu dari ruang divisinya dengan diiringin kalimat-kalimat semangat dari rekan-rekan lainnya.

"Semangaaat Ra!"

"Siap!" Sahut Lyra dengan senyumannya yang seperti biasa.

Lelah? Tentu saja. Ingin berhenti? Sudah terpikirkan berkali-kali. Tapi demi gaji, Lyra bisa bertahan jauh lebih lama lagi. Apalagi mengingat kalau mencari pekerjaan itu sangatlah sulit, alasannya untuk tetap bertahan pun semakin kuat saja.

Sedangkan di sisi lain, Aldrich mulai mengamati beberapa berkas yang sebelumnya ia minta dari sekretaris perusahaan. Seperti yang Ayahnya beritahukan, perusahaan sedang mengalami penurunan, maka Al ingin mencari tahu apa penyebab dan jalan keluar seperti apa yang harus dirinya ambi melalui beberapa laporan dari data sampai evaluasi karyawan.

Dan, satu-satunya orang yang dirinya kenal hanyalah Lyra, ia bisa meminta bantuan gadis itu untuk mencari tahu beberapa atau melaporkan hal yang mencurigakan dari rekan-rekan kerjanya.

Aldrich mengalihkan perhatiannya dari kertas-kertas di depan meja ketika ada yang mengetuk pintu ruang kerjanya.

Ia pun beranjak dari kursi untuk membuka pintu yang sengaja dirinya kunci dari dalam.

Ceklek.

Pintu terbuka, menampilkan wajah Lyra yang tampak kaget dengan mulut terbuka.

"Anda ... Tu--tuan yang memban--"

"Masuklah."

Dengan masih tak percaya Lyra pun masuk ke dalam ruang kerja khusus atasannya yang untungnya berada di lantai yang sama jadi ia tidak perlu berlelah-lelah naik-turun lift.

"Lyra," panggil Al.

Lyra yang sedang sibuk dengan pikirannya terjengit kecil yang kemudian berdiri di hadapan Al, hanya terpisah oleh meja saja.

"Silakan duduk," ucap Al.

"Terima kasih." Lyra pun duduk, ia masih merasa bingung dan tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi.

Dang.

Tidak! Jika orang yang menolong dirinya adalah Bosnya sendiri, berarti ... malam itu Lyra telah memuntahi pimpinan perusahaan, orang terpenting di tempatnya bekerja.

Lyra menunduk malu, "Pantas saja aku sampai dipanggil padahal hanya terlambat seben--memang salah sih walaupun itu keterlambatan pertamaku. Aaaaah!!" Hatinya sedang meratapi kemalangannya sendiri.

"Lyra--"

"Pak!"

Aldrich terkejut karena Lyra tiba-tiba memotong kalimatnya dengan sedikit sentakan yang agak bergetar, suara gadis itu terdengar takut.

Lalu, Lyra tiba-tiba berdiri di atas kedua lututnya, tangannya mengatup dengan wajah yang memelas. Aldrich hanya menatapnya, bingung. Terlalu tiba-tiba untuk mengetahui maksud Lyra bertindak seperti itu.

"Pak, tolong maafkan saya atas kejadian malam itu ... Jangan pecat saya, itu--itu tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan. Saya terlalu mabuk dan--ah ya Tuhan ... Pak, saya mohon."

Malam itu? Ya, Al ingat. Al tersenyum sambil beranjak dari kursi, menghampiri Lyra yang masih berlutut, meminta Aldrich untuk memaafkan kesalahannya di malam tahun baru.

Aldrich mengulurkan tangan kanannya, membuat Lyra diam dengan ekspresi kebingungan. Setelah beberapa saat saling memandang, Lyra pun menerima uluran tangan Al untuk membantu dirinya berdiri.

"Apa Bapak akan melupakan semua--"

"Tidak, untuk pertama kalinya seseorang berani memuntahiku." Kata Al seraya menarik tangannya kembali setelah Lyra berdiri.

Lyra menghela nafas lesu, merutuki kebodohannya sendiri. "Saya memang ceroboh ...." Lirihannya terdengar pasrah. "Bapak boleh menghukum saya, apapun itu, asal jangan dipecat ...." Mohonnya.

Menghukum? Aldrich tidak pernah memiliki niatan itu, dia memanggil Lyra karena untuk meminta kerja samanya. Pantas saja gadis itu terlihat terkejut dan takut ketika beradu pandang di depan pintu.

Ditatapnya Lyra yang masih menunduk begitu dalam. Ingatan Aldrich tentang kejadian di malam tahun baru mengenai gadis itu tergambar dengan jelas. Satu hal yang Al tutupi, yaitu tangisan Lyra saat mengigau di samping dirinya. Tangisan gadis itu begitu lirih, terdengar menyakitkan, membuat Al tidak tega dan memberikan pelukannya secara percuma, itu berhasil membuat Lyra tenang dalam tidurnya hingga pagi menjelang.

Sudah, cukup. Al harus berhenti mengingat dan mulai fokus pada tugasnya saat ini.

"I need your help, maka aku akan memaafkanmu." Ucap Al.

Lyra menatapnya tak percaya.

"Kenapa? Tidak ingin?"

Lyra menggeleng, kemudian mengangguk cepat. "Saya ingin, kenapa Bapak tidak sabaran sekali. Baiklah, apa yang harus saya lakukan?"

"Ada hal yang aneh dengan data input keungan, outputnya juga. Ada beberapa jumlah yang tidak masuk akal." Ujar Aldrich sembari menunjuk beberapa berkas yang menumpuk di atas meja kerjanya, terlalu banyak untuk hari pertama bekerja.

Lyra masih tidak paham. "Jadi, saya harus--"

"Ya, cari tahu apakah ada yang sengaja menggelapkan dana diantara rekan-rekan kerja kamu." Ucap Al.

"Ha?! Maaf Pak, apa saya harus mencurigai rekan-rekan kerja saya sendiri? Saya tidak tahu bisa melakukan itu atau tidak, saya tidak pandai mencari tahu rahasia." Lyra menggeleng pelan.

Aldrich mengangguk. "Apa saya harus mencurigai kamu?" Wajah tampan itu mendekat dengan begitu tiba-tiba membuat Lyra refleks menarik diri.

"Tidak! Baiklah, akan saya terima. Ta--tapi bagaimana caranya ...?" Lyra tidak memiliki pilihan, Aldrich bukan CEO biasa, dia putra pemilik perusahaan yang akan mudah memecat pegawai jika dirinya mau.

"You-- kamu merupakan karyawan, akan lebih mudah untuk melakukan pendekatan. Terutama Darmawan, Manager perencanaan, karena kamu asistennya." Ucap Al dengan tangan kanan yang dimasukan ke dalam saku celana.

Ternyata, Al sudah menaruh curiga pada beberapa orang di perusahaan. Seharusnya tugas Lyra tidak akan terlalu sulit kalau tahu siapa saja targetnya. Memikirkan itu, Lyra mengangguk paham.

"Jadi, Pak CEO sudah mencurigai beberapa orang ya. Kenapa tidak langsung Bapak panggil saja mereka?" Tanya Lyra.

Aldrich berjalan ke arah jendela, lalu tersenyum hambar. "Manajer di divisi kamu, Om Darmawan masih memiliki hubungan kerabat denganku. Ayahku, Herdinan Tama Wicaksana tidak akan suka kalau aku menyerang saudaranya tanpa bukti." Ucapnya. Aldrich juga tidak ingin menambah beban pikiran sang Ayah yang sedang tidak sehat karena penyakit jantungnya.

Sekarang Lyra mengerti. Lalu, tersenyum karena jika sang manager terbukti bersalah maka ia akan berhenti melihat pria tua yang mesum itu. Ya, sejak awal menjadi asisten manajer Darmawan sudah sangat menekan Lyra. Pria paruh baya itu suka mengelus lengan atau punggung bahkan bagian belakang tubuh Lyra dengan dalih tak sengaja. Yang lebih parahnya lagi, Manajer Darmawan selalu menimpahkan hampir seluruh tugasnya untuk Lyra kerjakan dan pria itu bersenang-senang di luar.

Al menyadari senyuman tipis yang langsung Lyra tepis dari wajahnya.

"Saya rasa, kamu akan menjalankan misi rahasia ini." Ucap Al.

"Misi rahasia? Woah ... Tentu saja! Tapi, bagaimana jika saya ketahuan sebelum memdapatkan bukti apapun? Pak Darmawan, dia pasti akan sangat marah. Dia mungkin akan--"

Al berjalan menghampiri Lyra yang terlihat khawatir. "I'm with you. So, are you with me too? Demi kebaikan perusahaan."

Lyra menatap uluran tangan Aldrich yang menunggu balasan dan resmi bekerja sama. Ia mengangkat kepala, ditatapnya kedua mata Al dengan seksama, memastikan tidak ada kebohongan di dalamnya.

Namun, bukan kebohongan yang terlihat, Lyra justru terpana dengan keindahan mata CEO perusahaannya itu. Kelopak matanya terpahat indah dengan manik mata coklat keemasan, tampak berkilau. Bulu matanya! Bulu mata yang sangat Lyra idam-idamkan, sangat lentik dan tebal.

"Are you in?"

Pertanyaan itu menyadarkan Lyra dari rasa kagum, ludahnya mendadak sulit untuk ditelan, seakan sudah tertangkap basah.

Lyra mengatur kegugupannya, kemudian menjabat uluran tangan Aldrich sambil tersenyum. "I'm in." Ucapnya pasti.

Al menarik tangannya kembali. "Bagus. Kau boleh pergi dan pastikan jangan datang terlambat lagi. Saya tidak akan mentolerirnya di lain hari."

Lyra mengangguk paham. "Terima kasih, Pak. Saya permisi, karena pak Manajer Darmawan sedang tidak masuk, saya akan coba mengecek di ruangannya. Siapa tahu saya menemukan sesuatu yang berguna di sana."

"Semoga berhasil." Al mengangkat tangannya dan mempersilakan Lyra untuk pergi.

Lyra pergi dengan perasaan yang campur aduk, ada senang karena tidak dimarahi, namun juga takut karena harus menjalankan misi rahasia. Sulit sekali untuk menolak, CEO barunya terlihat sangat disiplin, Lyra takut dipecat. Sudah bertahan cukup baik bekerja dibawah arahan pria mesum yang selalu menggoda dirinya, masa iya harus dipecat juga pada akhirnya. Itu terlalu menyakitkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status