Share

cepat 6

Author: ananda zhia
last update Last Updated: 2025-04-06 13:30:30

Arman terdiam, memandang sesajen di ruang tamunya dengan pandangan tak percaya. Ayahnya berdiri di sampingnya, menutup hidung sambil sesekali memandangi pintu dan jendela rumah.

“Pintunya terkunci, kan?” tanya Ayahnya dengan suara rendah namun tegas.

Arman mengangguk, lalu segera memeriksa kunci pintu utama. Setelah memastikan kuncinya masih dalam keadaan terkunci rapat, ia bergegas menuju jendela, memeriksa satu per satu dengan hati-hati. Tidak ada yang terbuka. Semuanya terkunci dari dalam.

“Tidak mungkin ada yang masuk, Yah,” ujar Arman, suaranya bergetar. “Tapi kalau tidak ada yang masuk, bagaimana benda ini bisa ada di sini?”

Ayahnya menatap sesajen itu dengan mata tajam. Wajahnya memancarkan kecemasan yang ia coba sembunyikan. “Ini pertanda buruk. Rumah ini sudah tidak aman lagi, Arman.”

Arman menggigit bibir, menahan gejolak di dadanya. Ia tahu Ayahnya jarang berbicara seperti itu. “Kalau begitu, aku harus pergi dari sini malam ini.”

“Ya,” jawab Ayahnya cepat. “Ambil barang-barang yang kau butuhkan untuk ke kantor besok. Kita pulang ke rumah Ayah.”

Tanpa membuang waktu, Arman menuju kamar dan mengemasi pakaian serta dokumen penting. Tak lupa dia menyiapkan seragam dan buku Asha. Kepalanya masih penuh dengan pertanyaan: siapa yang melakukan ini? Bagaimana mereka bisa masuk? Dan yang paling penting, kenapa ini terjadi pada Siska?

Sebelum meninggalkan rumah, Arman melirik sekali lagi ke arah sesajen di ruang tamu. Ada rasa takut, tapi juga dorongan untuk melindungi keluarganya. “Kita pergi sekarang, Yah.”

Ayahnya mengangguk. “Tinggalkan lampu menyala. Biar terlihat ada orang di rumah. Tunggu, lebih baik kita bereskan dulu sesajen yang tidak jelas ini. Hawa rumah kamu tidak enak," saran Ayah Arman.

"Baiklah. Arman bereskan dulu, Yah. Tapi sebelum itu, lebih baik Arman foto dulu semua sesajen dan tulisan ini untuk berjaga - jaga, barangkali nanti diperlukan saat kita melapor ke polisi," ujar Arman.

Ayahnya berpikir sejenak. "Apa kamu yakin akan membawa masalah ini ke polisi? Ini sepertinya berkaitan dengan hal ghaib, mana mungkin polisi percaya hal seperti ini?" tanya ayahnya. "Apalagi tidak ada nyawa yang terancam. Kalaupun mengancam nyawa, hal itu sangat di luar nalar."

"Huft, ayah benar. Entahlah, Arman bingung, Yah," ujar Arman sambil memasukkan bangkai ayam ke dalam kantung plastik untuk dibuang di tempat sampah halaman depan.

"Mungkin kamu harus memberitahu pak RT di sini dan mengusulkan untuk membentuk siskamling. Walaupun rumah kamu di perumahan yang ada satpamnya, sepertinya satpam hanya formalitas saja, yang tidak meminta tanda bukti diri saat masuk ke dalam perumahan ini," saran ayah Arman.

Arman manggut-manggut.

"Yah, nanti aku diskusikan dengan pak Darto. Sekarang sudah terlalu malam untuk bertamu," sahut Arman.

~~

Sesampainya di rumah ayahnya, Arman dan ayahnya mengetuk pintu rumah, tak lama kemudian pintu rumah terbuka perlahan dari dalam.

"Den Arman, pak Hadi," ujar mbok Darmi, asisten rumah tangga orang tua Arman sambil membukakan pintu depan lebih lebar.

Arman dan Hadi, ayahnya tersenyum dan masuk ke dalam rumah.

"Ibu sudah tidur, Mbok?" tanya Arman sambil meletakkan tas besar berisi bajunya dan baju sekolah Asha.

Bi Darmi mengangguk.

"Sudah, Den. Ibu sudah tidur dengan non Asha," ujar mbok Darmi.

"Oh, ya sudah. Tolong bantu bawakan tas ini ke kamar tamu. Malam ini saya tidur di sini. Dan tolong buatkan teh hangat, Mbok! Saya lelah sekali," ujar Arman sambil memijat pelipisnya. Dia memang belum istirahat sejak tadi.

Perusahaannya memang sedang mengalami penurunan pesanan, karena itu sebagai kepala bagian promosi, Arman selalu berusaha untuk meningkatkan iklan produknya agar diterima oleh masyarakat.

Arman melangkah ke kamar ibunya. Dia melihat wajah tenang anaknya yang tertidur, hati Arman sedikit lega. Setidaknya anaknya tidak melihat apa yang terjadi malam ini.

“Istrimu akan baik-baik saja,” ucap ibunya pelan, seolah mencoba menenangkan. “Tapi kau harus kuat.”

Arman hanya mengangguk, menahan semua yang ingin ia ceritakan. Ia tidak ingin ibunya panik.

Tapi ibunya seakan menangkap sesuatu yang berbeda dari sang anak. Wajah Arman yang gelisah, cukup membuat ibunya tahu jika ada hal buruk yang terjadi.

"Arman, ada apa? Apa ada sesuatu yang salah? Atau ada hal buruk yang terjadi?" tanya ibunya cemas.

Arman menghela napas panjang, dan menatap ibunya dengan ragu.

"Bu, bisakah kita bicara di luar? Biarkan Asha tidur di kamar ini terlebih dulu," ujar Arman lirih.

Ibu Arman melirik perlahan ke arah sang cucu yang sedang terlelap, lalu mengangguk. Arman keluar terlebih dulu dari kamar Asha, lalu menuju ke ruang tengah.

"Ada apa?" tanya ibunya setelah mereka duduk berhadapan. Arman lalu menceritakan semua yang dialaminya. Tentang yang terjadi di rumah sakit, maupun di rumahnya sendiri. Ibunya mendengarkan dengan tercengang.

"Ini di luar nalar, Arman!" seru ibunya tak percaya. "Ibu tidak pernah mendengar atau melihat sesuatu yang berbau klenik atau ghaib seperti ini," sambung ibunya lagi.

Arman pun mengedikkan bahunya.

"Aku pun tak percaya, Bu. Tapi itulah yang terjadi. Mungkin besok setelah pulang dari kantor, aku akan menjenguk Siska dan memberi tahu kan peristiwa yang terjadi pada pak Ahmad serta meminta pendapat beliau," ujar Arman pada ibunya.

Ibunya mengerutkan keningnya. "Apa tidak lebih baik jika kamu lapor polisi, Man? Mungkin pak Ahmad yang seperti kata kamu itu bisa memberi saran tentang kejadian aneh pada Siska. Tapi kalau ada orang membobol masuk ke dalam rumahmu dalam keadaan semua pintu dan jendela yang terkunci rapat, menurut ibu, itu adalah wewenang polisi," saran ibu Arman.

Arman menghela napas panjang. "Lalu apa polisi percaya begitu saja dengan keterangan kita? Apalagi apa yang terjadi di rumahku masih tidak membahayakan nyawa. Arman ragu kalau laporan Arman akan dipertimbangkan oleh polisi," ujar Arman bingung.

Ibunya menghela napas panjang.

"Ya sudahlah, terserah kamu saja jika ingin membicarakan masalah ini dengan pak Ahmad. Ibu hanya berharap apapun yang sedang menimpa kamu segera selesai," ujar ibu Ahmad. Ahmad tersenyum dan mengamini.

"Apa aku harus memberi tahu papi dan mami, Bu?" tanya Arman menatap ibunya dengan bingung.

Ibu Arman berpikir sejenak.

"Tentu saja. Bukankah metuamu itu harus tahu, Man? Agar mereka juga bisa mencarikan solusi. Dan ibu juga tidak enak kalau tidak bilang ke mami, tapi malah mami tahu kondisi Siska baru saja operasi. Apalagi keadaan istri kamu sepertinya parah," saran ibu Arman.

Arman manggut - manggut. Dalam hati setuju dengan saran ibunya.

"Besok bagaimana dengan sekolah Asha?" tanya ibu Arman. "Apa dia tetap masuk sekolah?"

Arman mengangguk. "Ya, Arman pikir dia lebih aman di sekolah yang ramai daripada di rumah yang sepi," ujar Arman.

"Oke. Kalau begitu, biar Asha berangkat ke sekolah bareng kamu masuk kantor, dan pulangnya biar mbok Darmi yang jemput. Ibu kan paginya ke toko," sahut Ibu Arman.

"Iya. Begitu juga tidak apa - apa. Yang penting, Asha ada temannya. Ibu dan Ayah bisa gantian ke rumah sakit setelah pulang dari ngasir di toko saja," saran Ahmad.

Orang tua Arman mempunyai toko sembako di pasar yang selalu ramai pembeli. Mereka bergantian memegang kasir tokonya. Sedangkan untuk melayani pembeli dan menjaga kebersihan toko, mereka mempunyai karyawan.

Arman menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan berganti baju, pikirannya mengelana ke hidupnya yang dirasa langsung berubah dalam sehari ini. Ada apa sebenarnya? Apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah tangganya? Mendadak tercium aroma belerang yang terbakar bercampur dengan aroma busuk bangkai.

Lelaki itu segera mengusap sabun di wajahnya dengan jantung berdebar lebih kencang. Mendadak angin berhembus di sekitar lehernya. Tepat saat membuka mata, Arman melihat bukan wajahnya yang terpantul di cermin yang tergantung di kamar mandi. Melainkan sesosok perempuan dengan wajah rusak, bermata merah, dengan bibir yang tersenyum lebar sampai telinga. Beberapa tetes d ar ah mengalir dari matanya. Rambutnya panjang terurai penuh dengan darah dan tanah. Sesaat rambutnya tersibak menampilkan telinga sebelah kanan yang nyaris putus.

Arman nyaris berteriak, tapi beberapa detik kemudian dia melotot.

"Kamu ... Ais? Aisyah? Tidak mungkin!" tanya Arman terbata. Dia menelan ludah. Mendadak bayangan di cermin itu menangis dan berteriak tanpa suara. Dan sebelum Arman sempat berpikir apa yang akan dilakukannya, sepasang tangan hitam yang berbau busuk keluar dari kaca dan menc e k ik leher Arman!

Next?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN!    cepat 6

    Arman terdiam, memandang sesajen di ruang tamunya dengan pandangan tak percaya. Ayahnya berdiri di sampingnya, menutup hidung sambil sesekali memandangi pintu dan jendela rumah. “Pintunya terkunci, kan?” tanya Ayahnya dengan suara rendah namun tegas. Arman mengangguk, lalu segera memeriksa kunci pintu utama. Setelah memastikan kuncinya masih dalam keadaan terkunci rapat, ia bergegas menuju jendela, memeriksa satu per satu dengan hati-hati. Tidak ada yang terbuka. Semuanya terkunci dari dalam. “Tidak mungkin ada yang masuk, Yah,” ujar Arman, suaranya bergetar. “Tapi kalau tidak ada yang masuk, bagaimana benda ini bisa ada di sini?” Ayahnya menatap sesajen itu dengan mata tajam. Wajahnya memancarkan kecemasan yang ia coba sembunyikan. “Ini pertanda buruk. Rumah ini sudah tidak aman lagi, Arman.” Arman menggigit bibir, menahan gejolak di dadanya. Ia tahu Ayahnya jarang berbicara seperti itu. “Kalau begitu, aku harus pergi dari sini malam ini.” “Ya,” jawab Ayahnya cepat. “Ambil bar

  • CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN!    cepat 5

    Jeritan perawat itu menggema di sepanjang lorong, membuat suasana rumah sakit yang semula tenang berubah mencekam. Arman, Ayahnya, dan Pak Ahmad segera berdiri, langkah mereka tertuju pada pintu ruang ICU yang kini terbuka sedikit. Seorang perawat berlari keluar dengan wajah pucat pasi, napasnya terengah-engah. “Ada apa, Sus?” tanya Arman, mencoba menahan rasa paniknya. “Pasien—istri Bapak,” perawat itu terisak, suaranya bergetar. “Dia… dia tiba-tiba bangun dan berteriak. Padahal dia belum sadar penuh dari operasi. Tangan dan kakinya bergerak tidak terkendali… seolah-olah ada sesuatu yang menggerakkan tubuhnya. Padahal seharusnya pasien masih dalam pengaruh obat bius pasca operasi.” Pak Ahmad melangkah maju, wajahnya dingin namun serius. “Saya harus masuk. Ini bukan sekadar efek medis.” “Pak, kami tidak bisa mengizinkan sembarang orang masuk ke ruang ICU,” kata perawat itu, meskipun tubuhnya gemetar. “Saya tahu apa yang saya lakukan,” ujar Pak Ahmad dengan nada tegas. “Percayala

  • CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN!    cepat 4

    Lorong rumah sakit terasa semakin dingin saat Arman, Ayahnya, dan Ibu Arman menghentikan langkah mereka. Bayangan hitam yang tadi dilihat oleh Asha masih terpatri di benak Arman. Namun, perhatian mereka kini tertuju pada pria paruh baya yang berdiri di depan mereka. Dengan kemeja putih lusuh dan peci di atas kepalanya, pria itu tampak serius namun tenang.“Bapak dan keluarga maaf kalau saya mengganggu,” ucap pria itu sambil menundukkan kepalanya sedikit. “Saya Pak Ahmad. Saya juga wali pasien di rumah sakit ini. Tapi saya tidak bisa diam melihat situasi keluarga Bapak tadi di lorong.”Arman menatap pria itu dengan ragu. Ia merasakan dorongan kuat untuk menolak berbicara dengannya, namun ada sesuatu di tatapan pria itu—kejujuran dan ketegasan yang sulit diabaikan. Ayahnya, di sisi lain, menyipitkan mata, mencoba menilai niat Pak Ahmad.“Kami sedang tidak ingin berbicara dengan orang asing, Pak,” ujar Ayahnya datar, memalingkan wajah.Pak Ahmad mengangguk, tidak terlihat tersinggung. “S

  • CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN!    cepat 3

    Darah hitam kental itu menyembur dari mulut Siska, memercik ke lantai dan dinding, meninggalkan aroma busuk yang menusuk. Tubuhnya terhuyung ke belakang, lalu terjatuh dengan suara gedebuk keras. Kepalanya menghantam lantai, membuat semua orang di ruangan itu menahan napas.“Siska!” Arman berlari mendekati tubuh istrinya, tetapi Ayahnya dengan cepat menariknya mundur.“Jangan sentuh dia, Arman!” seru Ayahnya, suaranya penuh perintah dan kepanikan.Siska terbaring tak bergerak, wajahnya memucat seperti mayat. Napasnya hampir tak terdengar, sementara tubuhnya gemetar, seperti tersiksa oleh sesuatu yang tak kasat mata. Ibu Arman segera mengambil selimut yang terlipat di sofa, menutupinya untuk menghangatkan tubuhnya yang mulai dingin.“Kita harus membawanya ke rumah sakit sekarang!” ujar Ayahnya.Arman mengangguk, masih gemetar. Ia mengulurkan tangan untuk membantu mengangkat Siska, tetapi tubuh istrinya terasa sangat berat, seolah ada sesuatu yang menahan mereka. Butuh seluruh kekuatan

  • CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN!    cepat 2

    Arman berlari ke arah Asha, namun bayangan hitam itu bergerak cepat, menempel di dinding, dan menyerangnya dengan gerakan yang tidak manusiawi. Sebelum ia sempat meraih Asha, tangan panjang Siska mencengkeram tubuhnya, menariknya dengan kekuatan yang tak terkira. Arman berusaha melawan, meronta, namun cengkeraman itu semakin kuat, hampir membuat tulangnya retak.Siska melemparkan Arman sampai punggung Arman beradu dengan dinding rumah. Dan dengan gerakan secepat kilat, Siska menatap ke arah Asha, anaknya, tertawa menyeringai, lalu mencekik Asha hingga tubuh sang anak terangkat jauh di atas lantai. Pekikan ketakutan Asha bercampur dengan tawa menyeramkan dari Siska. “Asha!” teriak Arman sekali lagi, mengulurkan tangan dengan sisa kekuatan yang dimilikinya.Namun Asha mulai terdiam, sementara itu warna bola mata Siska semakin menghitam. Siska menatap Asha dengan penuh kebencian, dan Arman tahu bahwa ada kekuatan gelap yang menguasai istrinya. Ini bukan lagi Siska yang ia kenal. Ini ad

  • CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN!    cepat 1

    CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN! "Pa, cepat pulang! Mama jadi setan!"Suara itu melengking di ujung telepon, membuat Arman terlonjak dari tidur. Jantungnya berdegup kencang, tangan menggenggam ponsel begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia menatap layar yang berkedip-kedip, menampilkan nama putrinya, Asha, yang baru berusia tujuh tahun.“Asha? Apa maksudmu?” tanyanya tergesa-gesa, suaranya serak karena baru terbangun.“Mama… Mama aneh, Pa. Matanya merah, suaranya kayak orang lain. Dia nyebut-nyebut nama yang aku nggak ngerti,” Asha terdengar terisak. “Pa, aku takut…”Detik itu juga Arman tahu, ini bukan sekadar mimpi buruk. Asha bukan tipe anak yang suka bercanda, apalagi di saat dia sibuk bekerja. Ada sesuatu yang salah.“Dengar, Nak, jangan mendekat ke Mama, ya? Kamu sembunyi di kamar dan kunci pintunya. Papa akan pulang sekarang juga,” ujar Arman, suaranya gemetar namun berusaha terdengar tenang.“Tapi… Mama ada di depan pintu kamar aku sekarang, Pa…” suara Asha nyaris

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status