Share

cepat 5

Author: ananda zhia
last update Last Updated: 2025-04-06 13:29:30

Jeritan perawat itu menggema di sepanjang lorong, membuat suasana rumah sakit yang semula tenang berubah mencekam. Arman, Ayahnya, dan Pak Ahmad segera berdiri, langkah mereka tertuju pada pintu ruang ICU yang kini terbuka sedikit. Seorang perawat berlari keluar dengan wajah pucat pasi, napasnya terengah-engah.

“Ada apa, Sus?” tanya Arman, mencoba menahan rasa paniknya.

“Pasien—istri Bapak,” perawat itu terisak, suaranya bergetar. “Dia… dia tiba-tiba bangun dan berteriak. Padahal dia belum sadar penuh dari operasi. Tangan dan kakinya bergerak tidak terkendali… seolah-olah ada sesuatu yang menggerakkan tubuhnya. Padahal seharusnya pasien masih dalam pengaruh obat bius pasca operasi.”

Pak Ahmad melangkah maju, wajahnya dingin namun serius. “Saya harus masuk. Ini bukan sekadar efek medis.”

“Pak, kami tidak bisa mengizinkan sembarang orang masuk ke ruang ICU,” kata perawat itu, meskipun tubuhnya gemetar.

“Saya tahu apa yang saya lakukan,” ujar Pak Ahmad dengan nada tegas. “Percayalah, kalau ini dibiarkan, kondisinya bisa semakin parah.”

Arman menatap perawat itu, memohon dengan tatapan mata yang penuh ketakutan dan harapan. “Tolong, biarkan dia membantu. Kalau ada yang bisa menyelamatkan istri saya, saya ingin mencobanya.”

Setelah ragu sejenak, perawat itu akhirnya mengangguk. “Baik, tapi hanya Bapak ini yang boleh masuk.”

Pak Ahmad mengangguk, melirik Arman dan Ayahnya. “Doakan saya.”

Ahmad lalu masuk ke dalam ruang ICU setelah memakai stelan yang telah diberikan oleh perawat. Beruntung saat itu pasien ICU hanya ada Siska.

Di dalam ruang ICU, tubuh Siska tampak tergeletak di ranjang dengan selang infus dan alat bantu pernapasan. Namun, tubuhnya bergerak-gerak tidak wajar, seperti ada tangan tak terlihat yang sedang menarik-nariknya. Jari-jarinya mencengkeram selimut dengan kekuatan yang tidak normal untuk seseorang yang baru saja selesai dioperasi.

Pak Ahmad mendekat, pandangannya terfokus pada wajah Siska yang memucat. Bibir Siska bergerak-gerak tanpa suara, tetapi saat Pak Ahmad lebih dekat, ia mendengar bisikan yang terdengar seperti bahasa asing. Matanya menyipit. Jin itu benar-benar sedang menguasai tubuhnya.

“Bismillah,” gumam Pak Ahmad, lalu ia mulai melantunkan doa dengan suara pelan namun penuh keyakinan.

Seketika tubuh Siska menggeliat lebih keras. Matanya terbuka lebar, tetapi bukan mata yang dikenal Arman. Bola matanya merah, dengan tatapan yang tidak manusiawi. Dari mulutnya keluar suara tawa rendah yang menggema di ruangan itu.

“Kau pikir kau bisa mengusirku?” suara itu terdengar berat dan mengerikan, bukan suara Siska. “Tubuh ini milikku sekarang. Kau terlambat.”

Pak Ahmad tidak gentar. Ia terus melantunkan doa, suaranya semakin lantang. Tangan kanannya terangkat, menunjuk ke arah dahi Siska. Tubuh Siska terangkat dari ranjang pasien, melayang, membuat perawat yang mengintip dari pintu menjatuhkan clipboard-nya.

Arman berdiri tegang di depan pintu ruang ICU, mencoba mendengar apa yang sedang terjadi di dalam. Namun, suara-suara dari dalam ruangan membuat tubuhnya merinding. Ia bisa mendengar tawa mengerikan yang tidak mungkin berasal dari istrinya.

“Yah, aku tidak tahu apakah ini benar atau tidak. Tapi kalau benar ada sesuatu di tubuh Siska…” Arman menggantungkan kalimatnya, memandang Ayahnya dengan panik.

Ayahnya menghela napas panjang. “Aku juga tidak percaya dengan hal-hal seperti ini. Tapi… apa yang kita dengar tadi…” Ia tidak melanjutkan, hanya menggelengkan kepalanya.

Mereka berdua kembali diam, menunggu dengan penuh ketegangan.

Di Dalam Ruang ICU, Pak Ahmad masih berhadapan dengan Siska. Suaranya semakin keras, sementara tubuh Siska tampak kehilangan kontrol total. Jin di dalam tubuh Siska kini mulai berbicara lebih jelas.

“Manusia bodoh,” desisnya. “Kau tidak tahu siapa yang mengirimku. Dan kau tidak akan bisa mengusirku. Aku akan menghancurkan semuanya. Keluarganya, anaknya, dan hidupnya. Semua akan hancur.”

Pak Ahmad berhenti sejenak, memandang Siska dengan tatapan tajam. “Siapa yang mengirimmu?” tanyanya dengan nada penuh tekanan.

Jin itu tertawa, suara rendahnya menggema di ruangan. “Kau pikir aku akan memberitahumu? Itu rahasia majikanku. Tapi aku akan memberimu petunjuk kecil…”

Tiba-tiba tubuh Siska terhenti. Jin itu berbicara dengan suara yang lebih dingin. “Aku dikirim oleh seseorang yang sangat dekat dengan keluarga ini. Seseorang yang kau percayai.”

Jin itu melayang di udara dan tertawa terbahak, infusnya terlepas membuat darah mengalir dari tangannya.

Pak Ahmad mengernyit, mencoba memahami kata-kata itu. Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, tubuh Siska kembali bergerak liar. Jin itu berusaha melawan doa-doa yang terus dibacakan Pak Ahmad.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, tubuh Siska akhirnya melemas. Terjatuh kembali ke ranjang pasien. Matanya kembali tertutup, napasnya teratur meskipun lemah. Pak Ahmad menghela napas panjang, menyeka keringat di dahinya.

Namun, ia tahu ini belum selesai. Jin itu mungkin hanya sementara melemah.

Setelah memastikan kondisi Siska yang sedang pingsan, Pak Ahmad keluar dari Ruang ICU. Arman langsung menghampirinya. “Bagaimana, Pak? Apa yang terjadi di dalam?”

Pak Ahmad menatap Arman dengan serius. “Jin itu masih ada. Saya hanya bisa melemahkannya untuk sementara. Tapi kita harus melakukan pengobatan lebih mendalam.”

Arman tampak putus asa. “Apa yang harus saya lakukan, Pak? Apa yang Bapak maksud dengan ‘pengobatan lebih mendalam’?”

Pak Ahmad menggenggam bahu Arman, menatap matanya dengan penuh empati. “Kita harus mengusir jin itu sepenuhnya. Dan untuk melakukannya, saya butuh kerja sama seluruh keluarga. Saya juga butuh waktu untuk mempersiapkan doa-doa yang lebih kuat. Sementara itu, jaga istrimu. Jangan biarkan dia sendirian.”

Arman mengangguk, meskipun hatinya penuh kecemasan. Ia memandang ke arah ruang ICU, di mana Siska kini terbaring dengan tenang. Namun, ketenangan itu terasa seperti badai yang menunggu untuk meledak.

Malam itu, Arman kembali ke rumah bersama Ayahnya. Namun, saat mereka membuka pintu rumah, sebuah aroma menyengat langsung menyeruak ke dalam hidung mereka.

“Apa ini?” gumam Ayahnya, menutup hidung dengan tangannya.

Arman menyalakan lampu, dan pemandangan yang mereka lihat membuat darah mereka membeku. Di ruang tamu, ada sesajen dengan ayam hitam yang telah disembelih, diletakkan di atas kain hitam dengan simbol-simbol aneh yang digambar menggunakan darah.

Di atas meja, ada secarik kertas dengan tulisan yang membuat tubuh Arman gemetar:

“Kami belum selesai.”

Next?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN!    cepat 28 C

    Di sisi lain, Arman—seorang duda beranak satu yang juga memiliki latar belakang pendidikan tinggi—sering memperhatikan Dinda. Awalnya, ia hanya menghargai kecerdasannya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kekaguman. Perasaan itu membuatnya gelisah. Ia pun memutuskan untuk berbicara dengan ibunya, Ayu."Ibu, aku ingin bicara sesuatu," kata Arman dengan nada serius saat mereka duduk di ruang tamu.Ayu menoleh, menatap putranya dengan penuh kasih sayang. "Ada apa, Nak? Kau terlihat serius."Arman menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Bagaimana menurut Ibu jika aku ingin melamar Dinda?"Ayu terdiam. Ia memang menyukai Dinda, gadis itu adalah sosok yang baik, pintar, dan berakhlak mulia. Namun, ada satu hal yang membuatnya ragu: perbedaan status mereka. Walaupun sama-sama lulusan S2, Dinda masih gadis, sementara Arman adalah seorang duda dengan seorang anak. Ia tidak ingin Dinda merasa terbebani."Nak, ini bukan perkara mudah. Kau duda

  • CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN!    cepat 28 B

    "Ayah, kardus Mbak Dinda ditaruh di mana?" tanya Ragil yang sedang menjunjung satu kardus bekas berisi buku-buku Dinda untuk kuliah. Di belakang Ragil tampak Edi yang sedang membawa dua tas kain berukuran besar."Eh, ada Mas Ahmad!" ujar Ragil sambil masuk ke dalam ruang tamu, meletakkan kardusnya ke lantai, dan menyalami Arman. Edi pun mengikuti Ragil dan menyalami Arman."Lanjutkan saja ngobrolnya. Saya mau beres-beres barang Mbak Dinda yang sebentar lagi wisuda, jadi sekalian pindahan ke pondok," ujar Ragil dengan senyum lebar. "Letakkan saja di kamar Dinda," jawab Ustadz Ahmad dengan tenang.Ragil mengangguk dan melangkah keluar ruang tamu, diikuti oleh Edi. Mereka berjalan menuju halaman untuk mengambil barang-barang lain dari mobil Xpander milik pondok pesantren.Dinda memang anak yang cerdas dan penuh semangat. Sejak kecil, ia sudah menunjukkan ketertarikannya dalam dunia pendidikan agama. Tidak heran jika sekarang ia ingin mengabdikan dirinya di pondok pesantren milik ayahnya

  • CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN!    cepat 28 A

    Seharusnya saya bertanya pada mbok Darmi atau pak Darto, tapi saya tahu hal itu tidak mungkin. Saya ingin sekali melihat makamnya untuk pertama dan terakhir kali dalam hidup saya. Apa ustadz Ahmad kira - kira bisa menunjukkan makam Aisyah dengan kekuatan dzikir atau firasat, atau apapun itu?" tanya Ahmad dengan ragu. Ustadz Ahmad menatap wajah lelaki di hadapan nya dengan prihatin. "Saya tidak bisa mencari makam seseorang dengan cara seperti itu, Pak Arman. Kalau pak Arman ingin mencari makam mbak Ais, lebih baik bertanya pada tetangga atau yang pernah mengenal orang tuanya," ujar Ustadz Ahmad seraya menghela napas panjang.Arman menunduk."Maaf, Ustadz. Apa tidak ada cara lain? Selama mengenal Ais, dia tidak pernah membawa saya ke rumah nya di kampung, dan tidak pernah memperkenalkan saya pada orang tuanya yang sedang bekerja di luar negeri. Bahkan saya hanya melihat foto nya sekali dua kali, jadi saya tidak bisa mengenal saat bertemu dengan pak Darto dan mbok Darmi yang juga sudah

  • CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN!    cepat 27 B

    "Alhamdulillah, kalian datang lagi," ujar Ustadz Ahmad dengan senyum lebar. Ayu dan Arman tersenyum. Arman bersalaman dengan ustadz Ahmad. Sedangkan Ayu hanya mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada. "Mari bicara di dalam," ajak Ustadz Ahmad dengan ramah.Ayu dan Arman mengangguk, lalu berjalan mengikuti ustadz Ahmad masuk ke dalam ruang tamu dan duduk di kursi nya yang terbuat dari anyaman rotan. "Bagaimana kabar nya Pak Arman? Apa ada gangguan atau teror lagi yang menyerang keluarga pak Arman?" tanya Ustadz Ahmad serius. Arman dan ibunya menggeleng. "Alhamdulillah tidak ada pak Ustadz. Kami ke sini karena ingin silaturahmi dengan pak Ustadz," sahut Arman tersenyum. Mata ustadz Ahmad berbinar. "Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu, pak Arman, bu Ayu. Insyallah dengan berbuat baik pada sesama makhluk hidup dan selalu berusaha mendekat kan diri pada Allah, rutin salat dan mengaji, puasa sunnah, perbanyak dzikir, kita bisa terjauh dari niat jahat manusia dan jin," ujar U

  • CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN!    Cepat 27 A

    Dukun tua itu terhuyung ke belakang, matanya terbelalak ketakutan. Dadanya naik turun cepat, napasnya tersengal-sengal. Tangan kasarnya yang penuh kerutan mencengkeram dada seakan hendak mencabut sesuatu yang tak kasat mata dari dalam tubuhnya. Rasa panas menjalar dari perutnya, naik ke dada, lalu menjalar ke tenggorokannya seperti api yang membakar dari dalam."Ukhh... Ukhh..." Batuknya terdengar berat, dan tiba-tiba, darah hitam kental menyembur dari mulutnya, mengotori jubah lusuh yang ia kenakan.Tubuhnya bergetar, menggigil hebat. Ia mencoba berjalan tapi tersandung dan jatuh ke lantai tanah, jari-jarinya mencakar tanah dengan liar, mencari pegangan yang tak ada. Matanya mencari-cari sesuatu, seseorang, tapi tak ada yang bisa menolongnya. Ia berusaha merangkak menuju pintu gubuk reotnya, tetapi tubuhnya terasa semakin berat. Seperti ada ribuan tangan tak terlihat yang menariknya kembali ke dalam kegelapan."Sialan!" gumamnya dengan suara parau. "Santet ini adalah santet paling be

  • CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN!    cepat 26 B

    Ia telah mengamati jadwal Ayu selama beberapa hari. Wanita itu selalu keluar dari kamar setiap beberapa jam, entah untuk mengambil makanan, mengurus administrasi, atau sekadar mencari udara segar. Sabar adalah kunci.Suatu sore, pintu kamar itu terbuka. Ayu keluar dengan langkah cepat, menggenggam kantong plastik kecil berwarna putih. Wajahnya tampak lelah, tetapi ia tetap berjalan menuju tempat pembuangan sampah di ujung lorong.Dukun itu menajamkan penglihatannya. Kantong plastik itu tampak ringan, tapi ia bisa menduga isinya—mungkin tisu bekas, mungkin sisa makanan, atau... sesuatu yang lebih berharga baginya.Saat Ayu melemparkan kantong itu ke dalam tempat sampah dan berbalik pergi, dukun itu menunggu beberapa detik sebelum berdiri dan berjalan santai ke arah yang sama. Sekilas ia melihat ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang memperhatikannya. Lalu, dengan gerakan cepat, ia mengambil kantong plastik itu dan menyelipkannya ke dalam sakunya.Di dalamnya, sesuatu yang kecil d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status